Sore di pergantian tahun tak jauh berbeda dengan setiap sore yang terlewati. Selalu terlihat menawan dengan warna tenangnya, keemasan, kemerahan atau warna lembut lainnya yang dapat menenggelamkan setiap pandangan dan hati. Sedikit lega dirasakan Ngatini saat itu, setenang langit sore di pergantian tahun, saat tahun demi tahun yang ia nanti berganti. Namun ia tak pernah tahu apa yang akan terjadi menimpa keluarga kecilnya di tahun nanti. Hanya berharap semoga Gusti Allah tak lagi meminta air matanya dengan cobaan yang bertubi-tubi, setelah suaminya, Lek Yusup keluar dari penjara.
Tak lama kemudian pandangannya bergeser pada jam tua di atas almari tua. Terperanjat Ngatini saat mengetahui saat itu sudah pukul setengah lima sore. Tanpa pikir panjang lagi ia segera membuka pintu, kemudian pandangannya mencari Marianti dan Ripah. Saat itu juga hatinya sedikit lega melihat kedua anak tirinya sedang bermain di bawah pohon mangga yang sedang berbunga. Setelah itu Ngatini pergi tergesa ke tembok tua yang tak tinggi, namun cukup untuk sekedar menjadi pembatas halaman rumah itu. Kemudian pandangannya kembali meneliti jalan Kampung yang sedikit lebih ramai, mungkin karena orang-orang sibuk menyambut tahun baru.
Lama Ngatini berdiri sembari menguatkan pandangannya melihat ke segala sisi dari jalan itu, seolah mencari seseorang. Saat itulah beberapa Ibu-Ibu yang sedang bercengkrama di teras Mak Narti melihat Ngatini celingukan di tepi jalan, seperti sedang menanti seseorang. Menyusul bisik-bisik terlempar dari bibir mereka, mencoba menebak siapa yang dinanti Ngatini sore itu. Tak lama kemudian Mak Erah tetangga di sebelah rumah Lek Yusup yang hendak membuang sampah menyapa dan bertanya agak keras pada Ngatini dari tepi jalan. Sembari tersenyum Ngatini tak menjawab panjang, hanya anggukan berbalut senyum dengan dua patah kata dari bibirnya. Setelah itu kedua matanya kembali meneliti jalan Kampung di hadapannya.
Hingga setelah beberapa waktu berlalu terlihatlah dari kejauhan motor bebek bersuara khas. Saat itulah kening Ngatini sedikit merapat sembari memicingkan mata dan menajamkannya melihat laki-laki yang menunggangi motor bebek supra x. Ternyata benar dialah yang lama dinanti Ngatini, Pak Kholil dari pesantren Al Fattah. Saat Pak Kholil dan motornya hendak melewati dirinya, sigap Ngatini melangkah maju dari balik tembok tua. Saat itu juga Ngatini berkata keras sembari memberi tanda dengan tangannya pada Pak Kholil “Pak Kholil sebentar-sebentar, tolong berhenti sebentar Pak.”
Dengan kening sedikit merapat Pak Kholil memelankan laju motornya, kemudian berhenti di tepi jalan tak jauh dari Ngatini. Tergesa Ngatini menghampiri Pak Kholil yang masih duduk di atas motor. Kemudian bertanya dengan nafas tersengal “Aduh maaf Pak Kholil, nyuwon pangapura1 sudah mengganggu perjalanan Pak Kholil.”
“Mboten napa-napa Bu, mboten napa-napa.”2
“Ini loh Pak Kholil, saya mau tanya tentang yang kemarin saya tanyakan. Apa...”
“Oooh iya iya iya, saya sampai lupa.” Sedikit terkejut Pak Kholil baru ingat, bahwa dua minggu yang lalu Ngatini bertanya pada dirinya tentang Arman yang diangkat anak oleh seseorang bernama Shahaja.
“Trus pripun3 Pak Kholil?”
