“Apa? Serius dia bilang gitu?”
“Iya, lo gimana?”
Aku diam sebentar sambil mengedarkan pandangan ke seluruh dinding ruangan. Kalau kalian mau tau, 80% foto di rumah ini adalah foto laki-laki yang sedang pamer piala dan medali. Kutarik nafas dalam dengan pandangan berhenti ke sebuah foto Kak Arja dimasa SMPnya dulu. Dari piagam yang dibawa, disana tertulis juara 1 olimpiade biologi.
“Raras, jadi gimana, Lo mau ikut nggak? Kok diem aja sih.” Devina bertanya tidak sabaran. Tadi, setelah beberapa menit aku dan Mama sampai di rumah Tante Riska ini, Devina langsung menelponku tapi langsung ku-reject karena kebetulan waktu itu Tante Riska sedang mengajakku bicara. Dan setelah dua wanita itu berajak ke dapur untuk membuat roti lapis, sahabatku itu langsung kutelepon balik. Selanjutnya, Devina membawa kabar kalau aku dan dia diterima jadi anggota tim debat.
“Enggak deh Vin, gue ngundurin diri,” jawabku akhirnya. Setelah berkali-kali hidup di masa yang sama, dan di salah satunya pernah memilih kemungkinan berjuang di debat tapi gagal, akhirnya aku memilih kemungkinan yang sudah kulalui berkali-kali. Mengundurkan diri.
“Yaah kok mundur sih Ras, nggak sayang gitu? Satu bulan loh nunggu keputusan ini,” ujar Devina lesu. “Gue tempur sendirian dong nanti seleksinya?” lanjutnya yang membuatku tertawa kecil.
“Ih kata siapa tempur sendirian? Gue juga lagi berjuang kok Vin, Cuma kita beda passion aja.”
“Maksudnya?”
Aku terkekeh sebelum menjawab, “ada deh pokoknya, rahasia.”
Di seberang Devina berdecak pelan. “Ah nggak asik!”
Ketika aku sedang asik menertawai Devina, pintu depan tiba-tiba terbuka dan menampilkan sesosok laki-laki yang hobinya pakai jaket belel. Kak Arja menatapku datar sambil berjalan ke arah tangga. Kubalas tatapan datarnya itu dengan cengir-cengir heran. Dan ketika betul dia akan naik ke kamarnya, aku mengucapkan sepatah kalimat yang membuat laki-laki itu gantian heran.
“Kak, kalo mau nyalain musik jangan keras-keras ya suaranya!”
Laki-laki yang berada di ujung tangga itu mengerutkan kening sebentar kemudian tersenyum miring sebelum berkata, “sok tau!”
“Itu pesennya Tante Riska tadi, katanya takut ganggu tamu!” ujarku mencari alasan. Dan setelah aku berucap demikan, Kak Arja malah menyilangkan dua tangannya di depan dada sambil menatapku dengan gelengan kepalanya berulang kali lalu tertawa renyah. Btw itu pemandangan yang jarang kulihat.
“Antara sok tau, tukang bohong, sama tukang ngeles,” katanya santai.
“Maksudnya?”
“Gue nggak suka nyalain musik loadspeaker, earphone user only.”
Jawaban Kak Arja membuatku nyengir tanpa malu, ternyata ada sedikit yang berubah dari dia. “Hehe, bercanda kok. Itu tadi cuma prank aja, soalnya tamu disini dicuekin bukannya disapa,” alasanku lagi.
Kak Arja tertawa pelan, “kadang ngomong sama lo itu butuh yang seger-seger dulu biar nggak emosi. Gue lagi capek, jadi mau mandi sebentar abis itu baru ngobrol.”
Kuacungkan satu jempol kearahnya dengan satu tangan menjauhkan ponsel agar Devina tidak mendengarkan percakapanku dengan Kak Arja di seberang sana. “Oke!”
Kak Arja kemudian melangkahkan kakinya ke lantai atas, sedangkan aku akan melanjutkan percakapanku dengan Devina.
“Sorry Vina, tadi lagi ada urusan bentar,” ujarku pada telepon sambil mengangkat gelas teh yang masih tersisa di meja.
"Tut tut tut!”
Aku memutar bola mata, sahabatku ternyata betulan sedang ngambek karena kukacangi sejak Kak Arja datang, mungkin dia juga sedang kesal karena teman seperjuangannya ini lebih milih mundur dari anggota debat.
Keseruput teh manis itu hingga habis sebelum berniat membuka aplikasi game di hp, tapi urung ketika kulihat Kak Arja turun dari tangga dengan masih memakai pakaian yang sama. Laki-laki itu hanya tersenyum ketika terus kuperhatikan gerak-geriknya yang malah memposisikan diri duduk di sofa samping.
“Katanya mau mandi?” tanyaku dengan satu tangan mengembalikan gelas kosong ke atas meja.
“Nggak jadi, nanti lo keburu pulang,” jawab Kak Arja datar.
Kupandang muka Kak Arja dengan satu alis terangkat, bukannya apa-apa, aku tidak percaya kalau dia menggagalkan acara mandinya hanya karena takut aku pulang. Lost time is never found, jadi dia nggak akan buang-buang waktu emasnya itu cuma buat ngobrol receh dengan Raras.
Ting tong!
Nah kan!
