Pada suatu sore ketika Abriel sedang asyik membaca komik di teras rumahnya, ia mendapati gadis itu baru saja keluar dari rumahnya, mengenakan kacamata hitam besar favoritnya. Kacamata yang membuatnya mirip serangga aneh yang hanya hidup di hutan-hutan gelap pelosok benua Australia.
Sore ini ia tidak tampak akan pergi. Lagian, siapa yang mau pergi dengan setelan ala penari balet, lengkap dengan tutu lebar, stoking, dan rambut dikonde, seperti itu?
Mungkin ia hanya akan menari di halaman rumahnya. Apakah ia akan menari seperti hari itu? Abriel bertanya-tanya dalam hati. Menilik matahari yang bersinar terik, rasanya itu mungkin.
Abriel mengait-ngaitkan mood gadis itu dengan cuaca sore hari. Jika sore hari matahari bersinar cerah, gadis itu akan melakukan hal-hal yang menarik. Setiap hari selalu saja ada kejutan yang dilakukannya. Abriel tidak bisa menebak jalan pikiran gadis itu.
Abriel mulai meragukan prediksinya saat melihat gadis itu menjatuhkan tas besarnya ke trotoar dan mulai mengecek jam tangannya kemudian memeloti layar ponselnya.
Awalnya, Abriel tertarik untuk menghampirinya—jelas itulah tujuan utama Abriel jadi satpam rumahnya setiap sore—ia ingin bertanya apakah malam nanti gadis itu tergoda untuk makan nasi goreng Mas Tamim bersamanya. Tapi, sebelum Abriel menjalankan niatnya, sebuah taksi menepi dan membawa gadis itu. Selalu hilang kesempatan pada detik terakhir, desah Abriel, tampaknya gadis itu keluar setelah ia yakin penjemputnya tiba sebentar lagi.
Tepat sebelum Abriel masuk ke dalam rumah, asisten rumah tangga tetangga depannya menghampirinya.
"Punten, Aa, saya teh yang kerja di rumah depan. Saya disuruh sama si Neng buat ngasiin ini sama Aa." Wanita bertubuh gempal dengan tahi lalat sebesar kismis di dagu itu pun menyodorkan secarik kertas binder yang terlipat pada Abriel.
Dengan perasaan campur-aduk Abriel menerima secarik kertas itu. "Neng yang Teteh maksud itu..."
"Bi Iceu, panggilnya gitu aja. Jangan Teteh ah, saya udah ketuaan dipanggil Teteh. Neng Isabel—Abel yang nyuruh Bibi kasihin ini ke Aa," ujar wanita itu sambil memandangi wajah Abriel dengan seulas senyum centil.
Seperti pijar lampu, sesuatu menyala di kepala Abriel: jadi nama gadis itu Isabel atau... Abel! Mirip seperti namanya. Abriel dan Abel. Kombinasi yang bagus dan tak disangka-sangka.
* * *
Sebelum melihat anak laki-laki itu dari jarak dekat, Iceu juga pernah berpendapat kalau anak pemilik rumah depan itu kucel dan jarang mandi, karena bajunya yang sering terlihat asal-asalan. Tapi setelah dilihat dari dekat, pendapat Iceu kontan berubah. Anak muda itu begitu tampan. Matanya serta alisnya tajam dan indah, kulitnya bersih dan dagunya yang lancip mengingatkan Iceu pada artis sinetron yang pernah dilihatnya di teve. Seharusnya, suaminya di kampung semanis anak laki-laki ini ketika tersenyum, ia berandai-andai.
Anak laki-laki itu terlihat semringah sekali ketika menerima suratnya. Ngagemesin pisan!
Setelah Iceu menyelesaikan tugasnya sebagai kurir surat, wanita itu pun bergegas kembali dan segera mengetikan SMS di ponselnya:
Beres, Neng. Udah Bibi kasiin.
Dan tak lama ponsel Iceu berbunyi, ada yang membalas pesan tersebut:
Tengkiu, Bi. Nanti saya bawain donat satu lusin biar Bibi makin seksoy!
* * *
Isabel menangkupkan ponselnya di pahanya yang berbalut stoking tebal berwarna putih. Sopir taksi yang menyopirinya menuju daerah Turangga, sempat menanyakan pakaian tak lazim yang dikenakannya, dan ia hanya menjawab dengan santainya, "Lagi musim lho Pak baju model beginian. Cowok juga banyak yang pakai."
