“Saltingnya cowok sama cewek itu beda, kalo cewek lagi salting pipinya merah. Tapi kalo cowok lagi salting suka kelepasan kalo ngomong.”
***
Pukul 06.15 aku sudah turun dari kamar dan duduk di kursi meja makan untuk sarapan bersama dengan keluarga ku. Papa juga sudah pulang dan Kak Handi baru saja tiba tadi malam setelah dia menyelesaikan pekerjaan nya sehabis lembur kemarin. Sedangkan Kak Rigel beberapa hari ini katanya bakalan sibuk kuliah dan sibuk dengan tugas-tugas kampus nya, itu karena kemarin dia bolos kuliah dan mengajakku jalan-jalan ke taman kala itu.
Salah siapa juga bolos kuliah, sekarang giliran tugas numpuk baru dia tepuk jidat sendiri.
Kabar gembiranya setelah aku jalan dengan Kak Rigel kemarin dan menganggap pacar satu hari, aku memperoleh pengertian bahwa kenyataan nya bukan Gilang yang sepenuhnya salah. Tetapi aku yang terlalu perasa. Waktu di perjalanan Kak Rigel juga bilang bahwa dia bertemu dengan Gilang sebelum 19 September, dan cowok itu sempat bertanya kabar dan ‘juga’ meminta maaf kepada Kak Rigel atas masalah salah sangka nya dia waktu itu.
Bibirku berkedut membentuk secercah senyuman saat mengingat kekonyolan Gilang. Ah, tidak! Aku tidak boleh lagi mengingat dia dan segala keanehan juga hal konyol lain nya yang menyangkut Gilang. Tugasku sekarang hanya mencoba lagi untuk menata hati agar tidak terlalu merasa tersakiti akan penolakan dari Gilang kemarin.
Aku tersenyum kepada Kak Handi yang baru saja tiba dari kamarnya di lantai dua, Kak Handi mengusap pucuk kepalaku lalu duduk pada kursi yang berada tepat di sampingku.
“Pagi, Kak!” sapaku dengan senyum mengembang.
“Pagi juga, dek,” jawab Kak Handi sambil tersenyum.
Aku meneguk setengah isi air putih dari dalam gelas ku membuat Kak Handi mengerutkan alisnya tak suka. “Ck, kok kamu minum air putih lagi sih, Li?” gerutunya.
Aku hanya nyengir kuda dan menyeruput susu milik Kak Rigel yang baru saja diberikan oleh Mama. “Eh! Susu Kakak itu!” teriak Kak Rigel.
Aku hanya mendelik tak peduli dan tetap meminum susu miliknya. Aku jarang sekali dibuatkan oleh Mama susu pada pagi hari, itu karena memang aku yang jika setiap kali di buatkan susu oleh Mama aku selalu menolak dan bilang ‘aku gak suka makanan atau minuman manis, Ma’. Iya, aku memang tidak suka dengan makanan atau minuman yang manis, aku lebih menyukai makanan yang agak asin. Kurasa sesuatu yang rasanya manis akan berkahir menyakiti. Seperti jika memakan coklat terlalu banyak bisa menyebabkan sakit gigi. Sama halnya dengan hati, jika terlalu sering dikasih hal yang manis maka kemungkinan sakit hati juga semakin besar.
Oke, aku benar-benar ngelantur.
Kak Rigel merampas gelas susu yang masih ada isinya setengah, aku mencebikkan bibir dongkol atas kepelitan Kak Rigel yang aneh ini. Cuma segelas susu dan dibikin jadi masalah. Aneh. Lihat saja sekarang mukanya sudah terlihat kesal.
“Pelit banget sih, Kak, sama adek sendiri,” celetukku.
“Haha ... udah udah, nih minum susu punya Kakak aja,” Kak Handi yang baik hati ini menyerahkan gelas yang masih penuh dengan susu. Aku tersenyum lebar dan menepuk lengannya. “Kakak tuh baik banget, sih,” kataku.
Kak Rigel menceletuk, “Pura-pura baik aja bangga.”
“Apa sih lo punuk onta, ikut campur aja!” Itu suara Kak Handi. Aku menahan tawa mendengarnya.
