Sudah seminggu ini gue ditinggal sendirian di sini, dan seminggu juga gue tidur sendirian. Sering kali Bibi menawarkan dirinya untuk menginap saja di rumah ini tapi selalu gue tolak. Dia juga punya keluarga sendiri, dia punya suami. Mana mungkin gue dengan teganya membiarkan Bibi tidak tidur di rumah bersama keluarganya.
Kini hidup gue yang sepi jadi semakin sepi. Seenggaknya dulu ada Kak Andrew dan Kak Sica yang mampu buat hari-hari gue jadi berwarna. Entah itu dengan sifat jahilnya Kak Andrew, atau serentetan omelannya Kak Sica yang mampu membuat gue kadang bergidig ngeri sendiri membayangkannya. Namun justru hal kecil seperti itulah yang sangat gue rindukan saat ini.
Gue juga bohong ke Papa dan Kak Andrew kalau gue takkan tidur sendiri. Nyatanya sekarang gue malah sendiri. Gue tak mau merepotkan teman-teman gue. Walaupun gue sadar manusia tidak bisa hidup secara individu. Namun kali ini, gue meyakinkan diri agar gue bisa. Gue harus bisa!
Baru saja gue berkata seperti itu, tiba-tiba listrik di rumah gue mati, bersamaan pula dengan suara petir dari luar yang menggelegar kencang. Gue takut. Gue benar-benar takut. Apa yang harus gue lakukan?
Di luar tengah hujan deras, juga petir masih terdengar meletup-letup dengan keras enggan untuk berhenti. Ditambah keadaan listrik di rumah ini yang tiba-tiba mati. Ada yang lebih mengenakkan dari ini?
Gue takut. Bahkan gue sampai tak sadar kalau gue menangis kembali. Apa yang harus gue lakukan sekarang?
Akhirnya gue meraih ponsel yang berada di atas nakas dan langsung membuka grup chat Geng somplak gue.
?
Guys, please, dateng ke rumah gue!
Gue sendirian di sini!
Gue takut.
?
Gue tarik kembali perkataan tadi yang gue yakini gue bisa hidup secara individu kali ini. Karena nyatanya, gue tak bisa hidup sendiri, takkan pernah bisa.
***
Sekarang gue tengah duduk di sofa ruang tamu dikelilingi sembilan sahabat gue yang kini tengah menatap lekat ke arah gue. Dan keadaan lampu di rumah juga kini sudah menyala kembali, sehingga membuat gue sedikit merasa lega. Hujan di luar masih mengguyur bumi tapi suara petirnya sudah tak terdengar lagi. Gue bersyukur punya sahabat seperti mereka, seenggaknya mereka benar-benar ada disaat gue butuh. Mereka rela datang bahkan disaat petir tengah meletup dengan kencang-kencangnya di luar sana. Ternyata sahabat gue selalu ada, bukan ada sewaktu gue merasa senang saja.
Tadi, setelah gue mengirim pesan seperti itu ke Grup Chat, Yuna yang datang terlebih dulu ke rumah gue, karena kebetulan rumah kami yang memang berdekatan. Karena gue tak mengunci rumah, akhirnya Yuna langsung menghampiri gue dan langsung memeluk gue yang tengah meringkuk sambil menangis sendirian di dalam kamar. Gue bernafas lega, seenggaknya ada yang membaca pesan dari gue. Dan gue semakin bernafas lega karena semua teman gue membacanya, dan semuanya juga ikut datang ke rumah gue.
"Gue gak nyangka, ternyata lo bisa setega itu sama gue, Natt!" pekik Yuna. "Kita udah temenan dari orok, dan lo masih tega-teganya ngerahasiain ini dari gue?!"
Gue menghembuskan nafas pelan, berusaha menahan air mata yang hendak keluar lagi. Tadi, gue baru saja menceritakan tentang masalah pribadi gue. Iya, tentang sikap Mama selama ini. Benar kata Devin, setelah meluapkan semuanya, gue perlahan mulai tidak merasa sepi lagi. Seenggaknya ada orang yang mampu memberi gue solusi saat ini.
