Perselisihan Arman dengan teman satu kelasnya berbuntut panjang, karena perkataan Arman yang begitu polos untuk membela dirinya dan saudara angkatnya. Walau tak semua siswa/siswi di kelas memiliki pendapat yang sama, tetapi kesepakatan telah terjadi pada mereka. Setelah rencana tujuh siswa dan tiga siswi termasuk Ketua kelas untuk mengetes Arman membaca Quran gagal, akhirnya secara terang-terang mereka, kecuali Ketua Kelas mengajak seisi kelas 10.6 untuk memaksa Arman membaca Alquran di hadapan mereka di kelas 10.6. Bila perlu mereka akan menyampaikan rencana mereka pada wali kelas 10.6, supaya mereka mendapat dukungan.
Namun usaha beberapa siswa dan siswi itu tak mendapat dukungan dari Ketua kelas mereka yang semula mendukung rencana mereka. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Ketua kelas 10.6 Teguh sangat yakin Arman bisa membaca Alquran, karena Teguh mengetahui Arman sering membawa Alquran ke sekolah. Setelah itu Teguh menunjukkan Alquran ukuran kecil milik Arman yang belum ia kembalikan.
Tiba-tiba saja kelas itu hening saat mengetahui dan melihat Alquran milik Arman. Tak lama setelah itu Yoni berkata “Ya udah, kalau begitu tinggal kita suruh baca Quran saja si Arman.”
Menyusul sayup-sayup terdengar tanda setuju dengan Yoni, sementara beberapa memilih diam dan tak berpikir untuk tahu lebih tentang hidup seseorang. Bagi mereka membaca Alquran adalah pertanggungjawaban kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Begitu juga masalah dia muslim atau kafir, itu pertanggungjawaban kepada Tuhan bukan kepada manusia. Toh iman kita sebagai muslim saja belum tentu sempurna, kenapa harus menghakimi seseorang sebagai kafir hanya lantaran dia tidak bisa mengaji atau membaca Alquran.
Tak lama kemudian Arman yang mendapat tugas piket baru kembali ke dalam kelas setelah mengambil absensi dan jurnal dari ruang Tata Usaha. Setelah meletakkan absensi dan jurnal di meja guru Arman kemballi duduk. Saat itu dia mencoba tak hirau dengan teman-teman satu kelasnya, walaupun dirinya yakin mereka menyimpan rasa ingin tahu dalam sorot mata mereka.
Setelah itu Teguh menghampiri Arman, meletakkan Alquran ukuran kecil di atas meja. Saat itu juga kening Arman merapat sembari melihat lekat-lekat Alquran di hadapannya. “Ini kan....Quranku, pemberian Kyai.”
Sigap kedua tangan Arman menyambar Alquran, lalu membukanya sejenak dan kembali meneliti. Sementara itu Teguh yang masih berdiri di samping meja Arman,bertanya “Jadi seperti apa Kyaimu itu?”
Sejenak Arman tak menjawab pertanyaan Teguh, kemudian sorot matanya mengamati siswa/siswi di kelas 10.6. Saat itulah Arman menyadari sebagian besar siswa/siswi di kelas itu sedang memperhatikannya. Setelah itu Didin bangkit dari kursi sembari memandang Arman. Tegas dan keras Didin berkata “Eh Man, si Teguh ini percaya kamu bisa ngaji karena menemukan Alquran itu, yang katanya terjatuh dari tasmu. Makanya dia mau tahu kamu bisa ngaji atau tidak? Trus ingin tahu juga siapa Kyaimu itu?”
Tegas Teguh menoleh dan memandang Didin, kemudian sorot matanya perlahan menajam pada kawan satu kelasnya itu. Saat itulah kedua bibirnya ingin menyanggah apa yang diucapkan Didin, namun hatinya meminta dirinya untuk tetap tenang. Bagi Teguh perkataan Didin menunjukkan ketidakberaniannya menanyakan langsung pada Arman. Namun ternyata, ucapan hati Teguh keliru setelah Hari berkata “Iya Man, kami semua juga penasaran apa kamu bisa ngaji atau tidak?”
“Gimana kalau sekarang kita tes ngaji, baca Quran. Kau sama Yandi saja.” Ucap Gufron tegas.
Setelah itu Gufron tersenyum tipis dan kembali berkata “Sebadung-badungnya Yandi, aku yakin dia masih bisa ngaji.”
“Eh Fron, ada yang lebih badung tuh, si Galih. Jangan si Yandi, jagoan dialah.” Sahut Glori.
“Oh, iya si Galih saja yang paling badung. Gimana Man?” Ucap Gufron.
