?? WARNING!!! ??
CHAPTER INI MENGANDUNG KEKERASAN DAN PENYIKSAAN
Sumin masih berdiri di belakang Inha dengan pistol yang tetap teracung lurus. Begitu juga dengan Inha yang juga membidik Jimin dengan tangan kirinya. Darah masih mengalir keluar dari luka di telapak tangan kanan gadis itu. Sesekali ia terlihat meringis menahan sakit yang berdenyut-denyut.
Sementara itu, Sumin mulai dilanda kebimbangan. Netra coklatnya menerawang jauh pada sosok lelaki yang mengarahkan senapannya padanya dan Inha. Ia sungguh berharap bisa membaca pikiran Jimin seperti Jungkook dan para vampir pembisik lain. Karena ia benar-benar tidak tahu, siapa yang ingin Jimin bunuh sekarang. Inha ataukah dirinya?
Jimin memang pernah berjanji akan membunuh siapapun yang membuat surat ancaman itu. Dan sekarang ia tahu bahwa Inhalah pelakunya. Sudah pasti Jimin akan membunuh yeoja Choi ini.
Tapi di sisi lain, Sumin juga pernah menyakiti hati pria itu. Bahkan ia berkali-kali mati di tangan Jimin. Tapi takdir seolah melarangnya untuk mati semudah itu. Mungkin dosanya terlalu banyak hingga ia harus hidup selamanya agar dapat merasakan hukuman sepanjang hidupnya.
Meskipun akhir-akhir ini Jimin telah memaafkannya, tapi siapa yang tahu apa isi hati pria itu? Bisa saja ia masih menyimpan dendam pada Sumin bukan? Jika seperti itu, bukankah Sumin dan Inha berada dalam posisi yang sama sebagai target peluru Jimin?
Kemudian mata bulat Sumin beralih pada punggung ringkih sahabatnya. Benar. Jika Jimin ingin membunuhnya, pasti Inhalah yang akan mati terlebih dahulu. Karena gadis ikal ini adalah tamengnya. Sumin menyeringai. Ia ingat dengan jelas saat Inha mengatakan bahwa ia akan melindungi Sumin dengan nyawanya. Itu artinya Inha rela mati demi Sumin kan?
"Cepat pergi dari sini, Sumin!" Desis Inha yang merasakan bahwa sahabatnya itu masih mematung di belakangnya.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu, Inha" ucap Sumin pura-pura panik.
"Tapi-"
Dor!!!
Perkataan Inha diinterupsi oleh suara tembakan. Disusul pekikan keras dari bibirnya karena dagingnya kembali terkoyak oleh peluru. Pistol perak itu terlepas dari tangannya karena kali ini tulang selangka sebelah kirinya yang tertembak. Inha berteriak keras saat merasakan bahwa peluru Jimin seperti bersarang pada tulangnya.
Sumin otomatis menopang tubuh Inha yang terhuyung ke belakang. Keduanya merosot ke tanah dengan Inha yang terus bersandar pada Sumin. Perkiraan gadis vampir itu benar. Inha pasti akan menjadi korban pertama Jimin. Tapi tetap saja ia terkejut dengan tembakan yang tiba-tiba itu.
"Tinggalkan aku, Sumin" ucap Inha dengan nafas berantakan. Tubuhnya sudah sangat lemas karena ada 2 peluru yang bersarang pada tubuhnya.
"Aku tidak mungkin meninggalkanmu, Inha!" Jawab Sumin dengan panik. Bukan panik karena sahabatnya akan mati. Melainkan karena mungkin saja ia harus bertarung melawan Jimin beberapa menit lagi.
"Bawa dia ke mansion, Sumin!" Perintah sebuah suara di dekat kedua gadis itu.
Mata Sumin semakin membulat saat melihat Jimin yang berdiri menjulang dihadapannya dan Inha. Tanpa sengaja ia mencengkram lengan Inha yang sedari tadi ia pegang. Tapi kemudian gadis itu menyeringai saat menyadari arti dari ucapan Jimin barusan. Pria vampir itu tidak akan membunuhnya.
