"Untuk Jeon Jungkook, aku yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri" ucap Inha dengan senyum miring.
"....."
"Bersabarlah sedikit. Aku sedang mendekatinya. Choi Inha tidak akan gagal" Inha kembali mengulum senyum culas.
"....."
Beberapa saat kemudian, Inha mengatakan "Nde", lantas menutup telepon. Tapi gadis itu masih duduk disana sambil mengotak-atik smartphonenya.
Sumin tidak tahan lagi. Dia butuh penjelasan untuk otak penasarannya. Maka iapun masuk ke dapur.
Inha terlihat sangat terkejut dengan kedatangan Sumin. Ia langsung berdiri hingga kursi yang didudukinya terjungkal ke belakang. "Sumin? Sejak kapan kau disana?" Tanyanya gugup.
Dengan wajah datar, Sumin berjalan melewati Inha menuju kulkas. Ia mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke gelas. "Cukup lama untuk mendengar semuanya" Jawabnya santai. Meskipun sebenarnya ia ingin sekali memaki dan meneriaki sahabatnya itu.
Inha terbelalak. Dia gugup dan terlihat salah tingkah sendiri. Rahasianya telah terbongkar. Dia takut, Sumin akan marah karena ia telah main rahasia-rahasiaan seperti ini.
"Jadi, siapa yang bertelepon denganmu, Inha? Apakah Jun Myung?" tanya Sumin setelah menenggak separuh gelas air dinginnya.
Inha agak terkejut. Tidak menyangka bahwa itulah pertanyaan pertama yang Sumin lontarkan untuk membongkar rahasia terbesarnya. Padahal ia sudah siap mengantisipasi ceramahan Sumin terkait sahabat dan rahasia. "Bukan. Salah satu atasanku di organisasi".
Sumin memiringkan kepala. "Organisasi apa?"
"Organisasi pembasmi vampir" jawab Inha dengan senyum bangga.
Tentu saja Sumin terkejut. Tapi ia berusaha mengendalikan ekspresinya sebaik mungkin. Topeng -wajah datar- nya tidak boleh retak sekarang. Dia tidak boleh menunjukkan ekspresi aslinya sekarang. Belum. "Kau menjadi anggota? Sejak kapan?"
Inha mengerutkan kening, mengingat-ingat. "5-6 tahun mungkin"
Sumin berhitung dalam hati. 6 tahun itu kira-kira saat mereka masih berada di tahun terakhir SMP. Lama sekali.
Mau tidak mau, Sumin merasa salut pada Inha yang sanggup menyimpan rahasia ini darinya selama bertahun-tahun. Bahkan sahabatnya itu tidak pernah kelepasan bicara yang bisa membuat Sumin curiga. Sungguh hebat!
Tapi disisi lain, Sumin juga merasa semakin marah. Marah karena Inha telah menyembunyikan kebenaran darinya. Padahal selama ini Sumin tidak pernah menyembunyikan apapun dari Inha. Sumin pasti akan menceritakan masalahnya pada Inha. Meskipun butuh waktu lama bagi Sumin untuk benar-benar menumpahkan ceritanya pada Inha, tapi ia tidak pernah menutupi apapun. "Kalau begitu kau juga tahu tentang Jimin dan keluarganya sejak lama?"
Inha mengangguk. "Sejak awal, aku masuk ke organisasi memang berniat untuk menyelidiki pelaku pembunuhan eommamu. Karena kitapun tahu, kematian eommamu tidaklah wajar. Sudah pasti bukan manusia pelakunya. Saat itu, mudah saja bagiku untuk mengetahui pelakunya. Karena mereka menyediakan informasi yang tidak terbatas tentang vampir yang tinggal di negara ini. Eommanya Jimin membunuh eommamu hanya karena cemburu" jelas Inha diakhiri dengan dengusan.
"Setelah itu dia bertengkar dengan suaminya hingga pergi membawa anak bungsunya. Organisasi juga mencarinya. Tapi sampai saat inipun, keberadaannya masih belum diketahui." lanjut Inha dengan serius.
