Malam yang dingin disertai rintikan sisa-sisa hujan deras tadi, tidak menyurutkan keinginan Gilang untuk menemani Amira yang belum sadarkan diri. Dia merasa bersalah karena tidak segera mengajak Amira pulang padahal langit sudah menunjukkan tanda-tanda tidak bersahabatnya.
“Kalau lo nggak bangun, gue akan bilang ke Bu Rahayu kalau gue ingin jadi sekretaris,” lirihnya sambil menatap lekat wajah Amira yang kelihatan polos seperti bayi.
Gilang menepuk punggung tangan Amira pelan. “Sebenarnya lo kenapa sih, Mir? Lo nggak kuat sama hujan? Kenapa lo nggak bilang?” cowok itu masih saja mengajak Amira bicara.
“Nak Gilang, sebaiknya kamu pulang aja. Ini udah malem, nanti orang tua kamu nyariin.” Dira menghampiri Gilang yang berada di sisi ranjang.
“Saya pulang nanti aja, Tante. Entar kalau Amira bangun, saya jadi tidak tahu kalau pulang duluan,” jawabnya tetap pada keputusannya.
“Tante pasti kabarin kamu kok, kalau Mira sadar.”
Gilang menoleh dan menggeleng lemah. “Saya pengen ikut nemenin Amira, Tan.”
Dira pun menghela napas panjang. “Yaudah. Eee, Gilang?” panggil Dira.
“Iya Tante?”
“Kamu sama Amira ada hubungan apa sih? Pacar ya? Tapi kok kalian sering bertengkar?”
Gilang terkejut mendapat pertanyaan seperti itu dari Dira. Ia pun meringis kecil. “Saya cuma temen sekelasnya kok, Tante. Kalau masalah pertengkaran... itu karena... ahh, ya. Saya sama Amira sama-sama suka bolpoin. Jadi sering ribut gara-gara bolpoin kita ketuker,” jawab cowok itu memilih jawaban yang paling tidak mencolok diantara kasus lainnya.
“Oh gitu.” Dira manggut-manggut kecil kemudian menarik napas. “Tante khawatir banget kalau ngelihat Amira kayak gini.” Tiba-tiba suara Dira berubah serak.
Gilang mendekat dan duduk di pinggir ranjang Amira yang kosong. “Padahal, dulu... Amira kecil sangat suka hujan.”
Gilang terkejut. Ia mendengarkannya dengan serius.
“Dia paling semangat kalau musim hujan tiba. Tempat yang paling disukainya adalah lapangan baseball, katanya kalau main hujan disana sangat seru. Bisa melihat kakak-kakak ganteng, bolanya juga kecil, jadi kalau ketimpuk nggak sakit. Padahal, yang namanya kena bola itu tetap aja sakit. Entahlah, pemikiran Amira yang seperti itu terus terbawa hingga remaja ini.”
“Pemikiran kalau kena bola besar itu sakit dan kena bola kecil itu nggak sakit?” tanya Gilang yang diangguki Dira.
“Ya. Dan yang paling penting, bisa menikmati air hujan sepuasnya di lapangan baseball,” lanjut Dira kemudian mendekat ke ranjang Amira dan mengusap lembut puncak kepala gadis itu.
“Namun, bencana datang saat Amira sedang asyik bermain air hujan. Bencana yang langsung membuat Amira merasa sakit hingga usia remaja ini. Ibunya meninggal.” Dira mengambil jeda sebentar sambil menoleh ke Gilang yang nampak terkejut.
Ibu Amira, meninggal? Jadi, tante Dira mama tiri Amira? batin cowok itu.
“Beliau meninggal tepat di depan Amira sendiri. Saat itu, beliau sedang menjemput Amira di lapangan baseball terbuka. Namun, sebelum menjangkau posisi dimana Amira berdiri, sebuah truk dengan kecepatan menggila menuju ke arah beliau.” Dira menarik napas panjang. Mengingat kejadian 10 tahun yang lalu membuat dadanya sesak.
