BANGUNAN SMA Bina Pekerti memiliki dua gedung yang membentuk huruf L. Gedung pertama yang posisinya horizontal berisi ruang guru, kepala sekolah, pepustakaan, UKS, ruang BP, ruang OSIS, dan empat ruang kelas 1, yang sisanya berada di gedung kedua dengan ruang kelas 2 dan 3, juga ruang-ruang ekskul dan kantin.
Ada delapan IPA untuk kelas 2 di sana, yang letak kelasnya dibagi rata di dua lantai. Kelas IPA 1 hingga IPA 4 menempati lantai satu, sementara IPA 5 hingga IPA 8 berada di lantai dua. Itulah yang membuat Emilia berjarak dengan Alvaro, meski mereka menuntut ilmu di sekolah yang sama. Maka, ia patut bersyukur setiap kali istirahat tiba, karena Alvaro akan sengaja menemuinya untuk mengajak ke kantin, atau sekadar berbincang di kelas sambil melahap roti.
Hari ini, sayangnya, Alvaro tak menampakkan diri.
“Udah keluar?” tanya Emilia begitu ia berinisiatif mencari Alvaro ke kelasnya, mengira pelajaran cowok itu belum berakhir. Rupanya, sebagian besar siswa sudah meninggalkan kelas. Alvaro salah satunya.
“Udah, kok. Tadi keluar duluan malah.” Seorang teman sekelas Alvaro menjawab.
“Oh, ya udah. Makasih, ya.”
Emilia berbalik dan berjalan menuju tangga sambil mengeluarkan ponselnya, mengirim WA, menanyakan keberadaan Alvaro. Ceklis satu. Alvaro ke mana, ya? Apa nyusul ke kelasku?
Pemikiran itu mengantar Emilia kembali ke kelasnya. Namun, ia hanya menemukan beberapa temannya di sana, juga Puspa yang tengah berbincang. Emilia mulai merasa gelisah. Tidak biasanya Alvaro tidak menemuinya. Ia pun lantas mencoba peruntungannya di kantin. Ruangan luas itu pun tidak memuat Alvaro.
“Emi, sini!” seru Kamila di salah satu meja, duduk bersama teman sekelasnya.
“Hei,” sapa Emilia setelah menghampiri Kamila. Ia tersenyum pada teman-teman Kamila, tidak mengenal masing-masing dari mereka.
“Kok sendiri? Alvaro sama Puspa mana?” Kamila mengabaikan lumpiah basahnya sejenak, untuk melihat sisi kiri-kanan Emilia.
“Puspa di kelas. Aku lagi nyariin Al. Lihat nggak?”
“Tadi kayaknya aku lihat Alvaro ke area lab Biologi, deh,” cetus salah satu teman Kamila.
“Lab Biologi?” Emilia mengernyit.
“Tadi, sih, pas aku ke toilet. Nggak tahu deh kalau sekarang.”
Kenapa Alvaro ke sana? Ada apa, ya? Emilia tidak menemukan jawaban, itulah sebabnya gelenyar risau mulai menghinggapinya. Ia berterima kasih pada teman Kamila, pamit pergi, lalu menelusuri koridor yang lapang menuju laboratorium biologi. Di sekolah, tempat itu adalah yang paling sunyi jika tidak digunakan, dan Emilia yakin, terutama di saat istirahat seperti sekarang. Letaknya di ujung gedung.
Kian pendek jarak Emilia dengan letak laboratorium biologi, kian berdebar jantungnya. Ia mulai merasa area punggungnya menghangat karena gugup yang menyergapnya. Suara langkah kakinya menjadi satu-satunya kawan desis angin yang datang malu-malu. Di belakangnya, terdengar celotehan siswi. Berjarak dan perlahan meredup. Ruang lab biologi berada tepat di belokan yang mesti Emilia lewati. Namun, sebelum ia sempat menunaikan niatnya, langkahnya terhenti. Ia mendengar suara. Alvaro.
“Bagus, ya. Ketawain aja terus. Itu nilai dapat susah payah, Cas. Yah, hasilnya 11-12lah sama nilai ulangan Kimia kamu.”
