Dua minggu pertemuanku kembali dengan Kak Arja telah berlalu. Hingga saat ini baik aku maupun dia sama sekali tidak ada yang berniat menghubungi. Mungkin karena dia sibuk dengan segala urusannya dan aku yang hanya menyibukkan diri pada kuas, kanvas, dan cat air. Setelah kupikir-pikir, ada baiknya juga aku partisipasi melukis di GalNas.
“Ngelukis terus kamu akhir-akhir ini, biasanya cuma nyeketsa di kertas doang,” ujar Kak Ratih yang tengah berbaring di sofa ruang tengah sambil menonton TV dan sesekali melirik kegiatanku.
“Kata siapa? Aku ngelukis terus kok di kamar,” jawabku datar.
“Masa? Liat dong lukisannya!”
“Nggak boleh, itu privasi.”
“Dih, pelit amat. Terus buat apa lukisan nggak boleh diliat orang lain? Emang kamu nggak punya cita-cita gelar pameran tunggal di GalNas?” tanya Kak Ratih dengan pandangan lurus ke televisi.
Aku menggeleng pelan. “Tau deh, nggak mau muluk-muluk ngimpinya.”
Kak Ratih bangkit dari baringannya di sofa, lalu memperhatikan lukisanku dengan padangan menilai. “Bagus kok itu Ras, lukisan kamu tuh punya ciri khas tersendiri. Kebanyakan yang kamu tuangin ke kanvas itu tentang alam yang punya estetika tersendiri. Menurut Kakak nih ya, lukisan kamu itu keren, unik.”
Diam-diam aku tersenyum, jarang-jarang Kak Ratih memujiku seperti ini. Selain dia yang punya tingkat bodoamat yang nggak jauh beda dariku, Kakakku juga orang yang susah peka. “Eh tapi kok Kak Ratih tau aku suka lukis tentang alam?” tanyaku dengan mata memicing.
“Emang menurut kamu selama ini nggak pernah ada yang masuk kamar berantakan itu? Kakak, Mama, Ayah malah diem-diem udah nganggep kamarmu itu galeri mini di rumah ini,” jawab Kak Ratih kemudian mengubah posisi menjadi berbaring lagi.
“Bahaya bahaya, kayaknya pintu kamarku perlu password deh habis ini.” Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Jangan hiperbola gitu deh. Malah kayaknya karyamu itu perlu dikasih ke Mama deh Ras, daripada Mama beli gambar kucing mulu buat hiasan.”
Aku tertawa kecil mengingat kebiasaan Mama yang suka mendekor-dekor ruangan dengan mengisi berbagai gambar di dinding. “Jangan dulu lah, yang di kamar itu semuanya curhatanku. Isi hati, emosi, sama perasaan yang nggak bisa kugambarkan dengan lisan bahkan kata-kata.” Dapat kurasakan punggungku ditepuk-tepuk Kak Ratih pelan.
“Wah wah, selain mau jadi seniman, sketcher, ternyata kamu juga punya bakat jadi pujangga nih kayaknya.”
“Amiin.”
Kak Ratih tertawa pelan kemudian mengucapkan kata ‘amiin’ juga. “Eh tapi, setiap karya kamu itu selalu punya filosofi ya?”
Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya.
“Terus gambar kupu-kupu ini punya arti apa?” Kak Ratih menunjuk lukisanku, dan pertanyaannya membuatku terkekeh. Lalu kupandangi lukisan kupu-kupu setengah jadi itu dengan senyum simpul.
“Enggak sih, ini cuma lagi kepikiran sama seseorang. Baru sadar aja, ternyata kupu-kupu punya banyak filosofi.”
“Apa tuh? Persahabatan bagai kepompong?” tanya Kakakku yang entah hanya asal tanya atau seriusan.
Aku tersenyum kecil. “Pernah ada seseorang yang bilang ke aku, kalau dia iri sama kupu-kupu.” Kutatap raut heran Kak Ratih yang sudah kuduga sebelumnya.
“iri?”
“Dia bilang, antara iri dan kasian. Kasian karena sebelum jadi kupu-kupu, hidup dia disia-siain. Dan setelah jadi kupu-kupu yang seakan-akan bilang ke semesta ‘hey its me. Thanks for your judgement, sekarang gue jadi keindahan’ malah Tuhan matiin dia secepetnya.”
Kak Ratih menggeleng-geleng tidak percaya. “So, hal mana yang buat dia iri?”