Gilang sendiripun terkejut mengetahui kebenaran ini. Ia sama sekali tak menyangka kalau Amira yang kelewat menyebalkan itu harus menahan luka berat ini selama bertahun-tahun.
“Sejak saat itu, setiap kali hujan datang, Amira tidak pernah lagi menunjukkan senyumnya. Begitu tubuhnya terkena air hujan, ia selalu berkata ‘Tubuh Mira rasanya sakit! Ini kenapa?’ Ikatan batinnya begitu kuat dengan almarhum ibundanya. Seolah, hujan selalu membawa luka pada diri Amira.”
Gilang menatap Amira dengan campur aduk. Batinnya ikut merasakan sakit.
Masa lo takut hujan sih, Mir? Kagak percaya gue. Lo kan orangnya nyebelin, nyeremin dan nyusahin. Harusnya hujan yang takut sama lo, batin Gilang.
“Begitu Amira beranjak remaja, ia berusaha keras menahan ketakutannya akan hujan. Anak ini begitu keras kepala. Pernah ia nekat hujan-hujanan dan hasilnya ia demam selama seminggu.”
Gilang memandang Amira lagi sambil menghela napas panjang.
Kalau yang ini saya juga setuju tante. Nih cewek emang keras kepala, banget malah, batin Gilang lagi.
“Ekhem, Tante cerita banyak banget ya?” tanya Dira tertawa kikuk.
“Nggak apa kok, Tante. Ceritanya bener-bener bikin saya jadi melek.” Gilang cengengesan.
“Hahaha, yaudah, Tante beli kopi dulu di bawah. Tolong jagain Amira sebentar, ya, Gilang.”
Cowok itupun mengangguk dan tersenyum tulus.
Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka. Gilang menoleh dan terkejut saat pintu itu bukan dibuka oleh Dira.
“Siapa lo?”
“Siapa lo?”
Keduanya berucap serempak.
“Gue temen sekelasnya Amira,” ucap Gilang mengawali. Matanya menatap cowok yang usianya tidak jauh dengan dirinya itu dari atas ke bawah.
“Gue sahabatnya Mira.”
Mata Gilang membulat sempurna. “Hahaha, sahabat? Ngaku-ngaku ya lo?” tanyanya.
“Enak aja. Lo tuh yang bukan siapa-siapanya Amira. Cuma temennya doang aja bangga,” ucap Rama meledek.
Iya, Rama Alvareza juga datang.
“Idih, setidaknya Amira punya panggilan khas buat gue.” Gilang tersenyum bangga.
“Siapa emang, hah?” tanya Rama sambil melipat tangan di depan dada.
“Beuh! Banyak banget. Lo nggak bakal bisa ngehafalin satu persatu.”
Rama tambah geram dengan sikap Gilang yang terus berbelit-belit. “Lo jangan mancing emosi gue, ya?”
“Lah, lo terpancing? Cih, baperan.” Gilang menunjuk muka Rama sambil ngakak. “Emang dia punya panggilan khusus buat lo? Kagak kan? Artinya, lo nggak istimewa.”
Rama hendak mengumpati Gilang dengan umpatan terkeren sepanjang masa. Namun urung karena Gilang kembali nyerocos. “Lagi pula si Amira nggak pernah cerita kalau dia punya sahabat. Kalau lo emang sahabatnya, buahaha.... Amira katarak kali ya milih lo.”
“Kurang ajar nih orang. Emang lo siapanya Mira, sih? Songong banget lo dari tadi,” tanya Rama dengan tangan mengepal.
“Gue?” tanya Gilang menunjuk dirinya sendiri.
Rama tersenyum mengejek sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Gue pelatih sekaligus partner-nya Amira,” jawab Gilang bangga.
“Yaudah, kenalin. Gue calon masa depannya Amira,” ucap Rama membuat Gilang tambah mengakak.