“Kemarin kebetulan keluarga almarhum Pak Kyai ke pesantren, jadi saya bisa tanyakan ke Gus Maftul tentang keluarga angkat mereka, Pak Shahaja. Trus saya tanyakan juga Arman. Alhamdulillah saat itu juga Gus Maftul langsung menelepon Pak Shahaja, sekarang Arman sudah sekolah di Aliyah sama Koko anaknya Pak Shahaja. Mereka sudah mau lulus.”
“Alhamdulillah....” Ucap Ngatini sembari mengelus dada.
“Apa Arman masih inget sama Bapak Ibunya, trus sama Adek-Adeknya Pak? Kenapa kok ndak pulang nengok ke Jombang sini?”
“Ya pasti masih inget Bu, jangan khawatir. Yang penting Arman masih inget sholat.” Jawab Pak Kholil.
Sejenak Ngatini mengangguk-angguk dengan kening merapat, dalam pikirannya saat itu hanya terdapat rasa syukur bercampur rasa ingin tahu terhadap anak dari almarhumah Mbak Yu-nya itu. Setelah itu Ngatini kembali bertanya “Oh iya Pak Kholil, dulu Kyai Ahmad pernah bilang kalau keluarga angkatnya Arman itu orang beda agama sama kita. Maksudnya Kyai itu apa mereka bukan orang Islam gitu?”
“Iya memang benar, setahu saya Pak Shahaja itu Kristen, tapi sering memberikan sumbangan sama pesantren Al Fattah. Trus orangnya baik sama keluarga Kyai Ahmad dan pesantren.”
“Waduh, apa Pak Shahaja baik juga sama Arman? Apa Arman ndak akan....”
“Tenang saja Bu, Pak Shahaja selama ini dikenal sebagai orang baik. Dan Pak Shahaja sangat menghormati Islam, walaupun dia sendiri Kristen.”
“Trus Arman jadinya kapan pulang ya Pak? Sebentar lagi Bapaknya insya Allah keluar dari penjara. Saya pingin Arman ketemu Bapaknya, pasti juga Bapaknya pingin ketemu.”
“Saya juga kurang tahu kalau masalah itu Bu. Mungkin saja setelah Arman lulus sekolah baru pulang ke Jombang. Yang penting Ibu berdoa saja sama Gusti Allah. Insya Allah Gusti Allah lebih tahu yang baik untuk hamba-Nya.”
“Iya Pak, semoga Arman bisa segera pulang dan ketemu Bapaknya.” Ucap Ngatini.
Setelah Pak Kholil pamit sama Ngatini, Pak Kholil menghidupkan kembali motornya. Saat itulah Mak Erah cepat mengalihkan pandangan dan pendengarannya dari Ngatini. Setelah Pak Kholil kembali melaju, barulah Mak Erah mendatangi Ngatini dan bertanya “Jadi bagaimana kabarnya Arman Tin?”
Sedikit terkejut Ngatini menoleh, kemudian berkata “Oh Mak Erah. Alhamdulillah Arman baik, sekarang sekolahnya sudah tinggi, sudah Aliyah.”
Setelah itu Ngatini tersenyum, merasakan syukur yang terus terucap di dalam hati. Begitu juga Mak Erah dengan senyum sumringah ikut merasakan kebahagiaan Ngatini. Saat itu juga Mak Erah menanyakan Arman yang diangkat anak oleh orang Kristen. Apa benar yang didengar Mak Erah?
Akhirnya Ngatini menjelaskan pada Mak Erah, bahwa atas anjuran Kyai Ahmad Arman menerima permintaan keluarga Shahaja yang Kristen untuk diangkat anak. Alasannya karena anaknya yang bernama Koko tidak memiliki teman dan selalu murung. Jadi Pak Shahaja sangat berharap dengan kehadiran Arman, anaknya tak lagi murung. Alasan yang utama Kyai Ahmad saat itu adalah supaya Arman bisa belajar dan sekolah tinggi.