“Kupu-kupu itu disayang Tuhan Kak makanya umurnya pendek, jadi dia nggak punya banyak dosa.”
Kulihat Kak Ratih tersenyum, ekspresinya antara kagum dan bingung. “Seriously? Dia bilang begitu?” tanyanya yang hanya kujawab dengan anggukan.
“Boleh juga, siapa sih orangnya? Jadi penasaran nih.”
“Ih apaan sih, kok jadi kepo gitu,” ledekku.
“Unik aja gitu loh Ras, berarti secara nggak langsung dia itu pengen jadi kupu-kupu yang disayang Tuhan. The point is, dia pengen mati muda dalam keadaan terindah kayak kupu-kupu.”
Seketika aku langsung tersedak ludahku sendiri, Kak Ratih malah memperhatikanku dengan tampang tidak berdosanya. “Ish Kak Ratih tuh, jangan sembarangan bicara gitu deh!” perintahku , Kak Ratih hanya meringis.
Perempuan yang tengah tiduran di sofa itu diam beberapa detik sebelum bicara lagi. “Ras, Kak Ratih waktu itu liat Devina di halte sendirian, tumben aja nggak bareng sama kamu. Setelah Kakak tanya, kata Devina kamu lagi ketemu sama temen. Temen siapa sih? Pacar?”
“Apaan sih Kak, Raras tuh nggak punya pacar. Jangan ngarang deh!” jawabku.
“Bagus deh kalo nggak sama pacar, kamu tuh masih kecil, nggak usah pacar-pacaran dulu. Kalo diem-diem suka sih oke-oke aja, namanya juga perasaan.”
Aku memutar bolamata malas. “Iya-iya, pokoknya nggak bakal kubiarin mood-ku rusak gara-gara mikir cinta. Oke kan?” Kutolehkan kepala ke arah Kak Ratih sambil mengangkat alis berkali-kali.
“Anak pinter!”
Aku kembali mengarahkan perhatian sepenuhnya ke lukisan cat air yang hampir selesai dan Kak ratih membaca novel Aroma Karsa karya Dee Lestari yang setelah ini akan kupinjam. Televisi kami biarkan berkoar-koar sendiri, hitung-hitung jadi backsound aktivitas kami.
“Kak, anterin Mama ke rumah Tante Riska yuk!” Suara Mama terdengar dari ambang pintu dapur. Kak Ratih langsung beranjak bangkit dan melihat jam dinding setelahnya.
“Duh Ma, Kakak sebentar lagi dijemput temen nih. Besok aja gimana?” tanya Kak Ratih yang dari nadanya kelihatan bimbang.
“Enggak bisa lah Kak, orang Mama mau nganterin roti lapis kok. Mama naik ojol aja nanti,” putus Mama akhirnya.
Di tempat, aku hanya terdiam sambil mendengarkan percakapan Mama dan kak Ratih. Aku seperti mengalami déjà vu, meski aku tahu pasti kalau kejadian ini pernah kulalui sebelumnya. Tapi kapasitas otakku ini pas-pasan, tidak semua kejadian bisa kuingat sepenuhnya, kadang aku benar-benar lupa tentang kehidupan sebelumnya dan kemudian hanya menganggap kejadian itu hanyalah déjà vu.
“Oh atau Mama minta anterin Raras aja?” usul Kak Ratih yang membuatku langsung mendongak.
“Oh Raras di rumah ya? Yaudah, anterin Mama ya Ras?” pinta Mama yang mau tak mau tak bisa kutolak. Aku tersenyum lalu mengangguk sambil mengingat nama Tante Riska. Kulihat Mama kembali ke dapur untuk mengambil roti lapis yang akan dia bawa.
“Kak, Tante Riska itu yang-“
“Yang kamu datengin rumahnya dua tahun lalu, acara syukuran anaknya itu. Seinget Kakak sih gitu, Kak Ratih kan dulu nggak ikut.”
Aku hanya ber-oh setelah tau atau tepatnya ingat kalau Tante Riska adalah Mamanya Kak Arja. Waktu itu, saat aku mengantar Mama ke rumah Tante Riska untuk mengantar roti, kejadian di sana sungguh tidak enak. Dan sekarang perasaanku juga berubah kurang baik. Bukan kurang baik sih, kali ini jantungku malah deg-degan. Kayaknya aku nggak enak badan.