“Yo'i lah! Orang dia adek gue juga, gue tuh Kakak tersayang nya Lika yang paling bijak. Dia itu paling seneng kalo lagi temenan sama gue beda banget sama lo yang cuma sekedar remahan rengginang ini. Haha.”
“Sialan ya cula badak!” Kak Handi melempar gigitan terkahir rotinya ke wajah Kak Rigel.
“Kalian tuh kocak banget sih, Kakak-kakak nya aku. Haha...” tawaku pecah seketika saat Kak Rigel dan Kak Handi saling bercanda seperti ini. Momen seperti ini jarang sekali terjadi karena Kak Handi yang sibuk dengan pekerjaan sebagai arsitek.
“Gimana sekolah kamu, Li?” tanya Papa.
Aku mengangguk, “Bagus kok, Pa. Ya... lumayan pinter lah aku sekarang,” jawabku.
“Bagus kalo gitu. Pertahankan ya, Lika. Atau kalo perlu kamu ikut ekskul voli yang dulu Kakak kamu jadi kapten nya, Papa yakin kamu pasti pinter dan punya bakat yang sama juga kayak Rigel,” kata Papa. Aku mengangguk setuju, benar kata Papa. Saat SMP dulu aku sempat punya keinginan untuk menjadi pemain voli di sekolah ku sekarang, SMA Tunas Harapan setelah dulu Kak Rigel yang menjadi kapten voli selama dua tahun berturut-turut.
“Huum, bener kata Papa. Nanti Kakak bisa latih kamu kalo mau,” tawar Kak Rigel.
“Kalian itu kelamaan sarapan nya tahu Li, Rigel, Handi. Papa juga. Sekarang udah mau setengah tujuh kalian masih di meja makan. Cepetan habisin sarapan nya Li, biar nanti Felix gak lama nunggunya,” kata Mama mengingatkan kami semua.
“Mampus kena omel Mama kalian,” ledek Papa. Aku tertawa, “Kayak Papa gak kena aja. Eh? Kok aku dijemput Kak Felix?” tanyaku heran.
“Iya, kan, Desi udah gak di Tupan lagi,” ucap Mama. Tupan itu singkatan dari Tunas Harapan. Aku sampai lupa bahwa Mama bilang bahwa Desi bakal pindah sekolah ke Bandung. Katanya mau tinggal sama Kakak nya yang tinggal di sana.
Aku ber-oh ria mendengar penjelasan Mama. “Tapi kok Kak Felix sih? Kenapa gak Kak Rigel aja sih yang anter terus jemput aku? Ah, gak asik.”
Sebenarnya bisa saja aku pergi sendiri dengan motor, tetapi Kak Felix bilang ada yang bermasalah dengan motorku setelah dia meminjam nya ke minimarket tadi malam. Entahlah masalahnya apa aku tidak mengerti.
“Kakak sibuk, Na. Banyak tugas. Gimana sih kamu nih,” sahut Kak Rigel. Aku memutar bola mata dan menoleh pada Kak Handi. “Kakak juga sibuk kerja,” timpalnya sebelum aku sempat berkata-kata.
“Tega ih kalian sama aku,”
Setelah itu aku hanya diam dan melanjutkan memakan sarapanku yang sudah berubah menjadi nasi goreng, sedangkan Papa, Mama, Kak Rigel dan Kak Handi sibuk berbincang mengenai pekerjaan yang aku tidak mengerti itu.
Selesai sarapan, aku menyandang ransel dan berjalan ke dapur untuk mencuci tangan barulah setelahnya aku berjalan menuju halaman rumah dan bermaksud menunggu Kak Felix di ayunan yang ada di halaman.
Males banget harus berangkat sama Kak Felix.
“Dipanggil Mama, Li. Felix biar Kakak aja yang tungguin di sini. Temuin Mama gih,” kata Kak Handi yang datang dengan kemeja kerjanya yang sudah terpasang rapi di tubuh kekarnya.
Aku berdiri dari kursi dan meletakkan ponselku di samping tas, aku memandangi Kak Handi dengan kedua alis yang bertautan. “Tapi Kakak kan mau berangkat kerja?” tanyaku. Dia mengangguk namun tetap menyuruhku masuk ke dalam.
