LXXVIII
Saat tekad ini lelah,
Ingin melepaskan asa.
Ingin membuang harapan.
Ingin merehatkan kesadaran.
Menghela nafas. “Huuhh,, besok udah UAS, Kayaknya kok cepet banget sih,”
“Napa? Kurang waktu buat belajar?”
“Ya enggak sihh, cepet aja,, Padahal baru kemarin tugas – tugas sekolah selesai, Ini udah mau UAS aja.”
“Kamu kok kayaknya ngeluh gitu sih, Mat. Terima aja to, Belajar,”
“Bukan masalah itu, Von. Tapi kok kayaknya nggak ada selesai – selesainya.”
“Yaa, namanya manusia,, Habis selesai sama yang ini, yang lainnya menunggu.”, ucap Vonni, memaklumkan waktu.
“Rasanya tu aku pingin istirahat jadi manusia.”
“Ya sana to, Mati aja, Ntar kan langsung berhenti jadi manusia.”
“Kamu kok sengak gitu sih ngomongnya?”
“Ya aku sebel aja. Kamu seringnya ngeluh gitu aja sih.”
“Aku kan cuma mengungkapkan padatnya jadwal belajar ini, Von. Kamu kok jadi marah – marah sendiri gitu,”
“Terserahlah, Percuma ngasih tau kamu terus.”
Dengan mimik kesal cewek cantik itu meninggalkan temannya di gazebo sekolah.
LXXIX
“Napa, Von? Kamu kok cemberut gitu,” Sambil Wanda menemani temannya yang sedang duduk sendiri di teras ruang kelas.
“Kayaknya aku dan Mamat nggak cocok deh,”
“Maksudnya?”
“Ya nggak cocok, Aku yang selalu termotivasi sedangkan Mamat kayaknya nggak punya semangat hidup.”
“Emang ada apa sih, Von?”
Emosi Vonni sedikit berkobar.
“Kesel aja, Mamat tadi bilang dianya ngerasa capek dengan semua kewajiban – kewajibannya sebagai murid, trus kayaknya dia tu ngeluh gitu kalo disuruh belajar.”
Menghela nafas. “Tapi Mamat itu memang ada benernya kok, Von. Aku aja ngerasa lelah jadi kelas 3, Harus ekstra belajarlah, lebih banyak ngerjakan soal, Apalagi aku kan les inggris segala, Rasanya capek banget ni badan.”
“Ya ampunn, kamu kok kayak Mamat sih, Ini tu demi kita lulus dengan nilai terbaik, Wan. Masak kita harus santai – santai saja? Ntar tiba waktunya UN malah bingung sendiri.”
“Von,, kamu sama Mamat tu sebenarnya cocok banget, Kalian itu saling melengkapi, Inget, Von,, tiap orang itu beda – beda energinya, gregetnya, Kadang ada yang butuh waktu istirahat lebih sedikit, tapi ada juga yang butuh waktu lama buat refresh lagi. Lha mungkin Mamat itu tipe yang refresh nya lama, Karena itu kalo kamu bikin Mamat terburu – buru kayak kamu, justru dia tu nggak bisa refresh dengan baik, Hasilnya ya nggak sesempurna kalo istirahatnya penuh.”
“Lha trus kamu tadi bilang, Cocoknya sama aku apa?”
“Ya, cocok,, Kalo kamu pingin menyadarinya to, coba kamu ikuti ritmenya Mamat pas santai, nanti kamu bakal nemuin sesuatu yang sebelumnya enggak kamu sadari.”
“Halah, buang – buang waktu aja, Intinya tu ya kita sekarang, besok minggu depan tu kita mau UAS, dan sebagai seorang siswa kita harus siap untuk menghadapi UAS itu apapun kondisinya. Nggak ada alesan males – malesan apalagi capek.”
Menghela nafas, “Iya lah, Von, Iya,, Kamu memang cewek yang gregetnya nggak ada matinya.” Wanda merasa terengah – engah.
LXXX
Ujian Akhir Semester tiba,
Tak terbayangkan bagaimana kondisi sekolah itu.
Sepi, layaknya tidak ada kehidupan manusia di dalamnya.
Sunyi, Entah sunyi dalam kegamangan atau sunyi karena sedang main mata.
Tapi sungguh Mamat hanya diam saja melihat kecurangan terjadi di depan matanya.
Karena hal itu sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun.
Dan barang siapa mengadu pada guru akan dibully beramai – ramai.
Tapi tidak semua siswa berbuat curang.
Ada beberapa siswa/ siswi yang jujur.
Mereka percaya dengan kemampuan sendiri.
Tidak tergantung pada contekan ataupun bantuan teman.
Mereka itu yang dengan percaya diri menyebut diri mereka pintar.
Dan orang – orang ini apabila pelit jawaban akan menjadi sasaran pembullyan.
Karena itulah, meskipun dongkol Vonni tetap memberi contekan pada teman – temannya.
Sungguh UAS adalah keindahan sekaligus kutukan.
Berdiri di antara hitam putih.
Hendak jujur dan menjadi putih.
Atau hendak menjadi hitam dengan berbuat curang.
Tapi itulah UAS, suatu hal yang memanjakan guru – guru mata pelajaran.
Demi nilai yang baik itu dikejar.
Demi menjadi yang terbaik itu diraih.
Demi lulus hal itu dibelajari mati – matian.