Laki-laki itu beranjak dari sofa lalu menghampiri pintu depan. Suara ramai samar-samar terdengar membuat rasa penasaranku timbul. Belum sampai niat mengintip, Kak Arja serta 4 tamunya sudah lebih dulu menyusulku ke ruang tamu. Nah sekarang aku harus pergi kemana?
Setelah 4 teman Kak Arja yang sudah pernah kulihat di ruang waktu lain itu sampai di ruang tamu dan tidak ada satupun dari mereka yang niat duduk, aku melirik Kak Arja untuk meminta dia menjelaskan karena 4 orang itu terus memperhatikanku dengan raut bingung.
"Dia Raras, adek gue," ucap Kak Arja seenaknya. Aku melotot galak lalu memperhatikan orang-orang itu sopan.
"Bukan, bukan, aku juga tamu kok. Ini lagi nungguin Mama, tapi habis ini mau nyusul ke dapur," ujarku lalu tersenyum.
"Eeh, nggak usah, santai aja. Disini dulu, paling kita cuma sebentar kok," kata perempuan cantik berhijab a.k.a Kak Hanum. Selanjutnya mereka menyusulku duduk.
"Udah sini aja ikut ngobrol, nggak apa-apa kok," ucap laki-laki yang kuingat dia bernama Gino. Kubalas ucapannya itu dengan senyum kaku, lalu terkekeh.
"Iya, santai aja kali Ras." Kak Arja tersenyum yang malah membuatku semakin kesal.
"Yaudah deh, tapi aku nggak ganggu kan?" tanyaku mewanti-wanti.
"Enggaklah!" jawab Kak Hanum, sementara yang lain hanya tersenyum kecil.
"Jadi, gimana?" tanya laki-laki yang belum kuketahui namanya. Dia mengarahkan perhatiannya ke Kak Arja dengan raut serius.
"Sebagian besar sih udah siap, gue juga udah dapet sampel bakteri yang bakal kita gunain.” Kak Arja berujar bijak.
“Bakteri yang bisa makan plastik itu? Apa ya namanya? Lupa gue.”
“Ideonella Sakaiensis Ginoo,” ucap Kak Hana sambil memutar bolamatanya kesal.
“Kenapa nggak pake bakteri lain Ja? Kenapa harus si Ideonella itu?”
“Jadi alesan gue lebih milih Ideonella sakaensis daripada yang lain, karena dia bisa makan polimer pada suhu rendah, sekitar 30 derajat celcius. Dan pengembangbiakannya juga nggak sulit, makanya lebih efisien buat menanggulangi masalah masalah sampah plastik yang udah kacau banget.”
“Iya sih, persoalan sampah plastik emang sebenarnya bukan cuma persoalan nasional, malah udah jadi masalah global. Sebanyak 311 juta metrik ton sampah plastik diproduksi setiap tahun. Berat itu setara dengan 3.500 kapal induk terbesar di dunia. Persoalan utama dari sampah plastik adalah susahnya mereka terurai atau membusuk secara alami. Butuh puluhan tahun untuk melebur plastik secara natural. Jadi kayaknya Ideonella Sakaiensis bisa kita jadiinn jalan keluar.” Kak Hanum tersenyum puas seperti baru saja melihat keajaiban dunia.
“Gue sempet nggak yakin ada mikroorganisme yang bisa mendegradasi PET. Karena setau gue, PET itu plastik nonbiodegradable.”
Laki-laki yang bernama Gino, yang menurutku orang paling cheesy di antara mereka geleng-geleng. “Mikroba emang bisa ngelakuin apa saja.”
“Gue berencana ngerealisasiin proyek ini di Bantar Gebang, itupun kalo kalian setuju.”
Ucapan Kak Arja membuat seluruh orang disana termasuk aku kompak menoleh. Sama dengan yang lain, aku menatap laki-laki itu heran. Depok juga banyak sampah jenis PET, ngapain jauh-jauh ke Bekasi?
“Kenapa nggak nyari yang deket-deket sini aja Ja?” Tanya Kak Hanum.
“Harus mungutin dulu gitu kayak oprasi semut?” Kak Arja mengangkat satu alis dengan tatapannya yang sedikit mengintimidasi.
“Atau nggak langsung ke pengepul aja, kan malah gampang tuh PET-nya udah mereka kelompokin,” usul Kak Gino.
“Gini, sampah PET di pengepul itu banyak mereka jual lagi buat orang yang bisa daur ulang sampah jadi barang jual lagi. Kalo kita cari di sekitaran sini, kayaknya nggak etis banget kalo kita ngambil sebagian penghasilannya pemulung. Nah kalo di TPST Bantar Gebang kan beda lagi. Gue punya rencana buat degradasi sampah plastik disana biar bisa ngurangin dampak buruknya.”
Ruang tamu hening, aku pura-pura punya notifikasi dari ponsel, sementara 4 orang lain saling pandang sebelum kemudian mengangkat bahu sambil melempar senyum masing-masing.
“Yaudah, gue setuju,” jawab mereka secara bergantian. Kulihat kak Arja tersenyum puas.
Dia baru saja mengeluarkan pribadi kolerisnya dengan baik. Ternyata ini awal rencana mereka ngubek-ngubek sampah di Bantar Gebang. Dasar Kak Arja!