Resmi dua malam minggu dihabiskan Abriel tanpa nongkrong di luar. Sambil membereskan meja belajarnya, pikirannya membawanya ke kenangan Sabtu sebelumnya: perdebatan alot dengan papanya setelah ia mengungkap keinginannya untuk hengkang dari tim bisolnya.
Papanya memang sangat mengharapkan Abriel bertahan di klub itu setidaknya sampai ada perekrutan untuk masuk ke tim nasional. Soal Abriel masuk atau tidak itu perkara belakangan. Karena papanya mengharapkan tambahan title prestasi mampu membantu Abriel lolos masuk ke fakultas yang papanya mau. Mamanya sependapat dengan papanya, mamanya juga ingin Abriel bisa masuk universitas terkemuka dengan fakultas yang diunggulkan. Nilai akademik Abriel yang tidak begitu menonjol selama dua semester belakangan membuat keduanya sangat khawatir Abriel tidak akan lolos lewat jalur biasa, sehingga jalur khusus adalah satu-satunya jalan.
Sebetulnya, dulu Abriel anak yang cerdas dan pandai yang selalu masuk jajaran top lima besar di kelasnya. Tapi belakangan, ia tidak lagi berminat pada banyak hal, termasuk akademis.
Orangtuanya sudah melakukan berbagai cara agar nilai Abriel di sekolah naik, termasuk memanggilkan guru privat terbaik, memasukkannya ke bimbel yang paling terkemuka dan membeli buku-buku cetak mahal yang direkomendasikan. Tapi semua itu tidak juga meningkatkan nilai-nilainya.
Abriel hanya berminat untuk mengkhayal, mengguratkan pensil dan menyelesaikan panel demi panel komiknya. Di lubuk hatinya, Abriel memiliki harapan untuk meneruskan hobinya secara profesional. Menjadi penimba ilmu di sekolah desain dan seni terkemuka adalah salah satu tahapan dasar, ia tahu betul akan hal itu. Ia pernah membaca ada sekolah khusus yang bagus dan terkenal untuk bidang tersebut di Yokohama, Jepang. Namun, jika ia harus menunda langkah besar itu dan tetap tinggal di Indonesia, ia ingin masuk ke fakultas yang berhubungan dengan minatnya.
Abriel memang belum memutuskan secara spesifik, mau jadi apa kelak dirinya. Tapi ia tahu betul panggilan hatinya untuk selalu membuat karya dengan pensil dan imajinasinya.
Abriel yakin, cahaya matahari kemarin yang jatuh tepat di punggung gadis itu telah membawa kembali panglima pasukan idenya yang lama hilang. Gadis itu telah menghidupkan pabrik imajinya. Tuhan sengaja mengutus gadis itu untuknya, ia bisa merasakannya di dalam hatinya.
Semalaman Abriel tidak bisa tidur, pikirannya hilir-mudik melesakkan berbagai harmoni ide ke kepalanya. Abriel terus membayangkan saat-saat paling dramatis dalam hidupnya itu. Saat gadis itu berputar dengan sepatu rodanya, dan saat matahari mengelilinginya bagaikan kelopak bunga surga yang merekah, sebelum menyelimutinya dengan cara yang menakjubkan. Lebih tepatnya mengherankan. Bagaimana tidak, kemarin itu matahari sudah akan padam, pulang ke peraduan di balik gerbang awan... demi membuat gadis itu tampak sebegitu indah, matahari bahkan rela untuk meliurkan lapisannya sedikit lebih lama.
Tak menghiraukan ajakan Adit untuk nongkrong di arena biliar langganan mereka, akhirnya ia mantap meletakkan dua buah buku ke atas meja belajarnya yang sudah dirapikan: buku tulis dan buku sketsanya yang ia buat sendiri dengan menjilid lima puluh tiga lembar kertas HVS berukuran A5.
Ia sudah memutuskan akan memulai dari awal lagi. Buku sketsanya yang lama, proyek yang pernah digarapnya bersama Irena sudah dimasukkan ke laci, dikuburnya dalam-dalam di bawah buku-buku pelajaran tahun lalu yang tidak pernah disentuhnya lagi.