Cas? Siapa? Emilia menelan ludah dan merapat di dinding, perlahan mengintip. Ia sangat mengenali suara Alvaro, dan ia memang tidak salah. Yang barusan bicara adalah kekasihnya. Cowok itu duduk di teras, bersandar ke dinding. Sebelah tangannya memegang secarik kertas, tangan yang lain menggenggam ponsel. Alvaro sedang berbincang dengan seseorang.
“Dasar. Kamu ini ya, ngeselin.”
Emilia membeliak. Jantungnya bagai berhenti berdetak. Perkataan Alvaro akan bermakna negatif jika tidak diucapkan dengan nada geli dan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya seperti yang Alvaro lakukan sekarang. Nada suaranya tidak keras atau kasar, tapi halus dan ceria. Sikap yang biasanya ditujukan Alvaro hanya pada Emilia. Tapi, Emilia kini melihat pemandangan itu diarahkan Alvaro entah pada siapa, di balik teleponnya. Apakah teman? Tapi, kenapa Alvaro harus sengaja mencari tempat sesepi ini demi menghubungi seorang teman?
Apa Al... Emilia menarik tubuhnya menjauh hingga pandangannya pada Alvaro pun terputus. Entakan dadanya begitu keras hingga menimbulkan nyeri yang membikin sesak. Ia menggeleng kuat-kuat pada pemikirannya sendiri. Nggak. Nggak mungkin. Al nggak mungkin punya cewek lain. Dia baik dan sayang sama aku. Dia nggak bakal ngelakuin itu.
Emilia mencoba meresapi pikiran itu bulat-bulat, tapi kegelisahannya justru kian kuat. Ia menelan ludah dan mulai merasakan dingin juga lembab di telapak tangan. Emilia meremas kedua tangan, angkat kaki dari sana, kembali ke kelasnya.
“Lho, Emi, kok mukamu pucat begitu? Kamu belum makan?” sahut Puspa saat Emilia masuk ke kelas. Puspa duduk di bangku depan dengan tiga teman mereka.
“Eh? Masa sih?” Emilia mengerjap. Ia tidak tahu penampilannya seperti apa sekarang, tapi batinnya sedang tidak baik-baik saja.
“Sakit, Mi?” sahut salah satu temannya.
Emilia menggeleng. “Nggak, kok,” ujarnya. “Mungkin karena aku belum makan.”
“Lah, terus daritadi kamu ngapain? Kirain ke kantin bareng Alvaro.”
Saat Puspa menyebut nama cowok itu, hati Emilia bagai digerus luka, kembali membayangkan wajah Alvaro dan caranya bicara dengan seseorang di ujung telepon itu.
“Nggak. Al—“
“Yang!”
Emilia tersentak. Ia menoleh ke arah pintu, mendapati Alvaro menghampirinya.
“Yang, sori banget aku baru baca WA,” ujar Alvaro dengan nada menyesal. Ia lantas mengernyit. “Muka kamu kok pucat?”
“Dia belum makan, Al. Gimana sih kamu, pacar ditelantarin begini,” protes Puspa sok galak.
Alvaro meringis. Tangannya merangkul bahu Emilia. “Maaf ya, Yang. Yuk kita ke kantin.”
Alvaro merangkul Emilia sepanjang jalan hingga membuat Emilia kerepotan menghadapi tatapan orang-orang, juga isi benaknya yang bertanya-tanya tentang sikap Alvaro. Tidak ada yang aneh dari cowok itu. Alvaro masih menunjukkan perhatiannya. Ia memesankan dua nasi uduk untuk mereka, dan teh manis hangat untuk Emilia, sementara Alvaro memesan es jeruk.
“Aku tadi sempat nelepon dulu lewat panggilan biasa, makanya jaringannya mati.” Alvaro mulai bicara setelah mereka duduk di area luar, tepat di ujung. Kantin masih sangat ramai. Beruntung mereka mendapatkan tempat kosong.
Emilia mengangguk kaku sambil berupaya untuk tersenyum seperti biasa, tapi hatinya menolak. Ia menelan ludah, membuka mulut, lantas mengatupkannya kembali. Apa boleh ia bertanya?
“Yang?” Alvaro mencondongkan wajahnya. “Pusing?”
“Nggak.” Emilia tersenyum sambil menggeleng. Ia meraih sendok. Ditariknya napas panjang. “Hm...emang tadi...kamu ke mana? Nelepon...siapa?”
