“Awwh. Pelan-pelan dong.”
“Sori-sori.” Amira diam sejenak, “gue nggak tahu, sumpah. Maafin ya,” ucap Amira masih merasa bersalah. Gadis itu terus-terusan meminta maaf padahal yang dimintai maaf sudah tidak mempermasalahkan tonjokan tadi.
“Astaga, nggak apa Mir. I am OK.”
“Tapi ujung bibir lo masih agak biru. Pasti sakit ya? Ya ampun, gue minta maaf.” Amira lagi-lagi meminta maaf.
“Lo udah minta maaf empat belas kali, Mir.” Cowok itu terkekeh. “Lagian, lo sore-sore begitu ngapain di jalan raya sendiri coba?”
“Ya gue emang baru pulang sekolah.” Amira berkata jujur. “Eh, tapi, kok yang ada di belakang gue bisa ganti lo? Dua cowok bangsat itu pada kemana?” tanya Amira yang masih belum tahu kronologinya.
Cowok itupun menjelaskannya secara detail, karena dia tahu kalau Amira adalah tipe manusia yang sungguh teliti dan rinci.
Iya, tadi itu yang ditonjok Amira bukanlah salah satu dari remaja stress itu. Melainkan Rama Alfarezasahabat masa kecil Amira.
Rama yang tadi baru aja keluar dari minimarket terkejut melihat sahabat yang sudah lama tak dilihatnya itu tengah berjalan tak jauh di depannya. Namun, melihat adanya dua manusia lain dibelakang gadis itu dan menyadari gelagat Amira yang tidak tenang, Rama berinisiatif melumpuhkan dua orang itu dengan cara smooth ala-ala cowok cool.
“Oh gitu... Tapi lo nggak diapa-apain kan? Kena tonjok mereka juga nggak?” tanya Amira.
“Enggak, Mir. Gue yang menang.” jawab Rama sambil tersenyum. Tanpa sadar, cowok itu memandang lekat Amira selama beberapa detik. “Lo masih nggak berubah, ya?”
Amira menatap Rama dengan sedikit kaget. Ia pun menampol pipi Rama untuk mencairkan suasana, namun yang terjadi adalah terdengar pekikan dari Rama.
“Sori, refleks Ram.” Amira cuma nyengir.
“Ini Rama yang dulu suka ngepang rambut kamu ya, Mir?” tanya Dira yang datang sambil membawakan nampan berisi minuman. Rama pun langsung berdiri dan menyalami tangan Dira dengan sopan.
“Kayaknya sih iya, Ma. Tau tuh, agak beda,” jawab Amira bercanda sambil membereskan kotak P3K yang digunakannya untuk mengobati luka di sudut bibir Rama tadi.
“Wah, gue dilupain. Beda gimana emang? Makin ganteng, ya?” Amira mencibir dan Rama malah terkekeh geli melihatnya.
“Ma, Mira ganti baju dulu, ya.” Dan gadis itu langsung beranjak dari ruang keluarga. Namun, sebelum menaiki anak tangga, ia berbalik. “Ram, jangan pulang dulu! Tungguin bentar ya, gue masih kangen tahu.”
Dan Rama membalasnya dengan senyum manis. Kalau dibandingkan dengan senyum Gilang mah... beda jauh.
Eitss! Itu kalau menurut Amira, ya.
***
Hari ini adalah hari ketiga Gilang menjabat sebagai asisten Amira. Dua hari sebelumnya, ia sudah cukup kesal dengan ulah Amira yang benar-benar serius memperlakukannya seperti babu. Padahal, awalnya ia mengira kalau Amira nggak bakal tega sama cowok ganteng seperti dirinya. Tapi apa?
Kian merajalela aja tuh bocah, batin Gilang.
Saat ini, tuh cowok lagi berjalan di koridor sambil menebar senyum paginya kepada masyarakat sekolah. Adek kelas, kakak kelas, satpam sekolah bahkan tukang kebun pun ia senyumi.
“Hari ini gue harus banyak senyum biar Amira leleh dan nggak nyuruh-nyuruh gue,” ucapnya yakin.
Cowok itu pun sampai di ruang kelasnya yang pintunya masih tertutup. Ia membuka pintu itu kemudian melangkah masuk, mengitarkan pandangannya pada seisi kelas.
“Ternyata gue murid yang rajin juga. Lihat, udah jam setengah tujuh tapi belum ada yang dateng?” celotehnya.
