Gue mengerjap beberapa kali untuk menormalkan mata yang sedari tadi enggan untuk terbuka. Gue bangkit dan melirik ke arah jam yang bertengger di atas nakas. Masih jam tujuh. Akhirnya gue langsung turun dari ranjang dan segera melangkahkan kaki menuruni tangga menuju dapur.
Saat hendak mengambil air minum di lemari es, gue melirik sekilas ke arah ruang tamu. Dapat gue lihat kalau televisi di sana masih menyala. Akhirnya gue urungkan acara minum dan langsung melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Betapa terkejutnya gue ketika melihat keadaan ruang tamu yang sudah terlihat seperti kapal pecah ini. Banyak bantal-bantal sofa yang letaknya sudah tidak beraturan lagi. Terlihat sampah juga bertebaran di mana-mana.
Gue lirik sekumpulan sampah masyarakat yang masih tidur tidak beraturan di lantai. Gue mendengus pelan melihat teman-teman bobrok gue ini yang sudah berhasil membuat ruang keluarga jauh dari kata rapi. Kalau ada Kak Sica, gue pastikan, nyawa mereka jadi taruhannya karena mereka sudah berhasil membuat keadaan rumah gue kacau.
"Oh Natt, lo udah bangun?" terdengar suara Yuna yang kini tengah melangkah mendekat.
Gue mengangguk lalu kembali menatap teman-teman bobrok gue dengan pandangan kesal. Yuna tertawa pelan ketika melihat raut wajah gue yang sudah terlihat masam seperti ini.
"Sesil sama Ara mana?" tanya gue.
"Masih molor." jawab Yuna sambil kini meraih bantal sofa dan memukulkannya ke arah teman-teman. Akhirnya gue ikutan. Tapi gue memukul mereka bukan pakai bantal, melainkan pakai sapu. Kalau mau mukul, gak usah tanggung-tanggung, kan?
"Bangun Woi!" teriak gue sambil memukulkan sapu ke arah Devin, Adin dan Malik sementara Yuna yang bertugas membangunkan Joshua, Ridwan dan Dio.
"Bangun! Bangun gak?!" teriak gue lagi dan kali ini gue memukul ke arah Malik dengan sedikit keras.
"Aduh! Sakit woi!" teriak Malik sambil memegangi pantatnya yang gue pukul tadi.
Terlihat dia mengerjapkan mata perlahan lalu memandang ke arah gue dan Yuna bergantian. Dan matanya kini langsung fokus ke arah sapu yang tengah gue pegang ini.
"Kejam lo kaya mak tiri!" dengus Malik sambil sesekali masih menguap karena kantuk masih menyerangnya saat ini.
"Bacot! Udah, cepet bangunin yang lain!" gertak gue ke Malik.
Terlihat Malik langsung tersenyum miring. "Sesil sama Ara mana?"
"Masih tidur." kini Yuna yang menjawab sambil masih terus membangunkan Dio dan Joshua yang terlihat masih enggan untuk bangun, sementara Ridwan yang sudah mulai bangun langsung berjalan ke arah kamar mandi.
"Bangunin ah..." seru Malik lalu langsung berjalan dengan sedikit berlari ke arah kamar yang ditempati Sesil dan Ara.
"Woi! Ngapain?!" teriak gue.
"Bangunin mereka lah!" seru Malik lagi sambil mengerling menggoda.
"Halah! Cari kesempatan doang paling," celetuk Yuna yang kini meraih sapu di tangan gue dan mulai memukulkannya ke arah Joshua dan Dio.
"Aduh, pantat gue Mak!" teriak Joshua dan langsung bangkit karena merasakan pantatnya dipukul oleh benda keras.
Gue cuma terkekeh geli melihatnya. Akhirnya gue meraih gelas berisi air yang berada di atas meja dan gue ciprat-cipratkan ke wajah Adin. Gue lihat Adin mengerjapkan matanya karena merasakan air yang gue cipratkan tadi tepat mengenai wajahnya.
"Woi Natt, Ah ... Apa-apaan sih!" gerutu Adin lalu langsung memposisikan dirinya untuk duduk. "Gue baru tidur jam lima, malah dibangunin lagi!"
"Suruh siapa tidur jam lima!" gerutu gue lalu langsung beralih mencipratkannya ke arah Devin yang sedari tadi masih diam tak bergeming.
Adin hanya mendelik sebal ke arah gue lalu langsung melangkahkan kaki meninggalkan ruang keluarga, disusul oleh Dio dan Joshua juga yang sudah berhasil bangun karena pukulan sapu oleh Yuna tadi.