Aku akhirnya pasrah dan masuk ke dalam menghampiri Mama yang ternyata duduk menonton televisi di ruang tengah, Mama dan aku berbincang sebentar mengenai rencana Mama yang ingin datang ke sekolah hari ini. Keluargaku memang salah satu donatur sekolah Tunas Harapan, banyak saham Papa yang ditanamkan dalam pembangunan dan penyelenggaraan sekolahku. Sejak Kak Handi bersekolah di Tunas Harapan, sejak saat itulah Papa memutuskan menjadi donatur karena ingin Kak Handi bersekolah di sekolah yang layak. Sebab dulu Tunas Harapan tergolong sekolah yang terbilang tidak cukup layak.
Setelah selesai berbicara dengan Mama, aku kembali lagi ke halaman rumahku dan mendapati Kak Handi dan juga Kak Felix yang duduk bersama di bangku panjang sambil bermain ponsel. Tepatnya hanya Kak Felix saja bermain ponsel, sedangkan Kak Handi sudah bersiap untuk berangkat bekerja.
“Titip Lika ya, Lix,” ucap Kak Handi dan menepuk bahu Kak Felix.
Kak Felix menyambut dengan anggukan sebelum akhirnya Kak Handi masuk ke dalam mobil dan berangkat bekerja.
Aku menghela napas kasar, memandangi Kak Felix dengan tatapan tak enak. “Sori banget nih, Kak, aku jadi ngerepotin gini,” ucapku.
Kak Felix menggelengkan kepalanya, “Enggak sama sekali kok,” ucapnya. “Yuk, berangkat,” sambung Kak Felix. Aku mengangguk dan kami berjalan ke arah motor besar berwarna putih milik Kak Felix.
Setelah aku naik, Kak Felix menancap gasnya menuju jalan raya arah sekolahan. Sekitar setengah jam di perjalanan, aku dan Kak Felix akhirnya sampai di sekolah. Kak Felix memarkirkan motornya dan kami berjalan beriringan menyusuri koridor sekolah.
“Tante mau ke sekolah?”
Aku menoleh pada Kak Felix, “Iya, kok tahu?” heranku.
“Iya, tadi Kak Handi bilang gitu. Katanya Tante ada urusan sama Bu Sari, betul?”
Aku mengangguk. Bu sari adalah bendahara sekolah yang bertugas mengelola keuangan sekolah.
“Iya, Kak. Katanya Mama mau ngomongin apa gitu sama Bu Sari. Tahu ah, aku juga gak ngerti.”
Aku memandang lurus ke depan berusaha tidak memperdulikan tatapan Kak Felix yang mengarah ke arahku. Aku tahu dia melirikku sejak tadi membuatku bergerak tak nyaman karena diperhatikan. “Kakak kok ngelihatinnya kayak mau makan aku gitu sih?”
Kak Felix tertawa membuatku mendelik sinis. Apa sih dia ini? Ada yang lucu ya? Aneh sih iya.
“Kamu emang lucu,” katanya. Aku menipiskan bibir dan kedua alisku terangkat menatapnya sambil tertawa tertahan. “Lucunya Kakak pas ngomong pake kamu ke aku,” ujarku.
Dia mencebikkan bibirnya tampak kesal. “Khilaf,”
“Khilaf apa emang suka?” sontak Kak Felix menoleh ke arahku membuat mataku dan matanya bersitatap selama beberapa menit, sebelum akhirnya Kak Felix yang memutuskan tatapan terlebih dahulu ke arah lain.
“Terlalu banyak halangan nya buat suka,” ujarnya terdengar samar. Aku masih bisa mendengar karena pendengaranku masih cukup baik untuk itu. Namun aku memilih abai saat Kak Felix berjalan lebih cepat dan berbelok ke kiri menuju kelasnya.
“Duluan ya, Li!” teriaknya kemudian berlari masuk ke dalam kelas 12 IPA-4.
Udah mau masuk juga baru aja pamit bilang duluan. Apaan deh dia...
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog