Nokva memandang kosong papan tulis di depan. Bu Ning sedang menulis berderet-deret angka di sana. Matematika adalah pelajaran yang paling tidak disukai Nokva, dan juga tak dimengertinya. Bahkan diapun juga tak tahu apa gunanya semua itu. Untuk membeli somay pun sepertinya tak bisa.
Dulu, ketika Linta mengajarinya dengan sabar, Nokva sedikit menyukai pelajaran ini, karena dia bisa mengerjakannya. Tapi, sekarang dia benar-benar telah muak lagi. Andai saja ada Linta yang ceria dan gigih mengajarinya, bukan Bu Ning yang gemuk, keriput, dan penuh dengan bulu putih.
Linta. Lama sekali dia tak bertemu dengannya di sekolah. Padahal, dulu Linta selalu menghampiri Nokva saat istirahat untuk mengajak ke kantin. Terkadang, Nokva juga merindukan kemunculan mendadak kotak makan, yang tutup dan wadahnya berwarna norak berlainan di dalam tasnya. Meski isinya sangat hitam dan membuat ingin muntah, Nokva tetap merindukannya. Memakannya juga. Menggunjingnya juga.
Nokva juga sangat rindu dengan wajah resah Linta setiap kali harus menraktirnya terus-menerus. Rasanya, Nokva mengerti sekarang, mengapa Linta tak rela uangnya habis untuk keperluan yang sebenarnya tak berguna. Karena Nokva juga boros sekali akhir-akhir ini, gara-gara Melani.
Mereka jalan hampir setiap hari, tak kenal waktu. Melani juga mudah menyuruh-nyuruh Nokva sekarang. Dia suka manja, melunjak, dan marah. Menyebalkan sekali.
Baru terpikirkan sekarang, Linta dan Melani berbeda sekali.
*
Bukan tepat di depan sekolah atau di dekat gerbang, seperti biasanya orang menjemput. Melainkan di bawah pohon yang agak jauh. Tapi, karena kendaraan itu agak mencolok dan Linta jarang melihatnya, itu langsung terlihat oleh mata Linta.
Seseorang tersenyum ke arahnya dari atas vespa berwarna hijau gelap. Meski banyak sekali anak yang keluar dari gerbang sekolah, ternyata mata Ota pun dengan mudah menangkap Linta, meski Linta kecil juga.
Linta balas tersenyum dan berlari ke arahnya.
“Jemput saya?” tanya Linta dengan ceria, saat telah sampai di tempat Ota.
“Iya, saya mau traktir kamu makan siang.”
“Makan siang?”
Ota mengangguk, “Pasti kamu belum pernah makan Gudeg Jogja pinggir jalan.”
“Gudeg Jogja pinggir jalan?” ulang Linta mengernyitkan keningnya.
Ota tersenyum.
“Yuk, naik!”
Benar-benar di pinggir jalan. Benar-benar belum pernah mencobanya. Hanya sebuah terpal biru yang didirikan selayaknya tenda di trotoar jalan, dengan gerobak sebagai tempat menjual.
Linta menatap makanan di piringnya. Hanya nasi biasa dengan sayur berwarna merah kecoklatan, Linta tak tahu apa namanya. Ada telur rebus dan tahunya juga. Dengan tak yakin, Linta mulai makan makanan itu.
Gurih dan enak! Tak seperti kelihatannya!
“Kamu udah bisa ngelupain Nokva?” tanya Ota tiba-tiba, membuat Linta hampir tersedak.
“Anda barusan bilang, saya jadi inget lagi,” kata Linta.
Ota tersenyum di hadapannya. Dan dia mulai memakan makanan asingnya.
“Ada dua cara buat ngelupain orang yang kita cinta,” katanya. “Yang pertama, yang saya bilang kemarin. Yang kedua dengan lihat orang itu bahagia.”
Linta memperhatikan Ota dengan sungguh-sungguh.
“Saya pernah mencoba dua-duanya,” lanjut Ota.
“Siapa?” tanya Linta langsung.
Ota mendongak, “Ada sesuatu yang belum saya ceritakan sama kamu.”
“Apa?” desak Linta penasaran, membuat Ota memandangnya dengan gemas.
“Setelah ibu saya melahirkan saya, rahimnya tambah parah,” Ota memulai. “Hampir empat tahun dia bertahan, operasi terus-menerus,” Ota berhenti sebentar untuk menyendok, melahap, mengunyah, dan menelan makanannya. “Saat saya umur empat tahun, dia mengalami pendarahan hebat dan harus operasi lagi,” lanjut Ota. “Saat itulah ayah saya menitipkan saya pada juru masak rumah sakit.”
