"If you love her, tell her. Maybe she loves you too," ucapan Irena di tengah perjalanan mereka membuyarkan konsentrasi Abriel pada kemudinya. "Nggak maju karena mikirin perasaan Adit?" Irena menambahkan.
"Bukan gitu...," rutuk Abriel.
"Aku nggak terlalu paham masalah kalian serumit apa ya, El. But, saranku sebagai orang yang sebut aja tahu kamu banget, dan kenal Adit. Kalian bisa menimang kok siapa yang harus mundur dan maju. Kalian sama-sama tahu kapasitas kalian."
Abriel menghela napas.
"Kamu tuh suka terlalu sulit sama diri sendiri, tahu," komentar Irena lagi.
"Udah terlambat," Abriel akhirnya berkata, pelan dan lirih. "Mungkin si Adit sekarang ini udah dapetin jawaban yang dia harapin."
Irena menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir. "Adit emang anaknya sembrono, aneh dan ngasal. Tapi dia bukan orang yang bakal merendahkan dirinya. Percaya deh, Adit pasti menginginkan hasil yang adil. Dia pasti ngasih kesempatan untuk Isabel memilih."
"Masalahnya, dia emang pantasnya sama Adit yang nggak menya-menye menentukan sikap. Nggak kayak aku."
"Oke, kalau gitu keputusan kamu. Tapi kamu jangan nyesal ya, karena nggak pakai kesempatan kamu..."
Mereka sudah sampai di depan rumah Irena. Abriel mematikan mesin mobilnya.
"Soal Tante Asri, kita kabar-kabaran lagi nanti. Aku janji bakal bantu kamu buat nerbitin komik kamu."
"Na, thanks, ya, soal itu. Jujur, itu bikin aku lebih tahu tujuan aku nerusin komikku."
"Jangan makasih lagi, please. Inget, mimpiku dulu adalah melihat buku salah satu dari kita terpampang di etalase toko buku," sela Irena langsung.
Sebelum Irena membuka pintu mobil seutuhnya, ia mendadak kembali menatap Abriel.
"El, Isabel tadi itu cemburu lagi, sama aku. Kamu harusnya ngeh gestur dia pas lihat kita berdua."
Abriel merengutkan alisnya. "Nggak mungkin banget dia cemburu..."
Irena mencebikkan bibirnya. "Terserah kalau kamu nggak percaya. Emang ya sejak dulu intuisi kamu itu kurang bekerja."
* * *
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Isabel segera menuju parkiran. Ia menemukan mobil Adit sudah terparkir di sana. Sambil menarik dalam-dalam napasnya, ia mengupayakan wajahnya agar sedikit terlihat baik.
Sepanjang perjalanan pulang Isabel lebih banyak diam. Adit yang lebih banyak membuka topik pembicaraan sehingga Isabel hanya perlu menanggapi.
Sebetulnya, bukan hanya pemandangan sore itu saja yang membuat hatinya murung sejak tadi. Tapi juga karena hari ini akan segera berganti, dan esok ia akan mengakhiri sesuatu: Isabel sejatinya benci akan perpisahan. Baik itu hal yang positif maupun negatif. Ia benci sensasi itu, seolah-olah sesuatu dalam tubuhnya direnggut paksa darinya.
Mereka sampai di rumah Isabel ketika bulan yang sejak tadi tertutupi awan baru saja menampakkan diri. Sebelum turun, Isabel tak sengaja melirik ke arah kotak beledu hitam yang tergeletak di bagian belakang jok mobil Adit. Ia mengenali embos emasnya. Hatinya kembali terasa jengah.
Isabel lalu mendahului Adit ke depan pintu rumahnya. Begitu Adit sampai, Isabel menghela napas.
"Dit, saya takut nyakitin hati kamu kalau kamu minta saya ngasih kamu kepastian dalam waktu dekat," ujarnya langsung.
Adit refleks mematung. "Maksud kamu gimana?"
