3
Rocky mengunci pintu kamar dan langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang pegas ukuran empat kali lebar tubuhnya. Sementara barang-barangnya dibiarkan berserakan begitu saja.
Rocky menghela napas berat seraya memejamkan mata. Badannya terasa sangat penat.
Dia baru saja melakukan perjalanan jauh dari London. Tetapi, sesampainya di Bandara Ngurah Rai, Bali, dia langsung diserbu para penggemar yang kebetulan juga sedang berada di tempat sama. Para penggemar yang rata-rata wanita itu langsung minta tanda tangan dan foto bersama begitu melihatnya. Sebagai seorang public figure yang baik, meskipun luar biasa lelah, Rocky berusaha selalu memenuhi keinginan penggemarnya.
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan terdengar dari arah pintu. Dengan malas, Rocky beranjak bangun dan melangkah menuju bagian depan kamarnya. Dia langsung membuka pintu setelah mengintip sejenak dari lubang pintu dan melihat Reno, kakaknya. “Ada apa?”
“Mau ngajak kamu keluar.” Reno memasuki kamar Rocky tanpa menunggu dipersilakan. Secara fisik kedua kakak beradik itu sangat mirip, tapi Reno beberapa senti lebih tinggi, sehingga Rocky harus sedikit menengadah jika bicara dengannya.
“Nanti aja, Mas. Aku masih capek banget.” Rocky kembali menutup pintu kamar dan kembali menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Reno menatap adiknya yang tampak berantakan. Ya, kelihatan sekali Rocky lelah. Koper-kopernya juga belum dibuka. Sepatu, kaus kaki, dan jaket tergeletak begitu saja di lantai kamar. “Jadi, nggak bisa kuajak keluar, dong?”
“Nanti malam aja deh, Mas,” balas Rocky malas. “Mas Reno sendiri aja. Atau ajak siapa, gitu.”
Reno duduk di tepi tempat tidur dan menatap adiknya heran. “Tumben sih, kamu sepayah ini? Biasanya nggak kayak gini juga. Kamu kan udah biasa bolak-balik ke luar negeri.”
“Entahlah,” sahut Rocky pelan. “Aku juga nggak tahu kenapa bisa gini. Yang jelas, saat ini aku cepek banget dan ingin istirahat.”
“Tapi kamu baik-baik aja, kan? Kamu nggak sakit, kan?” Reno menyentuh kening adiknya. Tidak panas.
“Aku nggak apa-apa. Cuma capek. Mungkin karena jet lag.”
“Ya, udahlah. Aku pergi sama Tony aja.” Reno memutuskan seraya berdiri. “Mau nitip sesuatu?”
“Nggak deh, makasih.”
“Yakin?” Reno menatap adiknya. “Makanan mungkin. Kamu kan belum makan siang.”
Rocky menggeleng. “Nggak usah. Aku masih punya makanan kecil di tas. Lagian aku juga bisa pesan room service kalau lapar.”
Reno mengangkat bahu, lalu bangkit. “Kalau gitu aku pergi dulu. Kalau perlu sesuatu, telepon aku.” Ia berpesan sebelum benar-benar meninggalkan kamar adiknya.
Rocky yang matanya sudah setengah terpejam hanya mengeluarkan gumamam kecil. Benar-benar sudah tak punya tenaga bahkan untuk mengiyakan ucapan kakaknya. Dalam beberapa detik, ia sudah meluncur ke alam bawah sadar.
***
Cendi menyandarkan tubuh pada tepi balkon, menikmati suasana sore hari yang menenangkan. Langit senja yang berwarna jingga menjadi pemandangan indah bagi indra penglihatnya. Kerumunan manusia yang memenuhi pantai sama sekali tak mengurangi keindahan panorama senja di Pantai Kuta.