"Tembak dia, Sumin" lirih Inha.
Jimin menyeringai mendengar bisikan Inha yang terdengar jelas di telinganya. "Dia tidak akan melakukannya"
"Apa?!" Ujar Inha bingung. Ia mendongak menatap Sumin. "Tembak dia selagi ada kesempatan, Sumin!" Desaknya. Andai tangannya tidak terasa sangat sakit saat digerakkan, ia pasti akan melenyapkan Jimin saat ini juga.
Si gadis separuh vampir balas menatap Inha tanpa ekspresi. "Apa kau masih tidak mengerti juga, Inha?"
Inha mengernyit bingung. "Apa?"
"Dia terlalu bodoh untuk mengerti, Sumin" ejek Jimin.
"Satu-satunya orang yang ingin Jimin bunuh adalah kau. Bukan aku"
Inha semakin bingung mendengar penuturan sahabatnya. Ia menatap Sumin lama. Kemudian menatap Jimin yang menyeringai seram padanya. Setelah itu matanya kembali bersitatap dengan Sumin. "Apa maksudmu?"
"Aku tahu kaulah dalang dibalik surat ancaman konyol itu." Jawab Jimin.
Inha langsung terbelalak ngeri.
"Bagaimana bisa kau mencelakai sahabatmu sendiri?!" Lanjut namja itu dengan suara yang semakin meninggi.
"Kau tidak mengerti apapun, Jimin!" Balas Inha dengan marah. Mengabaikan rasa menyakitkan dari kedua peluru dalam tubuhnya. "Aku melakukan itu semua untuk Sumin! Agar ia bisa membalaskan dendam eommanya!" kemudian gadis itu terbatuk hingga mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Kau tahu Inha, aku menyesal memiliki sahabat sepertimu" kata Sumin dengan datar.
Mendengar itu, Inha merasa seperti disambar petir. "Apa yang kau katakan, Sumin?" entah kenapa rasa sakit di hatinya terasa lebih parah dari pada dagingnya yang tertembus peluru panas. Matanya mulai buram karena air mata sekaligus pusing yang semakin menderanya.
"Kaulah yang mengajariku tentang balas dendam, Inha. Maka jangan terkejut jika aku sangat ingin balas dendam padamu" kata Sumin tanpa emosi.
Air mata Inha semakin mengalir deras. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu. Tapi alam bawah sadarnya telah mengambil alih terlebih dulu.
"Aku tahu tembakanmu tidak mungkin meleset, Jimin" ucap Sumin sambil mengamati hasil karya Jimin di tulang selangka sahabatnya.
"Jika aku menembak jantungnya, maka aku akan melanggar janjiku, bukan?" jawab pria vampir itu sambil berjongkok menatap Inha yang telah pingsan.
Itu benar. Sumin ingat bahwa Jimin berjanji akan menghisap darah si pengirim surat ancaman hingga tubuhnya mengering. Bukannya membunuhnya dengan peluru, apalagi dengan kekuatan elektrikonnya.
"Lagipula, bukan hanya aku yang menginginkan kematiannya" lanjut Jimin sambil melirik Sumin penuh arti.
???? Black Roses ????
Sumin yang duduk dihadapannya adalah hal pertama yang Inha lihat saat membuka mata. Sekujur tubuhnya langsung terasa nyeri. Netra coklatnya mengamati tubuhnya sendiri sambil merintih sakit. Ia duduk di kursi kayu yang identik dengan milik Sumin.
Luka di telapak tangan dan juga di tulang selangkanya terasa berdenyut-denyut. Kedua luka itu masih menganga mengeluarkan darah. Inha tersenyum miris. Ternyata sahabatnya tidak mengobatinya. Sumin malah terus memandangi Inha bak elang yang mengintai mangsanya.