Isabel turun dari taksinya dan membayar ongkosnya beserta tip. Sopir taksi yang gembira menerima tambahan bayaran yang besar berterima kasih seraya mendoakan keberuntungan untuk Isabel. Isabel hanya melambai saja seolah ia sudah biasa memberikan tip sebesar seratus ribu rupiah tersebut.
Merasa datang terlambat, ia langsung menaiki beberapa anak tangga sekaligus dan masuk ke dalam ruangan tertutup tempat pertunjukan bakat salah satu sekolah dasar swasta di Bandung itu digelar.
Isabel menatap berkeliling. Lampu pada bagian penonton tampaknya sengaja digelapkan agar panggung di depannya terlihat semarak dan meriah, jadi ia tidak bisa mengenali setiap wajah yang duduk di sana. Isabel duduk di kursi tengah, di deret kanan yang terdapat tiga tempat kosong.
Setelah menonton dua pertunjukan dari anak yang bermain drum dan menarikan modern dance, saat yang ditunggu-tunggu Isabel pun tiba. Lampu di panggung diredupkan, dan ada satu cahaya solid yang sedikit lebih terang menyenteri langkah gadis kecil itu menuju tengah panggung.
Gadis bernomor peserta lima belas itu membungkuk kepada penonton untuk memberi hormat, dilipatnya sepasang kaki ramping miliknya itu dengan anggun. Baju baletnya yang berwarna pink cerah membuatnya terlihat seperti flamingo kecil.
Isabel melambai dan bersiul heboh ke arah panggung hingga gadis kecil itu menangkap sosoknya. Sempat tak yakin, dengan kikuk gadis kecil itu akhirnya balas melambai pada Isabel.
Suara rekaman alunan piano akhirnya terdengar dari pengeras suara. Bersamaan dengan ritme di kepalanya, dagunya terangkat dengan satu entakan, jemarinya tampak menggapai langit. Gadis kecil penguasa panggung itu pun seolah terbang.
* * *
Tak sabar, Abriel segera membuka lipatan kertas itu, bahkan sebelum ia mencapai pintu kamarnya. Tapi apa yang tertulis di sana membuatnya tercenung sejenak. Apa maksudnya semua ini? Abriel mengerutkan keningnya dalam-dalam, berusaha memahami tulisan tidak rapi itu:
Tolong diisi selengkap-lengkapnya dan secepat-cepatnya! Ditambah selembar foto 3x4 lebih bagus. Kalau udah, kamu titipin di Bi Iceu lagi (bibi-bibi yang punya tai lalat di dagunya kayak Nunung. Kalau kamu ketuk rumah B3 nomor 16, Bibi yang akan bukain pintu). Kalau kamu terlalu malas jalan ke depan, kamu bisa kirim via pos. Tapi sampainya harus sebelum jam empat sore. Whatever... Isi aja kalau kamu mau...
Nama lengkap:
Nama panggilan:
Tinggi/BB:
TTL:
Hobi:
Anak ke:
Nama sekolah:
Kelas:
Nama ayah:
Nama ibu:
Nama kakak/adik:
Kebiasaan buruk:
Merokok/tida merokok (coret salah satu)
Riwayat kesehatan:
Merek parfum:
Makanan favorit:
Minuman favorit:
Hewan peliharaan:
Ukuran sepatu:
Riwayat alergi:
Film favorit:
Musisi favorit:
Lagu favorit:
Warna favorit:
Status: Single/punya pacar/dll (lingkari)
Nama pacar terakhir:
Uang jajan perbulan:
Pemasukan tambahan (kalau ada):
Bola mata Abriel bergerak-gerak cepat ketika ia mengulangi deretan kata pada petunjuk pengisian yang dibuat Isabel, melotot saat fokusnya tiba di dua pertanyaan terakhir mengenai kondisi keuangannya.
Bagaimana mungkin ada orang yang tanpa ragu bertanya hal sepribadi itu? Soal status dan mantan sih masih oke... Abriel menggaruk-garuk folikel-nya yang ditumbuhi rambut ikal.
Meski terheran-heran, ia ingat bahwa Isabel memang tipe yang tidak mudah ditebak, jadi Abriel memutuskan untuk menarik kursi dan mulai menyelesaikan semua pertanyaan itu. Abriel sadar, dengan mengisi semua pertanyaan tidak masuk akal itu, dan mengembalikan kertas tersebut sesuai instruksinya, setidaknya ia akan punya alasan untuk bertanya pada Isabel.
