“Lo… ngapain kesini?” Tanya Gemma yang masih terkejut dengan kehadiran laki-laki itu di gerbongnya.
“Mau makan, gak? Udah jam makan siang, nih.” Benar juga, perut Gemma mulai merasa lapar. Mau tak mau ia harus mengisi perutnya.
“Boleh, tapi makan dimana…”
“Di gerbong restorasi, lah.” Laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah pintu gerbong yang menghubungkan dengan gerbong lainnya.
Dasar orang iseng, niat banget nyamperin kesini padahal gerbongnya dari ujung ke ujung.
Tapi kalau dipikir-pikir, ajakan Dipta ada benarnya. Gemma memang jarang jalan-jalan ke gerbong-gerbong lain ketika sedang berada di kereta. Ia lebih memilih duduk diam sampai petugas yang menjual makanan datang ke gerbongnya. Jadi, makan di restorasi tidak pernah terlintas di benak Gemma. Gemma pun mulai mempertimbangkan ajakan Dipta. Ini adalah perjalanan menuju kehidupannya yang baru, maka dari itu ia pun juga harus mencoba hal baru, contohnya mencoba makan di gerbong restorasi bersama orang baru ini. Akhirnya, Gemma pun mengiyakan ajakan dari Dipta. Merealisasikan keputusan yang diambilnya, akhirnya Gemma pun memberanikan diri mengganggu permainan turis yang duduk disebelahnya selama beberapa detik, kemudian ia berhasil melewati turis itu dan keluar dari gerbongnya.
“Sumpah, lo iseng banget nyamperin gue. Gerbong lo kan paling belakang sementara gerbong gue paling depan. Lagian kalo mau ngajak makan aja kan bisa chat, nambah-nambahin kerjaan aja nyamperin gue segala.” Ujar Gemma yang berjalan di belakang Dipta, berusaha menstabilkan langkahnya ketika sedang melalui gerbong-gerbong yang berguncang ringan.
Laki-laki itu memimpin jalan menyusuri gerbong, sementara Gemma mengikuti dari belakang sambil menghindari tatapan-tatapan menyeramkan dari penumpang gerbong yang dilewatinya yang entah mengapa melihat Gemma dengan tatapan sinis seolah ia baru saja mengusik ketenangan penumpang kelas terbaik PT KAI.
Dipta membuka pintu gerbong entah yang keberapa--mungkin empat atau lima, yang pasti gerbong tersebut terletak di bagian tengah kereta, sehingga tidak terlalu jauh untuk dijangkau oleh penumpang gerbong bagian depan maupun belakang.
“Tadinya gue cuma mau explore gerbong kereta ini--jalan-jalan--maklum, gue gabut. Ternyata setiap gerbong model kursinya beda-beda, ya. Begitu juga dengan model kabin dan jendelanya. Setelah gue melakukan observasi dari ujung ke ujung, kayaknya gerbong lo deh yang paling enak dan nyaman.” Jawab Dipta sambil mengikuti Gemma yang telah memilih meja yang terletak di dekat pintu masuk gerbong restorasi, satu-satunya meja kosong diantara meja-meja lain yang telah terisi. Suasana gerbong restorasi saat ini sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh dengan keadaan gerbongnya yang ramai, tetapi saat ini keadaannya lebih baik, karena Gemma tidak harus merasa jengah karena hanya bisa berdiam diri sementara yang lain bercakap-cakap. Kali ini, ia bersyukur karena sempat berkenalan dengan laki-laki ini sebelumnya, karena akan sangat membosankan jika ia benar-benar sendirian tanpa ada seseorang yang dikenalnya. Meski mereka sudah berkenalan secara tidak langsung, rasanya masih agak canggung ketika mereka mengobrol, apalagi jika Gemma tak mengenal satupun orang disini dan ia mencoba untuk mengajak mengobrol seseorang secara random di dalam kereta ini, kan? Pasti rasanya lebih tidak nyaman.
