Pajero Sport bernomor polisi T 8801 MF melaju sedikit tersendat di jalan raya yang ramai lancar. Dinginnya udara dalam mobil itu membuat Arman dan Koko perlahan terpejam. Namun kedua mata mereka sigap terbuka lebar saat Narwo membunyikan klakson mobil sangat keras. Sembari menegakkan badan keras Arman bertanya “Kenapa Pak Dhe?”
“Apanya yang kenapa Man?”
Pelan Arman membuang nafas, kemudian bertanya “Kenapa Pak Dhe mencet klaksok keras sekali?”
Sembari tersenyum Narwo menjawab “Oooh itu Man, motor di depan itu loh lambat jalannya. Makanya kupencet keraslah, biar cepetan.”
Setelah itu Arman kembali menyandarkan tubuhnya. Menyusul kemudian tiba-tiba perut Arman berbunyi, sigap tangan kanannya memegang perutnya. Koko yang mendengar hanya tersenyum, kemudian berkata dengan bahasa isyarat pada Arman, bahwa Arman lapar. Tanpa berkata Arman hanya tersenyum, berharap segera sampai di rumah, dan segera makan siang.
Tak lama kemudian Pajero hitam itu belok ke pom bensin dengan atribut merah. Sejenak mengantri hanya untuk mengisi bahan bakar. Saat itulah pandangan Arman tertuju pada beberapa pedagan kaki lima di sekitar pom bensin. Kemudian Arman meminta turun sebentar sebelum Pajero yang ditumpanginya sampai di pengisian bahan bakar. Tergesa Arman berjalan mendatangi penjual rujak di samping pom bensin. Setelah mendapatkan dua bungkus buah segar dengan bumbu rujak terpisah pandangan Arman meneliti Pajero T 8801 MF. Kemudian sedikit tergesa melangkah, mendekati Pajero yang sudah menunggu di tepi kiri pom bensin. Saat itulah seseorang berlari ke arahnya sembari memberikan dompet coklat di genggaman tangannya. Terkejut Arman melihat laki-laki yang sudah jauh itu, kemudian keningnya merapat saat melihat dompet di tangannya.
Sigap Arman mengacungkan dompet sembari berkata keras “Mas, dompetnya! Mas.”
Tak lama kemudian orang-orang dengan wajah memerah berlari, mengejar laki-laki itu sembari mengacungkan tangan dan berkata keras “Maling maling maling....”
“Maling?” Ucap Arman pelan dengan kening merapat. Kemudian sigap membuka dompet, menggeladah isinya untuk melihat informasi pemilik dompet.
“Abimana.” Ucap Arman saat membaca KTP di dalam dompet itu.
Menyusul keningnya merapat, kemudian Arman membaca alamat rumah yang tertera di KTP “Menteng Regensi, Jakarta Pusat. Jalan Rp. Soeroso No. 10 Gondangdia Lama, Rt. 10/Rw.5, Cikini, Menteng Kota Jakarta Pusat. Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 10330.”
“Waaah jauh nih alamatnya di Jakarta.”
Setelah itu pandangan Arman kembali meneliti arah lelaki tadi menghilang. Tak lama berselang terdengar seseorang memanggil namanya “Arman.”
Arman pun menoleh, kemudian tersadar bahwa Narwo dan Koko sedang menunggu dirinya. Tergesa Arman berjalan, bahkan setengah berlari menghampiri mobil itu. Kemudian masuk ke dalam mobil dengan nafas tersengal. Setelah itu Narwo memacu Pajero menyusuri jalan yang cukup padat. Sedikit penasaran Arman kembali melihat dompet di tangannya, kemudian membukanya. Saat itu juga Koko bertanya sembari meraba bahu Arman, dan berkata dengan bahasa isyarat. Sedikit keras Arman akhirnya bercerita pada Koko bahwa tadi sewaktu di dekat pom bensin ada seorang laki-laki yang tak ia kenal melempar dompet ini ke tangannya.
Saat itulah dengan kening merapat Koko mengingat yang terjadi di dekat pom bensin. Hatinya menerka bahwa yang melempar dompet itu pada tangan Arman adalah pencopet yang sedang dikejar warga. Karena saat itu juga ada keributan dari sekelompok orang yang berlari mengejar seorang laki-laki.
Narwo yang sedang mengemudi ikut menyahut dengan kening merapat “Benar tuh kata Den Koko, pasti laki-laki itu yang maling dompet itu.”
“Ooo gitu..., aku kira malah yang punya dompet ini...” Ucap Arman.
“Kalau yang punya dompet gak mungkin dia melempar dompetnya sama kamu Man. Apalagi isi uangnya banyak dan pasti ada surat-surat berharganya tuh.” Kata Narwo sembari mengemudi.
“Benar juga Pak Dhe.” Kemudian Arman melihat isi dalam dompet.
“Sudah dilihat KTP-nya Man?” Tanya Narwo.
“Sudah Pak Dhe. Alamatnya jauh di Jakarta. Gimana ya, kalau aku mau mengembalikan dompet ini?”