Selesai.
Dilipatnya kertas itu dengan penuh perhitungan menjadi empat bagian, dan diletakkannya di atas meja belajarnya. Abriel masih sedikit ragu pada jawabannya untuk beberapa pertanyaan, tapi ia pun akhirnya hanya bisa pasrah karena tidak mungkin mengutak-atik jawaban yang sudah diisinya dengan hati-hati dan apik.
Setelah mandi dan bersiap-siap untuk menepati janjinya pada sahabatnya: menemani menghadiri pesta yang digelar di sebuah hotel megah di jalan Gatot Subroto, Abriel menyempatkan mampir ke rumah depan untuk menitipkan lembar jawabannya ke Bi Iceu.
Mobil Adit muncul beberapa detik setelah Abriel menekan bel rumah tetangganya. Abriel membuat isyarat supaya Adit menunggunya: dengan ekspresi takjub Adit kontan meminta penjelasan lewat gerak bibir, tapi Abriel hanya memberinya kedipan jahil.
Pintu terbuka, Bi Iceu mendadak menyelipkan sejuntai rambutnya ke belakang telinga melihat penampilan Abriel yang tampak gagah memakai kemeja dan celana semi-formal.
Abriel lantas menitipkan suratnya kepada wanita itu. Dan layaknya pacar yang diapeli, Bi Iceu pun mengantar Abriel sampai Abriel masuk ke dalam mobil sebelum menepok jidat, teringat kalau ia sedang menggoreng tempe.
"Cieeee. Jadi itu cewek yang lo taksir, El," goda Adit sambil menghidupkan musik di mobilnya.
"Yoi. Cakep, ya?" kekeh Abriel yang sudah duduk nyaman di samping Adit.
"Dua puluh tahun lalu mungkin cakep," selorohnya. "Kita beli kado dulu, yak. Gue bingung beliin doi apa, seperti biasa lo yang pilihin. Eh, kata si Cindy, bagus-bagus tuh di Anna & Co."
"Nggak usahlah ngasih yang mewah-mewah. Baru pendekatan, kan..." protes Abriel langsung. Adit memang sering seperti itu, selalu bertindak berlebihan soal materi kalau menyangkut masalah orang yang disukai.
"Ultah doi di hotel, lho, tengsin kali. Minimal jam tanganlah," tukas Adit memikirkan gengsinya.
"Terserah: lo mau beliin jam, cincin berlian atau sepatu kaca sekalipun. Asal, kalau ditolak jangan ngadu ke gue aja..."
Walau tidak janjian, mereka kemudian sama-sama sibuk dalam pikirannya masing-masing. Abriel menggunakan keheningan itu untuk memutar otaknya, menebak-nebak apa maksud Isabel mengirim surat seperti itu. Kendatipun begitu, mengetahui nama gadis itu membuat senyumnya berkali-kali menguak.
* * *
Isabel menyeruput milkshake-nya, nyaris di saat yang bersamaan, Aurora juga menyeruput minumannya. Dua gadis berkostum balet itu duduk di bangku panjang yang disediakan tukang minuman segar tidak jauh dari tempat pertunjukan. Lucunya, tidak satupun dari mereka keberatan menjadi pusat perhatian karena apa yang mereka kenakan.
"Jadi, Papa sama Mama kamu nggak datang soalnya mereka lagi ribut, toh," Isabel menyimpulkan jawaban Aurora sebelumnya yang memberitahunya bahwa sudah beberapa minggu kedua orangtuanya menitipkan Aurora di rumah neneknya. Sementara pasangan itu sibuk mengurus perceraian mereka.
"Makanya, sementara aku ngungsi di rumah nenekku," tambah Aurora sambil membuat suara mendengkur. "Aku sengaja nggak kasih tahu mereka kalau hari ini aku bakal tampil soalnya aku nggak mau sedih kalau sampai mereka nggak bisa datang."
Menurut Isabel, meskipun umur Aurora baru saja menginjak sepuluh tahun, caranya berpikir dan bersikap mirip orang dewasa. Isabel merasa Aurora sedikit mirip dengannya.
