Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

ALVARO mencintai dunia perfilman. Saat ia pertama kali menonton di bioskop bersama orangtuanya dan dua adik yang kini masing-masing berusia 14 dan 10 tahun, Alvaro dibuat terpana menyimak setiap adegan. Bukan alur cerita yang membuatnya tergugah untuk menyaksikan hingga detik terakhir film, melainkan setiap tampilan scene yang diolah sedemikian rupa hingga menyuguhkan fragmen-fragmen menarik. Saat itu usia Alvaro 7 tahun, dan ia sudah bertanya-tanya bagaimana membuat film seapik itu. Ayahnya memberitahu proses pengarahan gambar dilakukan oleh seorang sutradara. Alvaro ingat ia mencari tahu banyak hal tentang profesi itu, hingga di usianya yang genap 10 tahun, Alvaro yakin ia telah menemukan mimpinya.

Sayangnya, impian itu tidak diamini orangtua. Ayah Alvaro seorang walikota, dan ibunya dosen di salah satu universitas terkemuka Indonesia. Mendapati Alvaro bercita-cita menjadi sutradara, jelas tidak mereka perhitungkan. Buncahan semangat untuk meraih asa itu pun redup seketika saat ditolak mentah-mentah. Setidaknya, Alvaro mesti mengikuti jejak orangtuanya, entah ibu atau ayah.

Maka begitu nilai Alvaro merosot karena kesibukannya di ekskul film, mereka pun memberi ultimatum. Seolah tak sependapat, tiga pelajaran penting di jurusannya justru kesulitan mencapai nilai delapan. Penyelesaian tugas Alvaro sebagai ketua di ekskul film sebelum semester satu berakhir adalah sebuah penutupan. Alvaro didesak untuk mencopot jabatan itu, menyerahkannya pada kandidat lain, sekaligus keluar dari ekskul.

Meski begitu, hati memang tidak pernah bisa dibohongi. Walau Alvaro sudah bukan anggota ekskul film lagi, ia kerap mampir ke ruangan ekskul demi melunasi rindu. Anggotanya selalu menerima kehadiran Alvaro dengan tangan terbuka, bahkan tak jarang meminta pendapatnya sebagai mantan ketua dan sutradara, seperti sekarang.

“Kurang cocok kalau karakter Wina cepat setuju sama permintaan temannya. Dia ini orangnya kan keras kepala. Harus dibikin gigih dulu mertahanin pendapatnya. Terus, misalnya teman dia mendesak terus, baru akhirnya Wina mengalah. Atau bisa juga dikasih jeda beberapa hari sebelum Wina nyerah.”

Alvaro mengungkapkan pendapatnya dan memberi masukan setelah ia diminta membaca naskah yang dibuat juniornya. Tidak hanya tentang pengarahan adegan, Alvaro pun ditanyai bagian divisi lain.

Ada lima anggota ekskul di ruangan itu sekarang. Salah satunya adalah Gamal—ketua—yang juga merupakan teman baik Alvaro.

“Jadi nyebelin nggak sih, Kak, kalau Wina dibikin begitu? Aku jadi pengin ngilangin kekeraskepalaannya dia.”

Alvaro terkekeh. “Karakter yang kamu bikin harus kuat. Jangan setengah-setengah. Wina wataknya kan keras kepala, emang suka bikin kesal orang, kan? Coba diingat-ingat, ada nggak kenalan kamu yang keras kepala? Ngeselin, kan? Kalau nggak dibikin gigih, karakternya jadi bias nanti.”

“Contohnya nih, Alvaro.” Gamal yang duduk di hadapan Alvaro, angkat bicara. Meja panjang menengahi mereka, selalu digunakan untuk berdiskusi. “Coba, menurutmu karakter Alvaro kayak gimana?”

Junior berlesung pipit itu melongo, menatap temannya, lantas pada Alvaro, dan semburat merah segera menyapu wajahnya yang mungil. Alvaro terkekeh. Ia melempar Gamal dengan penghapus yang sempat digunakan juniornya untuk memperbaiki dialog, yang Alvaro anjurkan untuk mencoretnya saja. Menghapus membuat jejaknya tak lagi terbaca, sementara melihat bekas kekeliruan lebih bisa dijadikan pembelajaran.

“Lo kira gue keras kepala?” tegur Alvaro dengan nada galak yang dibuat-buat.

“Kak Alvaro nggak keras kepala, kok,” ujar junior berparas manis itu.

Alvaro menoleh padanya, tersenyum. “Thanks.”