“Mama Nokva?” potong Linta kaget.
Ota menganguk, “Saya rasa kamu tahu selanjutnya. Saya menyukai mama Nokva, dan ayah saya menyuruh ayah Nokva untuk menikah dengannya dan menjaga saya. Sebab itulah Ibu Nokva sudah menganggap saya anaknya, dan nama Nokva hampir sama dengan saya.”
Sunyi agak lama, mereka saling tatap. Linta menatapnya dengan tercengang. Ota hanya tersenyum tipis dan kembali ke makanannya.
“Jadi, karena itu Ayah Nokva agak tidak menyukai Anda?” tanya Linta, akhirnya.
“Iya. Dan saya rasa pemaksaan cinta nggak seharusnya terjadi.”
Linta kaget sekali dengan perkataan itu.
Karena Linta fokus kepada Ota, dia tak menyadari Nokva sudah menghampiri mereka. Dia berdiri dengan seragam keluar sepenuhnya dan wajah luar biasa marah. Detik selanjutnya, dia sudah mengangkat kerah baju Ota, yang juga terkejut atas kedatangannya, dan mengangkatnya.
“Lo bisa nggak, sih, kalau suka sama orang yang umurnya pantes?!”
Satu pukulan mendarat di pipi kiri Ota, membuatnya jatuh menyamping dan menabrak kursi. Pengunjung yang lain berteriak dan segera menyingkir. Penjual gudeg yang sudah tua juga nampak terpukul.
Linta yang sangat shock dan tak tahu harus bagaimana telah bangkit. Ketika Nokva akan memukul Ota lagi, yang sudah terkapar di trotoar, Linta menangkap tangannya secepat dia bisa. Nokva terlalu besar untuknya, sehingga Linta terhuyung ke atas meja. Menumpahkan makanan pada seragamnya.
Linta terisak. Dilihatnya Nokva menurunkan tangannya perlahan. Wajahnya mulai melunak dan shock melihat keadaan Linta.
“Kenapa lo bisa nuduh Bang Ota suka sama gue?” kata Linta dengan suara tercekat. “Tapi, kenapa dengan semua hal yang gue lakuin, lo nggak nyadar juga kalau gue cinta sama elo!”
Linta menangis. Dia mencoba menahannya dengan menekap mulutnya. Kemudian dia menyambar tasnya. Dan berlari dengan air mata yang meleleh.
*
Jalanan setengah gelap dan sepi. Nokva melemparkan satu kaleng minuman ke arah Ota yang duduk di atas kap mobil. Ota langsung membuka dan meneguknya. Sebuah lebam biru muncul di pipi kirinya. Dan tangan yang digunakan untuk mengangkat kaleng, lecet akibat jatuh tadi.
Begitu juga dengan Nokva. Dia telah ikut duduk di atas kap mobilnya. Mukanya lebih parah dari Ota. Tadi, setelah Linta berlari, Ota langsung menghajarnya habis-habisan. Karena tahu yang sebenarnya, Nokva tak menghentikan Ota. Menurutnya itu setimpal atas apa yang telah ia lakukan pada Linta.
“Gue harus gimana sekarang?” tanya Nokva, bodoh.
“Lo cowok, lo tahu harus gimana,” Ota menenggak minumannya lagi. “Dia cewek baik, gue tahu lo suka sama dia.”
“Lo juga suka dia.”
“Lo kayak bokap lo!” ujar Ota. “Karena gue tertarik sama seseorang, lo langsung bilang kalau gue suka dia. Dan lo ngira gue butuh ‘orang lain buat jaga dia’”
Sunyi. Nokva tak membantah. Dia juga membenci ayahnya. Dia sangat membencinya, karena ayahnya tak pernah mencintai ibunya. Memang tak pernah melukai fisik, namun menyiksa batin.
“Kalau lo ngira gitu, jangan pernah deketin Linta. Kasihan dia,” kata Ota.
“Menurut lo, gue cinta nggak sama dia?”
Ota menatapnya. “Kenapa lo tanya ke gue?”
Nokva termenung. Dia mencintai Linta. Dia benar-benar mencintainya. Dia sadar sekarang, dia tak ingin kehilangannya.
“Gue cinta sama dia,” kata Nokva. “Gue bakal bilang itu sebelum terlambat.”
Ota tersenyum.
wew
Comment on chapter Pesta Kedua