Sakit itu saat harus kembali menata hati setelah di hancurkan tetapi tak menemukan alasan bagaimana hati bisa lupa dengan rasa yang kuat dengan caranya ya g tiba-tiba.
***
Jam pelajaran pertama dimulai dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang mengajar di kelasku kali ini adalah seorang guru berjilbab yang tubuhnya tambun dan berkulit putih. Aku dan teman-teman satu kelasku menjalani waktu selama pelajaran berlangsung dengan keheningan yang hangat tidak mencekam karena Ibu Diah ini termasuk guru yang baik dan pengertian kepada para muridnya. Beliau juga jarang memberikan tugas yang sulit, jikapun ada maka Bu Diah akan membagi kami menjadi beberapa kelompok.
Pelajaran Bahasa Indonesia hampir saja selesai, sekarang Bu Diah sudah bangkit dari duduknya lalu merapikan buku-buku ajar beliau. Dia memanggil Gilang dan meminta tolong agar cowok itu membawakan buku paket yang dibagikan untuk sementara kepada kami dan membawanya ke kantor. Aku menolehkan kepala ke arah meja Gilang yang berada tak jauh dari mejaku, cowok itu mengangguk kemudian berdiri dan mengambil satu-persatu buku-buku paket kepada teman-teman sekelasku. Hingga akhirnya Gilang beserta kumpulan buku paket di tangannya sampai ke mejaku dan meja Tata.
"Ta, sini bukunya mau dikembaliin," ucap Gilang kepada Tata.
Tata berdecak dan melempar agak keras buku paket kepada Gilang, cowok itu tampak menghela napasnya kesal kepada Tata karena ulah cewek itu juga. Kemudian giliran aku yang menaruh buku yang ada padaku di tumpukan buku paket yang lain. Tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin saat sadar sejak tadi ternyata Gilang menatapku.
Aku balas menatap Gilang, melihat kilatan retinanya yang bodohnya masih mampu dan berhasil membuat detak jantungku berpacu hebat. Dengan cepat aku mengalihkan pandang ke arah lain ke mana saja asal jangan menatap mata yang menjadi kelemahan ku itu.
"Ta, temenin ke toilet yuk," pintaku kepada Tata.
Tata mengangguk kemudian berdiri di susul olehku. Aku menghela napas lega saat kami sudah sampai di toilet, sebenarnya aku tidak ingin melakukan apa-apa di sini, hanya saja ku pikir aku harus menghindari Gilang untuk sementara waktu.
"Cepetan Li," desak Tata yang bersandar tenang pada tembok. Aku menggeleng. "Gak ngapain-ngapain sih sebenernya gue," ucapku.
Tata memutar bola matanya lalu menegakkan tubuh, "Ya udah kalo gitu tungguin gue aja gue mau BAK," pinta Tata kemudian masuk ke dalam toilet.
Aku memandangi pintu toilet yang ada Tata di dalamnya, sementara pikiranku berkelana memikirkan hal lain. Tentang Gilang juga tentang penolakan nya hari itu, tak lupa dengan rahasia perasaanku yang tak seorang pun tahu kecuali Gilang dan Tata yang melihat langsung apa yang terjadi. Aku menghela napas, aku tidak tahu rahasia ini bisa tersimpan rapat atau mungkin terbongkar lambat laun mengingat Tata yang selalu tahu apa saja yang ada dalam pikiranku. Tata bukan paranormal atau orang yang bisa membaca pikiran, hanya saja dia sudah terlalu hafal dengan perbedaan raut wajahku ketika menyimpan rahasia atau menyembunyikan masalah.
Untuk hal ini, aku tidak akan memberitahukannya dengan siapa-siapa lagi, walau dengan Retna sekalipun. Aku tak lagi percaya dengan mulut-mulut ember dan iming-iming dari teman-teman dekatku yang mengatakan akan menjaga rahasia jika saja aku menceritakan semuanya kepada mereka. Ucapan dan janji mereka bertolak belakang saat sebelum dan sesudah aku menceritakan tentang hal yang berpengaruh dengan diriku.
