4
Rocky sedang asyik memilih-milih kaus saat ponsel Cendi berbunyi. Nada dering Rising Sun milik TVXQ yang merupakan nada dering khusus panggilan dari Tiara—Tiara sendiri yang memilih, by the way—terdengar nyaring di antara ramainya pengunjung Joger. Cendi buru-buru mencari tempat yang agak sepi dan menjawab panggilan. Selang beberapa menit kemudian ia harus mendengarkan ocehan Tiara. Di mana? Dengan siapa? Teman yang mana? Cewek apa cowok? Bla bla bla.
Cendi hanya menjawab sekenanya. Sudah terlalu terbiasa menghadapi sikap khawatir berlebihan Tiara. Hingga akhirnya Cendi mengucapkan salam perpisahan dan mengakhiri panggilan sebelum telinganya berdengung. Dasar Tiara! Selalu saja memperlakukan Cendi seperti bayi.
Memang, sejak mereka bersahabat saat masih duduk di bangku SMP, Tiara yang tegas dan pemberani itu terus melindungi Cendi yang selalu hanya diam jika ada yang mengganggunya.
Tapi itu kan dulu. Saat ini Cendi sudah dewasa. Lagi pula, pada dasarnya Cendi bukanlah gadis lemah yang selalu membutuhkan perlindungan orang lain. Meskipun lebih sering diam, sebenarnya Cendi bisa menjaga dirinya sendiri. Cendi diam bukan karena takut. Ia hanya tidak menyukai keributan. Maka, sebisa mungkin ia menghindar dari masalah. Walau kadang masalah yang muncul sendiri menghampirinya.
“Cen, gimana menurutmu?” Rocky tiba-tiba muncul sambil menunjukkan sebuah kaus pada Cendi.
Cendi memasukkan ponsel ke saku celana pendeknya dan menoleh pada Rocky. “Bagus,” sahutnya setelah mengamati sejenak kaus yang dipegang cowok itu. “Cocok buat kamu.”
Rocky tersenyum lebar seraya kembali mengamati kaus-kaus lain yang berjajar memenuhi ruangan.
Cendi hanya tersenyum kecil melihat tingkah Rocky. Melihat gayanya saat ini, ia jadi ingat bahwa Rocky masih sangat muda. Jauh berbeda dengan Rocky yang sering dilihatnya di media yang tampak begitu dewasa. Rocky yang ada di hadapannya saat ini adalah Rocky yang sebenarnya. Pembalap muda yang bahkan belum genap berusia 21 tahun. Laki-laki muda yang kadang masih suka kekanakan.
Mereka meninggalkan Joger setelah Rocky puas memilih apa-apa saja yang ingin dibelinya. Termasuk membelikan Cendi dua potong T-shirt wanita. Padahal Cendi sudah menolak, tapi Rocky memaksa. Tak ingin mengecewakan, Cendi akhirnya menerima walau ia sudah punya banyak yang seperti itu di rumah.
***
Tiara langsung menerobos masuk begitu pintu kamar Cendi terbuka untuknya dan langsung menginterogasi. “Semalam kamu ke mana? Aku ke Joger tapi nggak lihat kamu.”
“Habis dari Joger aku jalan-jalan ke Legian, lalu makan malam.” Cendi menjawab santai. Sama sekali tidak kaget Tiara menyusul setelah ia memberi tahu keberadaannya.
“Di mana?”
“Di mana, ya?” Cendi berpikir sejenak. “Entahlah, aku lupa nama kafenya. Kenapa, sih?”
“Aku kan khawatir,” balas Tiara. “Aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu.”
Cendi menghempaskan tubuh ke sofa. Temannya yang satu ini memang berlebihan. Masa cuma keluar jalan-jalan saja sudah khawatir. Cendi kan sudah 26 tahun. Memangnya apa yang akan terjadi padanya? Remaja belasan tahun saja bisa jalan-jalan keliling Kuta sendirian dan baik-baik saja.
“Sekarang jawab jujur. Kemarin kamu pergi sama siapa?” Tiara duduk di samping Cendi dan menatapnya dengan mimik serius.
“Teman,” jawab Cendi singkat. Masih enggan memberi tahu Tiara identitas orang yang bersamanya semalam.
“Siapa? Apa aku kenal?”
Cendi tak langsung menjawab. Mencoba memikirkan jawaban yang akan ia berikan agar Tiara tak bertanya lagi. Cendi tahu sahabatnya itu akan terus bertanya sampai ia menyebutkan namanya. Tapi kalau Tiara tahu orang itu Rocky, ia bukannya akan puas karena telah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, justru akan lebih jauh bertanya bagaimana ceritanya Cendi bisa jalan sama Rocky. Dan Cendi sedang malas bercerita.
“Teman itu punya nama, kan?” Tiara terus menyelidik.
Cendi masih bungkam. Lalu, tiba-tiba ponsel yang ada di tangan Tiara berbunyi. Cendi bisa melihat gambar wajah Mona pada layar sebelum Tiara menjawab panggilan. Hanya sebentar, lalu sambungan terputus.
“Mona dan Lidya sudah menunggu untuk sarapan.” Tiara memberi tahu.
