9
“Ke pantai, lihat sunset.” Cendi memberi tahu sebelum Nicho yang sedang duduk santai di selasar sempat bertanya—seperti biasa, setiap kali melihatnya keluar.
Bibir Nicho yang baru dibuka kembali terkatup. Kemudian kembali terbuka ketika sosok Cendi mulai menjauh hanya untuk berseru, “Jangan malam-malam pulangnya!”
Seperti biasa, Cendi hanya terus berjalan tanpa memedulikan atau membalas seruan Nicho yang selalu saja sama—entah sudah berapa ribu kali ia dengar. Kali ini ia memilih batu karang besar yang lumayan rata dan agak menjorok ke laut untuk menikmati keindahan sunset.
Setelah mendapat tempat untuk duduk dengan nyaman, Cendi memandang langit yang mulai memerah. Namun pandangannya jatuh pada sesosok manusia yang sedang berselancar agak jauh di depan sana.
Cendi mengerutkan kening. Siapa orang yang berselancar saat senja seperti ini? Lagi pula, bukankah sangat berbahaya berselancar di dekat batuan karang? Meskipun tak begitu dekat, tapi tetap saja baginya itu terlihat berbahaya. Kenapa tidak mencari tempat yang aman saja, yang bebas dari batu karang kecil dan runcing yang bertebaran?
Cendi terus mengamati sosok itu. Semakin lama ia merasa kenal dengan seorang pemuda yang hanya mengenakan celana surfing pendek itu. Saat sosok itu lebih mendekat beberapa meter ke arahnya, ia pun menyadari bahwa itu adalah Rocky.
Cendi terpaku. Tubuhnya mendadak membeku. Ia benar-benar tak bisa melepaskan pandangan dari sosok yang akhir-akhir ini sering mengusik pikirannya itu. Baginya, Rocky yang sedang bergaya di atas papan selancar terlihat sangat keren. Dari caranya bermain-main dengan ombak, sepertinya dia sudah sangat akrab dengan laut.
Melihat Rocky berselancar membuat Cendi mengabaikan keindahan panorama sunset. Ia jadi lupa tujuan awalnya datang ke pantai ini untuk melihat matahari terbenam. Di atas laut yang luas itu, seolah hanya Rocky yang tampak di matanya.
***
Rocky berjalan ke tepi pantai sambil mengapit papan selancar pada lengan kanannya. Ia merasa cukup puas berselancar hari ini. Agak capek juga sih berselancar setelah berenang lebih dari sepuluh putaran. Tapi paling tidak, perasaan panas yang tadi membakarnya sudah tak dirasa lagi olehnya. Entah kenapa ia merasakan panas di dada saat melihat Reno mengobrol akrab dengan Cendi saat di kolam renang tadi.
“Hei!”
Rocky menoleh mendengar suara yang sepertinya ia kenal. “Cendi?”
“Iya, ini aku. Jangan kayak melihat hantu gitu, dong.”
Rocky tersadar. “Sedang apa kamu di sini?”
“Memangnya nggak boleh?”
“Bukan begitu,” sahut Rocky. “Tapi ini kan sudah gelap.”
“Jadi aku nggak boleh jalan-jalan ke pantai kalau sudah gelap?”
Rocky tersenyum sabar. “Bukan itu maksudku, ehm….”
“Aku menunggumu.”
Rocky mengangkat kedua alisnya. “Menungguku?”
Cendi tersenyum manis. “Aku kan belum bilang terima kasih.”
Sekarang Rocky mengernyit. “Untuk?”
“Kamu kan sudah menyelamatkan aku.”
“Ha?”
Cendi memutar bola matanya gemas. “Waktu aku tenggelam.” Ia jadi merasa kesal karena sepertinya Rocky sudah melupakan peristiwa yang baru terjadi beberapa hari yang lalu itu.
“Oh… itu,” Rocky akhirnya paham. “Bukan apa-apa, kok.”
“Sepertinya kamu sudah lupa ya, tentang itu?” Mata sayu Cendi menatap Rocky sendu. “Jangan-jangan kamu sudah melupakan aku.” Raut mukanya mendadak murung.
“Bukan…”
“Aku tahu,” ujar Cendi pelan, “kita memang nggak ada hubungan apa-apa. Kita baru kenal dan hanya pernah jalan bersama satu kali. Kita bahkan bukan teman. Jadi wajar kalau kamu nggak ingat aku.”
Rocky kembali membuka mulut hendak mengucapkan sesuatu, tapi Cendi kembali memotong, “Maaf mengganggu. Aku hanya mau mengucapkan terima kasih. Permisi.” Ia berbalik dan mulai melangkah menjauhi Rocky.
“Hei, tunggu!” Rocky meraih lengan Cendi dengan tangan kirinya yang bebas. “Siapa bilang aku lupa sama kamu? Bukankah sudah jelas aku ingat namamu. Kalau aku melupakanmu, mana mungkin aku langsung ingat kamu saat kita bertemu tadi. Meskipun baru kenal, tapi kamu temanku yang berharga.”
Cendi berbalik menghadap Rocky. “Benarkah?”
“Tentu saja.”
