Loading...
Logo TinLit
Read Story - My Sunset
MENU
About Us  

5

 

 

Cendi menatap kerumunan manusia di pantai dengan ekspresi jenuh. Hampir tak ada ruang lapang di sana. Sepertinya semua manusia yang kebetulan berada di Kuta saat ini turun ke jalan atau pantai—yang menyajikan live music—untuk menikmati perayaan pergantian tahun beberapa saat lagi.

Cendi menghela napas berat. Sama sekali tak bersemangat mengikuti perayaan seperti teman-temannya. Mona dan Lidya bahkan sudah meniup terompet bersama pengunjung pantai lainnya. Padahal belum tahun baru, tapi bunyi terompet yang beradu dengan suara musik sudah membahana di mana-mana. Membuat telinganya terasa pekak.

Sejak dulu, Cendi memang kurang menyukai keramaian. Dia hampir tak pernah merayakan malam pergantian tahun di luar seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Dia biasanya turun ke jalan hanya jika kebetulan mendapat tugas meliput suasana malam pergantian tahun dari radio tempatnya bekerja atau jika Hans mengajaknya menikmati pesta kembang api di alun-alun kota. Itu pun sangat jarang terjadi. Hans lebih sering sibuk dengan pekerjaannya sebagai atlet panahan dan mengurusi bisnis yang baru ditekuninya beberapa tahun belakangan, dan hampir tak punya waktu untuk bersenang-senang.

Hh… jadi ingat Hans lagi.

Buru-buru Cendi menepis memori tentang Hans yang melintas di otaknya dan kembali fokus pada aktivitas yang terjadi di sekitarnya. Mencoba menikmati keramaian itu. Meskipun rasanya mustahil dia bisa benar-benar menikmati suasana yang bisingnya mampu membuat telinga tuli.

***

Five… four… three… two… one…! Happy new year…!!!

Seruan orang-orang yang meramaikan Pantai Kuta terdengar membahana diikuti suara ‘teretetetetet’ terompet dan ‘ctarr ctarr’ kembang api yang menghiasi langit malam, menandakan datangnya awal tahun yang baru.

Cendi hanya berdiri menatap langit yang berwarna-warni ceria. Semarak. Terlihat indah di matanya. Sementara teman-temannya bergabung dengan orang-orang yang larut dalam kehebohan itu. Saling mengucapkan selamat tahun baru meski tak saling kenal.

Suasana di sekitarnya menjadi semakin ramai. Cendi sampai harus menutup telinga untuk mengatasi suara bising terompet yang ditiup tepat di depan indra pendengarnya.

Sepertinya aku harus ke THT besok, pikir Cendi sambil pelan-pelan merangsek meninggalkan kerumunan. Dia benar-benar tak mampu bertahan lebih lama di tempat seramai itu. Dia sungguh membutuhkan ketenangan. Sebuah tempat untuk menyendiri. Sebuah tempat untuk bernapas. Sebuah tempat yang membuatnya nyaman.

Setelah beberapa lama mencari, akhirnya Cendi bisa juga menemukan sisi pantai yang, meskipun tak bisa dikatakan sepi, tapi setidaknya tak benar-benar ramai. Sebagian besar pengunjung yang berada di bagian pantai itu hanya duduk-duduk, bercengkerama dengan teman-teman atau keluarga sambil menikmati pemandangan langit yang kebetulan cerah dan masih berhias kembang api berwarna-warni. Sebagian wisatawan asing membuat pesta kecil-kecilan dengan menari dan menenggak minuman keras, serta diiringi musik yang entah berasal dari mana.

Cendi berjalan menuju tepi pantai yang airnya sedang pasang. Dibiarkan ombak menyapu kakinya yang beralas sandal pantai. Angin dingin yang lembut menerpa tubuhnya yang hanya berbalut T-shirt. Terasa menyenangkan saat sentuhan angin membelai lembut wajah dan rambutnya.

Cendi memejamkan mata menikmati belaian angin sambil terus melangkah semakin jauh masuk ke dalam air yang ombaknya masih terus bergulung berkejaran.

Dalam keheningan itu, terlintas peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya selama setahun ini. Hal-hal menyenangkan yang dilalui bersama teman-temannya, kariernya yang biasa-biasa saja tetapi membuatnya nyaman, juga peristiwa paling menyedihkan ketika Hans meninggalkannya.