Isabel mengerjap jengah. "Ada boks Lee Company di jok belakang mobil kamu. Itu buat saya, kan?" Isabel meraup kedua tangan Adit. "I'm so sorry, Dit. Saya mungkin cewek paling gila dan nggak tahu diri karena ngomong gini sama kamu. But, jujur, saya belum ada perasaan apa-apa sama kamu. Masih belum..."
Adit mengangguk lambat. "Bel, kayaknya kamu salah sangka, deh. Tapi itu bukan buat kamu. Itu kado untuk mamiku."
Lekat, Isabel memandang wajah Adit. "Oh my God," bisiknya. "Ya, ampun. Malu-maluin banget."
Adit terkekeh, meski suaranya sedikit terdengar kecut. "Nggak apa-apa, lagi. Dan buat soal yang itu, kamu tenang aja. Aku siap setelah kamu siap. Aku nggak akan maksa kamu lagi."
Adit pun berpamitan, dan Isabel membiarkan pintu rumahnya terbuka beberapa inci untuk memastikan bahwa mobil itu telah menghilang seutuhnya. Isabel kemudian mengeluarkan bindernya dan menulis sesuatu ke dalam kertas itu. Lalu, ia pun mengambil sebutir batu sekepalan tangan anak kecil sebelum meletakan batu itu di tengah-tengah kertas tersebut dan meremasnya.
Kini, giliran ia mengendap-endap memasuki pekarangan rumah tetangga depannya, melemparkan kertas berisi batu itu ke balkon rumah itu. Bunyi benturan keras terdengar di lantai teras atas rumah itu. Isabel buru-buru kembali ke dalam rumahnya sebelum ada yang keluar.
Ibunya baru saja pulang ketika Isabel akan naik ke kamarnya. Setelah mengobrol sebentar dengan ibunya, ia pamitan untuk naik. Yakin semua lampu di dalam rumahnya sudah dimatikan, dan semua orang di rumah tersebut sudah pergi tidur, Isabel lantas mengendap-endap keluar rumahnya. Ia pergi membawa dua tas: satu ransel dan satunya tas kulit besar yang sering ia gunakan.
Taksi yang ia pesan sebelumnya sudah menunggu di depan taman tak jauh dari tempat tinggalnya, masih di lingkungan yang sama. Isabel langsung mengenyakkan diri ke dalam mobil biru itu, berharap ia mengambil keputusan yang benar.
* * *
Abriel berusaha mengosongkan pikirannya ketika jemarinya mengguratkan sesuatu ke atas kertas di bawah telapaknya. Sudah lebih mahir ia mengendalikan perasaannya, tapi ia yakin itu hanya karena ia mengupayakan segalanya untuk mengalihkan pikirannya. Karena ia tahu, ia tidak mungkin akan pernah terbiasa, mengabaikan Isabel, mengabaikan perasaannya sendiri.
Hingga keesokan paginya, Abriel masih terus setia bersama peralatan menggambarnya. Syukurlah, karena Sabtu ia tidak perlu bersekolah. Baguslah, karena semalam hujan turun, sehingga bunyi rintikan membuatnya tetap berfokus...
Sekitar pukul sembilan pagi, Abriel terenyak di meja belajarnya ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia sudah memutuskan akan tidur setelah jam dua belas siang, tapi nyatanya kantuk menguasainya lebih cepat. Si Mbak tampak termangu di depan pintu ketika Abriel membukakannya.
"Ada tamu, Kak El," ujar si Mbak, raut wajahnya serius.
"Siapa, Mbak?"
"Ibu rumah depan, kayaknya penting banget," jawab si Mbak.
Tanpa menunggu, Abriel turun ke bawah untuk menemui tamunya di ruang depan.
"Abriel," ujar wanita berambut pendek itu. Raut wajahnya tampak cemas.
Abriel mendadak merasakan firasat tidak enak. "Tante, silakan duduk dulu, Tan," ia mempersilakan wanita itu.