"Sakit?" tanya Sumin yang jelas-jelas terdengar basa-basi, bukannya peduli.
Si gadis ikal mendongak, balas menatap Sumin. "Sangat"
Sumin mengangguk. "Nikmatilah" katanya sambil bersandar.
Liquid bening kembali meleleh dari mata Inha. Ia pikir Sumin sudah memaafkannya. Tapi tidak. Ternyata ia salah selama ini. "Dimana kita?" tanyanya, berusaha mengalihkan fakta tentang hubungan persahabatannya yang telah renggang.
"Markas para vampir" jawab Sumin sambil mengangkat bahu cuek.
Tubuh Inha seketika menegang. "Ayo kita lari dari sini, Sumin!" pekiknya sambil bangkit. Meskipun kedua tangannya tidak bisa digerakkan, yeoja Choi itu bersyukur kedua kakinya masih mampu menopang tubuhnya. "Mereka bisa membunuh kita kapan saja!"
"Apa kau benar-benar bodoh, Inha? Kau pikir penjara ini mengurung kita berdua?" Sumin mendengus. "Biar aku perjelas disini. Mulai sekarang, tidak ada lagi kata kita. Hanya kau. Kaulah tahanannya disini"
Inha benar-benar merasa telah salah dengar. Kepalanya memutar mengamati ruangan kotak bercat suram itu. Tidak ada jalan keluar selain pintu besi dibelakang Sumin. Bahkan ia sama sekali tidak melihat lubang angin barang sekecil apapun. Tubuhnya kembali lemas hingga ia terhempas pada kursinya. "Aku tidak mengerti, Sumin. Jika hanya aku tahanannya, lalu kau apa?"
Sudut bibir Sumin menampilkan seringaian mengerikan. "Penyiksamu"
Yeoja Choi itu tertawa hambar. "Itu tidak lucu, Sumin"
"Itu bukan lelucon sayangnya." Jawab Sumin sambil menghentakkan tangannya ke bawah. Listrik-listrik mini turun dari jemari gadis itu. Merambat di lantai hingga mencapai kaki Inha.
Gadis bersurai ikal itu berteriak kencang saat kakinya tersengat listrik ungu milik Sumin. Dan teriakannya semakin keras karena listrik mini itu terus merambat naik dari kaki hingga kepalanya, membungkus tubuhnya menjadi kepompong listrik. Luka di kedua tangannya terasa sangat amat sakit hingga rasanya Inha akan pingsan lagi.
Sumin menyeringai menikmati wajah kesakitan Inha. Puas melihatnya, ia menghilangkan listriknya.
Meskipun terengah-engah, Inha menatap sahabatnya dengan tajam. "Bagaimana bisa kau-"
"Tentu saja bisa" sahut gadis separuh vampir itu sambil bangkit dan mendekati Inha. "Aku bukan lagi manusia, Inha" lanjutnya sambil berjalan mengitari Inha.
"Apa?!" Pekik Inha, benar-benar terkejut. Kepalanya ingin menoleh mengikuti gerakan Sumin. Tapi entah kenapa sama sekali tidak bisa digerakkan.
"Percuma, Inha. Kau tidak bisa bergerak sekarang" kata Sumin yang melihat usaha sia-sia mantan sahabatnya itu. "Berterima kasihlah karena aku tidak melumpuhkan mulutmu juga" lanjutnya sambil mencengkram rahang Inha.
"Sejak kapan kau menjadi vampir, Sumin? Kenapa kau seperti ini?" Tanya Inha yang kembali menangis. Entah apa yang membuat gadis itu sedih, Sumin juga tidak mengerti.
"Ini semua karena dirimu sendiri, Inha. Kau ingat saat aku kehilangan banyak darah karena pencuri ponselku yang adalah anak buahmu? Jimin mentransfusikan darahnya untukku. Sejujurnya aku harus berterima kasih padamu karena hal itu." Jelas Sumin sambil melepas cengkramannya.
"Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku? Itu artinya kau membohongiku selama di markas? Kau berpura-pura masih manusia padahal kau disana untuk menyelundup. Kau mengkhianati kami, Sumin. Kau mengkhianatiku" ucap Inha yang terus menangis.
Tapi Sumin malah tertawa terbahak-bahak. "Hei! Siapa yang lebih dulu berkhianat? Aku atau kau?" Ucapnya penuh penekanan sambil mendorong bahu Inha dengan telunjuknya.
"Tidak seperti itu, Sumin" kata Inha disela tangisannya.
"Aku mengerti, Inha. Kau sudah pernah menjelaskannya. Tapi berapa kalipun aku memikirkannya, tindakanmu itu tetaplah salah. Aku mengerti niat baikmu untuk membantuku. Tapi tidak dengan cara seperti itu!"
"Maafkan aku, Sumin. Kumohon ampuni aku" pinta Inha dengan pilu.
Tidak terpengaruh sama sekali, Sumin malah mendengus. "Tidak ada maaf untuk orang sepertimu, Inha. Selamat tinggal, semoga kematianmu menyakitkan." dan gadis itupun pergi tanpa pernah menoleh lagi.
???? Black Roses ????
Inha bangun untuk yang kesekian kalinya. Gadis itu sangat berantakan dengan bekas air mata di pipi, rambut acak-acakan, darah yang mengering di sekitar kedua lukanya yang mulai membusuk. Yang bisa ia lakukan hanyalah bersandar pada kursi kayu yang ia duduki dengan kedua tangan yang terkulai lemah di samping tubuhnya. Karena yeoja itu sungguh tidak bisa menggerakkan satupun anggota badannya. Entah bagaimana listrik Sumin tadi benar-benar melumpuhkannya.
"Akhirnya kau bangun" terdengar suara pria. Kemudian muncullah ia dari arah kanan Inha. Pria yang gagal ia bunuh, Kim Seokjin.
Tubuh Inha menegang. Firasat buruk langsung menyelimuti hatinya. Apalagi saat melihat pria vampir itu duduk di kursi kayu di hadapannya. Sepertinya kematiannya tidak akan lama lagi.
"Apa Sumin sudah membuatmu bisu?" Tanya Seokjin sambil tersenyum mengerikan.
"Sayangnya tidak" jawab Inha dengan tatapan nyalang.
"Bagus, karena aku ingin mendengarnya berteriak kesakitan"
Seketika itu Inha berteriak nyaring merasakan dua peluru di tubuhnya yang semakin masuk mengoyak dagingnya. Ia tidak mengerti kenapa peluru itu malah masuk semakin dalam. Padahal iapun sama sekali tidak bisa menyentuhnya.
Gadis manusia itu hanya tidak tahu bahwa Seokjinlah yang menggerakkan peluru itu. Ia tidak tahu bahwa pria mantan targetnya ini adalah seorang magnetron yang bisa menggerakkan peluru kemanapun arah yang diinginkannya. Seperti sekarang ini, ia membuat kedua peluru dalam tubuh Inha bergerak semakin masuk menembus tubuhnya. Membuat darah yeoja vampire hunter itu muncrat kemana-mana.
Setelah itu Seokjin mengarahkan kedua peluru yang berlumur darah itu pada kedua kaki Inha. Masuk perlahan-lahan hingga menembus dagingnya. Inha semakin meraung keras mendapat 4 lubang peluru pada tubuhnya.
Namja yang telah menyandang status duda itu terus menyiksa Inha dengan terus membuat lubang-lubang luka di sekujur tubuhnya. Lantai penjara telah menjadi lautan darah merah sekarang. Dan gadis tahanan itu terlihat semakin berantakan. Keringat dingin bercampur darah melekat di kulit Inha, ditambah pula dengan bekas muntahan di bajunya.