"Kemudian saat kau pindah kesini, aku mendapat tugas untuk membasmi 2 orang vampir" Inha tersenyum misterius.
Tapi Sumin sudah tahu, nama siapa yang akan sahabatnya itu sebutkan. Tanpa sadar, Sumin menahan nafasnya.
Inhapun seolah tahu bahwa Sumin sudah menebaknya. Gadis bermarga Choi itu mengangguk. "Park Jimin dan Jeon Jungkook"
Sumin terbelalak. Dia sudah menyangkanya. Tapi tetap saja, mendengarnya secara langsung dari bibir Inha membuatnya terkesiap.
"Dan saat aku membaca data diri Jimin, aku baru sadar bahwa dia adalah anak sulung wanita itu. Makadari itu aku mendekatkan kalian berdua" Inha kembali tersenyum bangga. Seolah Sumin akan berterima kasih padanya atas usahanya.
Sumin mengangkat sebelah alis. "Mendekatkan kami dengan surat ancaman" bukan pertanyaan. Tapi sebuah tuduhan yang menyakitkan untuk hati Inha.
"Kenapa kau sampai harus melakukan hal itu, Inha? Terlalu sulitkah bagimu untuk mengatakannya secara langsung padaku?" wajah Sumin memang masih datar. Tapi suaranya sarat akan kepedihan dan kekecewaan.
Gadis yang lebih pendek itu gelagapan. Senyumnya telah hilang. "Bukan begitu, Sumin ah. Aku hanya ingin agar kau mengetahuinya sendiri"
"Dengan cara menyakitiku? Mencelakaiku? Apakah tidak ada cara lain, Inha? Aku bahkan berkali-kali hampir mati!" pekik Sumin diakhir kalimat.
"Sumin, aku melakukan itu semua agar kau dan Jimin semakin dekat"
"Tapi kau berusaha membunuhku, Inha!" sentak Sumin. "Sahabat macam apa kau yang menyakiti sahabatnya sendiri?!"
"Aku tidak berniat menyakitimu, Sumin. Lagipula Jimin pasti akan menyelamatkanmu" jelas Inha yang berusaha meyakinkan Sumin.
"Aku melakukannya agar Jimin meletakkan hatinya padamu sehingga ia mau menceritakan tentang jati dirinya. Dengan begitu kau bisa membalaskan dendammu" lanjut Inha.
"Inha, kau telah mengaduk-aduk perasaanku!" teriak Sumin sambil membanting gelas di tangannya ke meja. Gelas itu pecah berantakan. Sedangkan isinya muncrat kemana-mana.
Inha refleks berjengit kaget. Jika sudah seperti ini, Sumin pastilah sangat marah.
"Kau membuat kami saling jatuh cinta! Bahkan kau mendukung hubungan kami! Lalu kau memanfaatkan dendamku untuk membunuh Jimin yang seharusnya menjadi tugasmu! Kau membuatku membencinya! Dan sekarang kau membuatku menyesal, Inha!!" Raung Sumin yang tidak lagi bisa membendung amarahnya.
"Padahal seharusnya yang kubunuh adalah eommanya, bukan Jimin!" lanjut Sumin dengan tatapan nyalang.
"Apa bedanya, Sumin? Jimin adalah anaknya. Darah wanita itu mengalir di dalam tubuh Jimin. Darah seorang pembunuh. Jika kau tidak lebih dulu membunuh Jimin, kemungkinan besar Jimin yang akan membunuhmu suatu saat nanti" jelas Inha penuh penekanan.
"Jimin tidak seperti itu!!" jerit Sumin kesal.
Suara Inha masih lembut meskipun selalu penuh penekanan. "Sumin ah, aku hanya ingin membantumu membalaskan kematian eommamu. Aku berusaha membuatkan jalan untukmu melakukannya." matanya berkaca-kaca. Kenapa rasanya sulit sekali membuat Sumin mengerti?
"Tapi kau melakukannya dengan cara yang salah!" Sumin kembali memekik. Ia mendekati Inha dengan kaki dihentakkan. Kemudian gadis bersurai coklat madu itu mencengkram kedua lengan atas sahabat di hadapannya.