“Lah, siapa yang bilang dia keras kepala? Kan aku minta, kamu menilai karakter Alvaro. Coba kayak gimana?” Gamal yang berhasil menangkap lemparan penghapus, berbicara sambil meletakkan benda itu di meja.

Junior mereka menyimak Alvaro sebentar, tak berani lama-lama. Barangkali karena Alvaro menatapnya lamat-lamat, juga senyum yang ia yakini berhasil menggetarkan hati cewek itu. Apa boleh buat. Tampang Alvaro memang sebuah anugerah sedari lahir. Ia bisa tahu jika lawan jenis tertarik padanya.

“Hm... Kak Alvaro...baik.” Junior itu mulai bicara. Ia melirik Alvaro sesaat, lantas kembali menatap temannya. “Asik juga. Bersahabat. Hangat. Seru. Terus, nggak neko-neko.”

Gamal menggaruk kepala. “Kenapa yang bagus-bagusnya aja sih yang disebutin? Gue kayaknya salah nanyain, nih.”

“Bukan lo yang salah, Mal. Tapi dia yang jujur.” Alvaro terkekeh. Ia melirik jam dinding di hadapannya. “Gue duluan, ya. Makasih udah mau nampung gue.”

Gamal mendongak saat Alvaro berdiri. “Cuma lo mantan anggota yang seenak jidatnya keluar-masuk begini.”

“Nggak usah protes. Bukannya karena gue juga anggota ekskul kita banyak ceweknya?” selorohnya seraya memasang tali ransel di bahu kanan. Ia mengedip pada junior-juniornya dan berhasil membuat mereka salah tingkah. “Duluan ya semua. Bye.”

“Hati-hati, Kak.”

Alvaro mengacungkan jempol dan beranjak pergi. Masuk ke ruang ekskul film selalu membuatnya gembira, meski moodnya merosot sempurna begitu ia pamit. Jika ia masih anggota, ia akan seperti Gamal saat ini, menunggu anggota lain sebelum diskusi dimulai. Sayangnya, Alvaro harus rela menghabiskan waktunya dengan belajar.

Sebelah tali lain Alvaro biarkan menggantung, membuat tasnya tersampir di satu bahu. Ia berjalan ke arah ekskul mading dan mengetuk pintu yang dibiarkan terbuka. Ada beberapa anggota di sana, salah satunya Emilia. Mereka saling melempar senyum, dan Emilia meminta izin pada ketuanya untuk menemui Alvaro sebentar.

“Yang, aku duluan, ya. Ada yang mau dikerjain di tempat les. Kamu nggak apa-apa kan pulang sendiri?”

“Nggak apa-apa, kok. Semangat lesnya, ya.”

“Kamu juga semangat ikutan lombanya. Nanti aku lihat cerpennya kalau udah jadi.”

Begitu mencongkel perihal sayembara, ekspresi Emilia berubah ketat.

“Aku belum dapat ide.”

“Nanti juga dapat. Santai aja, Yang. Masih lama kan deadlinenya?” Saat Emilia mengangguk lesu, Alvaro merangkum wajah kekasihnya. “Kamu jangan pasang tampang begini. Bikin gemas, nih. Kucubitin boleh?”

“Nyubit itu termasuk kekerasan, lho.”

Bahu Alvaro berguncang oleh tawa. Ia membelai pipi Emilia dan berujar, “Nyubitnya kan pakai cinta, Yang.”

Emilia mendengus sambil membuang muka. Reaksi yang membuat senyum Alvaro mengembang lebih sempurna. Di matanya, Emilia yang seperti itu selalu terlihat manis dan menggemaskan.

Setelah pamit sekali lagi, Alvaro beranjak pergi. Waktu baru menunjuk pukul setengah empat sore. Masih dua setengah jam sebelum les dimulai. Biasanya, Alvaro akan memilih mendekam di ruang ekskul film atau bermain basket bersama teman-temannya hingga mendekati jadwal les. Hari ini mulai berbeda. Ia harus tiba lebih cepat untuk bertemu Casi.

Membayangkan wajah pemilik nama itu segera menimbulkan gelombang tak asing di dada Alvaro. Ia bahkan menambah kecepatan agar lekas sampai. Alvaro bersyukur jarak sekolahnya dan tempat les hanya perlu ditempuh dalam dua puluh menit, jadi begitu ia tiba, Alvaro duduk di teras dan mengeluarkan ponselnya, menghubungi Casi.