Gue lihat Yuna juga menghela nafas berat. "Sejujurnya gue ngerasa marah sama lo Natt. Tapi, apa gue bisa marah setelah mendengar semua masalah lo yang bahkan bikin gue miris sendiri?" ucap Yuna dan langsung menghambur ke pelukan gue.
Melihat Yuna yang memeluk gue, sontak Ara dan Sesil juga ikut memeluk gue. Gue dengar isakan-isakan pelan dari mereka. Air mata gue jatuh lagi. Untuk kesekian kalinya jatuh lagi. Tapi gue bersyukur, kali ini air mata gue jatuh bukan karena untuk meratapi nasib, tapi karena rasa terharu memiliki sahabat-sahabat yang begitu mengerti gue seperti ini.
"Gue ikutan ah!" seru Joshua hendak ikut memeluk gue juga, namun pergerakannya langsung terhenti ketika mendapat tatapan mengintimidasi dari Sesil.
Perlahan mereka mulai melepas pelukannya. Gue pun mengusap air mata begitu pun dengan mereka.
"Pantes dari kecil gue gak pernah lihat lo jalan sama nyokap!" celetuk Yuna. "Bahkan pas TK lo lebih sering diantar sama bokap dari pada nyokap!"
"Bukan sering lagi Yuna, tapi tiap hari." jawab gue. "Nyokap gue gak pernah sekali pun antar gue sekolah."
Sesil berdecak pelan. "Ternyata bukan cuma ibu tiri yang berlaku kejam pada anaknya."
Mendengar ucapan Sesil, sontak Adin dan Malik langsung bernyanyi-nyanyi kecil. "Ibu tiri... hanya cinta... kepada... aduh-aduh!!" nyanyian mereka langsung terhenti karena mendapat pukulan di kepalanya dengan keras secara bergantian oleh Ara.
"Dia bukan nyokap tiri!" teriak Ara sambil mendengus kesal.
Gue tersenyum. Seenggaknya dengan adanya mereka, gue bisa tersenyum kembali untuk saat ini.
"Udah lega sekarang? Udah gak merasa kesepian lagi?" tanya Devin yang duduk di sebelah gue dan sedari tadi hanya diam saja karena lebih memilih menatap lekat ke arah gue.
Gue tersenyum lalu mengangguk. "Udah Vin, makasih sarannya."
Devin tersenyum lalu mengelus rambut gue dengan pelan.
"Sayang banget rumah segede ini cuma dihuni sama satu orang." celetuk Malik. "Kalo gue ubah jadi tempat clubbing, pasti bakal rame."
Sontak ucapannya langsung dihadiahi lemparan bantal sofa dari Ara dan tepat mengenai wajahnya. Gue cuma terkekeh pelan melihat pertengkaran kecil dari mereka, begitu pun yang lainnya.
Malik mengerang kesakitan, tak urung dia langsung mengadu pada saudara kembarnya. "Wan, kok pacar lo galak bener sih? Mauan lo pacaran sama dia!"
"Gue juga gak bakal mau pacaran sama Ridwan kalo sifatnya sama kayak lo!" celetuk Ara tak mau kalah.
"Jadi, kalo sifat gue sama kaya Ridwan, lo mau pacaran sama gue?" tanya Malik lagi sembari menatap Ara dengan tatapan menggoda.
"Ogah! Seenggaknya Ridwan itu kulitnya putih, gak kaya lo! Dekil!"
Sontak ucapan Ara semakin membuat gue dan yang lainnya tertawa lebar. Ara benar, mereka memang kembar. Bedanya, Ridwan memiliki warna kulit yang cenderung putih sementara Malik lebih hitam, dan itu yang membuat Ara menamainya jadi dekil. Padahal menurut gue, Malik tidak dekil-dekil amat sih.
Dio yang sedari tadi hanya diam saja pun akhirnya ikut tertawa. "Haha... lagian kalian aneh, sodara kembar kok warna kulitnya hitam putih. Kayak Zebra!" celetuk Dio disela tawanya.
