Semuanya sedang beres-beres untuk pulang. Akupun membereskan barang-barangku, mengecek jangan sampai ada yang tertinggal. Ternyata menyibukan tangan tak berarti otak juga sibuk begitu pun dengan hati. Otak dan hati saling bersahutan memikirkan kejadiaan tadi dan apa yang akan ia bicarakan nanti?
Ku ganti kerudungku, yang memang aku siapkan untuk pulang. Warna biru, warna kesukaanku. Kupakai jaket dan tas ranselku. Aku keluar kamar dan berdiri di dekat kamarku yang memang tak jauh dari parkiran bus dosen. Bus untuk mahasiswa sudah berjejer di luar. Aku melihat ke kanan-kiri.
‘Apa tadi beneran bahwa pak Andre ingin ngobrol dengan ku sebelum pulang?’
"Fia." panggil seseorang dari belakangku saat aku mau kembali ke kamar untuk mengecek teman-teman.
"Pak." Jantungku tak karuan. Aku pikir sudah selesai sejak UAS.
"Ehmm... ada waktu sebentar?"
"I..iya..."
"Aku mau bilang kalau..."
"Mbak Fi, ayo." Kata Ruri memotong.
"Kuncinya?" aku berbalik memandang Ruri.
"Sudah dikembalikan, mbak dicari anak-anak, mau bayar slayer. Pak Andre." Sapa Ruri sambil menarik lenganku pelan.
"Kamu masuk bus saja, kita lanjutkan ngobrolnya nanti."
"Iya pak." Pak Andre berlalu dan masuk bus khusus dosen. Aku ditarik Ruri menuju ke bus yang akan membawa kami pulang bersama mahasiswa lainnya.
"Hayo mbak, ngobrol apa sama pak Andre?"
"Nggak ngobrol apa-apa."
"Beneran? Tapi kelihatanya serius." Aku hanya menggeleng. Jadi penasaran juga sebenernya pak Andre mau bicara apa sih?
Lagi-lagi di bus aku habiskan untuk tidur, daripada berfikir yang macem-macem. Sesampainya di kampus, semua berkumpul untuk mengecek barangnya lagi takut jika tertinggal di bus. Setelah itu mereka bubar sendiri-sendiri. Ku lihat bus dosen baru tiba. Aku ngobrol dengan Ruri dan anggota kelompok di dekat parkiran. Aku menghitung jumlah uang iuran yang digunakan untuk membuat slayer. Karena aku yang beli bahan dan Ruri yang menjahit, aku bagi uangnya dengan Ruri.
"Mbak nanti pulangnya dijemput?"
"Iya, tapi aku belum telfon orang rumah. Bentar." Aku menelpon kakakku. Ia akan menjemputku dalam waktu 20 menit karena ia masih ada tamu di rumah.
"Kamu naik ojek online?"
"Iya mbak, tapi ini belum ada balasan."
Tiba-tiba aku jadi ingin ke toilet. mungkin kebanyakan minum air tadi. Aku pergi ke masjid sendirian. Keluar toilet, aku berjalan ke kerumunan anak-anak, terlihat dari jauh masih banyak anak yang duduk di taman.
“Pada ngapain sih kok belum pulang?” aku bergumam pelan.
"Fia!" teriak seseorang aku menoleh ke kiri. Pak Andre berlari kecil menghampiriku.
"Pak Andre." Ia sudah berdiri tepat di sampingku.
"Aku pikir kamu sudah pulang."
"Saya sedang menunggu jemputan pak."
"Rumahmu jauh dari sini?"
"Tidak terlalu. Ada apa, pak?"
"Kalau seandainya aku berkunjung kerumahmu boleh tidak?" pak Andre to the point.
"Ma... maksudnya pak?" aku tergagap.
"Bertemu dengan keluargamu, mengenalmu lebih jauh." DEG!
Aku benar-benar tak mengerti apa yang ia bicarakan. Bertemu keluargaku? Mengenalku lebih jauh? Maksudnya??
"Bagaimana? Bolehkah?"
"Saya tidak mengerti pak."
"Aku berkunjung ke rumahmu, bertemu keluargamu, mengenalmu dengan baik. Bagian mana yang tidak Fia mengerti?"
"..." aku terdiam sambil memandangnya.
"Fia, apa aku tidak boleh ke rumahmu?"
"Bu.. bukan begitu, hanya saja..."
"Ya?"
"Saya akan tanya orang rumah dulu pak."
