LXVI
Suatu sore,
Tuan Rakat berjalan – jalan sendiri di dalam Banadis.
Beliau melihat – lihat tampilan kerajaannya itu.
“Kok nggak ada bagus – bagusnya ya tempat ini? Ini kan kerajaan,”
Tampak di hadapan pandangan mata laki – laki itu botol – botol bekas minuman berserakan di jalan – jalan.
Bekas muntahan di pojokan tempat minum – minum.
Juga tampak beberapa orang menggeletakkan diri sembarangan pada sebuah panggung dekat alun – alun Banadis.
Tuan Rakat kembali melangkah.
Samar – samar terdengar sepasang kekasih sedang asyik – asyik di sebuah kios kosong.
Beliau ingat betul jika dulu kios itu adalah tempat berjualan sembako.
Tidak jauh dari kios itu tampak orang – orang berkerumun.
Kelihatannya mereka sedang bermain judi dadu.
Tawa orang – orang bodoh itu menggema, mengisi keburukan Banadis.
Jejak – jejak langkah Tuan Rakat sampai ke suatu tempat nan indah.
Dengan bunga – bunga yang bermekaran, dan harum baunya.
Beberapa pohon besar tumbuh memayungi tempat itu.
Tampak beberapa muda – mudi sedang merajut kasih di gazebo – gazebo taman.
Begitu mesra mereka melayangkan asmara.
Juga penuh kemanjaan nan menyenangkan rasa.
Tuan Rakat menempatkan diri pada sebuah gazebo yang kosong. “Dasar anak – anak muda,”, gumam beliau, melihat fenomena nan unik itu.
Sambil melayangkan kesadaran pada keindahan taman itu, Tuan Rakat merencanakan sesuatu untuk masa depan Banadis.
LXVII
Saat Tuan Rakat sedang dirasuki oleh keheningan,
“Tuan Rakat,” Seseorang tampak berdiri di dekat penguasa Banadis itu.
Menoleh ke sebelah kanan. “Oh, kamu, Yos,”
“Tuan Rakat kok ada di sini?”
“Haha,, iya,, Lagi cari angin.”, sahut Tuan Rakat.
“Lha kamu ini dari mana?”
Tampak malu – malu, “Oh, saya juga baru mau cari angin,”
“Ya udah, duduk sini,, Temani saya cari angin,”
Malu – malu mau. “Apa tuan tidak keberatan?”, tanya cewek montok itu.
“Oh, enggakk,, Duduk saja,”
Dengan santun Yoslin duduk di samping kiri Tuan Rakat.
“Gimana kamu? Betah kerja di Happy Happy?”
“Mm,, Iya, tuan,, betah,” Sambil cewek montok itu menampilkan senyumnya.
“Baguslah, kalo betah,,”
“Iya, tuan,, terima kasih,”
“Terima kasih untuk apa?”
“Yaa,, karena sudah membawa saya ke sini.”
“Ohh, itu urusan bisnis saja kok dengan Ki Lanang.”
“Ohh, Haha,, Lha tadi tuan sedang apa? Kok kayaknya sedang menerawang,”
“?? Hahaha,, Saya cuma sedang berpikir gimana membikin Banadis lebih bagus lagi.”
“Oo, begitu, Ya, ya,,”
“Lha menurut kamu supaya Banadis ini lebih menarik lagi gimana?”
“Yaa,, gimana ya, tuan? Mungkin taman ini ditambah lagi patung – patungnya, Trus alun – alunnya sana diperbaiki lagi, Orang – orang jangan boleh tidur di tempat itu, mereka kan bisa menginap di penginapan – penginapan. Trus tuan, mbok jalannya dibersihkan sama sampah – sampahnya juga, Baunya nggak sedap banget lo, tuan,, Teruss,,” Yoslin tidak melanjutkan ucapannya.
Cewek itu menjadi merona wajahnya.
“?? Kok diam?”
“Habis tuan ngelihatinnya gitu,”
“?? Saya ngelihatinnya memang bagaimana?” Tampak gagal paham.
“Tuan lihatnya tajam banget begitu, Saya jadi grogi.”
“Oh, Haha,, Kirain kenapa?”, sahut Tuan Rakat.
Senja itu, sang surya memberikan sedikit kesyahduan.
Burung – burung menjadi lebih mesra. Lebih dekat lagi dengan kehangatan.