Cendi memalingkan kepalanya saat merasakan kehadiran seseorang di balkon kamar sebelah. Matanya menangkap seorang pemuda yang hanya mengenakan T-shirt putih dan bokser berwarna hitam bergambar abstrak, baru saja keluar dari kamar dan bersandar pada tepi balkon seperti dirinya. Rambut jabriknya basah dan selembar handuk masih tersampir di leher. Kelihatan sekali baru selesai mandi.
Meski dengan tampilan apa adanya, bahkan hampir berantakan, di mata Cendi pemuda itu terlihat begitu mempesona. Jantung Cendi serasa berhenti berdetak. Ia sangat mengenal pemuda itu.
Itu Rocky Herlangga, yang saat ini sedang memejamkan mata sambil menikmati semilir angin sore membelai lembut wajah tampannya. Sama sekali tak menyadari keberadaan seorang gadis yang memperhatikannya dari balkon kamar sebelah.
Cendi ingat kali pertama melihat pemuda itu saat masih sangat muda. Sekitar umur 14 tahun kalau tidak salah. Masih terlihat imut dengan mata sipit dan pipi chubby yang menggemaskan.
Kini, seiring berlalunya waktu, bocah itu telah tumbuh. Rocky bukan lagi anak laki-laki imut dengan tubuh agak tambun yang pernah dilihatnya dulu. Wajah tampannya semakin jelas terlihat dan tubuhnya yang dulu bulat bertransformasi menjadi kekar dan atletis. Pipi chubby-nya terkikis rahang yang kokoh tanpa benar-benar menghilangkan kesan baby face-nya. Dengan wajah tampan dan prestasinya yang mendunia, wajar saja kalau sekarang ia jadi idola para wanita.
Cendi terus memperhatikan pemuda tampan itu dan setelah menghela dan mengembuskan napas berkali-kali, perlahan detak jantungnya berangsur normal. Ia menyadari bahwa Rocky terlihat semakin tampan jika dilihat dari dekat. Sebelumnya ia tak pernah bertemu Rocky secara langsung, apalagi dalam jarak yang hanya terpaut sekitar dua setengah meter seperti ini. Cendi merasa tak bisa berpaling darinya.
Jantung Cendi kembali berdegup kencang saat tiba-tiba Rocky membuka mata dan memutar kepala menghadapnya. Tidak mau Rocky menyadari kegugupannya, Cendi memaksakan diri untuk tersenyum.
Untuk beberapa detik, Rocky terlihat kaget. Namun, segera tenang dan menyapa dengan raut malu-malu, “Hai!”
“Hai!” Cendi membalas dengan senyum lebar. Berusaha tampil sewajar mungkin, meski jantungnya bertalu tak keruan.
“Aku Rocky.” Pemuda itu memperkenalkan diri.
“Aku tahu,” sahut Cendi. “Aku Cendi.”
“Eh, udah tahu ya?” Rocky terlihat salah tingkah. “Kamu… tinggal di situ?”
“Yeah, selama liburan di sini.”
“Ah, ya, benar.” Rocky merasa kehilangan kata-kata. Ia jarang sekali, bahkan hampir tak pernah bertemu gadis seperti Cendi. Para wanita yang pernah ia temui umumnya langsung histeris saat berhadapan dengannya. Mereka biasanya langsung minta tanda tangan atau foto bersama. Tentu saja karena mereka mengidolakannya. Dan, sepertinya hampir semua wanita yang mengenal Rocky pasti mengidolakannya.
Rocky merasa agak heran dengan gadis di hadapannya itu. Katanya kenal, tapi terlihat begitu santai ketika berhadapan dengannya. Mungkin Cendi salah satu dari segelintir kaum Hawa yang mengenalnya, tapi tak lantas menjadi penggemarnya—juga bukan hater tentunya. Dan hal itu justru membuat Rocky bingung bagaimana cara berinteraksi dengannya.
“Suka senja juga?” Pertanyaan Cendi membuyarkan pemikiran Rocky.
“Eh, iya,” sahut Rocky sekenanya. “Kamu juga ya?”