Namun Arman tak membalas. Saat itulah wajahnya perlahan menegang. Selama ini Arman memang selalu membawa Alquran pemberian Kyai Ahmad kemanapun, tetapi selama itu pula dirinya selalu membawa Iqra’ pemberian Zaitun. Sembunyi-sembunyi Arman belajar menghapal huruf-huruf hijaiyah, tanda baca dan tajwidnya. Terkadang Arman belajar dari mendengar kaset atau rekaman orang-orang yang membaca Alquran. Saat itulah Arman membuka Alquran sembari mulutnya menirukan lantunan ayat-ayat Alquran yang ia dengar dan kedua matanya meneliti huruf-huruf dalam Alquran. Namun, bila harus sendiri membaca Alquran Arman masih belum selancar mereka. Entahlah, terkadang dirinya berpikir kenapa Gusti Allah memberikan kelemahan pada ingatannya, sulit sekali dirinya menghapal huruf-huruf hijaiyah semasa SMP. Hingga akhirnya Arman baru bisa mengingat dan sedikit-demi sedikit menyambung huruf saat sekarang ini, masuk di kelas 10 Aliyah.
“Man, aku yakin kamu bisa baca Quran, jadi sanggupi saja tantangan mereka, daripada mereka terus mengolok-olok kamu dengan kata-kata kafir, cuma karena kamu gak bisa baca Quran.” Kata Teguh, kemudian menepuk pundak Arman.
“Bukan cuma Guh, tapi juga Cukongnya Cina si Koko yang gak bisa ngomong itu.” Sahut Didin keras. Menyusul sebagian siswa/siswi mengiyakan.
Sebelum menjawab sejenak Arman menoleh, melihat Galih yang sedari tadi terlihat santai sembari memasang headset di kedua telinganya. Saat itulah hatinya berbisik “Mungkin Galih memang lebih baik dari aku, walaupun dia badung tapi kalau bisa membaca Alquran, itu suatu keberuntungan. Daripada diriku yang bodoh ini, bertahun-tahun belajar ngaji tapi sekarang masih tetap saja ndak bisa ngaji.”
Perlahan wajah Arman terlihat lebih tegas, saat dirinya lebih ikhlas menerima ketetapan Gusti Allah. Yang penting, seperti yang dikatakan Kyai Ahmad jangan berhenti belajar selama kita hidup dan harus selalu minta sama Sang pangeran yang punya hidup. Kebaikan seseorang tidak dilihat dan dinilai dari hasil akhirnya, tetapi kebaikan seseorang dilihat dan dinilai dari prosesnya hingga menyelesaikannya. Seperti itu juga menjalani hidup, hidup itu tidak ujug-ujug1 diberikan Gusti Allah dan rejeki untuk hidup juga tidak ujug-ujug diberikan Gusti Allah, dan terakhir kematian yang baik itu tidak ujug-ujug diberikan Gusti Allah. Hanya orang yang pandai mensyukuri hidup, sabar dan ikhlas akan ketetapan Gusti Allah, juga tidak berhenti memperjuangkan kebaikan yang mendapat kebaikan dalam proses hidup hingga kematiannya.
Menyusul hati Arman sependapat dengan perkataan Kyai yang tersimpan dalam ingatannya itu. Sepertinya hari ini Arman harus jujur pada semua teman-temannya, bahwa dirinya bukan tak bisa ngaji. Dirinya bisa ngaji walaupun masih dalam tingkat Iqra yang dibaca, tetapi kalau untuk menyambung huruf dalam Alquran dirnya belum bisa.
Sigap Arman berdiri di depan kursinya kemudian tegas berkata “Baik, aku....”
Namun perkataannya harus terpotong saat pintu kelas itu terbuka, menyusul kemudian Bu Handayani wali kelas 10.6 yang pada jam pelajaran ke empat itu akan mengajar Fiqih masuk ke dalam kelas sembari membawa beberapa buku.
“Assalammualaikum Warahmatullah Wabarakhatu.”
“Waalaikusalam Warahmatullah Wabarakhatu...” Jawab seluruh siswa/siswi. Sementara Arman sigap kembali duduk.
Sembari tersenyum Bu Handayani bertanya “Ada apa ini? Sepertinya sedang rapat.”
Sejenak kelas ini tak bersuara walaupun banyak pasang mata tertuju pada wali kelasnya, Bu Handayani. Tak lama berselang Didin mengacungkan tangan, memberi tanda bahwa dirinya ingin bicara. Saat itu juga sembari tersenyum Bu Handayani mengijinkan. Sebelum mulai berkata Didin yang tak percaya Arman bisa membaca Alquran sejenak melirik Arman, kemudian pandangannya beralih kembali tertuju pada Wali kelasnya yang penyabar dan berkata “Kita mau tahu Arman bisa baca Quran atau tidak Bu?”