Urat-urat di tangannya menyembul, berdenyut, ketika sang pemilik tubuh memindahkan isi kepalanya ke dalam hamparan putih di bawah kulitnya. Abriel bisa mengendus aroma kertas yang begitu dekat dengan hidungnya, ditiupnya serbuk pensil dengan napasnya.
Ia berdecak, puas atas kerja kerasnya selama lebih dari empat ratus delapan puluh menit.
Jam menunjukan pukul sepuluh lewat dua inci jarum panjang, gemilangnya langit di atasnya menambahkan fakta bahwa malam sudah larut. Matanya perih dan perutnya keroncongan: tokoh utamanya telah tercipta.
* * *
"Makasih buat hari ini, Ly," ujar cowok bernama Anjar sambil menutup pintu di sampingnya, dengan jantan cowok itu baru saja membantu Isabel turun dari mobilnya yang memiliki ban besar-besar.
"No prob, Jar. Masama," ujar Isabel dengan kasual sambil menepuk pundak Anjar sekilas, seolah ia sedang berinteraksi dengan anak kecil. Klien Isabel kali ini memang masih berumur lima belas tahun. Meski, cowok itu baru akan masuk SMA, tidak akan ada yang percaya kalau ia belum cukup umur untuk memiliki SIM. Cowok itu memiliki tubuh tinggi nan atletis dan bentuk rahang yang kokoh layaknya pria dewasa.
Ketika kendaraan besar dan berisik itu meninggalkan tempatnya, Isabel terkejut karena mendapati seorang cowok tengah berdiri di seberang rumahnya, di samping nyala lampu pijar dari gerobak tukang nasi goreng yang kehadirannya tidak disadari Isabel sama sekali.
Cowok itu tampak memandanginya, tangannya memegang piring berisi nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Dari tampangnya, Isabel menebak kalau cowok itu belum tidur atau mandi.
Tukang nasi goreng yang sudah selesai membereskan perlengkapan memasaknya, mendorong gerobaknya dan pergi ke arah jalan besar. Tapi cowok itu bergeming—begitupun dengan Isabel. Mereka berdua hanya bertatap-tatapan tanpa ada satupun kalimat yang terucap.
Cowok itu akhirnya membuat gerakan kikuk yang kentara, memberi isyarat menawari isi piringnya kepada Isabel.
"Itu enak, ya?" cetus Isabel kepada cowok itu.
"Mau coba? Belum dimakan, kok," cowok itu menjawab. Itulah kali pertama Isabel mendengar suaranya. "Nasi goreng Mas Tamim terkenal enak di sini."
"Oh, ya?"
"Ukuran segini masih pantas dibilang enak. Lagian, susah nemu tukang nasgor di kompleks ini." Memang, jarang ada tukang dagang yang mau mendorong gerobaknya melewati kompleks dengan jalanan naik-turun.
"Kamu kasih pedes, nggak?" Jarak keduanya membuat mereka perlu bicara sedikit keras.
"Dikit. Bikin anget aja." Cowok itu mengangkat piringnya.
"Penasaran, sih. Kamu yakin nggak akan nyesal? Kalau nanti kamu mati kelaparan, saya bisa masuk penjara. Judul korannya bakalan jelek banget."
Cowok itu nyengir. Cengirannya canggung tapi bersahabat. "Keburu dingin nih, ntar nggak enak."
"Bisa tolong bawain ke sini, nggak? Saya pakai sepatu tinggi banget, susah banget jalan di aspal." Isabel menunjuk stiletto berhak dua belas senti di tumit kakinya. Sebetulnya bagian belakang kakinya sudah agak lecet sedari tadi, tapi Anjar mengatakan ia ingin bersama perempuan dengan sepatu hak tinggi.
Cowok itu mulai melangkahkan kaki menuju Isabel. Tapi baru saja cowok itu sampai di tengah jalan, Isabel mengangkat tangannya untuk menghentikannya.
"Stop, stoop! Nggak jadi!" Isabel pun membalikkan badan dan bergegas masuk ke dalam rumahnya meninggalkan cowok yang otomatis membatu karena terkejut.