“Huuu, dasar! Rumput tetangganya kayaknya selalu lebih hijau dari rumput sendiri, ya?” Tanggap Gemma, sementara Dipta hanya terkekeh mendengar tanggapan dari teman barunya itu.
“Beneran! Lo harus liat gerbong gue! Mengenaskan!” Dipta memasang ekspresi semeyakinkan mungkin agar Gemma percaya dengan apa yang dideritanya.
“Oke, oke… abis ini lo harus tunjukkin gerbong lo. Gue pengen tau seberapa mengenaskannya gerbong itu.” Gemma menjadi penasaran dengan keadaan gerbong dimana Dipta duduk. Bagaimanapun juga, mereka berada di dalam kereta dengan kelas terbaik saat ini. Jadi semenderitanya gerbong Dipta tersebut, pasti masih lebih baik dibandingkan dengan kereta kelas lainnya.
“Oh ya, gue mau mesen, nih. Lo mau sekalian gue pesenin, gak?” Tawar Dipta sambil beranjak dari tempat duduknya kemudian diiringi dengan anggukan Gemma.
“Mau gue pesenin apa?” Tanya Dipta lagi. Sejujurnya, Gemma tidak tahu mau makan apa, ia bahkan tidak tahu apa saja menunya.
“Terserah, samain aja sama lo.” Gemma menjawab dengan pasrah untuk mempercepat proses pesan-memesan, sementara yang dititipi pesanan hanya mendengus.
“Dasar cewek, jawaban standarnya ‘terserah’ terus. Jadi kalo gue mau pesen minum kopi item lo juga mau pesen itu?” Mendengar minuman yang sangat tidak disukainya disebut, Gemma memekik pelan untuk menahan tindakan Dipta yang bersiap untuk memesan.
“Eittt... tunggu!!! Jangan, jangan, jangan! Cokelat hangat aja, oke.…” Secepat mungkin Gemma langsung menentukan pilihan untuk dirinya sendiri demi mencegah pesanan Dipta untuk dirinya.
“Nah, gitu dong! Jadi cewek tuh harus punya pendirian, jangan cuma ikut-ikut aja.” Kini, giliran si perempuan yang mendengus dengan dongkol.
Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, Dipta kembali dengan tumpukan makanan dan dua gelas minuman yang diambilnya kemudian setelah ia menaruh makanan tersebut ke atas meja mereka.
Setelah Gemma menyesap cokelat hangat yang baru diantarkan Dipta, laki-laki itu pun mencoba membuka pembicaraan.
“Mendingan disini, kan? Lo gak perlu pusing dengerin turis mancanegara itu ngoceh.”
Well, itu gak sepenuhnya tepat, sih. Gemma mengedarkan pandangannya dari pemandangan di luar kereta ke arah setiap sudut gerbong restorasi tempatnya berada. Disini masih banyak penumpang yang makan siang, dan sebagian besar adalah turis asing. Jadi sebenarnya tidak ada bedanya juga dengan gerbong asalnya.
“Setidaknya ada orang berbahasa Indonesia yang bisa gue ajak ngobrol sekarang.” Jawab Gemma akhirnya yang kemudian ditanggapi oleh tawa dari Dipta.
“Omong-omong, kenapa lo milih untuk pindah?” Tanya Gemma tiba-tiba. Habis, tidak ada percakapan lagi setelah Gemma menanggapi ucapan Dipta tadi. Gemma tidak mau jika mereka berdua hanya makan dalam diam dan berhadapan tetapi tidak membahas apapun, hal itu membuatnya merasa semakin canggung. Gemma memang biasa merasa seperti ini ketika ia baru beradaptasi dengan orang baru. Pribadinya yang cukup tertutup dan menjaga agar tetap di dalam zona aman membuatnya hanya bergaul dengan orang-orang di dalam lingkarannya saja, ia jarang mencoba untuk keluar dari zona nyamannya dan berkenalan dengan orang baru seperti saat ini. Maka dari itu, untuk menghilangkan rasa canggungnya, ia perlu berbicara, karena biasanya suasana akan mengalir dengan mudahnya apabila Gemma sudah terhanyut dalam sebuah pembicaraan.