"Mama Papa kamu kerja?"
"Papa sama Mama lagi ke Wastu Kencana, minggu depan nikahannya adik bungsu Mama saya, kebetulan acaranya di Bandung jadi mereka sibuk bantu-bantu," jawab Abriel.
Ibu Isabel tampak semakin gelisah. Abriel bisa melihat kekhawatiran membayangi ekspresinya. Abriel memutuskan untuk bertanya, " Maaf, pasti Tante ke sini karena ada sesuatu yang penting banget."
Wanita itu langsung mengangguk. "Abel, dia ngilang. Nggak ada di kamarnya pas Tante masuk. Tante ke sini bermaksud nanyain kamu, siapa tahu kamu tahu sesuatu, kalian kan dekat," gumamnya. "Tante tahu, Abel emang suka semaunya sendiri, tapi dia nggak pernah pergi diam-diam gini. Titip pesan ke Iceu pun enggak, SMS Tante juga enggak. Aneh banget, nggak biasanya. Tante jadi cemas banget."
"Belakangan sebenarnya kita udah jarang banget ngobrol..." Abriel menghela napas kemudian berdecak dengan tidak kentara. "Tante udah coba hubungi HP-nya?"
"Udah. Nggak aktif," jawabnya. "Oh ya, kamu kenal nggak sama cowok yang belakangan ini suka jalan sama dia..."
"Adit, Tante?" Abriel menyela.
Ibu Isabel mengangguk. "Betul. Adit."
"Saya kenal sama Adit. Sebentar, Tante, biar saya coba telepon dia. Saya ambil HP dulu." Abriel pun bergegas kembali ke kamarnya dan memungut ponselnya. Adit mengangkat teleponnya dalam empat kali nada sambung. Setelah menutup telepon Adit usai mendengar jawabannya, Abriel kembali menemui ibu Isabel.
"Gimana? Udah kamu hubungi?"
"Udah. Kata Adit dia nggak tahu Isabel ada di mana sekarang. Tapi dia akan bantu kita cari Abel. Saya kayaknya bakal keliling-keliling dulu aja, siapa tahu."
"Tapi, Abriel, Tante sekarang banget harus pergi ke tempat klien Tante. Bisa nggak Tante minta tolong kamu buat ngabarin Tante gimana-gimananya? Habis urusan Tante beres, Tante nyusulin kamu."
Abriel mengangguk. "Bisa, Tante."
Setelah mengobrol sebentar, keduanya pun bertukar nomor HP. Begitu tamunya pergi, Abriel segera mengeluarkan motornya dari dalam garasi. Menggunakan motor jelas lebih efisien dibandingkan mobil jika ia harus menembus kemacetan jalanan kota Bandung pada malam minggu, pikirnya.
Sesungguhnya Abriel tidak punya ide sama sekali dari mana ia harus memulai pencariannya. Bahkan ketika ia mulai melajukan motornya, otaknya masih sibuk memutar pola yang mungkin merunut ke arah tertentu. Tapi, setengah jam Abriel berpikir keras, ia hanya kembali menemui jalan buntu. Ia mendadak sadar, bahwa ia belumlah mengenal Isabel sepenuhnya, mengetahui kebiasaan, jalan pikiran, dan jaring-jaring masa lalu yang menghubungkannya dengan masa kini hidup gadis itu.
Ia yakin, jika Isabel memutuskan untuk pergi tanpa sebab—menghilang, ia pastilah memiliki tujuan tertentu, yang akhirnya akan mengerucut pada keinginannya. Hanya keinginannya. Sehingga amat sulit menentukan pola.
Cara Isabel memandang dunia ini memang begitu berbeda: dramatis, curiga dan sinis, tapi apa yang melatarbelakangi keputusannya yang satu ini? Jika Isabel tidak ingin dicari, ia tidak akan pulang terlebih dahulu ke rumahnya dan pergi diam-diam pada malam buta, bukan? Ia hanya akan pergi, berbohong pada ibunya dengan mengatakan alasan yang masuk akal, seperti saat ia mengatakan mau liburan ke Jogja, sehingga tidak ada yang akan mengkhawatirkannya.