* * *
Hati Abriel berdegup kencang sekali. Ia merasa telah bermimpi. Tokoh utama dalam proyek komik barunya berbicara padanya!
Ketika ia menyuap nasi gorengnya di tangga beranda rumahnya, nasi goreng itu terasa hambar dan aneh. Padahal, biasanya ia sangat menyukai nasi goreng buatan Mas Tamim langganannya itu.
Suapan terakhir di mulutnya, Abriel mengunyahnya dan menelannya dengan lambat sembari pikirannya terbang jauh. Berhari-hari Abriel mengharapkan proses perkenalan yang normal dan berkesan, tapi dialog pertamanya dengan gadis itu tercipta karena nasi goreng: dia ingin nasi gorengnya, tepatnya. Tidak seperti semua gadis yang dikenal Abriel, tanpa malu, dengan lugas gadis itu mengutarakan keinginannya.
Gadis itu spesial, akhirnya Abriel menyimpulkan. Istimewa.
Abriel menatap pintu rumah tetangganya itu, berharap pintu itu terbuka dan gadis itu muncul kembali di sana. Tapi itu tak terjadi. Pintu itu masih menjadi benda mati yang gigih menutup.
Ia mendesah, teringat bahwa ia bahkan tidak sempat menanyakan nama gadis itu. Membayangkan kekonyolan dan kekikukannya tadi membuat Abriel seperti setengah kehilangan nyawa. Meskipun interaksi pertama mereka tidaklah berjalan sesuai harapannya, sebuah ide mendadak melayang dan hinggap di kepalanya.
Dan sekarang, meski matanya sudah menuntut untuk terpejam, ia mendapatkan ide lagi. Ditaruhnya piring berminyak itu ke bak cuci piring dengan tergesa-gesa, hingga suara benturan piring mengagetkan papanya yang sedang menonton televisi.
"Sori, Pa!" sahut Abriel sambil melengos melewati papanya kemudian bergegas dengan setengah berlari menuju kamarnya.
* * *
Isabel berbaring telungkup di atas tempat tidurnya, tenggorokannya sakit karena terlalu banyak menelan popcorn.
Ia benci popcorn.
Harusnya tadi ia memang memesan nachos. Tapi melihat mimik Anjar yang begitu bersemangat memesankannya popcorn, sedikit meluluhkan hatinya. Barusan itu Anjar betul-betul mirip kucing kecil yang tidak berdaya, renung Isabel. Ia tidak akan pernah tega menolak pemberian seekor kucing kecil.
Selalu jadi diri sendiri, meskipun sedang jadi orang lain, Isabel mengingatkan dirinya.
Di saat ia jengkel karena popcorn, hal yang ia sesali sepanjang perjalanan pulang karena membuat batang di dalam lehernya pedih, munculah tetangganya itu tadi, menawarinya nasi goreng yang menggugah selera, yang hampir saja membuat pertahanannya goyah. Isabel tahu, bersikap terlalu friendly hanya akan menghancurkan dirinya—seperti dulu.
Ia mungkin bisa membuka hatinya yang bernama Sabrina, Ann, Natasha, Rima, Ariane, Karen, Regina, Holly atau siapalah—tapi ia belum siap untuk membuka dirinya yang bernama Isabel.
Belum. Belum saatnya.
* * *
Lampu kamar Isabel akhirnya dimatikan. Isabel tentunya merasa semalaman itu ia tertidur pulas. Padahal, berkali-kali ia menjerit dalam tidurnya sehingga Iceu harus berjaga-jaga di ambang pintu kamarnya semalaman, seperti yang sudah dipesankan Ibu Jane kepadanya jika ia sedang tidak di rumah.
"Kalau Abel teriak, jangan dibangunkan, ditungguin aja, dielus kepalanya kalau teriaknya kencang. Kalau dia nangis terisak-isak baru dibangunin. Abel itu belum sepenuhnya pulih, Ceu. Titip dia ya kalau saya lagi nggak ada. Tapi jangan sampai Abel tahu sedang diawasi."
Iceu pun melawan kantuknya untuk terus menemani Isabel hingga ia tidak lagi menjerit dalam jeda yang lama.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.