Namun tiba-tiba saja Mak Erah merasa khawatir seperti kekhawatiran yang dirasa Ngatini tadi saat ada Pak Kholil. Mak Erah khawatir keluarga angkat Arman meminta Arman pindah agama, dan melarang sholat. Bukan tidak mungkin Mak Erah berpikir seperti itu. Beberapa bulan yang lalu putri dari Kakak Mak Erah, memutuskan untuk pindah agama dari Islam menjadi Kristen setelah menikah dengan orang Bali. Hingga membuat Kakaknya naik pitam dan akhirnya jatuh sakit memikirkan perbuatan yang dilakukan oleh putrinya. Setahun kemudian Kakaknya meninggal karena sakit yang dideritanya.
Saat itu kening Ngatini terlihat semakin rapat, memikirkan nasib Arman di sana. Menyusul kemudian rasa gelisah kembali menyelinap masuk ke dalam hatinya, bahkan semakin besar. Bagaimana jika Arman memutuskan untuk keluar dari Islam dan mengikuti keyakinan orang tua angkatnya? Kemudian membayangkan kemarahan Lek Yusup saat mendengarnya.
“Oh iya, Arman wis iso ngaji durung4 Tin?” Tanya Mak Erah.
Sejenak Ngatini terdiam, mengingat Arman saat sebelum mengikuti orang tua angkatnya. Kemudian Ngatini menjawab “Aku gak pernah krungu5 Arman Ngaji ndek omah Mak. Tapi seingatku Lek Yusup pernah cerita kalau Arman pingin belajar ngaji. Semenjak Lek Yusup di penjara Arman malah gelek6 nang pasar, jare sih ndolek7 rongsok.”
“Ya wis, saiki ndunga ae Tin, muga-muga Arman jek tetep keyakinane nang Gusti Allah.8”
“Amiiin.” Ucap Ngatini sementara hatinya bertambah resah.
***
Sekolah bercat hijau muda dan tua itu terlihat sedikit lengang di bawah terik matahari yang serasa membakar. Tak banyak juga kendaraan yang terparkir di tempat parkir siswa dan guru. Di salah satu sudut sekolah tampak besi-besi dan papan-papan yang sedang di susun oleh sepuluh pekerja. Sementara itu masjid sekolah tampak tak seperti biasa, saat siswa/siswi kelas 12 sekolah memenuhi masjid hingga membludak ke pelataran di depan teras masjid. Tak lama kemudian kekhusukan yang dirasa di dalam dan sekitar masjid mulai menyeruak, pecah dengan tangisan saat doa telah diakhiri. Menyusul kemudian setiap diri mulai beranjak, memakai sepatu dan berbondong-bondong meninggalkan masjid.
Terlihat Arman yang kebagian tempat di teras masjid ikut mengantri turun dari masjid sembari kedua sorot matanya meneliti sepatu hitam miliknya. Namun hingga semakin berkurang siswa/siswi kelas 12 tak kunjung ia temukan sepatu miliknya. Saat itulah Koko yang tak ikut dalam acara berdoa bersama di masjid sekolah sebelum hasil kelulusan diumumkan segera menghampiri, sedikit berlari.
Berhenti di hadapan Arman Koko menyodorkan sepasang sepatu. Saat itu juga sedikit terkejut Arman melihat sepatu miliknya tiba-tiba ada di hadapannya. Setelah mengangkat sedikit kepala akhirnya Arman melihat Koko sembari tersenyum berdiri di hadapannya. Rupanya Koko yang sengaja menyimpan sepatu miliknya sementara dirinya ikut berdoa di masjid sekolah bersama siswa/siswi lainnya.
Setelah memakai sepatu, sigap Arman dan Koko tergesa menuju tempat pengumuman kelulusan yang di tempel di depan ruang guru. Dalam perjalanan saat itulah terlihat beberapa siswa/siswi berurai air mata yang dibalut senyum. “Mungkin mereka baru kembali dari depan ruang guru, melihat pengumuman kelulusan.” Pikir Arman, setelah itu dada dan jantungnya seakan bertambah rapat.