Hanya berselang beberapa detik saja, murid kedua telah menujukkan batang hidungnya.
“Tumben lo baru nongol?” tanya Gilang.
“Ck, gue bangun kesiangan, semalem gue begadang.”
“Hah? Emang ada PR? Buset, gue nggak buka buku sama sekali semalem.” Gilang langsung gelagapan menuju bangkunya dan mengeluarkan semua isi tasnya. Ia membolak-balik buku Fisika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan buku pelajaran lainnya.
“Halah emang lo pernah buka buku?” cibir Amira berjalan menghampiri Gilang di bangkunya. “nggak ada PR kok.”
“Lah, kenapa nggak bilang dari tadi. Dasar kutil.” Lagi-lagi Gilang menyentil dahi Amira.
“Hish, jangan nyentil-nyentil dahi dong! Lo kira nggak sakit,” ketus Amira.
“Iya iya. Sori, gue udah kebiasaan,” jawab Gilang dengan wajah tanpa dosa. “Jadi, begadang ngapain lo semalem?” tanya Gilang akhirnya yang sudah tertular virus alami seorang kaum hawa. Kekepoan.
“Ada deh. Emm, Lang,” panggil Amira dengan tak biasanya. Gilang memicingkan mata, menangkap gelagat aneh tersebut.
“Lo, kalau manggil gue kayak gitu, pasti ada maunya kan? Cih, ketebak banget.”
Amira pun nyengir. “Gue baru inget kalau lo tuh anak basket.”
Gilang makin penasaran. “So?”
“Ajarin gue main bola besar dong.” Pinta Amira dengan cengengesan.
“HA??”
Mata Gilang terbelalak, ia terkejut mendengar permintaan Amira. Ia tidak percaya kalau kalimat ini yang akan keluar dari bibir gadis itu. Sungguh, apakah ia masih dalam dunia mimpi? Amira? Gadis kunyuk itu meminta bantuannya kali ini? Bagaikan bintang yang muncul di siang hari, alias nggak mungkin banget.
“Kok muka lo kayak ngata-ngatain gue gitu sih?” ucap Amira membuat mata Gilang tambah melebar.
“H-haa? Ka-kagak. Geer lu,” balas cowok itu tiba-tiba gagap.
“Dih, tapi lo mau kan ngajarin gue?” tanya Amira lagi.
“Serius lo minta bantuan sama gue?” tanya Gilang tidak yakin.
“Iya, Gilang. Masa wajah gue kurang serius, sih?”
“Wajah lo tuh nggak meyakinkan,” jawab cowok itu terus terang dengan santai.
“Orang gue lagi nggak bercanda. Mumpung lo masih jadi asisten gue dua hari kedepan.” Amira mengambil jeda sebentar, “lo mau kan, jadi pelatih gue?”
Gilang tampak berpikir dengan sok kritis membuat Amira resah menunggu jawabannya.
Njiirr, gue udah nahan buat nggak ngumpat ini. Elah, tinggal jawab ‘iya’ aja apa susahnya sih?! maki Amira dalam hati.
“Lo kan atlet basket yang udah pro. Jadi, kayaknya lo bisa deh, ngajarin gue olahraga lainnya,” ucap Amira lagi masih berusaha merayu Gilang. Siapa tahu kan, tuh cowok tiba-tiba melting dan langsung jawab ‘oke’.
Namun, Gilang masih diam sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu.
Dih, sok keren banget sih nih cowok!! Pake gaya-gayaan mikir segitu lamanya, gerutu Amira lagi.
Kini mata Gilang malah menyipit, memandang wajah Amira dengan lekat. Tak ingin melewatkan satu inci pun, Gilang benar-benar tidak berkedip memandang Amira. Dengan taktiknya itu, ia masih bersikap seolah berpikir untuk menjawab pertanyaan gadis itu, padahal batinnya udah berteriak tak keruan.
GILA! INI UDAH HAMPIR DUA TAHUN, DAN GUE BARU NYADAR KALAU AMIRA ITU CANTIK?!
“Lang! Lo mikir lama bener, sih?”
Gilang tersentak. Suara Amira terdengar bergetar kayak nahan sesuatu.
“Eh? Apa apa?”
Amira mengepalkan tangannya. Dasar syaiton!!
“Gimana, Gilang? Lo mau ngajarin gue?” tanya Amira sekali lagi dengan serius dan ini adalah kesabarannya yang terakhir. Awas saja kalau makhluk di hadapannya ini masih belibet kayak benang layangan!