LXVIII
Ruang kerja Tuan Rakat,
Dengan berapi – api penguasa Banadis itu menginstruksikan beberapa hal yang penting. “Tayar, saya pingin alun – alun Banadis itu bersih dari orang – orang yang tidur sembarang. Bawa orang – orang itu untuk tidur di barak, atau kalo mereka tidak patuh, buang saja ke bukit Berau, Jelas?”
“Iya, tuan,, Jelas,”
“Lalu saya pingin bar – bar itu menyediakan kamar – kamar kecil yang cukup supaya orang yang minum – minum tidak sembarangan kencing di jalan atau muntah di pojokan – pojokan tempat – tempat itu.”
“Trus isi kios – kios yang kosong itu untuk tempat mereka berjudi dadu, Jangan berjudi di pinggir – pinggir jalan, masukkan mereka ke dalam kios – kios itu, biar tidak kelihatan semrawut begitu, Kalo mereka membangkang masukkan ke penjara, atau usir dari Banadis, Jelas ya,?”
“Iya, tuan,, jelas sekali,”
“Dan saya pingin dalam waktu sebulan tempat – tempat minum itu harus terlihat rapi, bersih, indah, enak dipandang mata, tertata dan punya kualitas minuman yang bagus, Juga penghibur – penghibur dimake over lagi supaya kelihatan seger – seger lagi. Kalo memang perlu menambah penghibur lagi datangkan lagi, tapi yang menarik – menarik, jangan yang sudah kendor di sana sini.”
“Iya, tuan,, Siap,,”, sahut Tayar.
“Lalu alun – alun Banadis tolong dirapikan lagi, Dibuat menarik jika dilihat mata, punya simbol yang mengagungkan bagi kerajaan. Jangan nggak terurus kayak gitu, Malu saya melihatnya,”
“Oh ya, satu hal lagi buatkan semacam tempat berkelahi, biar mereka yang lagi panas – pasannya tidak merusak properti – properti kerajaan, Mengerti kan?”
“Iya, tuan,, mengerti,”
“Sudah, Itu dulu saja,, Nanti saya kasih instruksi lagi,”
“Siap, tuan,, Siap,,”, sahut Tayar.
LXIX
Happy Happy Hour,
Saat Tayar sedang merajut cinta dengan kekasihnya,
“Kamu kelihatan bingung gitu, mas?”
“Iya nih, aku pusing banget, Tuan ngasih kerjaan banyak banget.”
“Biasanya juga banyak banget kan mas kerjanya.”
“Iya, tapi ini tampaknya paling banyak. Kayak tuan mau mengubah tempat ini.”
“Emang mau diubah kayak gimana lagi, mas?”
“Rasa – rasanya kayak Banadis zaman dulu.”
“Aku nggak tau Banadis zaman dulu.”, sahut Siren.
Tayar menceritakan sedikit tampilan Banadis zaman dulu.”
“Ya ampunn,, indah banget Banadis zaman dulu, jadi pingin kembali ke waktu dulu itu.”
“Kamu nggak mungkin ada di sini kalo Banadisnya kayak dulu.”
“Lha kok bisa, mas?” Sambil Siren menggelayut, bermanja – manja.
“Kan raja Banadis yang dulu alim – alim, nggak tidak bermoral kayak sekarang ini, Dulu itu Banadis beradab banget, anti penyelundupan, anti bikin rusuh, tidak suka dengan tentara bayaran, tentara ya harus ikut kode etiknya, Trus jual beli manusia dilarang, Lha sekarang penghibur – penghibur kayak kalian didatangkan besar – besaran, prostitusi meraja lela, tempat – tempat judi menjamur, Dulu nggak ada judi – judi macam ini dikasih tempat kecuali hanya untuk senang – senang saja.”
“Ohh, ya udah deh,, Aku seneng kalo Banadis kayak gini, kan aku bisa ketemu kamu, mas.” Siren mulai menggelora hasratnya.
“Huh, gombal,, katanya tadi suka Banadis yang dulu.”
“Banadis jadi kayak gimana kalo kamu ada di sisi aku, aku udah seneng kok mas, Aku bahagia kamu selalu ada untuk aku.” Memeluk laki – laki itu.
“Haha,, iya, iya,, Aku juga seneng Ren sama kamu.”
Percumbuan pun terjadi,