Gue mengerang beberapa kali karena mendengar teriakan dari luar kamar.
"Natt, bangun gak? Bangun woy! Anak perawan hobinya molor mulu. Lo ada kelas pagi kan hari ini?"
Itu teriakan kakak perempuan gue. Dia teriak sembari mengetuk pintu kamar berkali-kali hingga membuat gue mau tidak mau harus bangun karena terusik dengan ulahnya.
"Iya gue bangun, berisik banget lo Sica!" gue cuma manggil dia namanya saja. Iya, gue senang memanggil dia dengan sebutan Sica kalau lagi marah.
"Kualat lo sama gue! Gak ada sopan-sopannya. Cepetan bangun! Gue tunggu di ruang makan."
"Berisiik!" gue teriak lagi. Bodo amat sama kualat, yang penting sekarang gue kesal gara-gara Kak Sica udah ganggu tidur gue. Alhasil, gue cuma kelejetan di atas kasur sambil nendang-nendangin selimut juga ngelempar bantal ke sembarang tempat. Gue yang notabene-nya kalau tidur kaya kebo, terus diusik, udah pasti gue bakal uring-uringan. Coba aja bangunin singa pas lagi tidur. Nah, gue marahnya udah kaya singa itu.
Gue terus menghentak-hentakkan kaki di kasur sambil gempulingan kesana-kemari hingga otomatis membuat gue jatuh ke lantai.
Gue menjerit, pantat gue sakit sumpah. Akhirnya gue bangkit dan mata tak sengaja melihat jam yang ada di nakas dan itu menunjukkan pukul 07.30. Sial, gue telat!
Gue hari ini ada kelas jam Delapan, otomatis gue cuma punya waktu buat dandan selama 30 menit. Akhirnya gue langsung bangkit. Namun, gue malah jatuh lagi gara-gara kepeleset selimut.
Pantat gue sakit lagi sumpah. Akhirnya gue singkirkan selimut itu lalu langsung lari ngibrit ke kamar mandi. Gue mandi cepet banget ala capung lagi cebok.
Setelah pakai baju dan dirasa sudah beres, gue langsung melesat ke ruang makan. Gue mandi dan dandan kira kira selama 10 menit, masih ada sisa 20 menit lagi.
Gue langsung duduk dan makan roti yang udah disiapkan dengan sekali suapan. Satu roti yang berselai itu benar-benar langsung masuk ke mulut. Setelah dikunyah bentar, gue menyeruput segelas susu juga. Tapi, belum sempat menghabiskan segelas susu itu, mata gue nggak sengaja melihat Mama yang melangkah hendak ke meja makan. Otomatis gue langsung tersedak.
"Pelan-pelan dong," gerutu Kak Jessica, gue sih lebih senang manggil dia Sica.
Baru aja gue mau menyapa Mama, eh dia malah langsung balik kanan bubar barisan. Iya, dia langsung balik kanan dan melangkah menuju kamarnya kembali. Kayanya tadi dia mau ikut makan deh. Tapi setelah melihat gue, dia langsung pergi. Dia emang gitu, kelihatannya kaya dosa banget makan bareng gue.
"Papa sama Kak Andrew udah berangkat kerja?" Akhirnya gue tanya sama kakak gue yang cantik ini. Dia menjawab dengan deheman karena mulutnya juga sedang penuh dengan roti.
"Kak Sica hari ini gak ada pemotretan?" tanya gue. Iya, Kak Sica berprofesi sebagai model sementara Kak Andrew kerja di kantor milik Papa.
"Ada, tapi nanti agak siangan. Lo berangkat kuliah sendiri ya, bawa mobil aja."
Gue mengangguk. "Ya udah gue berangkat. Kasian Mama, kayaknya mau makan deh, tapi gak jadi gara-gara ada gue."
"Lo ngomong apa sih!" seru Kak Sica namun tak gue gubris.
Gue langsung pamit ke Kak Sica dan melesat ke garasi untuk mengambil mobil dan segera tancap gas. Sumpah, hari ini gue telat banget!