"Ok kalau begitu. Aku harap secepatnya bisa berkunjung ke rumahmu. Aku boleh minta nomor hp Fia?" sambil menyodorkan handphone nya padaku perlahan aku ambil hpnya. Tanganku agak bergetar, aku tekan nomorku dan ku kembalikan padanya.
"Makasih, aku boleh menghubungimu kan?"
"I.. iya..." saat bersamaan hpku berdering. Kakakku sudah menungguku di depan kampus. "Saya permisi pak, kakak saya sudah menunggu di depan."
"Baiklah, hati-hati di jalan." Aku mengangguk dan berlari sekuat tenagaku.
Ku abaikan jantungku yang semakin berpacu dengan cepat, aku harus terus berlari untuk mengumpulkan pikiranku yang sempat tercecer tadi. Melihat kakakku memarkir sepedah motor di pinggir jalan, kuhampiri dan memintanya untuk mempercepat.
Selama aku dijalan, aku ulang kembali apa yang sebenarnya barusan terjadi.
‘Pak Andre ingin berkunjung ke rumah, bertemu keluargaku, mengenalku dengan baik yang berarti ia ingin memulai suatu hubungan denganku. Hubungan apa? Apa hubungan serius? Oooh... tapi aku belum mengenalnya.’
Aku masih tak habis pikir, dikamar hanya tidur-tiduran. Banyak sekali pikiran terbesit di otakku. Hpku bergetar tanda ada sms masuk. Tanpa nama hanya nomor.
Pak Andre :
'Besok ke kampus? Andre.'
Ibu memanggil untuk makan malam, aku rasa ini waktu yang tepat untuk bilang ibu dan kakakku. Karena ayahku kerja di luar pulau jadi hanya ibu dan kakakku yang dapat aku mintai pendapat. Di meja makan ada aku, adik, ibu, kakak dan kakak ipar.
"Bu, seandainya..." aku berhenti dan berpikir.
‘Ku sebut apa ya pak Andre? teman? jelas bukan. pacar? apalagi. kenalan? sepertinya terlalu kasar. Aku menyebutnya apa?’ Aku mengunyah makananku perlahan.
"Seandainya apa? Kalau ngomong itu dilanjut, jangan di potong. Kebiasaan."
"Seandainya ada... seseorang yang berkunjung ke rumah... boleh?"
"Sopo? (siapa?)" sergah kakakku.
"Seseorang yang ingin mengenalku dengan baik."
"Kamu punya pacar? Anak mana? Kok aku nggak tahu?" lanjut kakakku.
"Sebentar mas, adekmu kan belum selesai ngomong. Pacarmu, mbak?" tanya ibu lembut, aku masih bertampang datar mendengar rentetan pertanyaan kakak.
"Bukan bu, dia... dosen di kampusku. Dia bilang mau berkunjung kesini."
"Kunjungan dosen? Ngapain? Kamu bikin masalah di kampus?" kakakku menyelidik.
"Nggak mas, kan aku sudah bilang tadi kalau dia mau bertemu keluargaku dan mengenalku dengan baik." Jelasku, aku mulai kesal dengan kakakku yang selalu menduga-duga tidak jelas begini.
“Orangnya seperti apa mbak?” Tanya ibu.
"Aku belum banyak tahu juga tentangnya, asal, umur, bahkan nama lengkapnya pun aku belum tahu. Tidak ada mata kuliah dia yang aku ambil di semester ini."
"Gimana menurutmu mas?" tanya ibuku.
"Aku terserah ibu, ngijinin atau enggak, aku cuma ikut saja." Kakakku memandangku.
"Ibu sih nggak keberatan. Dia tanya seperti itu berarti dia ingin dengan cara yang baik untuk memulai hubungan denganmu mbak. Suruh saja kerumah. Tapi ketika kita semua di rumah." Aku mengangguk lalu berusaha fokus pada makananku tapi ternyata sulit juga karena aku memikirkan kalimat seperti apa untuk memberikan jawaban ke Pak Andre besok jika bertemu.
"Cieeee... mbak Fia akhirnya di apelin laki-laki." Aku mendelik ke arah adikku yang berhadapan denganku.
Setelah makan aku kembali ke kamarku. Aku balas sms tadi.
Fia :
'Iya pak, mengumpulkan tugas pak Ian.'
Selama 15 menit tidak ada balasan, aku lihat jam masih belum jam 9 malam. Ya sudahlah, hari ini cukup segini saja, lagipula aku terlalu lelah bukan hanya lelah fisik tapi pikiran. Setelah ambil air wudhu dan sholat isya' aku pun terlelap tidur.