"Gue bangunin Ara sama Sesil dulu ya, gue takut mereka diapa-apain sama Malik," seru Yuna sambil melangkah pergi meninggalkan gue.
Gue tatap Devin kini yang masih tak bergeming sedikit pun. Padahal tadi gue sudah memukul dia pakai sapu, tapi dia belum bangun juga. Gue guyur wajahnya pakai air, tetap saja. Cuma satu cara yang bisa buat Devin bangun. Akhirnya gue meraih remote Televisi dan membesarkan volumenya hingga full. Biasanya Devin tidak tahan jika mendengar suara berisik Televisi saat dia tidur, makanya gue membesarkan volumenya sekarang.
Gue lirik Devin yang kini mulai menggeliat. "Matiin tv nya!" seru Devin dengan suara serak khas orang bangun tidur. Gue cuma diam sambil menatapnya dengan geli.
"Matiin..." seru Devin lagi sambil merubah posisi tidurnya yang tadi menyamping kini terlentang.
Gue mendengus pelan sambil mendudukkan badan di dekat Devin yang masih tidur terlelap di lantai.
"Vin, bangun ah!" seru gue sambil mengguncang tubuhnya dengan keras. "Viin.. bangun cepetan! Yang lain juga udah bangun!" gerutu gue lagi karena Devin bersikeras tidak mau bangun. Akhirnya karena mulai kesal, gue pukul pantat dia dengan keras. "Viiiinn!!"
Baru saja gue berteriak, Devin langsung meraih tangan gue hingga sekarang posisi gue tengah sedikit menindih tubuhnya. Gue mengerjap beberapa kali melihat wajah Devin sedekat ini. Gue bahkan dapat merasakan hembusan nafas teratur dia kini.
"Vin..." ucap gue pelan sambil menatap dia dengan posisi masih menindih sebagian tubuhnya.
Gue lihat Devin mulai membuka mata. Matanya kini fokus ke arah gue yang tengah terdiam menatap dia.
"Pagi!" sapa dia dengan memasang ekspresi tersenyum manis lalu langsung bangkit hingga membuat gue otomatis langsung ikut bangkit juga.
Gue kembali mengerjapkan mata dan menormalkan detak jantung. Kenapa dengan jantung gue? Tidak biasanya gue seperti ini.
"Hayo! Ngapain lo tadi di atas tubuh gue?" seru Devin sambil menatap gue dengan tatapan menggoda.
Gue berdehem. " L-lo, Lo yang narik g-gue, tadi..." seru gue dengan sedikit gugup.
"Oh ya? Tapi, kenapa lo diem aja gue gituin?" tanya Devin lagi.
"G-gue ... gue...."
Devin langsung terkekeh geli melihat kegugupan gue saat ini. "Gak usah gugup gitu ah!" serunya sambil mengacak rambut gue dengan gemas lalu melangkah menuju dapur.
Gue menghela nafas panjang. Kenapa juga gue harus gugup seperti itu tadi?
***
Gue langsung menaiki mobil dan duduk di kursi samping kemudi disusul Devin yang langsung duduk di kursi kemudinya. Sementara Yuna dan Adin sudah duduk Stand bye di kursi belakang. Ara dan Ridwan sudah berangkat sedari tadi dengan menaiki sepeda motor sementara yang lainnya ada di mobil belakang.
Kami sekarang tengah menuju kampus karena kebetulan hari ini kami ada kelas semua sehingga kami bisa berangkat berbarengan seperti ini.
"Mati gue!" pekik gue sambil menepuk kening gue sendiri. Gue lupa, gue belum mengerjakan tugas dari si botak killer!
"Napa lo?" tanya Yuna.
"Gue lupa ngerjain tugas dari si botak!" jerit gue.
"Kebiasaan!" gerutu Devin sambil menoyor kepala gue ke samping.
Adin mendengus. "Gue sih udah nebak tentang itu."
"Kasih gue contekan dong Din..." pinta gue sambil memasang raut muka memelas.
Adin berdecak pelan. "Nih, berhubung gue lagi baik," ucapnya lalu langsung memberikan buku tugasnya ke gue.
"Udududu ... Makasih Adinku yang ganteng ini..." seru gue sambil mencubit pipi Adin dan menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri.
"Udududu ... Kalo ada maunya aja lo muji gue..." balas Adin sambil balas mencubit pipi gue.
Gue terkekeh geli lalu langsung kembali fokus menatap ke depan.