“Ekhem!” Gilang berdehem sebentar. “Oke deh, gue mau. Gue bakal jadi guru lo dan ngajarin lo materi bola besar,” lanjutnya membuat garis wajah Amira langsung berubah gembira.
“Yes! Alhamdulillah!” Amira mengangkat tangannya tinggi ke udara.
“Dengan beberapa syarat,” lanjut Gilang membuat Amira langsung diam dan memandangnya tajam ingin protes.
“Kan gue udah bilang. Kalau bantuin orang itu harus ikhlas. Lo ikhlas nggak sih bantuin gue?” Amira menggigit bibir bawahnya sambil mengerutkan dahi.
“Ikhlas, Mir. Gue ikhlas. Cuma, ada beberapa peraturan yang harus kita sepakati.” Amira mendengus keras. Gadis itu tiba-tiba ingin nyemplungin nih manusia satu ke samudera Atlantik biar sekalian tinggal di bangkai kapalnya Titanic!
Itu sama aja nggak ikhlas goblok, batinnya udah mencaci-maki.
Amira menghela napas, berusaha mengumpulkan kesabarannya lagi. “Oke, oke! Apa syaratnya?” tanyanya akhirnya mengalah. Sebenarnya ia sudah sangat bersyukur sih Gilang mau mengajarinya. Tapi, gimana entar kalau syaratnya aneh-aneh?!
“Gitu dong! Pertama, gue terbebas dari perjanjian jadi babu mulai besok dan seterusnya.” Amira sudah hampir protes lagi, tapi gilang kembali buka suara. “Nggak boleh protes! Dan yang kedua, lo...” Cowok itu menggantung kalimatnya.
“Apaan?”
Gilang berbisik tepat di telinga Amira, “Nonton gue tanding basket dua minggu lagi.”
Amira tergelak. Ia memandang Gilang yang kini cengar-cengir.
Dua minggu lagi?
Seketika Amira flashback pada percakapannya kemarin dengan Rama.
Teman masa kecilnya itu tiba-tiba mengepang rambutnya lagi seperti saat masih kecil dulu. Sambil dikit-dikit ngelempar teka-teki dan kata-kata humor recehnya.
Dan bagian klimaksnya, tuh cowok mencondongkan tubuhnya ke depan sambil agak merendah, dan berbisik di telinga Amira. “Dua minggu lagi kita ke bukit tempat kita main dulu ya?”
Amira kini seperti orang linglung. Ia bengong dengan pikiran kemana-mana. Gilang sampai geram dan langsung menepuk tangannya keras di depan Amira.
“WOY! Bu Sek!”
Amira terlonjak ke belakang sangking kagetnya.
“Ya? Nontonin gue ya? Kasih semangat gitu kayak di novel-novel remaja yang lo bilang itu,” oceh Gilang lagi.
“Iya iya. Gue pasti nonton,” jawab Amira akhirnya dan Gilang tiba-tiba mengacak puncak rambut gadis itu, merasa gembira. Sedangkan Amira langsung membatu mendapat perlakuan seperti itu dari cowok tengil ini.
“Ha? Anjir, gue kenapa?” gumam gadis itu setelah Gilang meninggalkannya di kelas sendiri.
Begitu jam menunjukkan pukul tujuh, bel berbunyi nyaring bersamaan dengan tibanya Andra yang membuat koloni MIPA 5 lengkap. Absensi untuk hari ini adalah ‘nihil’ yang artinya semua siswa hadir.
Jam pelajaran pertama hari Rabu ini adalah Bahasa Indonesia. Bu Ratna, menurut pandangan siswa kelas ini adalah guru yang paling rajin. Sebagai bukti, Bu Ratna itu tidak pernah absen alias selalu bisa mengajar. Udah datangnya selalu on time, ngajarnya selalu ber-energik dengan penuh stamina. Beliau pun juga tidak pernah lupa akan PR.
Bener-bener. Bu Ratna adalah guru nomor dua yang harus diwaspadai. Yang nomor satu tetep kok, legenda sekolah ini. Bu Jelita.
“Berhubung kita sudah menuntaskan semua bab tengah semester, jadi minggu depan kita akan ulangan,” tegas Bu Ratna yang dihadiahi keluhan semua muridnya.
“Yah Bu, kok minggu depan, sih,” keluh Niko dengan tampang kusut.
“Iya, Bu. Kenapa nggak hari ini aja?”
Semuanya sontak memandang tajam ke arah Elvan yang berbicara. Alhasil, si Elvan hanya bisa nyengir kikuk.