“Pengen coba peruntungan. Lo?” Begitu sederhana jawaban dari Dipta, sampai-sampai Gemma tak sadar kalau lelaki itu balik bertanya kepadanya.
“Uh, eh, gue? Gue… ya… mau nyari suasana baru aja. Jakarta sumpek, macet. Omong-omong, maksudnya nyari peruntungan tuh gimana, ya? Bukannya biasanya orang nyari peruntungan di Jakarta? Sebelumnya kan lo udah tinggal di Jakarta, kok sekarang malah mau pindah?” Sebenarnya, pertanyaan yang diajukan Dipta tadi sangatlah sederhana, bahkan terkesan basa-basi. Namun entah mengapa, pertanyaannya itu hampir menarik Gemma kembali kepada masa lalu yang terlalu sulit untuk dijelaskan, apalagi kepada orang baru yang tidak mengerti apapun tentang Gemma. Tahu bahwa ia tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan kepada Dipta, Gemma pun mencoba mengembalikan fokus topik pembicaraan menjadi seputar Dipta saja, berharap laki-laki itu tidak kembali mengungkit pertanyaan sebelumnya.
“Ya justru itu, karena gue dari Jakarta, makanya gue mau nyari peruntungan di tempat lain. Intinya kan bukan soal Jakarta, tapi soal merantau. Jadi gini, gue punya bisnis, EO gitu, lah. Nah, bisnis EO di Jakarta tuh udah menjamur, saingan juga makin banyak, susah dapet project-an jadinya, apalagi bagi pemula kayak gue yang belum punya banyak pengalaman dan relasi. Terus kebetulan ada temen gue yang mau join-an, dia bersedia nambahin modal buat gue beli barang-barang dan bantuin gue urus ini-itu serta nyediain relasi yang gue butuhkan untuk memulai bisnis gue itu. Tapi dia kasih syarat bahwa dia bakal ngasih semua itu kalo gue pindah lapak ke kota tempat dia tinggal--ya… gue lagi krisis modal sih, hehe. Gue rasa kalo di Jakarta bisnis gue bakal gitu-gitu aja, susah berkembang. Sementara kalo gue pindah dan kerjasama sama temen gue itu, kemungkinan bisnis gue berkembang semakin besar, ada orang yang udah ngerti pasar di daerahnya, terus juga saingannya nanti gue harap gak sebanyak di Jakarta, jadi kemungkinan dapet project-an bisa lebih besar.” Well, ternyata Gemma bukanlah satu-satunya orang yang memilih untuk pindah ke kota baru bukan karena untuk menuntut ilmu saja.
“Oh iya, katanya lo mau liat gerbong gue? Ayo.” Untuk sejenak obrolan mereka harus ditunda terlebih dahulu karena makanan mereka sudah habis dan tidak enak duduk terlalu lama di gerbong restorasi tanpa membeli apapun lagi--yang artinya mereka sudah tidak memiliki alasan lagi untuk tetap duduk disana, sementara masih banyak penumpang lain yang haknya tak bisa mereka dapatkan karena masih terhalang oleh Dipta dan Gemma. Maka karena mereka masih tahu diri, akhirnya mereka pun menyingkir ke gerbong Dipta.
Dipta memimpin langkah Gemma menuju tiga gerbong setelah grrbong restorasi dan sampailah mereka pada gerbong yang menurut Dipta mengenaskan itu. Setelah Gemma lihat secara langsung, tidak ada perbedaan berarti dari gerbong Dipta dan gerbongnya sendiri. Susunan kursi masih sama, model kursi masih sama, tetapi model kabin dan jendela memang berbeda. Namun, hal itu tidak terlalu berpengaruh, kan? Jadi, apa yang dipermasalahkan oleh Dipta?