Pernah sekali ketika aku SMP dan aku jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada Jerry, aku menceritakan perasaanku kepada teman-teman cewek sekelasku. Aku meminta mereka berjanji untuk tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun terutama Jerry dan mereka setuju membuat ku percaya bahwa mereka tidak akan membuka rahasia ku kepada orang lain. Tetapi ternyata mereka berkhianat, mereka menemui Jerry dan mengatakan bahwa aku menyukainya. Saat itu aku marah dan mereka membela diri dengan mengatakan ini jalan terbaik buat hubungan dan perasaan kamu kepada Jerry. Mulai dari situ aku tersadar akan satu hal bahwa aku sebodoh ini dan teman kadang sebejad itu.
Satu lagi yang baru saja ku ketahui dan percayai, bahwa setiap orang yang kepo dan selalu ingin tahu hanya ada satu persen orang yang perduli dari seratus persen, sementara sembilan puluh sembilan persen orang hanya ingin tahu namun enggan perduli.
Tetapi dengan Tata aku bisa percaya bahwa semua rahasia ku akan aman di tangannya. Lagian juga, aku tak bisa lagi menutupi hal ini kepada Tata mengingat dia yang melihat langsung saat aku mengungkapkan perasaanku kepada Gilang saat itu.
Aku mengangkat kepala saat Tata berdiri di hadapanku sambil merapikan baju seragamnya, Tata menatapku dengan tatapan mengintimidasi.
"Ada masalah apa, Li?" tanya langsung.
Aku menggeleng, "Gak ada," jawabku.
Tata mengangguk kemudian menarik tanganku keluar dari toilet, bel ternyata sudah berbunyi dan kami langsung berbelok menuju gedung kantin. Kantin belum terlalu ramai karena bel baru saja berbunyi, aku dan Tata lebih leluasa memilih meja yang nyaman untuk di tempati. Dan pilihan kami jatuh pada meja yang berada tak jauh dari pintu perbatasan antara gedung kantin dengan koridor gudang.
"Lo yang pesen ya, Ta. Gue tunggu di sini aja," ucapku tersenyum lebar.
Tata berdecak, "Iya. Tunggu sini jangan ke mana-mana." kemudian dia pergi memesan makanan untuk kami.
Aku membuka ponselku yang bergetar menandakan pesan masuk dengan notifikasi khusus, nama Gilang tertera pada chat yang di sematkan di aplikasi chat WhatsApp ku.
Arkan Gilang
Li
Lika Hirata
Apa?
Arkan Gilang
Lo dimana?
Lika hirata
Gue dikantin. Kenapa ada perlu?
Arkan Gilang
Lagi sama Retna gak? Kalau lagi bilangin gue nunggu di perpus.
Aku menghela napas, kemudian kembali mengetikkan pesan balasan dengan kalimat senormal mungkin.
Lika Hirata
Gue dikantin sama Tata. Gak tahu Retna lagi di mana lo tanya aja sama Yani.
Arkan Gilang
Lah... gue kira lo sama Retna. Abisnya dia bilang mau ada urusan dulu tadi.
Lika Hirata
Enggak Lang. Mau ngapain emang sama Retna?
Arkan Gilang
Omingin hal penting yang cuma gue sama Retna yang boleh tahu.
Lika Hirata
Gue enggak?
Arkan Gilang
Enggak. Ngapain juga ngasih tahu lo.
Dadaku bergemuruh saat membaca pesan balasan yang terakhir dikirimkan oleh Gilang, rasanya hatiku seperti ditikam dengan benda tajam yang jumlahnya lebih dari sepuluh buah. Rasa sakit dan tajam menusuk membuatku merasakan sesak yang berlebihan hanya karena balasan chat dari seorang Arkan Gilang Samudra. Hanya gabungan huruf alfabet yang dibuat menjadi bentuk kalimat dan berhasil membuat aku merasakan sensasi lain hanya karena hal sepele.
Sekali lagi aku tekankan bahwa hal apa saja yang menyangkut Gilang selalu bermakna lebih terhadapku. Baik itu hal kecil sekalipun.
Tata datang dengan nampan yang terdapat dua mangkuk mie ayam dan dua gelas air putih lalu meletakkan nya di atas meja.