Cendi tersenyum kecil, lalu mengangguk.
“Yeah, memang pemandangan bagus,” balas Rocky sambil memalingkan wajah menatap langit yang semakin memerah. Rasanya baru kali ini ia bisa benar-benar memperhatikan indanhnya pemandangan saat matahari tenggelam.
Rocky memang suka suasana senja, tetapi biasanya ia hanya melihat sunset sambil lalu—biasanya sambil bersantai di balkon kamar dengan secangkir cokelat hangat atau latte di tangan. Kesibukan yang luar biasa membuatnya lalai mengagumi lukisan indah itu.
“Gimana kalau kita lihat sunset sambil jalan-jalan di pantai?” Rocky kembali berpaling menatap Cendi.
“Huh?” Cendi menatap Rocky kaget. Sama sekali tak menyangka, Rocky, pemuda yang terkenal pemalu itu, mengajaknya pergi hanya beberapa menit setelah mereka berkenalan.
Rocky kembali salah tingkah. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba berkata seperti itu. Tidak biasanya ia mengajak jalan gadis yang baru dikenal. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. “Eh, ehm… itu pun kalau kamu nggak keberatan,” ucapnya tanpa berani menatap Cendi. Rasanya ia ingin sekali menelan kata-katanya kembali. Semoga saja gadis itu tak berpikir macam-macam tentang dirinya.
Cendi berpikir sejenak. Melihat wajah Rocky berangsur memerah, ia pun menjawab, “Kayaknya asyik.”
Rocky kembali mengangkat wajah menatap Cendi yang tersenyum manis, memamerkan sepasang lesung pipitnya yang menggemaskan. “Kamu mau?”
Cendi mengangguk. “Kecuali kalau kamu nggak serius dengan ajakanmu.”
“Aku serius,” balas Rocky cepat.
Lagi-lagi Cendi melemparkan senyum yang membuat jantung Rocky berdetak lebih cepat. “Jadi, kita akan terus berdiri di sini atau turun dan pergi ke pantai untuk melihat sunset?”
Rocky tersenyum gugup. “Kita… bertemu di luar kamar?”
Cendi mengangguk. “Oke. Tapi taruh dulu handukmu.”
“Hehe… iya.” Rocky nyengir dan melangkah memasuki kamarnya setelah Cendi menghilang dari balkon.
Setelah melemparkan handuk begitu saja di atas tempat tidur, Rocky merapikan sejenak rambutnya, mengganti bokser dengan celana selutut, lalu keluar dari kamar. Dan ternyata Cendi sudah berdiri sambil bersandar di dinding samping kamarnya. “Maaf,” ujarnya sembari melangkah mendekati sang gadis. “Aku lama ya?”
Cendi membalas dengan senyuman dan menyahut santai, “Nggak masalah, kok. Yuk!” Ia berbalik dan berjalan lebih dulu.
Rocky mengekor di belakangnya. Dorongan untuk menggandeng tangan gadis itu menguasai tubuhnya, tetapi mampu ia redam. Mereka baru berkenalan belum sampai satu jam. Belum saatnya pegang-pegang tangan. Maka, yang bisa dilakukannya hanya berjalan lebih cepat menyejajari Cendi. Untuk saat ini, jalan bersisihan sudah cukup.
***
Cendi memandang jauh ke ufuk barat. Perlahan, matahari mulai memasuki peraduan. Semburat warna merah memancar di kaki langit. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.
“Cantik, ya,” ujar Rocky yang berdiri di sisi kiri, beberapa langkah di belakang Cendi. Ia sengaja berdiri sedikit di belakang agar bisa mengagumi keindahan sunset sekaligus keindahan gadis itu dengan lebih leluasa.
“Ya,” sahut Cendi tanpa menoleh. “Sangat cantik.”
Tapi kamu jauh lebih cantik. Kalimat itu hanya mampu diucapkan Rocky dalam hati.
