Nama,
Seberapa penting arti sebuah nama,
bila yang dinanti tak pernah menanyai
ataupun mengisi hari dengan panggilan yang diharap dirindui
__________
"Attaya!"
Attaya memutar tubuhnya, melihat siapakah sosok yang memanggil namanya dengan teriakan yang sangat kencang dan suara cempreng yang 'membahana'— Fara, tersenyum sangat lebar dengan tubuh yang bergetar hebat seperti sedang menahan tawa.
Attaya menarik sudut bibirnya dengan mata yang menyipit. Mengapa Fara menahan tawa?
Asti dan Reni yang melihat Fara tak bergerak segera menyeret pemilik suara cempreng itu menuju Attaya.
"Far, lo ngapain nahan ketawa gitu?" tanya Asti sesaat setelah mereka menghampiri Attaya.
"Iya, Fara aneh. Kenapa bisa nahan ketawa gitu," sambung Attaya.
Dengan tubuh yang masih berguncang pelan, Fara berusaha menetralisir kegelian yang dirasakannya. "Gimana gue nggak nahan ketawa. Gue di kampus loh, mana suara cempreng, teriak kenceng manggil Attaya. Gue ngerasa super banget," kekeh Fara geli.
Oh ternyata, yang menjadi objek tertawaan Fara adalah dirinya sendiri. Attaya dan Asti menggelengkan kepalanya, berusaha memahami Fara yang seringkali kurang tahu malu.
Reni mendengus melihat Fara dan goncangan tubuhnya yang mulai melemah, "Udah ketawanya?"
Fara mengangguk antusias sembari menampilkan dua jarinya, jari tengah dan telunjuk, sebagai simbol damai—meminta maaf atas kekesalan yang dirasakan oleh teman-temannya akibat kelakuannya.
Attaya terkekeh geli, "Emang kenapa sih, Far? Manggil aku dengan kekuatan super gitu."
"Mau nonton nggak?" ajak Fara lugas tanpa basa-basi.
"Nonton ya? Hari ini?"
Fara mengangguk mantap, "Ya hari ini lah, Ya. Kapan lagi? Hari ini hari terakhir kita di semester ini. Sediih." Fara memeluk Attaya yang berada di hadapannya, seolah ia takkan pernah bertemu dengan Attaya lagi.
"Alay lo," ujar Reni dan Asti bersamaan.
"Ye, gue ngajakinnya serius nih. Udah lama kita nggak jalan berempat. Kalian berdua sih gampang kalau diajak kemana aja. Nyonya yang satu ini nih yang susah banget diajakin keluar dari tempat semedinya,” ujar Fara sembari menembak jari telunjuknya berkali-kali kepada Attaya.
"Darimana lo tahu kalau gue mau ikut?" sanggah Reni.
"Emangnya lu nggak mau ikut?" sambar Fara cepat. "Nah, itu muka menunjukkan bahwa seorang Reni Restianti tidak akan menolak. Bener 'kan?"
"...."
"Sok jual mahal lu, Ren. Sama gue aja pake jual mahal. Trying hard to get, huh?"
"Apaan sih, Far. Bukan gitu. Gue udah rencana mau jalan sama orangnya Fanya," Reni menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Lagian lo nya dadakan gini."
"Kalau lu nggak mau ya udah. Gue juga nggak maksa. Lagian lu cuma rencana aja kan? Bukan janji yang harus ditepati," putus Fara. "Attaya gimana? Mau ikut jalan nggak?"
"Ng...ng... Itu...." Attaya terdiam cukup lama. "Asti ikut nggak?" tanya Attaya sembari menatap penuh minat kepada Asti.
"Ikut dong, nggak ada kerjaan nih. Sekalian refreshing. Gila aja tuh pengawas yang tadi, bikin panas..."
"Hush, udah deh. Cerita tentang pengawas nanti aja. Gue juga mau gunjing." Fara menaik-turunkan alis matanya. "Kalau lo cerita sekarang, nggak gerak-gerak nih kitanya. Jadi gimana, Ya? Ikut nggak?"
"Ikut deh. Udah lama nggak jalan bareng kalian." Attaya tersenyum sumringah. Ia senang karena masih diberi kesempatan untuk bermain dengan teman-temannya.
"Reni beneran nggak ikut?" tanya Attaya memastikan.
Reni yang ditanya berdecak kesal. "Gini nih, giliran gue udah punya rencana sama orang lain aja si Attaya mau diajak jalan. Pas gue nggak ada rencana, dia lebih milih pacaran di perpustakaan."
Attaya tersenyum geli melihat respon Reni.
"Ya udah deh. Gue ikut kalian aja," putus Reni yang disambut sorakan gembira oleh ketiga temannya. "Kenapa kayak dapat hadiah rumah gitu? Seneng banget.”
"Kalau gue sedih, ntar lu pikir gue nggak senang lu ikut. Ya udah, sesuai dengan suasana, kita seneng dong," sahut Fara dengan senyum terkembang di wajahnya.
"Lo ngomong apa sih, Far? Udah mirip si Attaya ngomong, sering nggak jelas."
"Lebih nggak jelas Attaya kali dibanding gue, Ren."
Attaya yang mendengar namanya disebut dalam sindir menyindir itu hanya mampu terdiam, lalu melirik Reni dan Fara yang berjalan beriringan.
Hatinya memberontak—ingin bertanya, sesering itu kah aku ngomong nggak jelas di mata kalian?
•••
Dengan langkah senang, mereka menuju mobil Fara yang terparkir di parkiran umum universitas. Jaraknya cukup jauh dari fakultas mereka, sekitar 500 hingga 700 meteran.
"Gile ya lo, Far. Jauh banget markirnya. Tau gitu naik mobil gue aja," cetus Reni.
