“Uhm, Zoella?”
Suara dari sosok yang tadi dilihatnya sontak mengagetkannya. Zee buru-buru menutup ponselnya agar orang dihadapannya tidak tahu bahwa Zee baru saja melihat foto dari orang tersebut.
“E-eh… i-iya… lo…” Zee memindai sosok dihadapannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Seorang pemuda seusianya berdiri tegap dengan tubuh tinggi yang mampu menghalangi sinar matahari yang menyorot wajah Zee. Kulit sawo matangnya sepertinya sudah terbiasa terpapar sinar matahari. Pemuda ini pun memilih warna pakaian yang senada dengan warna kulitnya, kaos hitam dengan jaket cokelat muda serta celana cokelat muda pun membalut tubuhnya, ditambah dengan topi cokelat yang mampu menghalau sinar matahari yang membuat silau pandangannya, pemuda ini sukses membuat Zee tergagap selama beberapa saat. Setelah beberapa kali memastikan, Zee yakin kalau pemuda ini adalah orang yang sama dengan salah satu anggota grup perantau yang mengajaknya chat beberapa hari yang lalu.
“Dipta.” Orang tersebut mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Zee. Zee yang masih kebingungan dan juga terkejut hanya bisa balas menjabat tangan orang tersebut dengan ragu.
"Panggil gue Zee aja," ujar Zee langsung memberitahukan lawan bicaranya tersebut. Sejujurnya, mengapa ia lebih nyaman dipanggil Zee adalah karena menurutnya nama Zoella terlalu bagus untuknya.
“Boleh duduk disini?” tanya Dipta sambil menunjuk kursi di sebelah Zee yang masih kosong.
“Ya… boleh, silahkan.” Lagipula, ini kursi tunggu umum, fasilitas dari pemerintah. Maka, siapapun tentu saja boleh duduk disana, dan Zee pun tidak berhak melarang siapapun untuk duduk disana, meskipun rasa canggung menyelimutinya.
“Disini lo tinggal di daerah apa?” Sekali lagi, Zee terkejut mendengar pertanyaan yang dikeluarkan Dipta. Dipta memang baru mengeluarkan pertanyaan secara langsung beberapa saat yang lalu, tetapi laki-laki ini juga pernah menanyakan seputar tempat tinggal sebelumnya kepada Zee ketika mereka chat sebelum berangkat hari ini. Come on, apakah laki-laki itu tidak sadar bahwa dia adalah laki-laki dan dia menanyakan seputar tempat tinggal wanita yang mana hal itu adalah hal vital, berbahaya, dan pribadi jika dikatakan kepada sembarang orang, khususnya orang baru? Tentu saja Zee tidak akan dengan mudahnya memberitahukan tempat tinggalnya kepada laki-laki yang baru dikenalnya. Ada apa sih dengan orang ini? Sebelumnya ketika mereka chat, laki-laki ini juga pernah bertanya tentang tempat tinggal Zee nanti ketika mereka sampai di kota tujuan mereka, dan sekarang laki-laki itu bertanya tentang tempat tinggal lamanya yang akan ditinggalkannya beberapa saat lagi.
Namun agar memberikan kesan sebagai kenalan baru yang baik, Zee pun berusaha menjawab pertanyaan dari Dipta, meskipun hanya jawaban singkat dan tidak terlalu detail. Zee berusaha mengumpulkan kenalan-kenalan baru selagi ia bisa, selain orang-orang baru itu yang mungkin saja akan membantunya bertahan hidup di kota baru nanti, mungkin saja orang-orang tersebut dapat membantunya melupakan masa lalunya, masa lalu yang berusaha ditinggalkannya.
“Jakarta Pusat,” jawab Zee pada akhirnya.
Mendengar jawaban dari Zee, spontan laki-laki itu menggeleng sambil menahan tawa.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Zee bingung melihat reaksi yang diperlihatkan laki-laki itu ketika mendengar jawaban Zee, seakan-akan orang seperti Zee tidak pantas untuk tinggal di pusat kota Jakarta.
“Nggak, sih… cuma… gue nggak habis pikir aja, tinggal di Jakarta Pusat tapi kok ke Gambir aja telat. Gue nggak bisa ngebayangin kalo misalnya nanti gue ngeliat lo bukan dari peron kayak tadi, tapi dari jendela kereta. Gue udah duduk manis di dalem kereta sementara lo cuma bisa berdiri mematung di peron sambil ngeliat kepergian gue beserta kereta yang harusnya lo naikin juga, hahaha. Ya… gue nggak bisa berbuat apa-apa sih kalo itu beneran terjadi tadi, mungkin gue cuma bisa lambai-lambai ke lo gitu sambil ngasih pesan selamat membeli tiket lagi, selamat menunggu kereta lagi!”
Sial, laki-laki ini ternyata tidak se-kalem yang terlihat. Baru beberapa saat bertemu secara langsung saja sudah berani mengejek Zee.