Cklek
Pintu ruangan ini terbuka dan barulah muncul Dira yang membawa dua cup kopi panas.
“Eh? Rama? Kapan kamu datang?” tanya Dira dan Rama langsung menyalami tangan Dira dengan sopan.
“Barusan, Tante.”
“Ohh. Loh Gilang, kamu kenapa ketawa kayak gitu? Kamu nggak apa kan?” tanya Dira panik.
“Maaf Tante, abisnya ada autism kesasar di kamar Anggrek 12 ini,” jawab Gilang masih dengan sisa tawanya.
“Hah? Tante kira rumah sakit ini berhantu,” ucap Dira sambil mengelus dada.
Sementara itu, wajah Rama sudah merah padam dengan tangan yang mengepal erat. Matanya berkilat marah menandakan ketidaksukaannya dengan Gilang. “Tante-
“Tante, saya ijin pulang dulu, ya. Maaf banget nggak bisa nemenin Amira. Barusan Papa saya telepon soalnya,” sahut Gilang cepat memotong ucapan yang hendak keluar dari mulut Rama.
Fuck, ngajak ribut nih orang, batin Rama.
“Oh, ya sudah, nggak apa, biar Rama aja yang nemenin Amira kalau begitu. Makasih ya Gilang, titip salam buat orang tua kamu,” ucap Dira yang disambut dengan Gilang yang menyalami tangannya.
“Oke, Tante.”
“Oke, hati-hati di jalan.”
Begitu Gilang sampai di parkiran, ia mendongak ke langit. Batinnya merasa kalau malam ini dia akan banyak curhat ke langit. Banyak banget.
***
Dua hari Amira tidak masuk sekolah. Peristiwa yang baru pertama kali terjadi ini membuat penghuni kelas 11 MIPA 5 dilanda keingintahuan yang tinggi.
“Gue kan udah bilang, Amira demam. Dia nginep di rumah sakit,” ucap Gilang yang rasanya sudah mengatakan kalimat itu berulang kali.
“Tuh anak bisa sakit juga ternyata,” gumam Fadia yang membuat Gilang melirik ke arahnya.
“Amira kan manusia,” ketus Gilang.
“Lah, siapa bilang dia anoa. Kayaknya, lo deh yang pernah ngatain dia begitu,” balas Fadia ikut sewot dan berhasil membuat Gilang bungkam.
“Enak dong lo! Nggak di suruh-suruh lagi selama dua hari kemarin,” sahut Mitha yang baru aja selesai menyalin tugas rumah.
“Enak lah.”
Lagian gue bukan lagi babunya dua hari kemarin, batin cowok itu.
“Tapi kok lo kayak nggak seneng gitu?” tanya Fadia.
“Nggak enak aja nggak ada si Amira. Nggak ada yang gue gangguin.”
Setelah mengatakan kalimat itu, Gilang langsung pergi sambil membawa sebuah buku tulis dan bolpoin.
“Mau kemana tuh bocah?” tanya Mitha pada Fadia yang hanya mengedikkan bahunya.
Gilang mengunjungi rooftop sekolah untuk yang kesekian kalinya. Hanya tempat ini yang paling mudah digunakan untuk ngapain aja. Selain bisa menghirup udara lebih leluasa, posisi di tempat ini juga dekat dengan langit. Menurut Gilang, hal itu sangat menguntungkan dirinya agar lebih enak curhat-curhatan.
Semalam dirinya sudah seperti orang gila karena asyik ngobrol dengan langit hingga pukul 11 malam. Heran, kok dia nggak gumoh ya ngomong segitu lamanya.
Cowok itu mulai menulis sesuatu di bukunya sambil bernyanyi agar tidak sunyi-sunyi amat.
