Bosan melihat pemandangan di luar, Zee ingat jika ia membawa sebuah buku yang memang sengaja dibawanya untuk menemani perjalanannya. Agar tidak sia-sia, ia pun segera mengeluarkan buku tersebut dari tas kecil yang tidak ia taruh di kabin.
Sebuah buku dengan cover seorang wanita yang berpose seperti yang Zee lakukan beberapa saat yang lalu--menatap kosong ke arah apapun itu yang berada di luar jendela--terpampang di bawah sebuah tulisan indah bertuliskan Just One Day karya Gayle Forman.
Zee memegang buku tersebut tanpa membukanya terlebih dahulu, ia pun membaca dengan seksama tulisan nama penulis favoritnya itu yang terukir jelas pada bagian atas cover buku tersebut. Ia mencintai karya Gayle Forman seperti ia mencintai masa lalunya--masa lalu yang berusaha ditinggalkannya, dilupakannya. Namun, tidak dengan karya Forman ini. Meskipun ia sangat ingin melupakan masa lalunya, tetapi ia tidak ingin melupakan karya Forman. Ia akan terus membawanya dan membacanya dimanapun, selagi ia memiliki waktu luang--seperti saat ini.
Karya Gayle Forman yang pertama kali ia nikmati adalah If I Stay. Saat itu, hidupnya adalah yang paling bahagia, dengan orang itu yang menemaninya menonton film yang berasal dari kisah pada novel Forman. Setelah menonton film itu, Zee yang pada dasarnya menyukai novel mulai mencari tahu tentang karya-karya Gayle Forman yang lain, kemudian Zee pun tenggelam pada kelanjutan kisah yang mempermainkan perasaan tentang Mia Hall dan Adam Wilde dalam Where She Went, lalu hanyut dalam karya Forman lainnya dengan tokoh dan setting yang berbeda, tetapi tetap dalam format novel bersambung--yaitu seri Just One Day ini.
Kembali pada novel di tangannya, Zee mulai membuka halaman dimana Gayle menceritakan perjalanan tak terduga Allyson di kereta bersama seseorang yang baru dikenalnya, yaitu Willem.
Just One Day, Just One Night, dan Just One Year--uhm, bisa dibilang karya Forman kali ini semacam trilogi--adalah karya yang sangat Zee sukai. Ia sudah membaca buku ini berkali-kali, tetapi ia tidak pernah bosan membacanya. Ia sangat menyukai karakter Willem yang misterius, penuh kejutan, penuh tantangan, Willem yang menguras emosi, Willem yang entah kenapa secara kebetulan bisa menjadi penggemar Adam Wilde dari karya Forman yang lain--If I Stay, ya, film penuh kenangan itu--dan juga Willem yang dapat menaklukkan Allyson dalam waktu sehari.
Apakah jika orang itu tidak pergi--if he stays--keadaan tidak akan berubah? Apakah justru Zee mendapatkan Willem-nya seperti kisah favoritnya itu setelah orang itu pergi?
***
Zee membuka matanya ketika ia merasakan gerakan pada kereta yang ditumpanginya berhenti. Merasa ada alarm di tubuhnya yang memperingatkannya untuk bangun sebagai bentuk antisipasi agar ia tidak ketiduran ketika ia sampai di stasiun tujuannya, ia pun bangun dari tidurnya dan perlahan-lahan matanya menyesuaikan dengan cahaya yang masuk dari jendela di sebelahnya. Setelah menyesuaikan pandangannya, ia melirik sekilas ke arah jam yang berada di pergelangan tangannya.
12.30, ternyata aku baru tidur selama satu jam. Masih di stasiun Cirebon. Perjalanan masih jauh, rupanya.
Tanpa sadar, ternyata satu jam yang lalu ia ketiduran setelah membaca novel Just One Day-nya. Beruntung ia belum sampai, sehingga ia tidak perlu menyusahkan orang lain untuk membuatnya bangun agar segera meninggalkan kereta.
Suasana di dalam gerbong kereta saat ini ternyata jauh lebih ramai dibandingkan sebelum ia tidur tadi. Penumpang yang duduk di sebelahnya masih bermain kartu remi dengan serunya, tak jarang orang itu berbicara dalam bahasa Mandarin dengan teman-temannya yang lain. Entahlah, Zee tidak paham sepatah kata pun yang diucapkan turis itu. Lain halnya dengan penumpang yang duduk pada kursi di depannya. Sepertinya orang tersebut adalah seorang ibu yang berasal dari suatu negara di Eropa yang memiliki seorang anak balita dipangkuannya. Anak itu lucu sekali, tak jarang anak itu berceloteh tentang apa yang dilihatnya dari jendela dengan menggunakan bahasa Inggris.
Tidak terlalu berbeda dengan penumpang yang duduk di depannya, penumpang lain yang duduk di belakangnya sepertinya juga memiliki balita yang tidak berhenti mengoceh. Namun berbeda dengan balita berbahasa Inggris yang duduk di bangku depan, balita di belakangnya mengoceh dalam bahasa Jawa. Ketiga bahasa yang terdengar dengan sangat jelas di sekitar Zee kemudian berebut masuk ke dalam indera pendengarannya, membuat Zee lama-lama menjadi jengah dengan keramaian ini. Ingin rasanya ia kembali menyibukkan diri dengan buku Just One Day-nya, tetapi ia akan sulit menghayati dan tenggelam ke dalam dunia Allyson dan Willem dalam keadaan gerbong yang ramai seperti ini.
Tiba-tiba, Zee merasakan ada yang menyentuh bahunya pelan. Zee rasa, mungkin itu adalah tangan jahil dari balita berbahasa Jawa yang duduk di belakangnya tadi, maka dari itu ia tidak menghiraukan. Ia pun memilih untuk memasang earphone ke telinganya, menghalau kebisingan dari tiga bahasa di sekitarnya.
Suara lembut dari penyanyi Norwegia bernama Iselin Løken Solheim berkumandang memenuhi indera pendengarannya ketika ia sedang menikmati lagu Faded versi Restrung. Ia memilih lagu ini karena sebenarnya ia berharap dapat menghilang setelah mendengar lagu ini--atau lebih tepatnya, ia sedang dalam perjalanan menghilang dari kehidupan lamanya. Maka dari itu, ia merasa lagu ini cocok untuk keadaannya saat ini.
Suara piano dan biola pun beradu menjadi satu sampai-sampai membuatnya tidak sadar kalau sejak tadi ia masih merasakan ada yang menyentuh bahunya. Meninggalkan Iselin bersama musik hasil aransemen Alan Walker, Zee pun melepas earphone-nya dan menoleh ke arah sumber dimana ia merasakan sentuhan pada bahunya tadi. Ketika ia menoleh, betapa terkejutnya ia melihat laki-laki itu berdiri di lorong gerbongnya, berdiri tepat di sebelah bangkunya.