"Sekarang katakan padaku, Choi Inha!" kali ini Sumin tidak berteriak. Tapi perintahnya terasa tegas. "Apakah Jun Myung juga merupakan anggota organisasimu itu?"
"Bukan" Inha menggeleng dengan sungguh. "Dia tidak tahu apa-apa tentang vampir maupun organisasi. Tapi perasaannya padamu semakin melancarkan rencanaku untuk membuktikan kepadamu bahwa Jimin adalah seorang monster"
"Itu berarti kau menjadikannya umpan, Inha!" raung Sumin tepat di depan wajah Inha.
Membuat Inha takut hingga air matanya meleleh. Inha bahkan sampai memejamkan mata dan menundukkan kepalanya.
"Kau membuat Jun Myung hampir mati lemas karena kekurangan darah!" lanjut Sumin.
Inha memberanikan dirinya untuk menatap gadis yang lebih tinggi darinya itu. "Itu sebabnya aku melakukan semua ini, Sumin. Untuk menyadarkanmu! Bahwa Jimin bisa membunuh siapapun jika dia mau! Dia tidak ada bedanya dengan eommanya!"
"Kau tidak tahu apapun tentang Jimin, Inha! Kau tidak berhak untuk menghakiminya!" jelas saja Sumin sakit hati saat Inha terus saja mengatai kekasihnya. Meskipun perilakunya sendiri jauh lebih kejam jika dibandingkan dengan hanya sekadar mengatai.
Inha mendengus. "Dia adalah monster, Sumin! Kau bahkan tahu sekejam apa mereka pada manusia! Kau melihat Jimin yang menghisap darah Jun Myung hingga temanku itu hampir mati lemas! Kau bahkan menyaksikan kematian eommamu di depan matamu sendiri! Padahal kau telah membunuh Jimin, tapi kenapa kau masih saja membelanya?!" teriak Inha frustasi.
"Karena dia bukan seorang monster seperti apa yang kau pikirkan, Inha! Dia menyayangiku, dia melindungiku! Kaulah monsternya! Karena kau malah berusaha untuk membunuhku!" teriak Sumin dengan menunjuk-nunjuk Inha dengan jari telunjuknya.
Inha sangat terkejut dan sangat sakit hati dengan perkataan Sumin. Bagaimana bisa sahabatnya tega mengatai dirinya sebagai seorang monster? Hal itu sukses membuat air mata Inha semakin deras mengalir.
"Jawab pertanyaanku!" perintah Sumin dengan tegas sambil kembali mencengkram kedua lengan atas gadis berambut sedikit ikal itu. "Apakah perampok yang menusuk perutku juga adalah anggota organisasi sialanmu itu?"
Inha terbelalak. Tidak menyangka bahwa Sumin bisa menebaknya. Inhapun mengangguk. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kebenaran dari Sumin.
Sumin terlihat semakin marah. Tangannya mencengkram lengan atas Inha semakin erat. Inhapun merintih kesakitan karenanya.
Sumin mendorong Inha. Membuat gadis yang menangis tersedu itu terhuyung ke belakang. "Inilah buktinya bahwa kau adalah seorang monster, Inha!" Sumin kembali meraung.
"Kau menyuruhnya untuk melukaiku! Untuk melukai sahabatmu sendiri! Kau tahu, aku hampir mati kekurangan darah karena rencana konyolmu itu!" air mata Sumin mulai turun.
"Apakah seperti ini yang dinamakan sahabat, Inha? Menurutku bukan. Kau pasti tidak menganggapku sebagai sahabatmu. Makadari itu kau bisa dengan tega melukaiku, berusaha membunuhku. Memanfaatkan dendamku untuk menuntaskan tugasmu. Kau bahkan memanfaatkan perasaan Jun Myung padaku. Padahal dia tidak tahu apapun, tapi kau menyeretnya ke dalam rencana setanmu itu. Kau menjadikannya umpan untuk rasa cemburu Jimin yang kemudian memunculkan sisi vampirnya." ucap Sumin yang tidak lagi meraung-raung.
