CASI FORTUNA
Jadi jemput?
Alvaro Wistara
Jadi. Bentar lagi berangkat. Tunggu, ya.
Alvaro memasukkan ponselnya ke saku jaket setelah mengirim WA pada Casi, lantas meraih tasnya dan berderap keluar kamar, menuju ruang makan. Jam dinding menunjuk pukul 05.40 pagi. Di ruangan beraroma masakan itu sudah dihuni kedua adiknya—Kevan dan Mariana—juga orangtuanya. Tanpa berniat duduk, Alvaro mengambil roti dan menuangkan selai kacang di atasnya.
“Cuma itu?” tanya ibu Alvaro saat melihat putranya mengulurkan tangan untuk pamit.
“Aku buru-buru, Ma.” Alvaro salim pada ibunya, lalu berpindah pada ayahnya yang duduk di kursi utama, tepat di ujung meja.
“Hasil ulangan fisika udah keluar? Papa belum lihat.”
Alvaro menelan kunyahannya dengan dorongan keras, membuat kerongkongannya kesat. Ia mengambil minum.
“Baru mau dibagiin hari ini, Pa,” kata Alvaro setelah menyimpan gelas kembali.
“Kevan dapat nilai 100 di tes matematika, dan Ana dapat A di ulangan IPA. Jangan kalah sama adik-adikmu.”
Alvaro melirik Kevan dan Mariana yang duduk bersisian di seberangnya. Pandangan mereka sesaat berbenturan. Ada kekakuan yang begitu kentara hingga membuat Alvaro menggulirkan senyuman agar mereka lebih santai.
“Hebat adik-adikku,” sanjung Alvaro, menghampiri mereka. Ia memasukkan potongan terakhir roti ke mulutnya, lalu menepuk kedua bahu adiknya. “Mau hadiah?”
“Eskrim?” Mariana menoleh dengan wajah semringah.
“Stroberi?” sahut Alvaro. Mariana mengangguk. “Got it.” Ia lantas berpaling pada Kevan. “Kamu?”
“Tanding PS?”
Alvaro tergelak. “Oke—“
“Kevan, kamu udah kelas 3, kan mau menghadapi ujian. Nggak boleh. Kamu nggak boleh main game sampai ujian berakhir,” sela ibu mereka tegas.
“Sebentar aja kok, Ma,” bujuk Kevan pelan.
“Kamu nggak mau nurut sama Mama?” timpal ayahnya dingin, yang membuat tubuh Kevan kaku dan menutup mulutnya. Tatapan beliau beralih pada Alvaro. “Jangan macam-macam, Al. Nggak usah ngasih hadiah kalau prestasi mereka cuma nilai bagus di ulangan. Kasih contoh yang baik. Kamu kan kakak mereka. Sedikit-sedikit nawarin hadiah. Nggak mendidik!”
Wajah Alvaro menegang. Dadanya menyesak total. Sesaat lalu, ayahnya membangga-banggakan prestasi Kevan dan Mariana pada Alvaro, yang berisi peringatan agar ia tidak lagi kalah dari mereka perihal nilai. Kini, saat Alvaro ingin memberi sedikit penghargaan, ayahnya justru menyanggah, seolah pencapaian Kevan dan Mariana tidak ada apa-apanya. Apa ayahnya punya dua kepribadian? Sepertinya begitu.
Alvaro menyengir demi menahan emosi. Ia menepuk bahu kedua adiknya.
“Ya udah, Abang berangkat duluan, ya.”
Alvaro pun pergi dengan kecepatan tinggi. Di pagi hari, suasana sarapan seharusnya hangat dan menyenangkan, persis saat ia melahap makanan yang ditawari Tante Ema setiap kali ia mengantar Emilia pulang. Tapi, raja dan ratu di rumahnya tampaknya tidak memprioritaskan itu. Entah mereka sadar atau tidak, ruang makan serupa kuburan yang membuat tegang.
Alvaro membuang napasnya kuat-kuat demi menenangkan diri. Ia melirik jam tangannya dan menambah kecepatan. Motornya berbelok ke Perumahan Taman Raya, menuju blok Camellia dan berhenti di rumah nomor tiga. Rumah Casi.
Suasana hati Alvaro mendadak berubah begitu melihat senyuman Casi yang memabukkan. She’s definitely my moodbooster.
“Hei, sori lama,” ujar Alvaro sambil memberikan helm yang dibekalinya pada Casi.
“Malahan cepat, lho. Ngebut, ya?” Casi memicing penuh selidik, yang ditanggapi tawa oleh Alvaro.
“Udah siap?”
“Berangkat, Pak!”