“Temanku.” Alvaro mengambil sesuap nasi. Setelah menelan kunyahannya, ia berkata, “Teman les. Dia pernah ngirim foto hasil ulangan kimia-nya yang jelek. Terus, tadi aku balas nunjukin nilai ulangan fisika-ku.” Bahu Alvaro berguncang sebentar karena tawa. “Dipikir-pikir, nggak ada kerjaan banget ya, mamerin nilai jelek.”
Teman les. Pantas Alvaro sampai harus nelepon dia. Emilia mencermati cara Alvaro bercerita barusan. Tidak ada keraguan atau nada gugup di suaranya. Alvaro tidak menyembunyikan apa pun. Ia berkata jujur. Sekerat lega pun menyusup di dada Emilia. Meski ia masih ingin tahu satu hal. Kenapa Alvaro memilih bercerita pada temannya lebih dulu dibanding dirinya?
“Dapat berapa emang, Yang?” tanya Emilia akhirnya, mengambil satu suap nasi.
Alvaro menatapnya dengan ragu, lantas terkekeh hambar. “63,” katanya.
Suara tawa keras di dekat mereka membuat perhatian keduanya terenggut secara paksa. Alvaro terkekeh melihat ke sumber suara, lantas menggeleng-geleng dan kembali melahap makanannya.
Di tempatnya, Emilia merenungi satu hal. Setahunya, orangtua Alvaro teramat ketat perihal nilai. Maka, ia kini gelisah memikirkan kemungkinan terburuk yang akan orangtua Alvaro lakukan jika mereka mengetahui hasil ulangan cowok itu sekarang. Alvaro sudah harus lepas dari ekskul yang disukainya. Ia berharap orangtua Alvaro tidak mendesak putranya untuk melepas hal berharga lain.
“Yang, mau belajar bareng nggak?” Emilia mencetuskan ide.
“Hm? Kita maksudnya?” Alvaro melepas sendoknya demi meraih minuman.
Emilia mengangguk. “Kita ngulang materi yang udah dipelajari. Kalau bareng, pasti lebih enak. Kalau misalnya ada yang kita nggak paham, bisa sama-sama saling ngasih tahu.”
Alvaro mengernyit. Ia diam sejenak, meletakkan gelasnya, kemudian menggeleng. “Yang, nanti aku yang bakalan banyak nanya. Kamu sih pasti lebih banyak tahunya.”
“Kan aku juga masih belajar.”
“Lagian, aku udah punya jadwal les.” Alvaro menimpal cepat. “Kalau kita lagi barengan, mending fokus ke pacaran aja. Masa mau ngomongin pelajaran juga?”
Alvaro tertawa. Tapi, Emilia merasa ganjil melihatnya. Tawa itu terdengar palsu, begitu pula roman Alvaro. Emilia baru sadar, ini pertama kalinya Alvaro berbicara secepat itu dengan suara tegas, seolah ia ingin menolak secara tidak langsung. Apakah Emilia baru saja mengajukan gagasan yang salah? Atau Alvaro memang tidak menginginkannya? Apa karena ia sudah terlalu banyak diberi waktu untuk belajar?
Emilia menggigit bibir, baru menyadari letak kesalahannya. Sejak memasuki semester 2, orangtua Alvaro mengarahkan fokus putranya pada pelajaran. Alvaro barangkali lelah. Bagaimana tidak. Cowok itu les empat hari dalam seminggu. Sabtu dan Minggu ia pun diberi titah untuk tetap di rumah demi mengulang pelajaran, membuat mereka kesulitan untuk sekadar berjalan-jalan. Lantas, Emilia kini malah memberi masukan untuk mereka belajar bersama?
“Maaf ya, Yang.” Emilia berujar pelan penuh penyesalan.
“Eh? Kok minta maaf?” Alvaro mengedip cepat. Ia melepas sendok dan menangkup sebelah pipi Emilia, mencubitnya gemas. “Kayaknya cuma kamu ya, yang cemberut tapi masih manis begini.”
Emilia merengut, meski sekejap kemudian tak bisa menahan senyum. Selanjutnya, obrolan mereka mengalir lancar. Ternyata, tidak ada yang perlu Emilia khawatirkan. Alvaro masih Alvaro -nya.