Sesuai janji Gilang, pulang sekolah ini, ia akan mengajari Amira bermain bola besar. Sebelumnya ia sudah meminta ijin pada Pak Rico untuk meminjam bola voli, bola sepak dan juga bola basket. Begitu juga dengan Amira. Ia sudah meminta ijin pada Mamanya kalau ia pulang terlambat.
Dan sekarang ini, Gilang sudah standby menjadi pelatih Amira.
“Bab satu adalah bola sepak, jadi kita belajar futsal dulu aja.” Amira mengangguk.
Gilang dengan sabar mulai memberi konsep-konsep dasar dari olahraga futsal. Futsal di SMA ini menjadi olahraga favorit kedua setelah bola basket. Jadi, Amira merasa, akan keren jika dia bisa bermain futsal kayak kakak kelas cewek yang pernah juara itu. Dan akan lebih keren lagi kalau ia bisa jadi juara pula.
“Lo jangan mikir sejauh itu dulu. Untuk mencapai hal yang lo bilang tadi nggak segampang yang lo pikirin,” ucap Gilang setelah mendengar keinginan Amira yang pengen jadi juara futsal.
“Hehe, iya juga. Boro-boro jadi juara, sama bolanya aja gue kagak sinkron.” Gilang terkekeh mendengarnya.
“Nah, oke. Lo udah paham kan tentang konsep dasarnya yang gue jelasin tadi?” tanya Gilang harap-harap cemas.
“Yap,” jawab Amira yakin.
“Syukurlah, untung lo pinter.” Gilang bernapas lega. Kemudian, setelah menjelaskan materi dan contohnya tadi, barulah ia mempraktekkannya.
“Lihat kaki gue!” suruh Gilang.
Amira dengan serius memerhatikan teknik-teknik yang dijelaskan Gilang. Mulai dari teknik menggiring, mengontrol, mengumpan maupun menendang bola.
“Lang! Gue mau coba!” ucap Amira. Gilang berbalik dan mengangguk sambil menunjukkan senyumnya.
“Coba kasih lihat ke gue... teknik mengontrol bola!” Gilang pun menendang bola itu ke arah Amira dengan kecepatan sedang. Tugas Amira adalah mengontrol bola, jadi ia harus menahan bola itu dengan kakinya seperti yang dicontohkan Gilang tadi.
“Bagus! Lo udah paham. Sekarang, lo harus ngasih gue umpan. Gue mau lihat, kaki mana yang lo gunain nantinya,” suruh Gilang dan Amira mengangguk paham.
Posisi Gilang ada di depan Amira sebelah kiri, itu artinya untuk mengumpan bola pada Gilang, Amira harus menggunakan....
“Yak, bener! Kaki kanan bagian dalam,” ucap Gilang senang. Amira pun juga bersorak gembira karena ia sudah cukup paham dengan dua teknik tadi.
“Lang! Gue pengen masukin bola ke gawang!” teriak Amira antusias.
Gilang memandang Amira dan gawang yang ada di depan sana bergantian. “Oke, lo oper bolanya sampai mendekati kotak penalti, terus lo tendang bolanya. Gue jadi kipper,” ucap Gilang.
“Loh. Kalau lo jadi kipper entar bolanya nggak masuk,” protes Amira memanyunkan bibir.
“Dih, peraturannya kan begitu. Buruan sana!” suruh Gilang membuat Amira menghela napas panjang sambil memutar bola matanya.
“Oke, deh. Kalau tendangan gue terlalu keren, jangan disorakin entar gue nge-fly,” teriak Amira yang dihadiahi tatapan ‘idih’ oleh Gilang,
Gilang pun berjalan ke arah gawang, ia bersiap untuk menjadi kipper. Matanya menyipit, ia menebak-nebak teknik tendangan mana yang akan dipakai Amira untuk memasukkan bolanya nanti.
Setelah Gilang mengacungkan jempolnya tanda sudah ready, Amira pun mulai berlari dari jarak sepuluh meter.