***
Turun dari mobil, gue langsung ngibrit ke kelas karena sekarang jam sudah benar-benar menunjukkan pukul delapan tepat. Gue lari, tapi karena mungkin ini sudah nasib gue, gue jatuh lagi. Gue jatuh gara-gara kaki kanan gue tersandung sama kaki kiri gue sendiri.
Gue mengerang kesakitan. Seketika gue celingukan, beruntung di area parkir lagi sepi. Kalau ramai kan mau di taruh di mana muka gue yang cantik ini, duuhh!
Akhirnya gue bangkit lalu langsung ngibrit lagi menuju kelas. Coba hitung deh gue sudah berapa kali jatuh bangun, tiga kali gengs. Sekali lagi gue jatuh, fix gue dapet gelas.
Waktu gue masuk, gue otomatis langsung jadi pusat perhatian oleh mahasiswa lainnya. Dan poin pentingnya adalah, gue langsung diplototin sama dosen gue. Gue bener-bener lupa kalo hari ini itu kelasnya si botak killer. Iya, dosen yang satu ini udah botak, killer pula. Hobinya marah-marah terus, kalau nggak marah ya cerewetnya minta ampun melebihi ibu-ibu kalau lagi ngomelin anaknya. Eh? Nggak tau sih, secara gue kan gak pernah tau rasanya di omeli ibu sendiri. Mama aja benci gue, boro-boro ngomel, ngomong aja nggak.
Berakhirlah gue diusir keluar sama dia. Dia emang gitu, telat dikit gak boleh ikut kelas. Alhasil, gue cuma berdiri di luar kelas sambil melihat mahasiswa lain yang fokus belajar di dalam. Kaki gue pegal berdiri terus sumpah. Mending dikeluarin dari kelas juga kalo diijinin pergi ke kantin sama si botak killer ini. Ini mah nggak! Gue disuruh tetap berdiri di depan kelas sampai kelas bubar. Gila, kan? gue sumpahin rambut di kepalanya biar gak bisa tumbuh lagi!
Ini gue beneran cape banget berdiri terus. Gue celingukan kesana-kemari memastikan kalau nggak ada orang lain yang lewat. Setelah yakin nggak ada yang lewat, gue langsung duduk lesehan di lantai. Bodo amatlah baju gue mau kotor atau nggak, yang penting kaki gue gak pegal-pegal lagi.
Baru saja gue mau selonjorin kaki, terdengar suara bariton seorang pria di sebelah gue. Otomatis gue menoleh dan dibuat menganga lebar karena orang yang berdiri di sebelah gue ternyata orang yang paling gue kagumi di kampus. Kak Juna, senior tiga tingkat lebih atas dari gue, anak Fakultas Kedokteran juga.
Otomatis gue langsung berdiri. Sumpah gue malu pake banget, kepergok kaya gini di depan orang yang gue kagumi.
"Ngapain duduk di lantai?" tanyanya yang cuma gue jawab dengan cengiran karena benar-benar bingung harus jawab apa.
"Terus, ngapain di luar? Kamu gak masuk kelas?" tanyanya lagi dan seperti biasa gue cuma nyengir doang.
Dapat dilihat dia mengeryit kebingungan. "Kamu dikeluarin, ya?" tanyanya sekali lagi.
Akhirnya gue kembali nyengir lagi tapi kali ini sambil menganggukkan kepala. Sumpah, gue malu banget. Kenapa juga Kak Juna harus di sini?
"Kenapa?"
"Telat..." gue jawab seadanya.
"Udah tau Pak Broto paling gak suka sama yang namanya telat. Ini kamu malah ngelakuin kesalahan itu."
Iya, nama dosen itu Pak Broto. Tapi terserahlah, gue lebih suka manggil dia botak killer. Cuma geng squad gue doang yang manggil sebutan itu.
"Iya Kak, aku tau... Ya gimana lagi, udah terlanjur."
Kak Juna lalu tersenyum sambil mengacak pelan rambut gue dan otomatis berhasil membuat wajah gue langsung merona.
"Jangan ulangi lagi!" ucapnya. "Ya udah, Kak Jun duluan ya...."
Gue mengangguk lalu melihat punggung dia yang perlahan menghilang di balik tembok.
***
Sekarang posisi gue tengah berada di kantin bersama geng squad gue. Geng yang menurut gue unfaedah. Temen yang biasa ngumpul bareng gue berjumlah 10 orang termasuk gue. Empat perempuan dan enam laki-laki. Gue memang nyaman bergaul dengan laki-laki. Ada yang bilang kalau kita curhat ke laki-laki dia bakal lebih mengerti kita. Dan gue akui itu benar, benar seratus persen. Gue sering curhat ke mereka, makanya gue nyaman bergaul dengan mereka. Ya walaupun otak mereka sedikit gesrek.
Kita duduk di meja paling ujung karena di sini mejanya besar hingga muat untuk kita yang terdiri dari sepuluh orang. Gue absen satu-satu temen gila gue. Gue duduk di ujung dan di sebelah gue ada Yuna, terus Sesil, Ara, dan Joshua. Dan di depan gue ada Devin, Adin, Dio, Malik dan Ridwan. Malik dan Ridwan ini memang saudara kembar, namanya sama seperti nama malaikat penjaga pintu neraka dan surga.
"Lo serius Donat disuruh keluar sama botak killer?" tanya Devin pada Adin karena kebetulan Adin berada di kelas yang sama dengan gue, jadi otomatis dia tahu itu.
"Gak usah terkejut gitu kali Viviiin..." Gue memang senang manggil dia Vivin. Walaupun panggilan itu biasanya dipakai buat manggil anak perempuan, tapi untungnya dia nggak pernah marah. Beda sama Kak Sica, kalau gue cuma manggil dia dengan sebutan nama doang, dia pasti udah ngamuk kaya banteng kecekik.
"Ini juga bukan pertama kalinya kan lo dikeluarin gitu sama si botak?" tanya Ara.
"Ahh, gue inget!" ucap Adin lagi. "Dulu, Donat juga pernah dikeluarin gara-gara keceplosan manggil Pak Broto dengan sebutan botak killer, kan?"
Mendengar ucapan Adin, otomatis semua langsung tertawa. Sumpah, mulut Adin ini lemes banget, benar-benar minta dicabein. Gue masih ingat betul kejadian itu. Waktu itu gue lagi ada kelasnya Pak Broto, terus gue lagi asyik-asyiknya balesin chatting dari Kak Juna, tiba tiba dosen itu manggil gue. Ya otomatis gue marah lah dan gue langsung berteriak gini.
"Apa sih lo, ngoceh mulu botak killer!"
Otomatis, gue langsung dikeluarin. Dan besoknya, gue disuruh bersihin WC. Sebenarnya itu momen ter-kampret yang pernah gue alami dan gue nggak mau mengungkitnya lagi. Tapi si Adin malah membahasnya. Dasar Syarifudiiin....
"Diem lo Syarifudin!" Gue menggertak dia dan sukses membuat teman-teman gue semakin tertawa kencang, sementara si Adin sudah manyun-manyun nggak jelas.
Iya, gue tau kenapa dia gitu. Dia kesal karna gue manggil dia dengan nama panjangnya dan dia nggak suka. Jadi, nama panjangnya itu sebenarnya Syarifudin, cuma dia lebih senang dipanggil Adin. Dia gak suka dipanggil Syarifudin, katanya nama kampungan. Padahal kan gak boleh gitu, nama itu pemberian orang tua dan kita harus menghormatinya. Masih untung kan dia nggak dipanggil Udin.
"Terus, kali ini lo dikasih hukuman apa lagi sama dia?" tanya Dio. Anak paling rajin di antara kita. Hobi memasak dan baca buku.
"Beresin perpus," jawab gue sambil memakan donat yang gue pesan tadi.
"Terus, kenapa lo di sini? Kapan beresin perpusnya?" kali ini Yuna yang bertanya.
"Nanti habis kelas terakhir," jawab gue lagi.
"Lo masih ada kelas?" tanya joshua.
Gue mengangguk. "Mm... nanti jam dua."
