??????
Gue melangkahkan kaki menuju koridor kampus. Gue merutuki kecerobohan sendiri, kenapa gue bisa lupa kalau hari ini ada kelas pagi? Kalau ingat kan gue tidak mungkin membiarkan air mata sialan ini meluncur seenak jidatnya tadi malam. Alhasil gara-gara itu, mata gue terlihat sayu, bengkak dan terlihat menghitam di area kantung matanya. Apa alasan yang bakal gue pakai kalau teman-teman somplak gue menanyakan tentang hal ini? Ahh! Rasanya gue ingin sekali memutilasi tubuh gue sendiri.
Gue tak mau buat mereka khawatir. Cukup biar gue yang memendam masalah pribadi gue, gue takkan pernah membiarkan orang lain ikut campur tentang ini.
Akhirnya gue berjalan dengan menunduk dan sesekali melirik kanan kiri memastikan kalau gue tidak bertemu salah satu teman-teman gue. Tapi, takdir berkata lain. Bukan, gue bukan bertemu dengan salah satu teman gue, melainkan orang yang paling ingin gue hindari untuk kali ini.
“Awas kesandung! Jalannya nunduk-nunduk gitu.” gerutu Kak Juna sambil menarik dagu gue agar mendongak menatapnya.
Dan gue tebak, dari raut wajahnya dia sekarang tengah bingung melihat keadaan gue yang dibilang jauh dari kata baik-baik saja.
“Mata kamu kenapa? Kok sembab? Kamu habis nangis?”
Gue menggeleng pelan lalu mengangguk.
“Kenapa nangis? Hmm?” tanya Kak Juna lembut sambil menatap mata gue dengan lekat.
Gue berdehem pelan. “Semalem drama korea yang aku tonton tamat Kak, dan ternyata dramanya sad ending. Makanya aku nangis semaleman sampe kejer-kejer.”
Gue memejamkan mata, berharap Kak Juna percaya dengan ucapan gue. Dan selang beberapa detik, gue merasakan Kak Juna menyentuh mata gue dengan lembut.
“Jangan kebaperan sama drama korea ah! Kasian mata kamu jadi sakit gini.” Gerutu Kak Juna.
Gue memandang Kak Juna lalu tersenyum. “Mau gimana lagi, udah kecanduan.” jawab gue. Diam-diam gue menarik nafas lega karena Kak Juna berhasil percaya dengan alasan gue.
“Ya makanya jangan dibiasain!” gerutu Kak Juna sambil menyentil pelan kening gue. “Ya udah, Kak Jun duluan ya. Ada kelas nih.”
Gue mengangguk mengiyakan. Setelah mengacak pelan rambut gue, Kak Juna melangkah pergi meninggalkan gue sendiri.
Gue kembali menghela nafas. Baru saja mulai melangkah kembali, gue melihat sepasang mata kini tengah mendelik ke arah gue. Mau bagaimana pun gue menghindar, tetap saja gue malah bertemu dengan salah satu geng somplak yang selalu berpencar di mana-mana. Salah satunya, Ara. Dia kini tengah menatap gue dengan tatapan intens sedari tadi.
***
“Astaga! Lo tega ya sama gue!” teriak Yuna.
Sekarang gue memang tengah duduk santai di kantin bersama Yuna, Ara dan Devin. Baru saja tadi gue menjelaskan alasan kenapa mata gue bengkak seperti ini. Dan alasannya, sama dengan alasan yang gue pakai pada Kak Juna tadi.
“Tega apanya sih Yuna?” tanya gue tak mengerti.
“Ya, lo tega sama gue! Nonton drakor gak ngabarin gue! padahal kita kan tetangga, bisa kan nobar!” gerutu Yuna lagi.
Gue tersenyum simpul. “Besok deh, besok.” jawab gue dan berhasil dihadiahi tatapan tajam lagi dari Yuna. “Serius besok Yunaaa...” seru gue karena tidak tahan mendapat tatapan mengintimidasi seperti itu.
“Kalo mau nonton, ajak gue sekalian!” timbrung Ara.
“Yakin? Siap nonton sampe jam tiga pagi lagi?” tanya Yuna.
“Yakin lah! Sekalian gue nginep lagi kan di rumah lo?” seru Ara lagi ke gue.
“Lo gak takut sama mak lampir di rumah gue?” tanya gue sambil tersenyum kecil mengingat bagaimana cerewetnya Kak Sica kalau gue ketahuan tengah menonton drama korea bersama teman-teman sampai lupa waktu.
“Eh, gak jadi deh!” jawab Ara sambil bergidik ngeri karena dia juga salah satu korban amukan Kak Sica waktu itu.
Gue terkekeh pelan lalu segera memakan Donat yang gue pesan tadi.
“Tumben toping Donatnya keju, biasanya coklat.” celetuk Devin yang duduk di hadapan gue dan sedari tadi hanya diam menyimak pembicaraan kami.
“Pengen coba yang baru aja.” jawab gue.
“Emangnya gak aneh gitu, kan biasanya selama ini selalu toping coklat yang lo beli.” timbrung Ara.
“Gak papa. Gak semuanya yang baru itu mengecewakan. Seenggaknya gue harus mencoba, mencoba terbiasa dengan yang baru karena belum tentu yang lama tetap bertahan di hati gue.”
“Kebanyakan novel romance lo!” Devin mendesis pelan sambil menyentuh kening gue dengan telunjuknya dan memberikan hentakan pelan. “Ngomongin Donat aja pake perasaan.”
Gue tersenyum simpul, “Seenggaknya gue lagi berusaha ngehibur hati.” ucap gue enteng.