Pernah kumerasakan, getaranmu. Mencintaiku seperti kumencintai-
Gilang menghentikan nyanyiannya yang berjudul ‘Kasmaran’ itu. Kepalanya mendongak ke langit dan memejamkan mata. Kemudian menarik napas dan menghembuskannya perlahan.
Setiap saat setiap waktu. Keringat basahi tubuh. Ini saat yang kutunggu. Hari ini kubuktikan. Ho! Yo Ayo, yo Ayo yo, Yo Ayo, yo Ayo yo, Yo Ayo, yo Ayo yo!
Lagu Meraih Bintang yang dipopulerkan oleh Via Vallen itu tiba-tiba terdengar. Siapa lagi kalau bukan Gilang yang nyanyi. Tuh anak emang absurd bin semplur jadi jangan bingung kalau sikapnya bego banget.
Dan menurut nyanyian yang dihasilkan Gilang itu, sekarang muncul opini baru bahwa tuh cowok sedang galau. Dan opini yang baru lagi ialah, kenapa setelah lagu ‘Kasmaran’ berubah menjadi ‘Meraih Bintang’? Itu karena Gilang jatuh cinta dengan Jazz dan ingin duet bersama Via Vallen.
G I L A.
“Gilang!” sebuah suara mengehentikan aktivitas Gilang yang tengah fokus menulis sambil bersenandung. Sangking kagetnya, bolpoin warna pink yang ia dapat dari membegal Amira waktu itu sampai terlempar.
Cowok itu menoleh ke belakang dan matanya membulat begitu melihat siapa yang memanggilnya. “Lo Amira?” tanyanya sedikit berteriak. Ia masih tidak percaya kalau yang dia lihat ini adalah gadis itu.
“Ini gue,” ucap Amira begitu sampai di samping Gilang.
“Masa? Beneran? Really? Jinjja?” tanya Gilang.
“Lo ngomong apa sih?”
“Hehe, skip aja. Kapan lo pulang dari rumah sakit?” tanya Gilang yang tak bisa menyembunyikan raut bahagianya.
“Tadi pagi.”
“WHAT??” Mulut Gilang menganga dengan mata melebar.
“Iya. Setelah ada kabar kalau gue boleh pulang, gue langsung memohon ke Mama untuk sekolah. Yahh, walaupun hadir di jam istirahat barusan,” jelas gadis itu.
Gilang manggut-manggut kemudian memandang bingung Amira yang tiba-tiba terdiam.
“Jawab dengan jujur!” ucap Amira tiba-tiba membuat Gilang terlonjak karena kaget. Sikap asli cewek itu rupanya kembali lagi, pikir Gilang.
Amira melangkah mendekat ke Gilang sambil memandang tajam cowok itu. “Saat gue nggak ada, apa yang lo lakuin di kelas?” tanya Amira menyelidik.
Yang ditanya pun jadi mati kutu seperti di tembak telak. “Biasa, belajar dengan rajin lah,” jawab Gilang santai.
“Yakin lo?” tanya Amira lagi.
Gilang pun mengangguk gugup.
“Lo pikir gue nggak tahu. Buruan, jawab dengan jujur!” paksa Amira lagi yang tidak gampang dibodohi.
“Astaga, iya. Iya,” pasrah Gilang akhirnya.
“Iya apanya?”
“Iya, gue jadi sekretaris gantiin lo,” jawab Gilang.
“Tuh kan! Disuruh Bu Rahayu apa kemauan lo sendiri?” tanya Amira lagi yang berusaha mendapatkan jawaban sedetail mungkin.
“Kemauan gue.”
“Tuh kan!”
Amira kelihatan panik dengan tidak jelas. Ia mondar-mandir dengan pikiran kemana-mana.
“Mir,” panggil Gilang.
Amira masih belum menyahut. Kakinya betah jalan kesana-kemari sambil menggumam tak jelas.
“Mir, lo ngapain sih?” panggil Gilang lagi dengan keras.
“Gue lagi panik. Masa lo nggak bisa lihat sih, wajah gue yang panik begini?” ketus Amira.