Akhirnya kami cuma ngobrol-ngobrol seperti biasa yang menurut gue unfaedah itu. Kadang kita membahas tentang dosen cantik, atau paling nggak bahas tentang yang mmm.. tidak patut dicontoh. Iya, kita bahas seks. Karna di antara kita ada provokator yang punya otak yadongnya. Siapa lagi kalau bukan Malik. Kalau bahasnya itu sih si Malik bukan pantas jadi penjaga pintu neraka, lebih pantas jadi penghuninya.
Tapi gue nggak ikut mereka buat bahas hal itu ya, karena sekarang gue lagi sibuk balas pesan dari Kak Juna.
Kak Juna
Di mana?
Gue pun langsung membalas pesannya.
Di kantin Kak
Tak selang beberapa lama Kak Juna membalas lagi.
Masih ada kelas gak?
Masih sih, nanti jam dua
Oh,habis kelar kelas temenin Kak Juna, mau nggak?
Gue langsung senyum sendiri melihat chat dari Kak Juna. Gue senang banget Kak Juna minta gue buat menemani dia. Secara dia orang yang paling gue kagumi.
Mau aja sih, emang kemana Kak?
Beli kado buat sepupu Kak Jun, gimana? KSekalian Natt Kak Jun undang di ultah sepupu Kak Jun, ya?
Ini gue bakalan diundang di ultah sepupu Kak Juna? Otomatis keluarga Kak Juna ada di sana dong. gue di kenalin sama keluarganya? Oh my god, rasanya nggak bisa gue bayangkan. Akhirnya gue menjerit kencang saking senangnya.
"Lah lah, ini anak kenapa? Stress gara-gara si botak?" tanya Sesil.
"Gue disuruh dateng di ultah sepupunya Kak Jun, sumpah gue seneng banget!" teriak gue namun mereka semua langsung diam. Gue lupa, mereka semua nggak pernah suka sama Kak Juna. Gue juga nggak tau kenapa, padahal Kak Juna orangnya baik kok.
"Yang, katanya kamu mau nemenin aku beli buku, yuk sekarang aja," ajak Ara pada Ridwan. mereka memang sepasang kekasih. Setelah itu, mereka langsung bangkit dan pergi begitu saja.
"Oh, gue lupa. Hari ini gue harus bantuin nyokap masak buat acara syukuran 4 bulanan kakak gue. Gue duluan ya..." kali ini Dio yang mulai pergi.
"Oh iya, gue ada kelas." kali ini Sesil. Sesil langsung cabut dan diikuti oleh Joshua juga Malik. mereka memang satu fakultas di sini, Fakultas Ekonomi.
Gue hanya bisa memandang mereka yang pergi satu persatu. Dan di sini cuma tersisa gue, Devin, Yuna dan Adin.
"Kapan lo ke pestanya?" tanya Devin. Di antara mereka semua, yang paling dekat dengan gue ya cuma Devin.
"Gue gak tau. Tapi setelah beres kelas, gue disuruh nemenin dia cari kado."
"Bukannya lo beres kelas harus ke perpus ya? Lo inget kan hukuman yang diberi sama Pak Broto?" tanya Yuna. Yuna ini sebenarnya teman gue dari kecil. Makanya, untuk teman cewe, gue paling dekat dengan Yuna.
Seketika gue langsung menepuk jidat gue. Gue lupa sumpah, lupa banget. Akhirnya gue langsunh membalas pesan dari Kak Juna yang sempat gue anggurin tadi.
Kak, selesai kelas aku harus beresin perpus,
Inget kan tadi aku membela sama Pak Broto? Gimana dong?
Selang beberapa menit gue dapat jawaban lagi dari Kak Juna.
Ya udah gak papa,
Nanti Kak Jun bisa pergi sendiri kok.
Gue menghela napas pelan. Gue kira Kak Juna bakal nunggu sampai gue beres hukuman, ternyata nggak. Sebel sih. Tapi ya gimana lagi, toh ini juga bukan salah Kak Juna. Lagian Kak Juna nggak punya alasan buat tetap nunggu gue, kan?
"Gimana?" tanya Devin.
"Gak jadi ..." ucap gue lirih. "Udah ah, gue mau cabut." Akhirnya gue beranjak dari duduk dan dengan malas melangkahkan kaki yang entah gue pun tak tahu mau ke mana.
***
Karna --> karena.
Comment on chapter Prolog