"Wahh... mantep gue mendadak laper banget pas nyium bau nya," seruku bersemangat sambil mengambil alih mangkuk milikku. Aku memasukkan saus tomat, kecap, perasan jeruk dan sedikit saus sambal ke dalam mangkuk mie ayamku. Semua komplit dengan rasa yang nikmat mampu menggoyangkan lidah, aku meneguk air putih sebagai pemula sebelum makan. Ini merupakan kebiasaan ku yang di ajarkan oleh Mama bahwa setiap hendak memulai makan maka baiknya dimulai dengan meminum air putih terlebih dahulu.
Aku mengaduk mie ayam agar campuran bumbunya semakin rata, kemudian melititkan mie nya pada garpu dan siap menyantap mie ayam nikmat saat kalimat Tata membuat gerakanku sontak terhenti.
"Patah ya Li, saat orang yang lo yakini punya perasaan yang sama dengan lo ternyata suka sama sahabat lo sendiri."
Garpu dan sendok yang tadi ku pegang kini terlepas dan menimbulkan bunyi dentingan pada mangkuk. Aku menatap kosong pada hidangan yang tersaji di atas meja di hadapanku. Jadi benar ya Gilang menyukai Retna?
Lelaki memang susah sekali ditebak, perhatiannya di sini, manis nya di sini eh serius nya di sana.
"Gue sih gak mau bilang ini ke elo Li, tapi gue cuma gak mau lo makin berharap sama Gilang," tutur Tata. Aku mengangguk pelan, meraih gelas di atas meja lalu meneguk setengah dari airnya. Aku ingin makan, tetapi tiba-tiba saja perutku terasa kenyang dan nafsu makanku tiba-tiba saja hilang.
Aku mendorong mangkuk dengan mie ayam yang belum ku sentuh itu ke arah Tata. Sebelah alisnya terangkat menatapku, aku menggeleng.
"Makan Li, lo gak makan nanti itu maag kambuh lagi," perintah Tata. Aku tetap menggeleng tak menurutinya, tidak bisa aku makan dengan suasana hati yang kacau seperti ini.
Aku melihat Tata menghela napas lalu mengambil selembar tisu dari tempatnya. "Gini ya Li, sayang sama orang boleh. Patah hati boleh, tapi jangan mau dibodohin sama perasaan lo sendiri. Jangan mau menyiksa diri lo kayak gini cuma karena kata-kata gue tadi. Gue tanya ya sama lo, lo begini apa bisa bikin Gilang berpaling jadi suka sama lo?"
Telak. Ucapan Tata menusuk tepat pada tempatnya. Tapi ucapan Tata tak sepenuhnya salah, dia benar. Tidak ada gunanya aku terpuruk seperti ini. Keadaan tidak akan berubah sekuat apapun aku menyiksa diri sendiri hanya karena ditipu oleh Gilang.
"Gue bukan nyiksa diri gue, Ta, gue cuma perlu waktu buat memulihkan hati gue yang patah ini. Semua gak bisa cepat kayak yang lo pikirin, semua punya proses nya sendiri," ucapku.
"Iya, gue ngerti. Ya udah, terserah lo aja. Yang penting sekarang lo makan aja dulu, gue tahu lo laper. Ayo makan," suruh Tata lagi. Kali ini aku menurut dan mulai menyantap mie ayamku yang sempat tertunda aku makan.
Tata benar, aku tidak perlu menyiksa diri hanya karena masalah hati yang sebenarnya sepele ini. Aku tidak perlu membesar-besarkan masalah yang sebenarnya kecil, di sini aku harus lebih dewasa menghadapi semuanya. Aku harus lebih kuat jika saja nanti apa yang di katakan oleh Tata tadi benar, tentang Gilang yang menyukai Retna dan aku harus terima kenyataan bahwa memang hanya aku yang berjuang sendirian dengan perasaan yang dalam. Sementara dia sedikitpun tidak punya perasaan yang sama.
Tenang, aku akan baik-baik saja walau aku sendiri tidak tahu kapan perasaan ini bisa enyah.
@penakertas_ paham kok wehehe
Comment on chapter Prolog