"Lo ada kelasnya nanti jam satu, kan?" tanya Yuna dan gue jawab dengan anggukan.
"Hari ini cuma kelasnya Pak Broto doang?" Kini Devin yang bertanya dan gue jawab dengan anggukan lagi.
"Ya udah, nanti kita nongki dulu aja di kantin. Tadi kita belum sempet sarapan, kan?" tanya Yuna lagi.
"Emangnya lo gak ada kelas jam segini?" tanya Adin.
Yuna menggeleng. "Nggak, gue sama Devin ada kelasnya nanti, jam tiga."
"Yang lain?" tanya gue.
"Kayanya nggak deh, mereka juga ada kelasnya sore."
Gue mengangguk-angguk pelan, "Ya udah, kalau gitu kita nongkrong aja dulu di kantin."
***
Sekarang gue dan teman-teman tengah berada di kantin. Cuma nongkrong biasa saja sih tidak ada yang spesial, karena ini sebenarnya sudah jadi rutinitas kita kalau tidak ada kelas.
"Pesan apa? Biar gue sama Ridwan yang pesenin," seru Ara.
"Gue biasa Ra, Donat toping coklat!" jawab gue.
"Eits!" sela Devin. "Gak, hari ini gak ada Donat-Donatan. Lo harus makan nasi," serunya lalu segera memerintah Ara untuk memesankan nasi untuk gue.
"Ih! Gak ah, pokoknya gue mau donat, titik!" seru gue tetap kekeh ingin memesan Donat.
"Lo harus makan nasi, Natt. Udah berapa hari lo gak makan nasi," seru Devin lagi.
"Iya ih! Jangan kebanyakan makan Donat, nasi juga perlu!" timbrung Sesil.
"Lagian, Donat makan Donat!" seru Joshua yang langsung gue hadiahi pelototan tajam ke arahnya.
Gue mendengus pelan. Akhirnya gue mengalah karena teman-teman semuanya melarang gue untuk makan Donat kali ini.
Selang beberapa menit kemudian, Ara dan Ridwan datang sambil membawa pesanan milik kami. Gue menghela nafas pelan sambil menatap nasi di depan gue. Sumpah, gue pengen makan Donat!
"Makan yang banyak..." seru Devin sambil sengaja menyuapkan nasi ke mulut gue karena sedari tadi gue cuma menatap nanar nasi itu. "Biar pipi Donatnya Vivin chubby lagi."
Gue cuma terkekeh pelan mendengar ucapannya. Donatnya Vivin pantat lo, Vin! Jangan buat pantat gue menggigil deh!
"Iya, nanti biar bisa gue gigit!" celetuk Malik yang langsung gue hadiahi tatapan tajam ke arahnya.
"Lo nanti yang gue gigit!"
Itu bukan ucapan gue, tapi ucapan Devin. Devin berucap seperti itu sambil memasang raut wajah kesalnya. Lucu deh kalau melihat raut wajah Devin yang seperti itu.
"Takut. Pawangnya galak!" seru Malik sambil memasang wajah sok ketakutan dan itu sukses membuat semua teman-teman gue terkekeh pelan.
"Udah, udah. Cepet makan ah! Bentar lagi gue ada kelas nih!" seru Dio hingga membuat kami langsung mulai menyantap makanannya.
"Wan, gue mau ajak lo taruhan, mau nggak?" tanya Malik memecah keheningan di antara kami.
"Taruhan apa?" tanya Ridwan sambil memasang muka bingungnya.
"Lo tau Tsabina? Anak HI itu loh!" seru Malik. "Gue mau ajak lo taruhan buat dapetin dia."
Seketika Ara yang mendengar ucapan Malik langsung menghadiahi jitakan keras di kepalanya.
"Aw! Sakit woi!" seru Malik sambil mengusap-usap kepalanya yang kena jitakan dari Ara tadi.
"Lo--" ucapan Ara langsung terhenti ketika ia mendengar ucapan dari mulut Ridwan.
"Lo gila ajak gue taruhan begituan? Hati gue udah milik Ara!" seru Ridwan yang kini sukses membuat pipi Ara merona.
"Uuuu ... So sweet bang!" celetuk Adin sambil menepuk-nepuk pelan bahu Ridwan.
"Jiah ... Setia nih!" timbrung Joshua, sementara gue yang jadi pendengar baik obrolan mereka cuma terkekeh pelan.
"Halah sok setia! Kemarin aja gue tunjukin foto cewe pake bikini lo langsung--"
Tuk!
Ridwan langsung memukul kepala saudara kembarnya itu dengan sendok agar Malik segera menghentikan ucapannya.