Sekali deringan. Dua kali deringan. Tiga kali—teleponnya diangkat. Degup Alvaro kian menggeliat.

“Cas, aku udah sampai.” Alvaro mendongak ke arah langit yang cerah, berbeda dengan hari sebelumya. Mendung, meski tak turun hujan. Bunyi klakson dari jalan raya di hadapannya sesekali terdengar. Terlihat satu-dua pejalan kaki menghampiri pandangan Alvaro.

“Ketemu di minimart dekat tempat les, ya. Aku bentar lagi sampai.”

“Oke.”

Alvaro menutup telepon dengan senyuman. Ia bangkit dan berjalan melewati beberapa ruko, berhenti di minimart yang menyediakan area duduk untuk pengunjung. Ia masuk ke minimart, membeli dua botol minuman rasa jeruk dan sebatang cokelat, lalu duduk di salah satu kursi.

“Al!”

Alvaro baru membuka tutup botol minumannya saat panggilan itu menyapa. Ia melihat Casi berlari kecil ke arahnya. Bibir Alvaro tak bisa menahan senyuman. Bagaimana mungkin seorang cewek berpakaian SMA bisa terlihat secantik itu?

“Nih.” Alvaro menyodorkan kantung belanjaan pada Casi yang baru duduk di hadapannya.

“Minum? Thanks. Padahal aku baru mau beli.” Casi meraih botol minumnya, lalu memicing. “Cokelat juga?”

“Suka?”

“Cokelat makanan wajib aku, Al.”

Alvaro terkekeh puas. Ia meneguk minumannya. Saat melihat Casi kesulitan membuka tutup botol, Alvaro lekas membantunya. Casi menunggu dengan wajah berseri.

“Oya, nih hasil ulangan kimia-ku.” Casi membuka tasnya yang ia letakkan di kursi samping, mengeluarkan selembar kertas ulangan bernilai C minus. “Ngeselin nggak, sih? Aku udah belajar, udah les juga, masa masih dapat C? Minus pula!”

Inilah yang Casi tunjukkan di WA tadi, saat Alvaro istirahat di sekolahnya. Sebuah foto yang memperlihatkan hasil ulangan mingguan Casi dengan nilai bertinta merah menampilkan sebuah huruf besar yang mau tak mau membuat Alvaro tersenyum geli.

“Sebelumnya dapat apa?” tanya Alvaro sambil menyimak jawaban Casi. Tulisan Casi kecil ternyata. Tapi rapi. Ya ampun, nggak orangnya nggak tulisannya, sama-sama imut.

“D,” jawab Casi tanpa basa-basi.

“Kemajuan, dong?” Alvaro memamerkan giginya seraya menyerahkan kertas hasil ulangan kembali.

“Tetap aja nggak puas. Lagian, kenapa bisa sih aku nyasar ke IPA? Aku nggak ngerti sama hasil psikotes, malah condong ke jurusan IPA. Padahal aku lemah banget di kimia, dan nggak suka fisika. matematika masih lumayanlah. Sedikit tapi.”

“Tos. Kita samaan.” Alvaro mengangkat tangannya, mengajak ber-high five.

“Nggak banget. Kamu jago kimia, Al.” Casi melipat tangan di dada, menatap Alvaro dengan mata menyelidik. “Dan fisikamu juga lumayan.”

“Aku lemah di fisika, Cas. Seriusan. Paling suka kimia memang, tapi nggak bikin nilaiku bagus. Yah, buat orangtuaku kalau nggak dapat 8 sih berarti nggak bagus. Jadi, kita samaan.”

“Matematika?” Casi masih curiga.

“Peringkat ke-20 dari 30 siswa di kelas.”

Casi tergelak. “Nggak mungkin!”

“Seriusan.” Gue bukan Emi yang pintar di semua pelajaran. Saat Casi tak kunjung menyambut tangannya, Alvaro berkata dengan nada lesu, “Nggak mau tos, nih? Kita senasib padahal.”

Alvaro pun mulai menarik tangannya, tapi Casi dengan sigap menahannya. Namun, alih-alih menemukan dua telapak dalam satu tepukan, tangan keduanya justru saling bertaut. Saat kehangatan jemari Casi menyentuh tangannya, tubuh Alvaro bagai disengat, membuatnya terpaku beberapa saat. Alvaro lekas menguasai diri. Ia meresapi sentuhan itu, membiarkannya tanpa berniat melepas diri.

“Tangan kamu kecil, ya.” Dan halus banget. Tapi kayaknya tangan Emi lebih kecil. Apa lebih halus juga, ya?