Tiba-tiba Seokjin bangkit dari kursi. "Apakah rasanya sangat sakit?" Tanyanya dengan ekspresi mengerikan.
"Kenapa kau tidak langsung membunuhku?!" Inha menyalak dengan garang, mengabaikan luka-lukanya.
"Sejujurnya aku ingin menyiksamu hingga kau mati. Tapi kau akan mati di tangan orang lain" dengan itu, Seokjin menghilang. Meninggalkan senyum mengerikan yang terpatri jelas dalam memori Inha.
???? Black Roses ????
Inha tidak tahu sudah berapa kali ia sadar dan pingsan. Yang ia tahu adalah rasa sakit di semua lukanya akan mengambil alih kesadarannya tak lama setelah ia membuka mata. Tak jarang Inha melihat seseorang yang menjaganya saat ia membuka mata. Kadang Sumin. Kadang Seokjin. Kadang seorang vampir kelewat putih.
Tapi kali ini tidak ada siapapun yang menjaganya. Tumben sekali. Andai kakinya tidak terluka dan lumpuh, Inha pasti akan menendang pintu besi penjara ini untuk kabur. Iapun merutuki ketidakberdayaannya.
Tak lama kemudian masuklah seseorang yang membuat Inha tersenyum senang. "Jungkook!"
Namja bergigi kelinci itu balas tersenyum tampan. Iapun berjalan menghampiri si gadis ikal.
"Jungkook tolong aku. Kumohon bebaskan aku" pinta Inha memelas.
Jungkook mengernyit. "Kenapa aku harus menolongmu, Noona?" Tanyanya dengan polos. "Bukankah sebenarnya kau ingin membunuhku?"
Inha langsung gugup. "Aku bahkan tidak bisa menggerakkan tubuhku, Kookie. Bagaimana bisa aku membunuhmu?"
Hanya gumaman tidak jelas jawaban Jungkook. Pria vampir itu perlahan berjalan ke belakang Inha. Ia merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan telinga si gadis. "Kudengar kau menyukaiku, Noona? Jadi kau pasti rela memberikan darahmu padaku, bukan?" Bisiknya disertai seringaian.
Yeoja Choi itu menegang. "Tidak, Jungkook. Jangan" katanya dengan takut.
Tapi Jungkook seolah tuli. Lidahnya telah terjulur untuk menjilati perpotongan leher Inha. Membasahi area itu sebelum menancapkan taringnya.
Inha berteriak ketakutan saat merasakan sesuatu yang tajam menembus kulit lehernya.
Dan ketika pria itu menghisap darah hangat Inha, ia bisa merasakan emosi gadis itu. Bahkan ia bisa melihat memorinya saat menelan cairan lengket itu.
Jungkook terlalu menikmati mangsanya hingga tidak menyadari bahwa Sumin dan Jimin juga berada disana. Tanpa membuang waktu lagi, Jimin bergabung bersama Jungkook.
Taring Jimin menancap di sisi leher Inha yang lain. Menghisapnya dengan rakus karena teringat semua perbuatan Inha pada dirinya dan juga Sumin.
Sementara itu Sumin hanya diam disana. Matanya memperhatikan Jungkook dan Jimin bergantian. Mata kedua vampir itu terlihat berpendar merah. Sedangkan Inha terlihat semakin pucat dengan teriakan yang semakin melemah.
Tepat ketika kulit Inha mengerut, gadis itu pingsan. Atau mati? Karena yang tersisa dari tubuhnya hanyalah tulang yang terbungkus kulit berkerut. Sesuai janjinya, Jimin benar-benar menghisap darah Inha hingga tubuh gadis itu mengering.
Sumin menatap Inha untuk terakhir kalinya. Kemudian ia berbalik dan pergi dari ruang tahanan itu. Mulai saat ini, tidak ada lagi Choi Inha dalam hati dan pikirannya. Begitu juga di dunia.
TBC
Tanda-tanda akan tamat (?)
With love, Astralian ????