“Lo panik kenapa?”
“Gue panik gara-gara lo!” jawab Amira. “Gue udah nggak masuk dua hari, dan lo jadi sekretaris di kelas. Pasti Bu Rahayu udah lihat cara kerja lo. Entar, kalau beliau mengganti posisi gue ke lo gimana?”
“Ya alhamdulillah,” jawab Gilang.
“Gilang... lo tega banget, njiirr. Gue nggak mau dipecat jadi sekretaris!” Amira merengek seperti anak kecil. Ia mengguncang bahu Gilang berkali-kali sambil menggerutu.
“Jadi, lo sadar diri kalau sebenarnya lo itu takut kesaing sama gue?” tanya Gilang membuat Amira berhenti dari aktivitas merengeknya.
“Maksud lo?”
“Apa yang lo takutin dari gue?” tanya Gilang akhirnya.
Amira terperanjat karena pertanyaan Gilang. Masa ia harus jujur sih?
“Gue....” ucap Amira menggantung. “Gue... gue nggak bisa bilang. Itu privasi!”
Gilang mendecak kemudian membuka mulut untuk bersuara lagi. “Ternyata gue punya sisi yang lo takutin juga, eh? Kirain cuma lo yang punya sisi nyeremin doang.”
Amira mendongak sambil mengernyit. “Gue? Nyeremin?”
Gilang mengangguk mantap. “Lebih nyeremin dari pada gue.”
“Denger ya Gilang...”Amira berkacak pinggang kemudian melanjutkan. “yang nyeremin itu lo. Lo tuh kayak ular, tenang tapi menghanyutkan.”
Gilang mengangkat sebelah alisnya. “Air woy air! Bukan ular! Lagian, apanya yang nyeremin dari gue elah?” tanyanya.
“Semuanya! Apapun yang lakuin, semua itu merupakan ancaman bagi gue. Pokoknya, lo nggak boleh deket-deket sama hal yang berbau sekretaris,” tegas Amira.
Gilang menyeringai dan menunjukkan senyum mautnya dengan pede.
“Lo nggak punya hak ngelarang gue.”
“Jelas punya lah. Gue ini seratus persen masih menjadi sekretaris-nya 11 MIPA 5. Dan posisi gue saat ini ada di lampu kuning. Artinya, gue harus hati-hati sama lo. Huu, ular berbisa.”
Gilang melotot dan memajukan tubuhnya membuat Amira refleks termundur dengan gugup. “Punya mulut nggak bisa dijaga. Mau gue ulek tuh mulut?” ancam cowok itu membuat nyali Amira menciut namun tak urung balas melotot.
“Suka-suka gue,” balas gadis itu berkacak pinggang.
“Untung mood gue lagi baik ya. Kalau nggak, udah abis lo disini.”
Amira mengernyit, bersikap polos seolah-olah yang diucapkan Gilang tadi hanyalah lelucon tak berfaedah. “Songong,” gumamnya.
Gilang mendelik, ia mendekat dan mengangkat tangan kanannya ke udara. Dengan agak keras menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu. “Gue. Bakal. Stay. Di lampu. Hijau.” Amira membalas dengan tatapan tajam. “artinya, gue akan terus berjalan karena jabatan sekretaris sudah ada di depan mata,” lanjut Gilang mengeja pelan-pelan kata demi kata bermaksud membuat Amira peka bahwa ia serius dengan perkataannya.
Merasa kesal, Amira pun menepis tangan cowok itu kemudian balas melotot. “Nggak! Lo harus di lampu merah! Berhenti disitu selamanya!”
Gilang menyeringai. “OGAH.”
Tanpa mengajak Amira, cowok itu langsung nyelonong meninggalkan rooftop. Tak memedulikan Amira yang berteriak memanggil namanya dengan emosi.
Dasar ya, debat ama tuh anak nggak ada habis-habisnya, batin Amira.