Setelah itu Koko memberikan usulan pada Arman untuk melaporkan ke kantor polisi, supaya tidak perlu jauh-jauh pergi ke Jakarta.
“Oh iya Ko, kenapa tidak diserahkan sama kantor Polisi saja ya? Pasti kita ndak perlu repot.” Ucap Arman sembari tersenyum. Menyusul senyum lebar juga mengembang di wajah Koko.
Dengan senyum sumringah Arman kembali memandang dompet. Kemudian sorot matanya tertuju pada KTP yang sedikit keluar dari dalam dompet. Pelan Arman menarik KTP itu, namun sesuatu ikut tercabut dan terjatuh dari dompet itu. Sigap Arman mengambil kertas yang ternyata sebuah foto. Sebelum kembali memasukkan ke dalam dompet sejenak Arman meneliti foto itu yang seperti berada di sebuah pondok pesantren yang ia kenal. Menyusul kemudian keningnya sedikit merapat, sementara otaknya mencoba mencari tahu orang-orang di dalam foto itu. Saat itulah sorot matanya bergeser pada perempuan berhijab dalam foto yang sedang duduk bersama Santri putri lainnya, sementara Santri putra terlihat berdiri.
“Mbak Zaitun? Kok mirip sama Mbak Zaitun ya?” Ucap Arman pelan.
Setelah itu pikiran Arman menangkap sesuatu yang ia lihat, yaitu dompet, KTP dan foto yang terlihat seperti para Santri putra dan Santri putri di sebuah pesantren. Menyusul hatinya berkata tegas “Ini kan pesantren Al Fattah! Iya benar, ini pesantren Al Fattah.”
Tak lama kemudian Pajero hitam itu melaju di jalan Pasundan, kemudian perlahan ke Polsek Karawang Kota. Setelah Pajero berhenti di tempat parkir Narwo menoleh dan berkata “Kantor polisi yang dekat ya ini, kamu lapor saja sama Polisi, trus serahkan dompet itu. Biar nanti Polisi yang menghubungi yang punya dompet.”
Menyusul anggukkan dari Koko, seolah setuju dengan perkataan Narwo. Setelah itu Arman berkata “Ya sudah, sekarang aku ke sana dulu Pak Dhe. Tunggu aku di sini saja.”
Kemudian Arman membuka pintu, keluar mobil sembari membawa dompet, sedangkan ranselnya di tinggal di dalam mobil. Ternyata siang itu matahari yang bersinar terik sedikit menyilaukan pandangan Arman. Sigap tangan kanan Arman menghalangi sinar matahari, kemudian dompet yang ia bawa ia gunakan juga untuk menghalangi sinar matahari. Saat itulah tiba-tiba seseorang menghantam keras wajahnya, kemudian keras berkata “Jadi kau malingnya!”
Menyusul cepat bogem mentah bertubi-tubi mendarat di wajah dan perut Arman. Hingga membuat Arman jatuh terkapar di tanah. Tak lama kemudian Narwo tergesa menyusul Arman seraya berkata “Hei, kau apakan dia!”
Sigap Narwo membantu Arman berdiri, tetapi laki-laki yang ternyata bernama Abimana pemilik dompet yang baru melapor kehilangan dompetnya pada Polsek Karawang Kota tidak menggubris. Abimana yakin bahwa anak muda yang dipukulnya itu adalah pencuri dompet miliknya. Saat itu juga dengan amarah meluap Abimana hendak melepaskan pukulan lagi ke wajah Arman, namun kali ini pukulannya terhenti karena teriakan teman-temannya.
“Abimana sudah.” Ucap Dinar sembari menahan tangan Abimana yang sudah mengepal.
Terlihat tiga perempuan berlari mendekati Abimana dan Dinar, kemudian Zaitun yang melihat pemuda mengalami memar di wajah bertanya pada Abimana “Ini ada apa toh? Abimana, kenapa kamu pukul pemuda ini?”
“Sudah Zaitun, mungkin ini cuma salah paham.” Kata Dinar.
Sembari meringis Arman yang kesakitan terkejut mendengar nama Zaitun. Kemudian kedua matanya sejenak mengamati gadis manis berkulit putih dan berhijab di hadapannya. Saat itu juga hatinya berbisik “Subahanallah.... Mbak Zaitun, ndak nyangka kita ketemu di sini.”
Terlihat seorang Polisi datang tergesa, mendengar yang terjadi. Setelah itu Polisi dengan baret coklat itu meminta semua yang bermasalah segera masuk ke dalam kantor polisi untuk dimintai keterangan tentang yang terjadi. Namun sebelumnya Narwo meminta ijin menjemput seseorang di dalam mobil, yaitu Koko.
Di dalam kantor polisi yang tak begitu luas, mereka berdelapan duduk di hadapan dua orang Polisi. Sebelum Polisi bernama Karman bertanya, Abimana mendahului berkata “Pak Polisi, tolong anda tangkap anak muda ini, karena ternyata dialah yang mencuri dompet saya ini.”
Kemudian Abimana menunjukkan dompetnya di atas meja. Arman yang tak mencuri tegas berkata “Aku bukan maling, aku ndak pernah jadi maling!”