“Bagus. Aku memang sudah lapar.” Cendi yang sebenarnya sudah mendengar suara Mona yang tak bisa dibilang pelan itu langsung bangkit dan melangkah pergi. Merasa lega karena akhirnya terbebas dari pertanyaan Tiara. Thanks, Mona!
***
Suasana restoran yang terletak di lantai dasar hotel itu cukup ramai dipenuhi pengunjung yang hendak sarapan. Hampir tidak ada meja kosong. Untung saja Tiara sudah memesan tempat sebelumnya, sehingga mereka tak perlu antre atau khawatir tidak dapat tempat.
“Nicho mana, sih? Kayaknya aku nggak lihat dia dari kemarin?” Cendi bertanya pada Tiara.
“Tumben nyariin Nicho. Biasanya selalu kabur kalau ada dia.” Bukannya menjawab, Tiara malah menatap Cendi dengan pandangan setengah heran setengah menggoda. “Jangan bilang kamu mulai kangen sama dia.”
“Nggak nyariin, kok. Nggak kangen juga. Cuma heran aja dia nggak ada di sini buat nemenin kamu.
“Iya deh, percaya…”
Cendi mendengus. “Jadi, kamu bakal jawab pertanyaanku apa nggak?”
“Dia masih di Singapore. Setelah tahun baru, dia langsung ke Lombok. Ntar kita ketemu dia di Lombok.”
“Oh, setelah tahun baru nanti kita ke Lombok?” Cendi merasa baru mendengar rencana itu.
“Memang begitu kan rencananya sejak awal,” balas Tiara. “Kita cuma merayakan tahun baru aja di Bali. Liburan sebenarnya, ya di Lombok nanti. Kita bakal lama di sana.”
“Aku lupa.” Rencana ke Bali saja Cendi tidak ingat, apalagi acara lanjutan ke Lombok.
“Memangnya Nicho nggak ngasih tahu kamu?” tanya Mona.
Cendi hanya mengangkat bahu. Mana dia tahu Nicho memberi tahu atau tidak tentang rencana ke Lombok atau keberadaannya sekarang. Dia hampir tak pernah mau menjawab telepon atau membaca pesan dari Nicho. Kalaupun menjawab panggilannya, Cendi hanya mendengar dengan telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tak pernah benar-benar menyimak perkataan Nicho. Pesan pun hanya dibuka, dibaca sekilas, lalu dilupakan. Tunangan Tiara itu harus berhadapan langsung jika benar-benar ingin bicara serius dengan Cendi.
Tak mau ambil pusing tentang rencana pergi ke Lombok atau keberadaan Nicho, Cendi mengedarkan pandang ke seluruh penjuru restoran sembari menunggu pesanan datang. Pokoknya ia menurut saja ke mana pun mereka membawanya.
Petualangan mata Cendi tertambat pada satu meja yang berjarak sekitar lima meja dari tempatnya. Meja itu berisi empat orang pemuda tampan yang wajahnya hampir mirip satu sama lain.
Siapa lagi kalau bukan rombongan pembalap muda Rocky Herlangga. Tampak beberapa wanita di sekitar mereka sedang meminta tanda tangan atau foto bersama Rocky dan Reno. Ada juga beberapa yang hanya berfoto bersama Rocky. Mengabaikan Reno yang duduk tepat di sebelah adiknya.
Bukan rahasia lagi, sih kalau Reno tak sepopuler sang adik meski Reno lebih dulu terjun di dunia balap mobil. Mungkin karena Reno tak seberuntung Rocky yang prestasinya lebih mendunia. Karier balapan Reno tak pernah sampai menembus kompetisi bergengsi macam FIA GP2 yang merupakan kompetisi berlevel hanya satu tingkat di bawah F1. Kompetisi paling tinggi yang diikuti hanya sampai Auto GP, sebelum memutuskan vakum untuk fokus melanjutkan kuliahnya di Amerika. Entah setelah menyelesaikan S2-nya nanti dia akan kembali ke sirkuit atau tidak.
Rocky yang saat ini, seperti Rocky yang sering terlihat di media. Rocky yang tenang dan dewasa. Bukan Rocky yang dilihatnya semalam, yang tampak polos seperti anak-anak. Cendi seolah melihat dua sosok berbeda. Seperti ada dua orang Rocky dalam tubuh yang sama. Tapi bukankah semua manusia memang punya dua sisi berbeda dalam dirinya? Termasuk Cendi. Manusia kan memang harus fleksibel. Terutama seorang public figure seperti Rocky.
Pesanan datang. Cendi menghentikan petualangan matanya dan mulai fokus pada makanannya. Sambil makan, sesekali teman-temannya mengajak ngobrol atau memulai topik obrolan khas wanita. Cendi hanya menanggapi sambil lalu dan tanpa sadar matanya kembali bertualang ke meja Rocky, tepat ketika Rocky juga menoleh ke arahnya.
Pembalap muda itu tersenyum saat melihatnya. Cendi hanya membalas dengan senyuman tipis, lalu kembali menekuni makanannya. Senyuman Rocky telah membuat wajahnya merona dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Beruntung teman-temannya terlalu sibuk dengan obrolan dan makanan masing-masing, sehingga mereka tak menyadari perubahan warna di wajahnya.
Like.
Comment on chapter Prolog