Sebenarnya Rocky juga setuju kalau pemandangan matahari terbenam itu sangat indah. Tapi baginya saat ini, pemandangan seorang gadis yang tengah menikmati keindahan panorama sunset di depannya justru terlihat jauh lebih indah.
Rocky merasa belum pernah melihat sosok seindah itu. Bukan dalam segi fisik, tapi lebih dalam dari itu.
Secara fisik mungkin Cendi tak jauh berbeda dengan wanita cantik yang sering dijumpainya selama ini, bahkan mungkin banyak yang lebih cantik.
Penampilan Cendi sangat sederhana; tanpa make up, styling rambut, atau pakaian dengan brand terkenal dari luar negeri. Namun, Rocky melihat sesuatu yang berbeda dalam sorot mata Cendi. Ia merasa melihat suatu keindahan di dalamnya. Sorot mata yang mampu meluluhkan hatinya sejak pertama bertemu.
Perasaan seperti ini seperti familier bagi Rocky. Seakan ia pernah mengalami yang seperti ini. Tetapi ia lupa kapan dan pada siapa. Ia juga benar-benar tak mengerti perasaan apa ini.
Dalam keheningan mereka, tiba-tiba Rocky melihat dua butiran bening mengalir dari mata Cendi. Cepat-cepat ia melangkah mendekati gadis itu dan bertanya dengan nada sarat kekhawatiran. ”Cendi, kamu kenapa?”
Cendi buru-buru menyeka air mata yang entah sejak kapan lolos, begitu menyadari Rocky sudah berdiri di sampingnya. “Nggak apa-apa, kok. Aku hanya terbawa suasana,” kilahnya sambil tersenyum. “Aku memang agak sensitif kalau melihat pemandangan bagus.” Ia beralasan, tak lupa menampilkan wajah polosnya agar Rocky percaya.
Rocky yakin bukan itu alasan sebenarnya Cendi menangis. Terlihat sekali gadis itu hanya ingin menutupi. Namun, ia juga tak bisa memaksa Cendi mengatakan yang sebenarnya meski ia sangat penasaran. Ia merasa tak berhak mencampuri urusan gadis itu. Setidaknya belum.
“Setelah ini kita ke mana?” Cendi bertanya dengan wajah yang sudah kembali tampak ceria, seolah air mata yang lolos dari matanya beberapa detik lalu hanya halusinasi Rocky.
“Terserah,” sahut Rocky, tak ingin memperpanjang. “Kamu maunya ke mana?”
“Ehm… aku kan jarang ke Bali. Jadi nggak tahu tempat yang asyik,” aku Cendi. Kali ini jujur. Ia Lidya yang menjadikan Bali sebagai rumah keduanya. Kali terakhir Cendi kemari dua tahun lalu, meski itu bukan yang pertama juga. “Kamu pasti lebih tahu. Kamu kan sering banget ke Bali. Hampir tiap libur race, kamu pasti ke sini.”
Rocky mengernyit. “Tahu dari mana?”
“Aku kan penggemarmu,” jawab Cendi santai.
Rocky mengerjap. Namun, belum sempat dia berpikir apa pun, Cendi kembali bersuara, “Jadi, gimana? Kamu masih mau ngajak jalan-jalan atau aku sebaiknya kembali ke hotel saja?”
Rocky segera berpikir cepat. Mengabaikan pengakuan Cendi bahwa gadis itu adalah penggemarnya, yang herannya tak bertingkah seperti penggemar. Nanti saja dipikirkan. Ia tak mau kebersamaan mereka berakhir begitu singkat. “Ke Joger, gimana?” Rocky menyebutkan tempat pertama yang terlintas dalam pikirannya.
“Joger?” Cendi tampak berpikir. “Oke. Kayaknya memang belum lengkap kalau ke Kuta tanpa mengunjungi Joger.” Lagi-lagi gadis itu tersenyum manis seolah tak ada beban dalam hatinya.
Like.
Comment on chapter Prolog