Suara Sumin terdengar sangat sedih dan kecewa. "Aku dan Jun Myung tidak lain adalah pionmu. Pion yang kau gerakkan sesuka hatimu, agar rencanamu terlaksana dengan sempurna. Pion Jun Myung kau gunakan sebagai umpan, dan akulah yang menuntaskannya dengan membunuh Jimin." lanjut Sumin dengan berurai air mata.
"Kau memanfaatkan semua orang dengan otak licikmu! Jadi kaulah yang lebih pantas disebut monster daripada para vampir itu!" suara Sumin kembali meninggi.
"Sumin, aku melakukan semua ini demi kau" ucap Inha disela isakannya. "Aku masuk ke organisasi demi membantumu balas dendam. Semua ini kulakukan demi dirimu. Aku tahu betapa sedihnya kau ketika eommamu meninggal. Dan kau lebih sedih lagi saat kau memiliki eomma baru. Aku mengerti perasaanmu. Aku menyayangimu, Su-"
"Kau tidak mengerti, Inha!" potong Sumin. "Karena kau tidak pernah mengalaminya! Jadi hentikan omong kosongmu itu!" air mata Sumin telah menguap. Tatapannya kembali nyalang penuh amarah.
"Kau tidak menyayangiku! Karena kau telah berkali-kali mencoba membunuhku! Tidak ada sahabat yang menyakiti sahabatnya sendiri, Choi Inha! Kau bukan sahabatku!"
Mendengar itu, Inha semakin menangis tersedu-sedu. "Aku menyayangimu, Sumin. Aku menyayangimu. Kau satu-satunya sahabat yang kupunya. Kumohon maafkan aku. Aku melakukan ini semua demi dirimu. Ini bukan murni rencanaku" ucap Inha denhan tangisnya, sambil meraih kedua tangan Sumin dan menggenggamnya.
"Kau bahkan menyimpan rahasia dariku, Inha! Kau tidak mempercayaiku untuk berbagi rahasia terbesarmu! Sudah jelas bahwa aku hanyalah pionmu! Bukan sahabatmu!" tatapan Sumin sangat sendu. "Aku kecewa padamu, Inha. Kau telah mengkhianatiku"
"Tidak, tidak. Bukan seperti itu, Sumin" racau Inha sambil memeluk Sumin. "Kumohon jangan berkata seperti itu. Maafkan aku"
Racauan kata maaf dari mulut Inha, sama sekali tidak mempengaruhi Sumin. Dia tidak lagi percaya pada gadis di hadapannya ini. Semua hanya omong kosong untuknya. Tidak layak didengarkan, apalagi dipercaya.
Sumin mendorong tubuh Inha. "Cukup! Hentikan, Inha! Aku muak dengan kata maafmu!"
"Sumin maafkan aku" bersamaan dengan kata itu, Inha merosot ke lantai. Dia berlutut di hadapan Sumin. "Kumohon. Kumohon maafkan aku"
Sumin mundur selangkah. "Tidak seharusnya seorang monster memohon-mohon pada pionnya sendiri" ucap Sumin dingin.
"Sumin" Inha terisak-isak dan bersujud, berniat untuk mencium kaki Sumin. "Kumohon maafkan aku"
Gadis bermarga Baek itu kembali melangkah mundur untuk menghindari apa yang akan Inha lakukan. "Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari rumahku sekarang juga! Kau bukan sahabatku" kemudian Sumin beranjak pergi melewati Inha.
Tangis Inha semakin keras. Dia bahkan masih bersujud disana. Tubuh dan hatinya terlalu berduka atas kepergian Sumin.
Dia sungguh tidak menyangka akan jadi seperti ini. Dia pikir Sumin akan menerima penjelasannya. Bukannya malah lebih membela para vampir itu.
Bukankah Sumin telah membunuh Jimin? Itu artinya Sumin membenci Jimin kan? Lalu kenapa ia masih juga membelanya? "Maafkan aku, Sumin. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf" racaunya.
???? Black Roses ????