“Ih, ngebayanginnya jahat banget!” ujar Zee agak kesal dengan gurauan dari Dipta. Laki-laki itu tidak tahu saja bagaimana kesialan demi kesialan telah dilalui Zee sepanjang jalan menuju ke stasiun ini. Maka dari itu, agar laki-laki itu mengerti tentang alasan keterlambatannya, Zee pun menceritakannya kepada laki-laki itu, hitung-hitung mengisi waktu sambil menunggu kereta yang belum juga datang, agar suasana tidak canggung dan membosankan. Kemudian, kepingan-kepingan ceritanya hari ini ia rangkai untuk diperdengarkan kepada lelaki dengan setelan serba cokelat itu. Tepat ketika Zee menyelesaikan ceritanya, kereta yang sedari tadi mereka tunggu pun datang. Kedua orang yang baru saja bertemu itu pun berjalan berlainan arah. Zee berjalan ke arah kiri menuju gerbong 1, sementara Dipta berjalan ke arah kanan menuju gerbong 7.
Sebelum hari keberangkatannya ini, Zee dan Dipta memang sudah berbincang di aplikasi pengirim pesan mengenai jam keberangkatan dan kereta apa yang kedua orang itu masing-masing naiki--dan ternyata kereta yang mereka tumpangi adalah kereta yang sama. Namun, mereka membicarakan tentang hal tersebut setelah mereka membeli tiketnya masing-masing. Alhasil, meski tahu bahwa mereka akan menaiki kereta yang sama, tetapi mereka duduk di bangku yang berbeda, bahkan gerbong mereka terpisah sangat jauh.
Setelah Zee masuk ke dalam gerbongnya dan menemukan tempat duduk yang sesuai dengan nomor yang tertera pada tiketnya, Zee pun mulai menata barang-barang bawaannya ke dalam kabin.
Aduh, susah banget sih ini naruh tasnya. Zee menggerutu di dalam hati, berusaha berjinjit untuk mendorong tasnya agar dapat ditaruhnya dengan sempurna di kabin.
“Uhm… mas, bisa tolong saya taruh tas ini ke kabin?” Dengan berat hati, akhirnya Zee meminta pertolongan laki-laki yang menempati kursi di sebelahnya agar menolongnya menaruh tas yang dibawanya itu. Namun bukannya segera menolong Zee menaruh tas itu ke dalam kabin, orang yang dimintai tolong hanya diam sambil menatap Zee dengan pandangan bingung.
Melihat orang tersebut yang malah menatapnya dengan bingung tentu saja membuat Zee merasa bingung juga. Zee pun mengulang permintaannya dengan menambahkan gestur mendorong-dorong tasnya ke dalam kabin sehingga pada akhirnya orang yang dimintai tolong mengerti dengan maksud permintaan Zee barusan.
“Ooh, sure! I’ll help you!” Laki-laki yang lebih tinggi dari Zee itu kemudian membantu menaruh tas Zee dengan sekali dorong saja. Betapa mudahnya orang tersebut membantu Zee, tetapi sulit sekali untuk membuat laki-laki itu memahami maksud ucapan Zee beberapa saat yang lalu..
Setelah laki-laki itu menolong Zee, Zee tersenyum sambil mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris, kemudian ia pun duduk di kursinya. Setelah mereka duduk di bangkunya masing-masing, orang tersebut menunjukkan tiketnya sambil menanyakan dalam bahasa Inggris mengenai stasiun yang akan ia tuju.
“Oh, that’s one station before the last station,” jawab Zee singkat ketika melihat destinasi yang tertera pada tiket penumpang di sebelahnya, sementara laki-laki itu pun mengangguk sambil tersenyum tanda berterima kasih atas penjelasan dari Zee. Setelah percakapan singkat mereka tersebut, Zee baru sadar bahwa laki-laki di sebelahnya adalah turis asing. Zee pikir laki-laki tersebut memang orang Indonesia, atau setidaknya sudah lama tinggal di Indonesia. Memang laki-laki itu tidak memiliki paras seperti orang Indonesia pada umumnya, tetapi wajah Asia seperti yang dimiliki laki-laki itu lumayan sering terlihat di beberapa daerah di Indonesia, sehingga Zee pikir laki-laki itu bisa berbahasa Indonesia. Namun Zee baru yakin kalau orang di sebelahnya itu adalah turis asing karena orang tersebut berbicara dalam bahasa Inggris kepada Zee beberapa saat yang lalu, kemudian berbicara dalam bahasa Mandarin kepada sekelompok pemuda yang duduk berhadapan di baris sebelah--mungkin itu teman-temannya, karena setelah itu turis yang duduk di sebelah Zee ikut bermain kartu remi bersama empat turis berbahasa Mandarin yang duduk di baris sebelah itu.
Zee menguap, tidak tahu harus melakukan apa di dalam perjalanan yang akan menghabiskan waktu kurang lebih delapan jam ini. Akhirnya, ia hanya menatap pemandangan di luar kereta melalui jendela di sebelahnya, lalu ia melihat sebuah papan bertuliskan ‘Cikampek’ terpampang beberapa saat yang lalu.
Ah, perjalanan masih lama.