“Lalu kenapa kamu nggak ingat pernah menolongku saat aku tenggelam?” tanya Cendi lagi.
“Bukan nggak ingat. Aku hanya…”
Cendi tertawa keras sebelum Rocky menyelesaikan kalimatnya. Ia tak bisa menahan diri demi melihat wajah Rocky yang begitu serius menanggapi ucapannya.
Rocky tak melanjutkan kata-katanya dan menatap Cendi heran.
“Hahaha… nggak usah bingung gitu, dong!” Cendi terus tertawa geli. “Aku kan cuma bercanda. Aku tahu kok kamu nggak melupakanku.”
Rocky tersenyum lega. “Kamu ini!”
Cendi tetap tak berhenti tertawa. Mau tak mau, Rocky ikut tertawa juga.
“Tapi—” Cendi tiba-tiba menghentikan tawanya. Wajahnya kembali murung. Rocky memperhatikan dan menantikan lanjutan ucapannya. “—kenapa kamu nggak bilang padaku kalau mau ke Lombok di hari pertama tahun baru? Kamu bahkan nggak pamit.”
Rocky memiringkan kepala dan mengernyitkan alisnya. “Harus, ya?”
Cendi agak terkejut mendengar jawaban Rocky. Ia mengerjap beberapa kali sebelum dengan gugup menjawab, “Ah, ehm… ya… itu…”
“Gotcha!” Rocky berseru sambil tertawa keras. “Sekarang kamu yang tertipu.”
Cendi makin merengut. Lalu berbalik pergi tanpa berkata apa pun.
“Hei, tunggu…!” Rocky berseru seraya mengejar Cendi. “Kenapa kamu marah? Aku tadi nggak marah waktu kamu ngerjain aku.”
Cendi menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Rocky. “Oke, kita impas.”
“Gitu, dong!”
“Jadi, apa jawaban pertanyaanku tadi?”
“Sebenarnya waktu itu aku mau pamit sama kamu. Tapi aku nggak enak mau ke kamarmu.”
“Akhirnya kamu pergi begitu saja?”
“Aku mencoba menunggu di balkon, siapa tahu kamu muncul, seperti pertama kita bertemu. Tapi sampai waktunya aku berangkat kamu nggak muncul juga. Jadi, aku terpaksa berangkat tanpa pamitan sama kamu. Maaf, ya.”
Cendi tersenyum. “Bukan salahmu,” balasnya. “Dua hari itu Tiara mengurungku di dalam kamar. Makanya aku sama sekali nggak muncul di balkon.”
“Oh.” Rocky mengangguk mengerti. “Tapi, dari mana kamu tahu aku pergi di hari pertama tahun baru?”
“Reno yang bilang.”
Perasaan aneh di dada Rocky kembali menguar. “Kamu kenal kakakku?”
Cendi mengangguk.
“Sudah lama?”
Cendi tampak berpikir. “Ehm… bagaimana, ya? Cukup lama sih, tapi…”
“Apa?” sela Rocky tak sabar.
“Aku pernah mewawancarainya beberapa tahun yang lalu. Tapi setelah itu, kami nggak ada kontak. Baru kemarin kami bertemu lagi dan ngobrol.”
Rocky kembali mengernyitkan kening. “Kamu wartawan?”
Cendi menggeleng. “Aku mewawancarai Reno untuk acaraku di radio.”
“Kamu penyiar radio?” Rocky tampak kaget.
Cendi mengangguk. “Kenapa? Ada yang aneh?”
“Nggak ada, sih, cuma… kamu terlihat pendiam.”
“Memangnya kelihatan gitu?”
“Yeah, iya.” Rocky mengangguk. “Apalagi waktu pertama kenal.”
Cendi tertawa kecil. “Tapi kalau sudah kenal, aku nggak pendiam, kan?”
“Iya, sih.” Rocky tersenyum. “Kamu cukup menyenangkan dan asyik diajak ngobrol. Tapi nggak bisa dibilang cerewet juga. Bukannya penyiar radio harus cerewet, ya?”
“Aku memang pendiam kalau berhadapan dengan orang secara langsung, apalagi yang baru kenal,” jelas Cendi. “Tapi aku bisa cerewet banget di belakang microphone.”
“Eh, bisa begitu ya?”
“Bisa dong,” sahut Cendi. “Ah, sudah gelap. Pulang, yuk!”
Rocky mengangguk dan melangkah bersama Cendi menuju resort. “Oh ya, boleh aku bertanya sesuatu?”
Cendi menoleh tanpa menghentikan langkah. “Tentu.”
“Waktu itu… kenapa kamu bisa tenggelam?” tanya Rocky.
Cendi tak langsung menjawab, seolah berpikir terlebih dahulu sebelum berujar, “Aku main terlalu jauh ke air. Lagi asyik-asyiknya, ombak besar datang. Aku kehilangan keseimbangan dan terseret.”
Rocky mengernyit. “Kamu nggak bisa berenang?”
Cendi menggeleng.
“Ya ampun, pantas saja kamu langsung tenggelam. Next time, kamu harus lebih hati-hati ya!”
Cendi tersenyum lebar. “Iya.”
Like.
Comment on chapter Prolog