Sementara itu, Sumin langsung berlari masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Dia mengerjap. Kini ia baru menyadari pandangannya yang bebercak-bercak. Matanya juga terasa luar biasa sakit hingga menjalar ke tempurung kepalanya. Ini pasti karena Sumin terlalu lama berada di ruangan dengan cahaya lampu di sudut matanya tadi.
Dia tidak tahu sejak kapan air matanya meluncur lagi. Air mata yang disebabkan oleh kepedihan karena dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Karena pertengkaran mereka. Karena rencana licik Inha yang tidak ia pahami.
Karena perasaan menyesal atas kematian Jimin di tangannya. Karena kehilangan satu-satunya orang yang mencintainya secara tulus. Karena kehilangan sosok sahabat yang telah berubah menjadi monster berhati dingin. Semua itu membuat Sumin semakin menangis tersedu-sedu.
Dadanya terasa sangat sesak. Seolah semua masalahnya menghimpit dadanya dari arah depan maupun belakang.
Sumin menyandarkan punggungnya ke pintu. Perlahan tubuhnya merosot. Kakinya terasa seperti jelly gembur yang tidak sanggup menahan bobot tubuhnya.
Demi apapun! Sumin sangat menyayangi Inha!
Inha bukan hanya seorang sahabat untuknya. Tapi sudah ia anggap sebagai saudara.
Keluarga Sumin sangat berantakan. Dan hanya Inha yang ia miliki saat itu. Hanya
Inha yang mampu membuatnya kembali tertawa. Hanya pelukan Inha yang mampu menenangkannya. Hanya tingkah menyebalkan Inha yang membuat Sumin merasa bahwa ia tidak sendirian. Sungguh hanya Inha yang ia miliki.
Tidak pernah terbayangkan sedikitpun di otak udangnya bahwa Inha akan melakukan hal seperti ini. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa Inha akan melukainya. Bahkan hingga mengancam keselamatan nyawanya.
Meskipun dia mengatakan bahwa semua ini ia lakukan demi Sumin, tapi tetap saja Inha mencelakainya.
Kenapa harus dengan cara seperti itu?
Kenapa Inha tidak langsung mengatakannya saja pada Sumin?
Agar Sumin mengetahuinya sendiri?
Memangnya kenapa jika Sumin mengetahuinya melalui Inha?
Bukankah hal itu lebih mudah?
Mereka jadi tidak perlu bertengkar seperti ini kan?
Sumin sungguh ingin meluapkan segalanya. Menceritakan semua masalahnya. Tapi kini ia tidak memiliki siapapun lagi. Beberapa jam lalu, ia telah kehilangan kekasihnya, Jimin.
Sekarang ia telah kehilangan sahabatnya, Inha.
Sumin benar-benar merasa sendirian sekarang. Dia tidak memiliki tempat untuk berbagi keluh kesahnya lagi. Dia tidak memiliki bahu untuk tempat bersandar lagi.
Semua orang telah pergi meninggalkannya dalam jurang kegelapan yang terlampau dalam. Hingga ia tidak memiliki kesempatan untuk menolong dirinya sendiri, apalagi diselamatkan oleh orang lain.
Samar-samar, Sumin mendengar langkah kaki yang semakin mendekat. Dia tahu, bahwa itu pastilah Inha. Suminpun segera membekap mulutnya sendiri agar tidak ada satu isakanpun yang lolos dari bibirnya.
Langkah kaki itu berhenti di balik pintu kamar Sumin. Dan suara isakan terdengar menyusul. "Sumin ah?" panggil Inha takut-takut.
"Aku mengerti kau tidak mau melihatku lagi. Tapi kuharap kau masih mau mendengarkanku." Inha terdengar menghela nafas.