Tepat di depan ruang guru suara sorak-sorak dan ucapan syukur terdengar dari para siswa/siswi. Seakan meluapkan kegembiraannya telah mengetahui bahwa mereka berhasil melalui Ujian Nasional dan dinyatakan lulus. Setelah menerobos keramaian akhirnya Arman yang selalu menggenggam tangan Koko berhasil berdiri di paling depan, tepat di depan papan pengumuman kelulusan. Saat itu juga kedua sorot mata mereka teliti melihat deretan nama di atas kertas yang di tempel di sebuah papan. Hingga mereka berdua mengetahui, bahwa nama mereka tercatum dalam deretan nama siswa/siswi yang lulus.
“Alhamdulillah...” Ucap Arman dan siswa/siswi yang mengetahui namanya tercantum dalam kertas yang di tempel di papan.
Selesai memastikan nama mereka termasuk siswa yang lulus Ujian Nasional, Arman dan Koko segera beranjak meninggalkan tempat itu. Hanya untuk memberi kesempatan pada siswa/siswi yang lain untuk mencari namanya. Saat itulah pandangan Arman berhenti bahkan terpaku pada seorang wanita berhijab yang memakai jas almamater Kampus “Uniersitas Tunas Islam”. Wanita itu adalah Zaitun, yang selama ini menjadi pengajar Bahasa Arab untuk kegiatan Praktek Kerja Lapang yang ditugaskan oleh Kampusnya.
Sore itu Zaitun dan keempat temannya juga menghadiri doa bersama di masjid sekolah sebelum siswa/siswi melihat pengumuman kelulusan yang sengaja dilakukan sore hari. Sengaja pihak sekolah tidak mengumumkan kelulusan bagi kelas 12 pada pagi hari, karena ingin menghindari konvoi dan kemacetan yang sering dilakukan anak-anak sekolah yang baru lulus.
Saat itu juga tanpa sengaja pandangan Zaitun tertuju pada Arman yang berjalan ke arahnya, yang juga sedang memandang dirinya. Selama ini Arman dan Zaitun tak pernah bertemu ataupun mengobrol, walaupun mereka berada di sekolah yang sama. Mungkin karena Arman yang pemalu, atau mungkin juga Zaitun yang lebih pemalu. Selama hampir 6 bulan Zaitun juga disibukkan mengajar di kelas 10 dan 11, bukan di kelas 12. Dalam benak Arman, ia tak tahu apakah Zaitun masih mengenali dirinya seorang anak Kampung yang pernah membantu di dapur pesantren Al Fattah atau malah sama sekali tak mengenal dirinya.
Tak lama kemudian Pajero Sport yang dikemudikan Narwo melewati pintu gerbang sekolah, kemudian berhenti di dekat masjid di dalam sekolah. Setelah bertatap muka dengan Zaitun, rupanya tak membuat Arman bertanya walaupun ada yang ingin diketahui oleh hatinya. Arman sangat menghormati Zaitun, mengingat Zaitunlah yang pertama mengajari dirinya membaca huruf-huruf hijaiyah sewaktu di pesantren, semenjak Ibunya meninggal.
Akhirnya sore itu tak ada percakapan lebih, selain ucapan assalammualaikum dari Arman, saat Arman melewati Kakak-Kakak Mahasiswa. Dan hanya dijawab waalaikumsalam yang diiringi dengan senyum.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Mohon maaf.
2. Mboten napa-napa = tidak apa-apa,
3. Pripun= bagaimana.
4. Arman sudah bisa ngaji belum?
5. krungu = mendengar.
6. Gelek = sering.
7. Ndolek = mencari.
8. Ya sudah sekarang berdoa saja Tin, semoga Arman masih teguh keyakinannya pada Gusti Allah.