“Aku kan cewek, Al. Coba.” Casi mencondongkan tubuhnya, merentangkan telapak tangannya dan mengarahkan Alvaro hingga jemari mereka bertemu, memperlihatkan ukuran yang berbeda. “Tuh, kan. Tangan kamu udah pasti lebih gede dari aku.”

“Hmm.” Alvaro menggumam sambil manggut-manggut. Percakapan receh sebenarnya, tapi Alvaro menikmatinya.

Alvaro mengakhiri pertemuan tangan mereka dengan terpaksa. Ia meraih cokelat dan memotongkannya untuk ia serahkan pada Casi.

Thanks.” Casi melahap potongan cokelat itu dengan wajah semringah hingga membuat Alvaro tersenyum puas. “Omong-omong, kamu pakai parfum apa, Al?”

“Hm? Kenapa emang?”

“Baunya enak.”

“Punya bokap, tapi nggak dipakai, jadi dikasihin ke aku. Nggak merhatiin juga sih merk parfumnya apa.”

“Nanti WA-in kalau udah di rumah, ya. Aku suka banget baunya. Nggak nyengat kayak parfum cowok lain. Wanginya tuh lembut. Aku pengin pakai juga.”

“Kamu mau?” Alvaro mengambil potongan cokelat lain untuk ia makan sendiri. “Kuambilin nanti kalau kamu mau.”

“Buat aku maksudnya?” Casi melongo. Alvaro mengangguk.  “Terus kamu?”

“Ada dua botol. Isinya sepaket sama kayu cendana terus entah apa lagi bahan lain. Satunya lagi masih utuh, kok. Buat kamu aja.”

Casi serta-merta menepuk tangan seraya mencondongkan tubuhnya. “Seriusan?”

“Dua rius, Cas. Aku bawain besok, ya.”

Semula, raut Casi tampak gembira. Namun, begitu teringat esok tak ada jadwal les, ia merengut kecewa.

“Besok nggak ada jadwal, Al,” ujar Casi lesu.

“Iya juga, ya.” Alvaro diam sejenak, berpikir. “Kuantar ke sekolah kamu aja gimana? Pas pulang.”

Detik itu senyum Casi kembali. Ia mengangguk antusias, lantas meneguk minumannya lagi. Alvaro menatapnya dengan mata berbinar dan dada berdentum-dentum. Ada dua alasan. Pertama, karena kebersamaan mereka sekarang. Kedua, karena besok ia punya alasan untuk bertemu lagi dengan Casi.

Bahkan sebelum hari ini berakhir, Alvaro sudah berharap esok segera tiba.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reach Our Time
10202      2366     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Nadine
5525      1456     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Confusing Letter
874      475     1     
Romance
Confusing Letter
Past Infinity
218      184     0     
Romance
Ara membutuhkan uang, lebih tepatnya tiket ke Irak untuk menemui ibunya yang menjadi relawan di sana, maka ketika Om Muh berkata akan memenuhi semua logistik Ara untuk pergi ke Irak dengan syarat harus menjaga putra semata wayangnya Ara langsung menyetujui hal tersebut. Tanpa Ara ketahui putra om Muh, Dewa Syailendra, adalah lelaki dingin, pemarah, dan sinis yang sangat membenci keberadaan Ara. ...
Sarah
472      338     2     
Short Story
Sarah, si gadis paling populer satu sekolahan. Sarah yang dijuluki sebagai Taylor Swift SMU Kusuma Wijaya, yang mantannya ada dimana-mana. Sarah yang tiba-tiba menghilang dan \'mengacaukan\' banyak orang. Sarah juga yang berhasil membuat Galih jatuh cinta sebelum akhirnya memerangkapnya...
Ręver
6799      1873     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
ALIF
1367      647     1     
Romance
Yang paling pertama menegakkan diri diatas ketidakadilan
Rembulan
1044      585     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
It Takes Two to Tango
450      328     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Kuliah atau Kerja
487      274     1     
Inspirational
Mana yang akan kamu pilih? Kuliah atau kerja? Aku di hadapkan pada dua pilihan itu di satu sisi orang tuaku ingin agar aku dapat melanjutkab sekolah ke jenjang yang lebih tinggi Tapi, Di sisi lainnya aku sadar dan tau bawa keadaan ekonomi kami yang tak menentu pastilah akan sulit untuk dapat membayar uang kuliah di setiap semesternya Lantas aku harus apa dalam hal ini?