Kali ini ia pergi dengan mencolok, membawa dua tas besar—menurut pernyataan ibunya barusan—tanpa pesan, seolah dengan begitu ia bisa memunculkan kepanikan dengan cepat. Isabel ingin dicari, ditemukan, Abriel menyimpulkan. Tapi, bagaimana mungkin orang yang pergi karena ingin ditemukan, tidak memberikan secuil pun petunjuk?
Abriel segera menepikan motornya ke pinggir jalan, sekali lagi ia menelepon Adit.
"Dit, di mana lo?"
"Belum bisa pergi gue. Masih banyak sodara di rumah. Mobil gue pun susah keluar karena kehalang mobil-mobil sodara gue yang datang. Lo di mana?"
"Gue di jalan. Dit, lo yakin udah ngasih gue semua informasi yang lo tahu?"
Adit terdengar menghela napas. "Yang gue tahu cuma segitu. Dia baik-baik aja kok, kemarin. Nggak bilang apa-apa sama gue, makanya gue kaget pas lo ngasih tahu dia pergi dari rumah."
"Atau... lo tahu hari ini klien dia siapa?"
"Oh," Adit tiba-tiba berkata dengan suara keras. "Hari ini tuh hari terakhir dia ngelakuin semua ini, El. Hari ini dia bakal nemuin klien terakhir dia di... shit, gue belum tahu di mana tempatnya."
Abriel berdecak putus asa.
"Abis gue bisa keluar, gue bakal langsung cabut, oke?"
"Okelah, Dit. Gue coba—eh, lo kenal sama Mei, nggak? Kata dia si Mei itu yang update jadwal dia, semacam admin atau kru dia gitulah."
Adit mendesah. "Seingat gue, Isabel pernah bilang kalau si Mei itu lagi liburan ke Macau. Kalaupun udah balik, gue nggak punya kontaknya dia. Coba lo tanya sama nyokapnya."
Abrel berdecak. "Okelah. Gue bakal hubungi Tante Jane setelah gue mencari sebentar lagi."
"Gue yakin Isabel baik-baik aja. Mungkin dia sekarang lagi santai-santai, nggak pusing gini kayak kita—lo, tepatnya. Karena feeling gue bilang sebentar lagi dia bakal hubungi gue," tukas Adit.
"Kalau ada kabar tentang dia, lo tolong kasih tahu gue juga. Kasihan nyokapnya dia, cemas banget." Abriel pun mematikan sambungannya.
Untuk alasan yang bahkan tidak dipahami dirinya sendiri, Abriel merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Seolah sesuatu sedang memburunya. Berkebalikan dari feeling Adit, feeling-nya mengatakan ia tetap harus mencari hingga Isabel ditemukan.
* * *
Delapan orang itu tengah bersiap-siap. Dalam kepalanya masing-masing, menebak-nebak adegan yang mungkin akan terjadi hari ini. Akan serukah?—atau akan mengerikankah, menjadi petaka?
Hanya satu kepala yang berpikir ia mungkin seharusnya tidak terlibat. Kepala milik Anna. Tapi ia berada di tengah-tengah serigala kelaparan, ia tidak punya waktu dan ide untuk mengentikan semua ini. Sudah cukup gadis itu disakiti, tak ada alasan untuk mengusiknya lagi... seharusnya, mereka membiarkannya tenang dan memulihkan diri...
Anna mengendap keluar dari kamar kamar nan luas itu, berusaha mendinginkan kepalanya sejenak. Ini tidak boleh dibiarkan terjadi sekali lagi, kerusakannya akan lebih parah. Ia harus menemukan cara. Ia harus memperingatkan Isabel. Harus.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.