“Yak, sekarang bola dikuasai oleh Amira. Sangat bergaya dia menggiring bola. Apakah gol? Apakah gol? Dia terus berlari, berlari dan....” Amira mengoceh di sepanjang lariannya itu.
Saat hampir tiba di kotak penalti, dengan keras Amira menendang bola itu menggunakan kaki kanan bagian dalam yang atas.
Gilang menganga.
Teknik Amira sudah sangat betul.
“Akhh, sayang sekali bola melambung jauh ke belakang gawang....” teriak Gilang sambil mengelap keringat.
Amira kaget sendiri dan sangat kecewa melihat bolanya terlempar jauh ke belakang gawang. Padahal, rasanya tadi sudah pas dan harusnya gol. Gadis itu tidak berhenti menggerutu.
“Jangan keras-keras juga kali nendangnya,” ucap Gilang menghampiri Amira.
“Bolanya tuh yang ogeb.” Gilang hanya mengumpat lirih mendengarnya.
“It’s OK lah. Kita ambil bolanya dulu,” ajaknya dan Amira mengangguk pasrah.
Setelah mengambil bola, akhirnya mereka pun memutuskan untuk istirahat sebentar. Walaupun hanya sekedar latihan dan belajar, tetapi keduanya sama-sama berkeringat. Padahal, cuaca saat ini lumayan mendung.
“Jam berapa?” tanya Amira.
“Setengah 4. Udah satu jam dan lo nendang bola aja masih kurang pas,” jawab Gilang dan Amira cuma menggerutu.
Jam pulang normal bagi SMA Negeri Hijau memang pukul 14.30 WIB. Jadi, jika sekarang pukul 15.30, artinya mereka sudah berlatih bola sepak selama satu jam.
“Tapi lo nggak apa kan pulang terlambat?” tanya Amira tanpa menoleh.
“No problem.”
Hening sejenak...
“Habis ini apa?” tanya gadis itu lagi.
“Lo maunya apa?” Gilang bertanya balik sambil menatap Amira.
“Ayam goreng, gue laper.”
Gilang menoleh cepat dan menoyor kepala Amira.
“Lo kira cuma lo yang laper. Pelatih lo ini juga pengen makan sate,” jawab Gilang membuat Amira menoleh ke arahnya dengan mengernyit.
“Bodo.” Amira memandang lurus ke depan lagi. “Hal yang paling gue inginkan itu agar gue nggak takut sama bola besar lagi,” ucapnya tiba-tiba.
“Nggak nanya,” sahut Gilang.
“Tai lo,” umpat Amira sambil memukul lengan Gilang dan tuh cowok hanya nyengir.
“Emang lo pernah ada kasus sama bola besar?” tanya Gilang terkekeh.
“Iya, dulu. Waktu SD gue selalu ketimpuk bola. Dan itu sakit banget. Gue nggak pernah nggak nangis. Pokoknya gue paling cengeng kalau udah kena bola. Dan siapapun pelakunya, besoknya selalu gue kerjain sampai dia juga nangis,” jelas Amira panjang lebar.
Gilang terdiam.
“Lo cerita banyak banget. Emang lo percaya kalau gue bisa jaga rahasia lo ini?” Gilang menampilkan seringai andalannya.
“Itu bukan rahasia, kok. Semua orang yang kenal sama gue pasti tahu kalau gue ini takut sama bola besar. Yah, kelihatan banget gitu kalau gue emang bukan sahabatnya bola besar,” jawab Amira masih dengan suara agak ketus.
“Haha, denger cerita lo tadi... gue jadi keinget sesuatu,” ucap Gilang membuat Amira menoleh.
“Sesuatu a-”
“ANJIIRR, HUJAN!” Gilang panik saat tiba-tiba rintik air turun dari langit dan rintiknya berubah menjadi hujan deras. Refleks, Gilang pun langsung menarik tangan Amira untuk menepi di koridor.
“Eh, Lang! Bolanya!” teriak Amira teringat dua bola yang juga ikut terpinjam tadi.
Gilang menepuk jidatnya sendiri. “Bentar, gue ambil dulu.” Cowok itu langsung berlari ke dekat gawang tempat ia menaruh dua bola tadi. Bisa bahaya kalau bolanya hilang. Pak Rico akan sangat marah nantinya.