“Halah ngehibur hati!” cibir Yuna. “Sono hibur hati degem-degem lo tuh yang kecewa gara-gara ditolak cintanya sama lo!”
“Iya dih! Sok-sok’an nolak degem, eh sendirinya sekarang masih jomblo!” celetuk Ara. Kenapa mulut Ara bisa mengeluarkan kata sepedas itu?
Gue menghela nafas. “Gue jomblo karna gue nyari yang Kw-an Baekhyun!” celetuk gue.
“Kw-an Baekhyun pantatmu neng! Sono noh Mang Asep, dia juga kalo didandanin mirip Baekhyun.” celetuk Yuna sambil membawa-bawa nama Mang Asep, tukang sapu di kampus yang kelakuannya lebih mirip bencong salon.
“Kalo Mang Asep gue dandanin, lebih mirip banci Thailand!” seru gue dan sontak membuat ketiga sahabat gue ini tertawa.
“Lagian ngarep yang Kw-an Baekhyun. Mustahil Natt! Keburu si botak jadi gondrong!” celetuk Ara dan berhasil membuat kami kembali tertawa.
“Ngomong-ngomong yang lain mana?” tanya gue disela tawa gue.
“Kalo Adin sih tadi ada ngabarin gue, katanya dia meriang gara-gara kehujanan kemarin.” jawab Devin. “Kalo yang lainnya, gue gak tau.”
Gue berdecak. “Partner debat gue bisa sakit juga.” ucap gue pelan. “Pacar lo mana, Ra?” tanya gue mengalihkan tatapan pada Ara yang duduk di sebelah gue.
“Dia gak ada kelas hari ini.”
Gue cuma mengangguk-angguk pelan mendengar jawabannya.
“Eh, gue sama Yuna duluan ya. Ada urusan bentar.” seru Ara lalu mulai bangkit berdiri dengan Yuna.
Sontak gue dan Devin menjawabnya dengan anggukan.
“Hati-hati.” seru gue dan dijawab anggukan pula oleh keduanya.
Setelah ditinggal mereka berdua, di sinilah gue, ditinggal berdua dengan Devin. Entah gue yang merasa terlalu percaya diri atau apa, yang jelas, gue merasakan Devin terus menatap gue saat ini. Jujur gue risih, kenapa juga Devin menatap gue seperti itu?
“Kenapa sih natap gue kaya gitu? Ada yang aneh?” tanya gue karena mulai merasa risih dengan tatapan Devin.
“Lo yakin lo gak apa-apa?” tanya Devin.
Gue tahu arah pembicaraan Devin tentang apa, pasti tentang mata gue yang mendadak bengkak seperti ini. Akhirnya gue mengangguk mengiyakan.
“Dan lo pikir, gue semudah itu buat percaya sama alasan lo?”
***
Gue meringkuk sendirian di dalam kamar. Sekarang di luar tengah hujan deras. Dan karena itu, gue rasa keadaan sekarang malah semakin mencekam. Terlebih gue cuma sendirian di rumah. Bukannya gue takut, cuma rasanya tidak mengenakkan saja mengetahui fakta kalau gue kini tengah sendirian di sini, di rumah sebesar ini.
Gue meringkuk sambil merapatkan selimut dan mulai memejamkan mata. Tapi, saat gue memejamkan mata, bayangan wajah Devin sewaktu siang malah melintas di fikiran gue.
“Dan lo pikir, gue semudah itu buat percaya sama alasan lo?”
Gue terlonjak kaget. Tangan gue yang tadi memegang garpu dan pisau langsung menjatuhkannya perlahan. Apa Devin sepeka itu?
“Lo ngomong apa sih!” seru gue sambil tersenyum tipis lalu segera memalingkan wajah. Gue terlalu takut kalau pandangan gue akan bertubrukan dengan mata sipit milik Devin.
“Gue tau lo lagi gak jujur sama gue Renata...” seru Devin pelan sambil meraih tangan gue yang berada di atas meja. “Tapi, gue gak akan maksa buat lo cerita sama gue. Gue yang akan tunggu sampe kapan lo siap buat cerita ke gue. Tapi seenggaknya, jangan buat diri lo kesepian kaya gini.”
Pernyataan terakhir Devin sontak membuat gue tertohok dan jantung gue semakin berdesir hebat.
Tapi seenggaknya, jangan buat diri lo kesepian kaya gini.
Iya Vin, gue kesepian, sangat kesepian. Tapi, apa bisa kehadiran lo bisa menghapus rasa sepi gue? Rasa sepi yang selama ini menghantui gue? Karena rasa sepi yang gue alami kini hanya bisa terobati dengan pelukan hangat dari Mama.
Tapi pertanyaannya, kapan gue merasakan itu? Kapan Mama bisa memberikan pelukan hangat ke gue seperti itu? Jawabannya adalah, kalau Tuhan memberi hidayah pada Mama, baru gue bisa merasakan itu.
Sekali lagi gue merasakan sesak di dada gue. Kenapa dari sekian banyak umat manusia, gue yang harus merasakan ini. Sebegitu bencikah Tuhan ke gue? Apa salah gue!
Gue menangis, untuk kesekian kalinya air mata ini bobol dari pertahanannya. Tapi, apa yang bisa gue lakukan lagi selain menangis? Tidak ada.
Nyatanya, gue hanya bisa meratapi nasib tanpa bisa merubah nasib. Karena, jika takdir sudah berkehendak seperti itu, gue bisa apa?
***
Karna --> karena.
Comment on chapter Prolog