Gue terkekeh lagi. Sesetia-setianya cowo, kalau sudah ditunjukkan foto begitu sih, ya matanya langsung melebar. Kalau nggak, berarti cowo itu nggak normal.
"Bacot mulu lo!" dengus Ridwan.
"Lagian, sok-sok'an nolak taruhan gue!" seru Malik lagi. "Yakin mau nolak taruhan gue? Tadinya gue mau jadiin motor gue sebagai hadiah kalau lo berhasil dapetin dia."
"Kalo gitu taruhannya sama gue aja!" seru Joshua dengan cepat.
"Gak gak, sama gue aja!" timbrung Adin. "Gue ahlinya melelehkan hati cewe. Gue jabanin, dia langsung hamil online gara-gara rayuan maut gue."
"Gue juga ikutan!" kali ini Dio yang ikut menimbrung pembicaraan mereka.
Seketika kami langsung berpandangan aneh ke arah Dio. Yakin Dio mau ikutan? Secara dia kutu buku gitu.
"Halah!" celetuk Adin sambil sengaja mengusap wajah Dio dengan kasar. "Biasa pacaran sama buku, sok-sok'an mau ikutan taruhan."
"Eits, jangan salah! Baca buku itu bikin kita jadi tambah banyak wawasan. Salah satunya, gue jadi tau seribu satu cara ampuh buat luluhin hati cewe," celetuk Dio yang langsung membuat kami semua terkekeh geli.
"Uuu ... Dio udah dewasa guys!" seru Joshua sambil meninju pelan bahu Dio.
"Playboy Dio!" seru Sesil sambil terkekeh kecil.
Gue hanya tertawa pelan melihat tingkah mereka. Gue lalu langsung beralih menatap Devin yang kini tengah fokus menyantap makanannya di depan gue.
"Lo gak ikutan?" tanya gue.
Devin langsung mendongak ketika mendengar pertanyaan dari gue. "Ikutan apa?"
"Ikutan taruhan sama mereka," seru gue sambil menunjuk ke arah mereka dengan dagu.
"Gak ah!" jawab Devin lalu langsung meraih wajah gue dan langsung mencubit pipi gue dengan gemas. "Kan gue udah punya Donat...."
Gue langsung mendengus kesal mendengar jawabannya. Gue sebal deh sama teman-teman gue, kenapa sih mereka sering banget mencubit pipi gue!
Gue langsung menatap datar ke arah Devin lalu langsung mengalihkan tatapan ke makanan lagi. Belum sempat gue membuka mulut untuk menyantap makanan lagi, gue dikejutkan dengan suara berat pria yang tengah berdiri di depan gue.
"Natt!"
Gue menoleh, dan gue semakin terlonjak kaget mendapati Kak Juna kini sudah berdiri di sebelah gue. Gue benar-benar kaget sekarang. Kenapa Kak Juna seberani itu menemui gue saat tengah bersama teman-teman gue? Tahu kan kalau teman-teman gue tak suka ketika melihat gue dekat dengan Kak Juna?
Gue menatap sebentar ke arah teman-teman yang mulai terdiam karena keberadaan Kak Juna di sini.
"Kak Jun, ngapain?" tanya gue ragu.
"Mau ngomong sebentar sama kamu, boleh?" tanya Kak Juna.
Refleks gue mengangguk. Tapi, ketika gue mau menjawab, ucapan gue langsung disela oleh Devin.
"Sorry, dia lagi makan, jadi gak bisa diganggu."
"Gue ngomong sama Natt, bukan sama lo," seru Kak Juna masih berusaha untuk menormalkan ucapannya, padahal gue lihat dia tengah mencoba menahan marah saat ini.
"Tapi, Natt juga lagi gak mau diganggu. Iya kan, Natt?" tanya Devin sambil menatap gue dengan tatapan intens.
Gue yang ditatap seperti itu langsung kikuk. Gue cukup takut juga jika Devin mulai memberikan tatapan seperti itu. Akhirnya gue berdehem sebentar sebelum menjawab ucapan Devin tadi.
"Ngomongnya lewat chat aja, bisa Kak?" tanya gue pelan karena takut ucapan gue akan menyinggung Kak Juna. Sebenarnya ada perasaan tak enak juga sekarang pada Kak Juna, secara dia sudah rela menemui gue seperti ini.
Gue melihat Kak Juna menghela nafas pelan lalu mengangguk. "Ya udah, nanti Kakak chat kamu."
***
Karna --> karena.
Comment on chapter Prolog