Membuat kening Zaitun merapat saat mendengar ucapan pemuda itu. Saat itulah dalam pikirannya ia teringat dengan seseorang yang berkata sama seperti pemuda itu. Bahkan logat dan suaranya hampir sama persis. Namun, perkataan keras Abimana membuyarkan ingatannya “Apa buktinya kalau bukan maling! Aku lihat sendiri dengan mataku ini, kalau kau yang pegang dompetku ini. Berati kau malingnya!”
“Sudah kubilang aku bukan maling! Aku ndak pernah jadi maling! Bener kan Pak Dhe?” Di ujung perkataan Arman menoleh pada Narwo.
“Benar Pak Polisi, Arman tidak pernah mencuri. Dia bukan pencuri seperti yang dituduhkan Masnya ini.” Kata Narwo.
Saat itu juga Zaitun baru tersandar sembari sigap memandang Arman yang wajahnya memar karena pukulan Abimana. Kemudian keningnya perlahan merapat saat kedua matanya mencoba meyakinkan apa yang dilihatnya. Saat Zaitun akan bertanya, lagi-lagi Abimana mendahului bertanya tegas “Apa buktinya kalau dia bukan pencuri?”
Dengan kening merapat Arman dan Narwo terdiam. Mereka tak tahu apa bukti yang mereka miliki kalau Arman bukan maling. Tak lama setelah itu wajah Abimana mulai dihiasi senyum, karena dirinya yakin mereka tidak bisa membuktikan ucapannya. Jadi benarlah tuduhan Abimana bahwa pemuda ini adalah maling yang mencuri dompetnya.
Seakan mencoba bicara Koko menggerakkan tangannya di hadapan Pak Polisi, kemudian menepuk-nepuk lengan Narwo yang duduk di sampingnya. Membuat kening Arman merapat melihat Koko yang cemas. Kemudian Arman meminta Koko pelan-pelan menjelaskan, lalu Arman meminjam bulpen dan kertas pada Pak Polisi supaya Koko bisa menuliskan yang ingin disampaikan. Setelah itu sigap Koko menulis di selembar kertas “Buktinya lihat di dompet itu.”
Hingga akhirnya Arman mengerti dengan tulisan Koko. Kemudian Arman berkata pada Pak Polisi untuk memeriksa isi dalam dompet itu, bila ternyata ada yang hilang maka dirinya pasti maling seperti yang dituduhkan dan tidak akan mengelak lagi. Tetapi bila isi dalam dompet itu tidak ada yang hilang maka dirinya bukan maling yang mencuri dompet itu.
Setelah itu Pak Polisi segera mengeluarkan isi dalam dompet satu persatu, kemudian meletakkan 7 lembar uang kertas 100 ribu, 6 lembar 50 ribu, 3 lembar uang 20 ribu, satu kartu ATM BCA, satu kartu ATM Mandiri, SIM, KTP, kartu Mahasiswa, satu lembar foto di atas meja. Dengan kening merapat Abimana meneliti setiap yang di keluarkan dari dompet miliknya itu. Dan ternyata benar, tidak ada yang hilang dari dalam dompet itu.
“Bagaimana saudara Abimana? Apa benar tidak ada yang hilang?” Tanya Polisi.
“Ehmm...” Ucap Abimana dengan kening merapat sembari meneliti kembali isi dalam dompetnya.
“Benar Pak Polisi, tidak yang hilang.” Zaitun memotong tegas. Kemudian melirik Abimana yang masih kebingungan melihat isi dalam dompetnya yang masih sama seperti saat sebelum hilang.
“Abimana sebaiknya kamu minta maaf sama Arman, dan berterima kasih padanya.” Kata Zaitun. Menyusul anggukan dari ketiga temannya.
“Berterima kasih?” Abimana mengulang.
“Iya, karena Arman kamu bisa mendapatkan kembali dompetmu. Kalau Arman tidak datang kemari, pasti dompetmu tidak akan ketemu.”
“Benar Abimana, sebaiknya kamu minta maaf sekarang.” Sahut Dinar.
Setelah itu Abimana terdiam dengan wajah sedikit menegang. Kemudian pandangannya bergeser pada Arman dengan luka lebam di wajah akibat pukulan darinya. Saat itu hatinya berbisik “Arman. Kenapa wajahnya seperti pernah kulihat?”
“Abimana ayo minta maaf, daripada kamu yang dipenjara karena sudah memukul Arman yang tidak bersalah.” Kata Zaitun tegas.
Sedikit terkejut Abimana menoleh pada Zaitun, kemudian berkata singkat pada Arman “Maaf.”
Polisi yang menjadi penengah hanya mengingatkan agar tidak main hakim sendiri. Apapun yang diyakini hati harus bisa dibuktikan, maka jika belum mendapatkan bukti jangan pernah mengadili atau bahkan menganiaya pihak yang dituduh. Untungnya Arman bukan orang yang pendendam sehingga mau memaafkan Abimana. Bagi Arman, hantaman keras dari Abimana tak ada artinya dibandingkan dengan tuduhan yang dilemparkan pada dirinya, karena sebuah luka lebih sakit membekas di hati daripada membekas di kulit.