Mengingat Hans membuat Cendi tak kuasa membendung air matanya.

Terlintas bayangan wajah Hans dalam memorinya. Senyum Hans yang selalu membuatnya meleleh, suaranya yang rendah serta cara bicaranya yang begitu tenang dan berwibawa, hingga pelukannya yang menenangkan.

Kini semua itu telah menjadi milik orang lain. Milik wanita bernama Debby yang terpilih mendampingi Hans dalam ikatan suci bernama pernikahan.

Cendi masih belum mengerti alasan Hans meninggalkannya dan memilih menikah dengan wanita lain. Padahal selama mereka berhubungan, hampir tak pernah ada konflik berat yang mengusik. Kalaupun ada masalah, selalu bisa mereka atasi tanpa pertengkaran serius. Bahkan mereka juga telah membicarakan pernikahan.

Cendi terus melangkah semakin jauh meninggalkan bibir pantai. Deburan ombak semakin tinggi menyapu kakinya yang dibalut celana tiga per empat. Tanpa ia sadari, ombak berikutnya datang lebih besar.

Tubuh Cendi oleng. Tak kuat menahan hantaman ombak, kakinya terpeleset pasir hingga terjatuh dan terbawa arus air sesaat setelah membuka mata. Cendi berusaha bertahan dengan menggerakkan tangan dan kakinya melawan arus. Tapi deburan ombak itu lebih kuat menghempas tubuh kecil Cendi dan menyeretnya memasuki air lebih dalam.

Tak mau menyerah, Cendi terus berusaha keluar dari air. Tapi ternyata tidak mudah. Arus ombak terus menyeret semakin dalam tubuhnya yang memang tak bisa berenang. Merasa lelah, akhirnya Cendi pun pasrah dan membiarkan cengkeraman ombak membawa tubuh lemahnya.

Tak hanya tubuhnya yang terasa lelah, kesadarannya pun perlahan berkurang. Ia berpikir mungkin ini memang saat terakhirnya di dunia.

Dalam kondisi antara sadar dan tidak itu, ingatan tentang Hans pun menghilang dari kepala Cendi. Berubah menjadi wajah dan senyuman Rocky Herlangga yang manis dan menenangkan. Silih berganti dengan wajah keluarga dan teman-temannya. Papa… Nicho… Tiara…

Mendadak, kesadarannya kembali terkumpul. Ia merasa tak ingin meninggalkan dunia. Tidak saat ini. Cendi tak ingin membayangkan bagaimana hancurnya sang ayah jika ia pergi.

Cendi kembali mencoba menggerakkan kaki dan tangannya. Berusaha membebaskan diri dari cengkeraman ombak yang terus menyeretnya semakin jauh dari bibir pantai. Tetapi tubuhnya begitu lemah. Seluruh sendi-sendinya seolah mati rasa. Ia bahkan tak mampu mengeluarkan suara sekadar untuk berteriak meminta bantuan. Tenggorokannya tersekat, seolah ada sepasang tangan mencengkeram lehernya.

Ke mana semua orang? Apa mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri hingga tak seorang pun melihatnya?

Di tengah ingar-bingar pesta tahun baru ini, tak adakah seorang pun yang menyadari keberadaannya?

Dengan napas tersengal dan tubuh yang semakin melemah, Cendi kembali memejamkan matanya. Kesadarannya berangsur terbang meninggalkan raganya.

Rocky, tolong aku!

***

Tiara terus berkeliling mencari-cari sosok Cendi, tapi tak ketemu juga. Ia tak melihat gadis itu sedari tadi dan tentu saja hal itu membuatnya khawatir.

Tiara hendak menghubungi Cendi, tapi diurungkan karena ia ingat Cendi tak membawa ponselnya karena low bath. Dan tentu saja saat ini ponsel Cendi sedang di-charge di kamar hotel.

Tiara menghampiri Mona dan Lidya yang masih asyik berpesta—menikmati alunan musik dari panggung terbuka—bersama teman-teman baru mereka yang rata-rata orang asing. “Lihat Cendi, nggak?” tanyanya langsung. Sedikit berteriak agar suaranya tak kalah dengan bunyi musik yang bertalu-talu.

Mona menggeleng. “Mungkin balik ke hotel,” sahutnya. “Cendi kan nggak suka pesta.”

“Mungkin juga ya,” gumam Tiara. “Tapi masa dia nggak pamit?”