“Amira! Bola basketnya nggak ada! Cuma bola voli aja, nih!” teriak Gilang menghampiri Amira yang ada di ujung koridor.
“Duh.” Amira hanya bisa mengepalkan tangan terlihat seperti menahan sesuatu.
Gilang melirik Amira kemudian menaruh bola voli itu disamping bola sepak di dekat Amira berdiri.
“Gue cari dulu disana. Siapa tahu kena air, terus menggelinding sendiri. Bentar!” ucap Gilang dengan keras berusaha untuk mengimbangkan suaranya dengan berisiknya hujan yang begitu deras ini.
Tanpa menunggu jawaban Amira, Gilang langsung berlari lagi ke bawah hujan. Amira berteriak memanggil Gilang namun tuh cowok udah ngilang aja di bawah guyuran hujan.
“Hish, nekat banget tuh bocah,” gerutu Amira.
Sudah lebih dari lima menit dan si Gilang belum balik. Amira harap-harap cemas, ia takut kalau bolanya ternyata udah hilang dan Gilang percuma lari kesana-sini.
Amira pun jadi panik dan kebingungan. Sekarang sudah lebih dari tujuh menit dan Gilang belum kembali juga. “Kok Gilang lama, ya.”
Dengan tekad yang kuat, Amira pun memutuskan untuk menyusul Gilang ke lapangan belakang.
Masa temen gue sibuk nyari bola bahkan rela kehujanan, gue malah enak-enakan neduh dan cuma menggerutu, batin gadis itu.
“Tapi hujannya deras banget njiirr,” gumamnya sambil mendongak ke langit. “Tenang Mir, nggak apa. Lo bisa nahan, kok. Hujannya nggak dingin-dingin amat. Oke, Bismillah.”
Amira melepas sepasang sepatunya. Ia pun melangkahkan satu kakinya ke bawah hujan dan seketika merasakan dingin. Setelah yakin, gadis itu pun berlari menerjang hujan sambil terus mengucap doa.
“Lang!” teriaknya.
Belum ada tanda-tanda kemunculan Gilang. Amira semakin takut. “Gilang!” panggilnya lagi tetapi masih belum ada sahutan. “Gilang, woy bocah! Lo kemana, sih?!”
Tiba-tiba langkah Amira terhenti. Ia mengitarkan pandangannya ke segala arah. “Ya Tuhan, kok rasanya masih sakit, sih?!” gerutunya frustasi.
Amira menutup matanya. “Mir, lo masih kuat. Ini nggak dingin,” gumamnya dengan bibir bergemelatuk. Ia membuka matanya lagi dan melihat tangannya yang mulai membiru karena tak kuasa menahan dingin yang seperti menusuk-nusuk tubuhnya.
“Dasar kudanil...” suaranya semakin parau dibawah guyuran hujan itu. Kakinya melemas dan kaku. Ia berjalan tertatih-tatih mengerahkan seluruh tenaganya.
“AMIRA!”
Gadis itu menoleh ke belakang.
Disana, Gilang berdiri sambil membawa bola basket yang tadi menghilang. Wajah cowok itu terlihat panik saat melihat Amira yang tampak kedinginan.
“Hoi! Bolanya ketemu!”
Gilang terperanjat saat Amira tiba-tiba jatuh pingsan.
“Amira! LO KENAPA TIDUR DISANA??” teriak cowok itu dengan mata melebar.
Dengan cepat Gilang berlari menuju koridor. “Tunggu bentar, Mir!” Cowok itu pun melemparkan bola basket yang dibawanya ke sembarang arah. Lalu, dengan perasaan takut ia berlari menuju Amira yang pingsan tadi. Begitu sampai di samping tubuh Amira, Gilang segera membopongnya menuju ke tepian.
“Amira! Bangun, woy! Bu Sek!” panggil Gilang berkali-kali. Melihat wajah pucat Amira, membuat Gilang dilanda rasa panik. Ia pun segera menelpon pihak rumah sakit.