Alvaro terkekeh, mulai menjalankan motornya. Ini adalah penjemputan pertamanya ke rumah Casi. Entah apa akan ada penjemputan lain. Rencana ini bergulir setelah Alvaro sempat tiga kali mengantar Casi pulang selepas les. Lantas, tadi malam ia tiba-tiba mengajukan diri untuk menjemput Casi saat cewek itu mengaku bosan diantar supir. Entah hanya kebohongan atau sungguh-sungguh. Alvaro tak mempermasalahkannya. Maka keberadaan Casi di belakangnya sekarang adalah wujud dari gagasan semalam. Dan Alvaro sama sekali tidak keberatan.
Aroma parfum yang sama menguar dari arah belakangnya. Alvaro sudah memberi sebotol parfumnya pada Casi enam hari lalu, dan keesokan harinya, wangi tubuh Casi sudah terhirup serupa dengan Alvaro. Toni sampai bertanya-tanya kenapa mereka menguarkan aroma yang sama. Alvaro menjawab ala kadarnya, yang mendapat kekehan Toni, juga sebuah umpatan karena Alvaro telah mengalahkannya mendapatkan cewek itu. Alvaro menanggapinya dengan seringai lebar.
“Makasih udah jemput lho, Al,” ujar Casi begitu mereka sampai di SMA Kencana Mulia, sekolah Casi.
Alvaro mengangguk, meletakkan helm di jok belakang dan mengamankannya dengan jaring. Siswa hilir-mudik di dekat mereka, berjalan santai memasuki area sekolah. Masih banyak waktu, pikir Alvaro. Ia tidak perlu terburu-buru.
“Nanti les, kan?”
Casi mengangguk. “Kenapa?”
“Mau kujemput?” Alvaro tercenung begitu kalimat itu terlontar. Gue kenapa mancing-mancing begini sih kalau udah berhadapan sama Casi?
“Boleh?” timpal Casi dengan kuluman senyum yang memesona.
Shit. Kenapa cantik banget sih, Cas? “Boleh, dong. Gimana?”
“Oke. Aku tunggu, lho. Awas kalau nggak datang.”
Alvaro tergelak. “Pasti datang, Cas. Aku janji.”
Alvaro dan Casi berpandangan, saling melempar senyuman penuh arti. Melirik waktu sekali lagi, Alvaro akhirnya pamit pergi. Lambaian Casi adalah pemandangan terakhir yang ia lihat lewat spion motornya.
Tiba di sekolah, buncahan bahagianya tak tertahankan hingga membuatnya tersenyum sepanjang jalan. Raka sampai mengernyit menatapnya, bahkan ketika Alvaro duduk di sebelahnya.
“Kenapa lo?” tanya Raka heran.
“Apanya?” Alvaro menyengir seraya mengeluarkan buku catatannya. Fisika pelajaran pertama.
“Abis diapain Emi sampai masam-mesem begini?”
“Emi?” Alvaro mengernyit. “Gue belum ketemu dia,” akunya. Ia mengeluarkan ponselnya dan bergumam, “Dia udah datang belum, ya?”
“Lah? Kalau bukan karena Emi, terus kenapa tampang lo mencurigakan begini?”
“Casi.”
Jawaban itu meluncur tanpa permisi. Namun, tak ada penyesalan di hati Alvaro. Ia malah anteng mengetik WA untuk Emilia, menanyakan keberadaannya. Balasan Emilia cepat datang, berkata bahwa ia sudah di kelas. Alvaro mengangguk lega.
“Casi? Siapa dia?”
“Teman gue di tempat les.” Alvaro membuka halaman profil Casi di WA, menunjukkan fotonya pada Raka. “Cakep, ya?”
Alih-alih melontarkan pendapat, kerutan di dahi Raka kian dalam. Ia menggeser tubuhnya sampai menghadap Alvaro. Nada bicaranya mulai serius.
“Al, lo nggak niat macam-macam, kan?”
“Macam-macam gimana?”
“Selingkuh.”
Sangat terus-terang. Alvaro sampai dibuat melongo karena tembakan Raka. Ia melihat sahabatnya itu menanti jawaban dengan mata menyipit. Tidak ada raut santai atau berniat bergurau di wajah Raka. Alvaro melirik foto Casi sekali lagi, lantas memasukkan ponselnya ke saku celana.
“Dia teman gue, Ka.”
Raka masih tampak curiga. Ia terlihat ingin mengorek lebih, tapi akhirnya menangguhkan rasa penasarannya dan membuang napas panjang.
“Emi baik banget, Al.”
Gue tahu. Dia pacar terbaik yang gue punya. Alvaro membalas dalam hati. Ia tidak bicara lagi saat guru Fisika datang. Setelah prosesi salam usai, tak berniat menunda, pria berkacamata tebal di hadapan murid-muridnya itu membagikan hasil ulangan minggu lalu. Saat nama Alvaro dipanggil, ia tersentak dan lekas datang. Dadanya berdebur kencang, yang membuatnya bagai disambar badai. Nilainya lagi-lagi kurang dari delapan. Lebih parah, kini di bawah tujuh!
Niat belajar Alvaro lenyap begitu saja.