“Loh, memangnya kenapa kamu harus tahu Din? Arman pasti bisa baca Quran, iya kan Man.” Di ujung perkataan sorot mata Bu Handayani tertuju pada Arman.
Namun Arman tak menjawab pertanyaan Bu Handayani. Dia memilih diam semebari sedikit menundukkan pandangannya. Saat itulah Gufron menyahut tegas “Ayo Man jawab! Bisa ngaji atau tidak?”
Menyusul kemudian seisi kelas itu mengalihkan pandangannya pada Arman di meja tengah deret ketiga dari depan. Pelan Galih berbisik pada Arman “Sudahlah Man, jawab saja rasa penasaran mereka. Jangan hiraukan yang akan terjadi nanti. Santai saja.”
Akhirnya Arman sedikit mengangkat kepalanya, memandang Bu Handayani di depan kelas sedang memandang dirinya. Kemudian agak pelan Arman berkata “Saya....masih belajar ngaji Bu. Belum lancar ngaji.”
“Huuuu....” Sorak sebagian siswa/siswi kelas itu.
“Pasti itu cuma alasan, supaya gak dibilang kafir.” Celetuk Didin.
“Tapi nyatanya kafir.” Gufron tegas.
“Gak bisa baca Quran, walaupun Islam.” Sahut Hari.
“E eeeh, siapa yang bilang kafir? Siapa? kalian tidak boleh menjadikan kata-kata kafir sebagai olok-olok. Ingat Allah sudah mengingatkan dalam Alquran, bahwa panggilan yang buruk untuk seseorang itu adalah kafir dan munafik.” Bu Handayani tegas.
Saat itu juga tiba-tiba kelas itu terdiam. Menyusul Gufron kembali berkata “Bu, saya tahu kenapa Arman gak bisa ngaji. Itu karena dia berteman sama Cukongnya, si Koko itu.”
Setelah itu terdengar sayup-sayup suara, mengiyakan dan sebagian lagi seolah baru mengerti. Sedikit keras Arman berkata pada Gufron “Apa hubungannya sama Koko, Fron? Kalau ngomong jangan sembarangan, kau gak tahu Koko itu lebih baik hatinya daripada kau.”
“Eh Man, inget dia itu kafir. Kamu lebih membela orang kafir, daripada saudaramu sendiri, muslim?!” Sahut Ani.
“Ini bukan masalah membela kafir, tapi akhlak kalian itu ndak mencerminkan sebagai muslim, cuma lantaran Koko itu Cina dan Kristen.” Balas Arman.
“Sudah sudah sudah, kenapa jadi ribut? Dan bawa-bawa Koko segala?” Tanya Bu Handayani. Kemudian melanjutkan setelah menghela nafas “Benar kata Arman, walaupun dia Kristen dan Cina bukan berarti dia tidak bisa jadi orang baik. Justru kita yang muslim harus bisa lebih baik dari yang Kristen, baik dalam hal akhlak dan perbuatan.”
Setelah itu Arman mengacungkan tangan, kemudian berdiri di depan kursinya dan berkata keras pada seluruh siswa/siswi di kelas itu “Baik, aku akan buktikan kalau tuduhan kalian itu salah. Salah menuduhku kafir, cuma karena aku gak bisa ngaji dan bersaudara sama Koko yang Kristen. Perlu kalian tahu, selama ini Koko yang sering mengingatkan aku belajar baca Quran dan sholat.”
“Buktikan pakai apa Man? Yang jelas dong.” Celetuk Iwan. Menyusul teman-temannya mengiyakan.
“Buktikan pakai baca Quran, murotal yang indah. Arman, kamu belajar sama Ibu saja. Sebelum lulus dari sini, kamu harus bisa baca Quran pakai murotal. Biar mereka percaya tidak bertanya lagi, bisa menjaga mulut dan hatinya dari sebutan kafir.” Sahut Bu Handayani tegas. Sigap Arman memandang Bu Handayani, kemudian senyum di wajahnya mulai tampak. Begitu bahagianya Arman, wali kelasnya mau mengajari dirinya membaca Alqruan.
Dengan mata berkaca-kaca Arman bertanya “Ibu sungguh mau mengajari saya ngaji Quran? Ibu ndak capek? Ndak marah?”
“Iya Man, Ibu yang akan mengajarimu baca Quran. Kalau ngaji itu kan harus ada gurunya, biar ngajinya benar.”
Menyusul kelas itu bersuara saat siswa/siswi saling melempar kata mendengar Bu Handayani akan mengajari Arman membaca Alquran. Bahkan sepertinya Bu Handayani tidak marah sama sekali saat mengetahui Arman belum bisa membaca Alquran.