"Lah, tadi lu yang minta naik mobil gue. Salah siapa coba?" dengus Fara kesal.
"Udah ah, kan bukan masalah besar kalau jalan kaki ke parkiran kampus. Sekalian olahraga jalan kaki," potong Attaya yang disambut delikkan dari Fara dan Reni. "Lah, lagian bener kan, sekalian olahraga. Soalnya aku juga udah lama nggak olahraga nih."
Attaya tertawa kecil. Gigi-gigi putihnya tampak berderet rapi dibalik tawa dengan suara kecil dan senyum lebarnya itu.
Mereka tak tahu bahwa saat ini Reni, Asti, dan Fara memiliki pikiran yang sama, ini anak, cuma karena hal kayak gitu aja bisa ketawa kecil, sungguh lucu bagi Attaya adalah hal yang sangat sederhana.
"Ya, tadi kenapa terlambat?" tanya Asti penasaran.
"Biasa," sahut Attaya cepat sembari menampilkan gigi kelincinya dengan mata yang menyipit.
"Semalem itu aku ketiduran, dan baru belajar sekitar jam 1-an. Terus listriknya mati. Kan kesel tuh, akhirnya belajar pake lampu emergensi, eh redup lupa di cas. Untungnya menjelang subuh lampunya hidup lagi. Akhirnya aku belajar deh."
"Yang ditanya Asti bukan itu," potong Reni gemas.
"Iya, aku tahu kok, Ren. Asti nanya kenapa aku terlambat. Nah, karena hal itu lah, aku takut kalau nanti pas ngerjain soal ujian bakal ngantuk jadi ya setelah subuh, aku tidur lagi." Attaya tersenyum malu-malu menceritakan penyebab keterlambatannya pagi ini.
Asti menatap Attaya dengan tatapan prihatin, "Beneran nih si Attaya. Parah banget. Untung dibolehin masuk sama pengawasnya."
"Emang kenapa sama pengawasnya?" tanya Attaya tak paham. "Dia killer? Emang dia dosen?"
"Gila ya! Gila!” sahut ketiga teman Attaya berbarengan.
“Attaya beneran parah! Nggak tahu sama sekali siapa yang tadi ngebukain pintu buat dia. Lo harus tahu, Ya. Kalau misalnya dosen yang ngebuka pintu buat lo, tepat ketika lo ketuk pintu buat permisi dia lagi berapi-api ngeliat masih ada bangku kosong. Mukanya kelam banget. Gue aja yang biasanya cuek sama hal begituan sampe ngilu ngeliatnya."
Asti menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang dikatakan oleh Reni, “Gue juga ngeri-ngeri sedap begitu ngeliatnya.”
"Beneran dosen? Aku nggak tahu loh dia siapa. Kemarin itu juga pernah ketemu di perpustakaan. Dan aku pikir dia mahasiswa tua yang skripsinya nggak selesai-selesai gitu. Makanya, tadi ya cuek bebek aja. Bodoh amat sama mahasiswa tua, aku mikirnya gitu."
Attaya tersenyum hambar menyadari apa yang baru saja dihadapinya sebelum ujian hari ini.
Jawaban Attaya mengundang decak kagum dari Asti, Reni, dan Fara. Mereka bener-bener nggak paham kenapa Attaya bisa ada di dunia ini dengan segala keterlambatan informasi yang dimilikinya.
"Beneran nggak tau, Ya?" tanya Reni tak percaya, yang segera disambut dengan anggukan yakin Attaya.
"Ngomongin siapa sih?" tanya Fara penasaran. "Gue nggak paham dosen yang mana."
"Itu loh, lo tahu dosen baru nggak? Belum dikenalin ke kita sih, tapi udah jadi hot issue dari beberapa Minggu yang lalu."
Fara tampak berpikir sejenak, lalu wajahnya berbinar bahagia. "Gue tahu! Dosen muda yang cakep itu kan? Yang sering pake kemeja lengan panjang terus digulung sampe ke siku 'kan? Terus dia ke kampus pake sneakers 'kan? Bener 'kan?"
"Lo ngomong kayak kereta cepat ya, Far. Iya, yang itu. Yang gosipnya dia nggak suka pake pantofel."
Fara berseru kencang, "Anjiir, si Attaya dosen baru cakep aja dia nggak tahu. Gila parah! Beruntung banget kalian diawasi sama dosen cakep."
"Lebih beruntung Attaya sih. Sampe dibukain pintu loh sama tuh dosen."
"Lagian lo kayak nggak kenal Attaya aja. She is the one loh yang nggak tahu apa-apa tentang kampus. Coba tanya, dia tahu rektor kampus kita nggak?"
Attaya mengangguk dengan bangga, "Tau lah."
"Kalau dekan 2 fakultas?"
Attaya tersenyum hambar. Lalu diberikannya senyuman terbaiknya kepada Asti, "Hehehe."
"Nah, bener kan apa yang gue bilang. Kalau lo tanya ada berapa banyak buku di perpustakaan, mungkin ada dia bakalan tahu. Atau kalau lo bingung cari judul buku, lo bisa minta tutorial sama Attaya."
Attaya yang mendengar sindiran itu hanya mendengus dengan kasar. Dia nggak perlu tahu nama wakil dekan fakultas dan teman-temannya 'kan? Lagipula dia nggak butuh, jadi ngapain di hapal. Palingan kalau butuh tinggal buka website fakultas. Kurang penting banget ngapalin nama dekan.
"Kenapa sih penting banget tahu nama orang lain." Attaya mengeluh dalam gumamannya, namun masih mampu didengar oleh koloninya.
Dan mereka hanya mampu tersenyum kecut melihat betapa tak pedulinya Attaya terhadap lingkungan sekitarnya.