"Iya bener," Timbrung Adin. "Pasti cewe yang deketin Malik bakal langsung berpaling ke Ridwan deh karena langsung jijik lihat si dekil Malik."
Gue semakin tertawa melihat raut muka kecut Malik.
"Terus aja gue dinistain bang!" seru Malik.
"Pantes deh lo jadi penghuni neraka, secara kulitnya item gitu!" celetuk gue dan langsung dihadiahi tatapan sinis dari Malik.
"Ikut nistain gue ya lo? Udah balik jadi Donat rese lagi ya sekarang? Hmmm?!" tanya Malik yang menurut gue itu merupakan sindiran.
Gue terkekeh pelan melihat Malik yang mulai merasa kesal karena terus dinistakan seperti itu.
"Aigoo... Donat gue udah gak empuk lagi nih sekarang. Sekarang malah jadi mirip Donat basi!" seru Adin sambil menyubit pipi gue dan menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri. Gue sadar, selama seminggu ini gue jarang makan, makanya pipi gue jadi tak terlihat chubby lagi.
"Jangan sentuh-sentuh gitu ah!" seru Devin sambil menyingkirkan tangan Adin dari wajah gue.
"Idih, pawangnya ngambek!" celetuk Adin sambil menatap Devin dengan tatapan menggoda.
Gue tak mengerti tentang apa yang tengah dibicarakan oleh Adin dan Devin, dan gue tak perduli. Yang penting sekarang, gue sudah cukup lega dan bisa kembali tersenyum karena kehadiran mereka saat ini.
"Di kulkas masih ada bahan makanan yang bisa dimasak?" tanya Dio dan gue balas dengan anggukan.
"Ya udah, kalo gitu gue mau masak dulu. Pasti lo belum makan, kan?"
Gue mengangguk lalu tersenyum. "Makasih chef Dio..."
"Kitanya juga sekalian!" seru Malik dan Dio balas dengan deheman.
"Giliran ada makanan aja lo jadi semangat!" cibir Devin.
***
Gue merebahkan diri di atas kasur sambil dibantu Devin yang kini tengah menarik selimut untuk menutupi badan gue.
"Makasih Vivin..." seru gue sambil tersenyum.
Devin ikut tersenyum lalu duduk di pinggiran kasur. "Udah tidur. Kita juga malam ini bakal nginep di sini kok nemenin lo. Nanti biar Yuna yang tidur bareng sama lo." Devin diam sebentar. "Atau, lo maunya tidur sama gue?" tanya Devin sambil sengaja menaik turunkan alisnya seolah tengah menggoda gue.
Gue pun refleks langsung menoyor kepalanya dengan sedikit keras sementara Devin langsung meringis disusul kekehan pelannya.
"Yunanya mana?" tanya gue.
"Ada. Dia lagi beresin dapur sama Ara dan Sesil. Nanti Ara sama Sesil tidur di kamar tamu, soalnya gak muat kan kalo harus tidur berempat di sini?"
Gue mengangguk mengiyakan. "Terus kalian tidur di mana?"
"Gampang!" celetuk Devin. "Bisa di ruang tamu, atau mungkin di ruang keluarga. Tapi kayaknya kita gak bakalan tidur deh malem ini."
Gue mengerutkan kening menatapnya heran. "Kenapa?"
"Kita mau nobar Drakor!"
Mendengar jawaban Devin sontak membuat gue terkekeh pelan. "Sejak kapan lo suka Drakor?"
"Emang ada larangan gue gak boleh suka Drakor?" sindirnya sambil mengacak gemas rambut gue.
Gue semakin terkekeh. "Haha ... iya, nggak."
"Ya udah tidur, istirahat. Ini udah malem."
Gue mengangguk mengiyakan dan langsung mulai memejamkan mata, karena sejujurnya rasa kantuk sudah menyerang sejak gue masih makan makanan buatan Dio dengan mereka tadi.
Dan diambang kesadaran gue, gue merasakan Devin kembali merapatkan selimut di tubuh gue lalu mengelus pipi gue dengan lembut.
"Sweet dreams, Natt..." bisiknya pelan di telinga gue.
***
Karna --> karena.
Comment on chapter Prolog