***
Jam istirahat!
Wajah-wajah kelaparan memenuhi setiap sudut kantin Sekolah Adiwiyata ini. Dari pojok utara sampai perbatasan selatan, positif ditemukan wajah-wajah lemes kurang asupan.
Amira juga termasuk salah satunya. Namun, begitu hendak memesan mie ayam untuk sarapan pagi ini, Amira dikejutkan dengan datangnya Gilang yang tiba-tiba.
“Lang, untung lo dateng. Pesenin gue mie ayam, ya. Gue udah laper banget ini,” ucap Amira dengan wajah memelas.
“Tumben lo sendiri. Dua temen lo mana?”
Yang dimaksud Gilang adalah Fadia dan Mitha.
“Oh, mereka bilang mau minta tanda tangan Kak Angga, yaudah gue tinggal. Orang gue keburu laper,” jelas Amira dan Gilang manggut-manggut mengerti.
“Oh gitu. Hari ini lo nggak usah beli mie ayam dulu,” ucap Gilang membuat Amira mendongak dengan alis tertaut sempurna.
“Lah, napa?” tanyanya.
“Gue bawain lo bekal.” Gilang mengeluarkan isi tangannya. Sebuah kotak makan yang dibungkus tas lucu berwarna hijau tosca terpampang dihadapan Amira membuat gadis itu tak bisa menyembunyikan raut senangnya.
“Wih, buat gue nih?” tanya Amira dengan raut wajah yang berseri-seri.
“Nggak lah,” jawab Gilang yang membuat ekspresi Amira berubah datar.
“Terus?” tanyanya.
“Kita bagi. Gue masaknya sengaja banyak,” ucap Gilang sambil mengambil tempat duduk di sisi timur di dekat mereka berdua berdiri tadi.
“Lo masak sendiri? Serius?” tanya Amira dengan mata melotot.
“Hooh.”
“Wah, jadi nggak yakin gue.” Amira menatap Gilang dengan tatapan mengintimidasi.
“Kagak ada racunnya, elah.”
Amira masih menatap cowok itu mencari kebohongan disana tetapi sepertinya kudanil lagi jujur saat ini. “Ya udah bentar, gue ambilin mangkok dulu.”
Amira berdiri dan meminjam dua mangkok dari kedai mie ayam. Salah satu mangkok itu adalah mangkok yang sudah Amira kasih tanda.
Flashback
“Mir, lo mau apain sih mangkok itu?” tanya Mitha yang penasaran dengan tingkah serius Amira.
“Ini spidol permanen yang paling anti air. Gue nulis nama ‘Gilang’ disini.”
“Kuker amat lo. Ngapain coba?” tanya Fadia sambil cekikikan.
“Kalau dia makan di kantin, dia bakal selalu pakai mangkok ini. Gue akan bilang ke pemiliknya kalau setiap Gilang pesen makan, kasih aja mangkok yang ini. Gitu....” terang Amira.
“Iya, tapi tujuan pasti lo apa?” Fadia masih belum paham.
“Baca, nih!” suruh Amira.
“You are crazy boy,” ucap Fadia dan Mitha dengan serempak membaca tulisan yang ada di bagian tepi mangkok itu.
“Anjay, lo bener-bener kurang kerjaan,” timpal Mitha dengan tawanya. Amira dan Fadia pun ikut ngakak karena mereka membayangkan ekspresi Gilang yang bakalan datar-datar bego nantinya.
Flashback off
Kini, Gilang menerima mangkok itu. Wajahnya benar-benar datar, persis seperti yang dibayangkan Amira, Mitha dan Fadia. Cowok itupun menunjuk tulisan dengan spidol permanen yang tertera disana sambil mengangkat alis.
“Lo yang nulis kan?” tanyanya.
Amira mengangguk dengan santai, ia tetap lanjut melahap nasi goreng buatan Gilang karena ia sudah sangat kelaparan. Pagi tadi, karena terburu-buru ia belum sempat sarapan.
“Bakal gue inget,” desis cowok itu sambil menyendok nasi gorengnya. Dia pun mulai makan dengan lahap sambil terus mengamati Amira yang makannya udah kayak nggak di kasih makan selama dua hari.
“Lo beneran laper?” tanya Gilang.
“Hooh.”
“Ati-ati keselek,” ucap Gilang datar. Namun, hal itu membuat Amira mendongak dan gantian menatap Gilang yang lagi makan.