Dulu, ketika ibunya menceraikan ayahnya dan membuat ayahnya pergi meninggalkan mereka berdua, hampir setiap hari Isabel selalu menangis karena merindukannya.
Saat itu, Isabel tidak pernah mengerti mengapa masalah keuangan bisa memisahkan kedua orantuanya. Saat itu ayahnya memang belum lama di PHK dan ibunya juga hanya memiliki usaha kue kecil-kecilan. Meski ibunya dulu sempat bekerja sebagai sales motor di sebuah dealer terenama, karena pekerjaan ibunya terlihat seperti melobi pria-pria, ayahnya yang pencemburu memaksanya berhenti. Semua pekerjaan ibunya tidak pernah disetujui oleh suaminya itu sehingga hidup ibunya bak berkutat di dalam lubang yang gelap dan berlumpur.
Tidak ada lagi yang bisa dimakan, persediaan beras habis, lauk-pauk kemarin sudah basi. Ibunya akhirnya tak tahan lagi. Dalam keadaan kelaparan, ibunya membawa Isabel mengungsi ke rumah neneknya yang saat ini telah tiada.
Keputusannya sudah bulat: bahkan gunung sekalipun tidak mampu menggoyahkan niat ibu Isabel untuk berpisah. Ia paham betul, cinta bisa pudar seiring jalannya waktu, tetapi perut tidak bisa kosong. Ada asam lambung yang akan melubangi, yang pedihnya tak dapat ditahan.
Isabel menyedot minumnya sampai habis. "Udah habis. Dan udah sore juga."
Aurora buru-buru mengeluarkan amplop putih dan menyerahkannya kepada Isabel. "Nih. Diitung dulu. Kalau kurangnya di rumah Kakak, aku nggak mau ganti," ujarnya dengan mimik serius. "Sesuai perjanjian, nggak ada tambahan biaya buat kostum Kakak, lho!" Gadis kecil itu tidak bisa menyembunyikan wajah gelinya ketika melihat tutu putih yang dikenakan Isabel di pinggangnya terlihat miring dan kotor.
Dengan ragu Isabel meraih amplop putih tebal yang tidak direkatkan itu, mengintip isinya. Sekilas ia melihat gepokan uang seribu, dua ribu, lima ribuan berjajar rapi di sana. Hanya ada satu lembar uang dua puluh ribu, tampak baru, seolah uang nan menawan itu raja dari uang-uang kumal yang lain.
"Nih. Ambil lagi. Kali ini saya gratisin, soalnya kamu perform-nya bagus banget tadi," ujar Isabel sambil melesakkan amplop itu kembali ke tangan Aurora. "Seharusnya malah saya yang bayar buat lihat pertunjukan sebagus itu.
Aurora mengerutkan dahinya yang tampak sehalus pualam. "Serius, Kak? Nggak akan tiba-tiba diminta lagi?"
Isabel menggeleng sambil tersenyum. "Janji."
Aurora meraih amplop itu. Ia lalu tampak sedikit gelisah ketika suara azan Ashar berkumandang. "Udah sore. Jam lima aku harus ngaji di Masjid," gumamnya.
Setelah melepas kepergian Aurora di depan pemberhentian angkot, Isabel merasakan sesuatu menusuk dadanya. Mengapa dan apa alasannya, ia sendiri tidak bisa menjelaskannya. Yang jelas, belum pernah ia merasa sesedih ini lagi selama beberapa bulan belakangan...
Ia pun berjalan menyusuri trotoar, selangkah demi selangkah, menghadang debu demi debu. Kostumnya menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dan melintasinya, tapi Isabel tidak memedulikan mata-mata itu. Pikirannya berkelana lebih jauh dari langkahnya.
Dengan perasaan tak menentu, hotel megah di hadapannya tampak seperti kastel suram milik penyihir jahat dalam buku dongeng masa kecilnya. Isabel menghela napas panjang, ia kemudian menyeberang jalan dan mendorong pintu kafe yang terbuat dari kaca.
Tiga jam berlalu dengan cepat bagi orang lain, dan lambat bagi Isabel, ia masih duduk di mejanya, dengan tiga gelas minuman tersaji di depannya: satu hampir dihabiskannya, dan dua yang masih utuh. Ia sengaja memesan dua gelas yang lain untuk Aurora dan cowok itu, tetangganya yang menawarinya sepiring nasi goreng. Orang-orang yang mendadak dipikirkannya.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.