"Aku sungguh minta maaf, Sumin. Aku sama sekali tidak ingin kau terluka. Tapi, tapi, aku memang salah. Harusnya aku membantah mereka. Harusnya aku tidak mengikuti perintah. Tapi aku juga tidak bisa menghapus kesempatan bagimu untuk membalas dendam. Kupikir ini satu-satunya jalan agar dendammu terbalaskan. Sungguh maafkan aku"
"Aku tidak pernah mengatakan tentang organisasi, karena aku tidak ingin kau mendapat tugas aneh sepertiku. Aku tidak ingin kau menjadi pembunuh sepertiku. Cukup sekali saja kau membunuh, itupun untuk menebus kematian eommamu. Cukup sekali itu saja. Jangan sampai kau menjadi seorang monster yang membunuh para monster sepertiku. Terima kasih telah menyadarkan siapa diriku sebenarnya, Sumin. Aku menyayangimu." isakan Inha terdengar semakin keras.
"Maaf" lirihnya. Meskipun begitu, Sumin masih bisa mendengarnya.
"Selamat tinggal" ucap Inha seperti tesedak batu.
Tangisan Inha mengiringi langkah kakinya yang semakin menjauh.
Sumin melepas bekapan mulutnya. Air matanya telah mengering. Dia merasa hampa.
Sungguh Sumin tidak percaya dengan apa yang barusan Inha katakan. Terlalu sulit dipercaya jika membandingkannya dengan ekspresi culasnya saat bertelepon tadi.
Sumin masih ingat dengan jelas ekspresi Inha saat mengatakan tentang kematian Jimin.
Saat mengatakan tentang rencananya mendekatkan Sumin dan Jimin yang berujung maut.
Saat mengatakan tentang biatnya untuk mengajak Sumin bergabung ke organisasi.
Saat mengatakan tentang rencananya untuk membunuh Jungkook.
Tunggu.
Jadi target Inha selanjutnya adalah Jungkook?
Jungkook dalam bahaya!
Sumin harus menyelamatkannya!
Dia harus menyelamatkannya, untuk menebus kesalahannya pada Jimin. Dia tidak mau orang terakhir yang ia sayangi mati juga.
Pemikiran itu membuat Sumin segera bangkit dan memakai mantelnya. Tapi saat ia akan membuka pintu, dia ragu-ragu.
Bagaimana jika nanti ia berpapasan dengan Inha? Atau bahkan gadis itu masih berkeliaran di dalam rumahnya?
Sumin menggigit bibir cemas. Jika dia mengambil resiko berpapasan dengan Inha, bagaimana jika gadis pendek itu mengetahui bahwa Sumin akan menyelamatkan Jungkook?
Tidak.
Inha tidak boleh mengetahuinya.
Sumin memejamkan mata frustasi. Tapi tiba-tiba matanya terbelalak karena teringat sesuatu.
Bodoh!
Dia kan bisa berteleportasi!
Suminpun segera memejamkan matanya sambil membayangkan kamar Jimin dengan sedetail-detailnya.
"Sumin noona?" sapa suara heran Jungkook yang membuat Sumin segera membuka mata.
Sumin telah sampai di kamar Jimin. Jungkook terlihat sedang memilih-milih mawar hitam pemberian Sumin tadi. Sedangkan Jimin, pria itu terlihat sama seperti saat terakhir Sumin melihatnya.
"Ada apa, noona? Kenapa kau kembali?" tanya Jungkook dengan kepala dimiringkan.
Sumin berlari menghampiri Jungkook yang berdiri di dekat ranjang. Dengan panik, Sumin mencengkram lengan lelaki bergigi kelinci di hadapannya. "Selamatkan dirimu, Jungkook! Inha akan membunuhmu!"
Jungkook ternganga. "Kenapa Inha noona ingin membunuhku? Memangnya apa salahku? Aku kan tidak membunuhmu, noona." Jungkook mengerjap-ngerjapkan mata lebarnya dengan bingung. "Atau jangan-jangan Inha noona hanya sedang bercanda saja?" lanjutnya sambil terkekeh.
"Tidak. Dia serius." jawab Sumin dengan horor. "Bukan karena balas dendam juga. Tapi karena dia adalah anggota organisasi pembasmi vampir"
Wajah Jungkook ikut menjadi horor. "Tidak mungkin" lirihnya.
TBC
Ada yang nangis waktu baca Sumin-Inha diatas? ????
Apa yg bakal kalian lakuin kalo punya sahabat kayak Inha? ????
With love, Astralian ????