“Iya juga sih,” Mona menggumam pelan. “Mungkin dia nggak mau ganggu kita.”

Tiara mengernyit. “Maksudmu?”

“Kita kan lagi ngerayain tahun baru. Mungkin Cendi nggak mau ganggu kita yang lagi berpesta. Makanya dia langsung pergi gitu aja,” Mona menjelaskan. “Kayak nggak kenal Cendi aja. Cendi kan emang suka gitu.”

“Atau mungkin dia pamitan tapi kita nggak dengar karena keasyikan berpesta.” Celetukan Lidya sontak membuat perasaan bersalah menyelimuti hati ketiganya.

Memang, mereka sangat menikmati keramaian pesta tahun baru ini. Setelah sekian lama disibukkan dengan kegiatan masing-masing, liburan akhir tahun merupakan momen untuk melepas semua penat dan membuang semua beban yang ada. Mereka hampir tak mengingat atau mencari keberadaan satu sama lain sampai kembang api dinyalakan dan kerumunan manusia sedikit berkurang. Saat itulah Tiara baru menyadari bahwa Cendi menghilang.

Padahal mereka yang memaksa Cendi untuk ikut merayakan pesta di pantai bersama orang-orang. Mulanya anak itu mau mendekam saja di kamar sambil menonton film horor favoritnya, namun ketiga temannya menyeret Cendi dengan paksa keluar dari kamar. Tapi begitu sampai di pantai, mereka malah larut sendiri dengan urusan masing-masing dan mengabaikan gadis yang mereka culik. Benar-benar tidak bertanggung jawab.

“Hm… ya udahlah, aku mau cari Cendi di hotel saja. Siapa tahu dia udah balik. Kalian terusin aja pestanya,” ucap Tiara akhirnya.

“Gimana kalau kita cari sama-sama?” Lidya mengusulkan.

Tiara menggeleng. “Nggak usah. Biar aku aja,” sahutnya. “Cendi nggak suka terlalu dikhawatirkan. Nanti dia malah marah kalau kita semua mencarinya. Ntar kita dibilang lebay, over protective, lupa kalau dia sudah dewasa.”

Lidya dan Mona berpikir sejenak. Benar juga, sih.

“Ya udah deh, kami di sini saja,” putus Mona akhirnya. “Tapi ntar kamu telepon ya, kalau Cendi udah ketemu.”

Tiara mengangguk.

“Kami juga akan tetap pasang mata,” ujar Lidya. “Siapa tahu dia masih keliaran di sekitar sini.”

“Okelah, aku balik ke hotel dulu. Enjoy your party!” Tiara mulai melangkah meninggalkan kerumunan orang-orang yang masih berpesta merayakan tahun baru. Berjalan cepat menuju hotel yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari pantai sambil berusaha meredam kecemasan yang melanda perasaannya.

Semoga nggak terjadi sesuatu sama Cendi, gumamnya berkali-kali dalam hati. Tetapi tetap saja, entah kenapa, perasaannya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi pada gadis itu.

Semoga itu hanya kekhawatirannya yang berlebihan, seperti biasa.

***

Sebuah tangan kekar meraih tubuh Cendi dan membawanya berenang melawan arus menuju tepian pantai. Tangan itu adalah milik Rocky Herlangga.

Entah kenapa, Rocky yang mendadak merasa jenuh dengan keriuhan perayaan tahun baru tiba-tiba ingin berjalan-jalan ke tepi pantai, sekadar untuk sedikit mencari ketenangan—padahal biasanya dia tak pernah bermasalah dengan tempat ramai ataupun pesta. Dan, saat itulah tanpa sengaja dia melihat ombak besar menggulung tubuh seorang gadis yang tampaknya bermain terlalu jauh ke dalam air. Demi melihat kejadian itu, tanpa berpikir ia langsung menceburkan diri dan berusaha menolong. Dan begitu tangannya meraih tubuh gadis itu, ia semakin terkejut dan mendadak panik saat menyadari bahwa tubuh itu adalah milik Cendi.

Begitu sampai di tepi, Rocky meletakkan tubuh Cendi di pasir. Beberapa orang yang melihat, melangkah mengelilingi mereka. Sepertinya mereka baru sadar kalau ada seorang gadis yang tenggelam terseret ombak. Seorang pria asing mendekat untuk membantu Rocky.

Rocky memeriksa napas Cendi. Tak terasa apa pun. Dia menyentuh leher Cendi dan merasa sedikit lega setelah merasakan denyut nadi. Meski lemah, setidaknya Cendi masih hidup. Dibantu pria asing itu, Rocky segera melakukan pertolongan pertama pada Cendi.

Setelah beberapa saat Rocky memberikan napas buatan dan pria asing yang mengaku sebagai seorang paramedis di Australia itu melakukan CPR, akhirnya Cendi terbatuk dan mengeluarkan air yang terminum dari mulutnya. Mata Cendi terbuka, dan Rocky segera merubah posisi tubuhnya pada posisi pemulihan. Meski sadar, tubuh Cendi masih sangat lemah.

Setelah mengucapkan terima kasih pada pria asing yang membantunya, Rocky mengangkat tubuh Cendi dari pasir dan membawanya kembali menuju hotel. Tak baik bagi Cendi jika terlalu lama berada di pantai dan terkena embusan angin malam.

Cendi membuka mata perlahan. Dilihatnya wajah Rocky yang begitu dekat dengan wajahnya. Cendi hendak mengucapkan terima kasih, tapi ia bahkan tak  mampu membuka mulut. Ia merasa begitu lelah.

Terima kasih, Rocky. Kamu telah mendengar panggilanku. Cendi hanya mampu berucap dalam hati seraya menyandarkan kepalanya pada dada bidang pemuda itu. Merasakan detak jantungnya yang memberi efek menenangkan. Cendi pun kembali memejamkan matanya yang terasa begitu berat.

***

Tiara memutuskan meninggalkan kamar Cendi dan turun dari lantai tiga setelah berkali-kali mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Mungkin Cendi belum kembali. Atau mungkin dia sedang tidur, makanya tak mendengar ketukannya. Mungkin sebaiknya ia meminta kunci cadangan kamar Cendi agar bisa mengecek langsung.

Tiara keluar dari elevator dan langsung melangkah menuju meja resepsionis di bagian lobi paling depan. Lobi yang besar itu terlihat semakin luas dalam keadaan sepi begini. Sepertinya sebagian besar tamu hotel masih merayakan pesta tahun baru di luar. Tahun ini memang hotel tempatnya menginap tak mengadakan pesta seperti tahun-tahun sebelumnya.

Gerak kaki Tiara terhenti ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di depan meja resepsionis. Rocky Herlangga dengan pakaian basah kuyup sedang membopong tubuh seorang gadis yang tak lain adalah orang yang dicari-carinya sejak tadi. “Cendi?!”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Wannable's Dream
41077      6017     42     
Fan Fiction
Steffania Chriestina Riccy atau biasa dipanggil Cicy, seorang gadis beruntung yang sangat menyukai K-Pop dan segala hal tentang Wanna One. Dia mencintai 2 orang pria sekaligus selama hidup nya. Yang satu adalah cinta masa depan nya sedangkan yang satunya adalah cinta masa lalu yang menjadi kenangan sampai saat ini. Chanu (Macan Unyu) adalah panggilan untuk Cinta masa lalu nya, seorang laki-laki b...
Just a Cosmological Things
967      547     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Premium
The Secret Of Bond (Complete)
6516      1499     1     
Romance
Hati kami saling terikat satu sama lain meskipun tak pernah saling mengucap cinta Kami juga tak pernah berharap bahwa hubungan ini akan berhasil Kami tak ingin menyakiti siapapun Entah itu keluarga kami ataukah orang-orang lain yang menyayangi kami Bagi kami sudah cukup untuk dapat melihat satu sama lain Sudah cukup untuk bisa saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan Dan sudah cukup pul...
29.02
449      241     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
AVATAR
8213      2297     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
Perihal Waktu
434      306     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
Serpihan Hati
11706      1962     11     
Romance
"Jika cinta tidak ada yang tahu kapan datangnya, apa cinta juga tahu kapan ia harus pergi?" Aku tidak pernah memulainya, namun mengapa aku seolah tidak bisa mengakhirinya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk melenyapkan tentangnya tapi tidak kunjung hialng dari memoriku. Sampai aku tersadar jika aku hanya membuang waktu, karena cinta dan cita yang menjadi penyesalan terindah dan keba...
Sherwin
388      262     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Dinding Kardus
10099      2654     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Enigma
1723      922     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...