Tepat dua bulan sejak menerima undangan akhirnya datang juga hari yang paling sedih di hidup gue, yaitu pernikahan Dokter Meyda dengan laki-laki pilihannya. Sebenarnya acara pernikahannya dua minggu setelah menerima undangan, tapi acara pernikahan terpaksa di undur karena Dokter Meyda ditunjuk anggota Dokter relawan ke daerah-daerah dengan kesehatan terburuk di Indonesia. Dengan lapang hati Dokter Meyda menunda pernikahan demi menjalankan tugasnya sebagai Dokter. Membuat gue semakin kagum dan belum bisa move on, walaupun gue udah mencoba mengikhlaskan cinta gue. Mudah-mudahan aja...Allah membantu gue untuk melupakan Dokter Meyda sebagai orang yang gue suka dan menjadikan Dokter Meyda sebagai idola aja yang harus dihormati dan dilindungi.
Setelah mandi di pagi menjelang siang ini gue masih sibuk di dalam kamar, tapi bukan sibuk menulis naskah atau ngedit di depan notebook kesayangan gue. Malah sepertinya kali ini gue lebih sibuk dari menulis naskah novel, soalnya gue sampai mengeluarkan isi lemari cuma gara-gara mencari baju dan celana yang paling pantas. Ribet banget kan? Mau ke ondangan aja. Haaa hari ini emang keluarga gue mau pergi ke acara pernikahan Dokter Meyda sama laki-laki yang belum gue tahu namanya, soalnya gue nggak mau membaca undangan pernikahan Dokter Meyda dan laki-laki yang nggak gue harapkan bertemu, walaupun nanti pasti gue melihat laki-laki itu di kondangan.
“Ya Allah kuatkan hati gue. Gue ikhlas Ya Allah, gue nggak mau sedih terus dan nangis terus, capek hati gue Ya Allah...gue yakin jodoh gue udah Engkau siapkan seperti kata Aldo.” Ucap gue pelan.
“Deni...cepat turun, nanti telat lagi...” Suara Nyokap keras dari lantai satu.
Sejenak gue menoleh ke asal suara dan sejenak juga gue menghela nafas, trus bilang pelan “Haaa Ibu, Deni kan harus pilih baju dan celana yang paling tepat. Seperti kata Bapak, Deni harus siap-siap jadi cowok yang gentle di acara pernikahan Dokter Meyda.”
Setelah itu gue kembali memilih baju dan celana sambil berkaca di depan cermin besar.
“Deni...nggak usah pilih-pilih baju dan celana, kamu bukan cewek yang harus dandan. Pakai aja yang rapi dan bersih pasti semua bagus dan cocok kalau dipakai kamu.” Suara Nyokap tambah keras.
Mendadak gue membatu sembari melihat diri gue di cermin, trus gue merapatkan kening dan bilang “Ada benernya juga perkataan Nyokap. Ngapain gue pilih-pilih baju dan celana, kayak cewek aja. Harusnya gue yakin dong kalo nggak ada baju yang nggak cocok sama gue, apalagi semenjak novel gue terbit, harusnya membuat gue semakin pede sama diri gue.”
Tanpa sadar gue berjalan mondar-mandir sambil manggut-manggut, trus bilang “Harusnya yang gue pikirkan itu gimana supaya gue nggak dikenal orang, biar gue bisa tenang merasakan kesedihan gue saat melihat Dokter Meyda di pelaminan sama laki-laki pilihannya, walaupun hati gue hancur dan biar gue bisa melampiaskan sama makan di kondangan dengan tenang, nggak ada yang panggil-panggil nama gue. Ah! Dan gue bisa sembunyi dari acara foto-foto bareng Nyokap sama Vita. Soalnya Nyokap sama Vita itu paling suka foto-foto.”
Tiba-tiba pintu kamar gue terbuka keras, hingga membuat gue kaget banget bersamaan menoleh pada pintu kamar. Ternyata Nyokap yang udah siap memakai kebaya dengan make up tipis berdiri di tengah pintu dengan wajah paling tegas, trus tanya tegas “Deni, kenapa masih pakai celana pendek dan kaos oblong! Ini udah hampir jam 10, nanti kita telat lagi.”
“Deni juga lagi mikir pake baju apa Bu.”
“Hmm! Nggak perlu pikir, pakai baju ini dan celana ini aja. Jangan lupa pakai jaket! Eh ehmm pakai jas aja, biar rapi.” Nyokap tegas sambil memberikan baju dan celana pada gue, trus mengambil jas warna abu di lemari.
Setelah itu Nyokap keluar kamar dan menutup pintu, tapi nggak lama kemudian Nyokap membuka pintu kamar lagi dan bilang “Cepat dipakai! Ibu tunggu, 5 menit selesai.”
Nyokap kembali cepat menutup pintu kamar, sedangkan gue kaget mengulang “5 menit?”
Sejenak gue melihat jam beker, trus sigap gue mengganti baju memakai kemeja lengan panjang warna biru dongker dan celana panjang hitam. Setelah itu gue cepat memakai jas abu, trus sejenak merapikan rambut gue di depan kaca.
“Deni...” Suara Nyokap keras dari lantai satu.
“Iya Bu...Deni turun sekarang...”
“Oh iya kaos kaki! Di mana ya?” Di ujung perkataan gue mencari kaos kaki.
Setelah menemukan kaos kaki yang gue nggak tahu keduanya sama atau enggak, gue cepat turun ke lantai satu, trus cepat keluar rumah sambil membawa sepatu dan masuk ke dalam Yaris merah yang udah bergemuruh di depan pintu pagar rumah. Nggak lama kemudian Yaris merah akhirnya melaju ke acara pernikahan Dokter Meyda.
***
Setelah melewati jalanan Ibu Kota yang lumayan ramai akhirnya Yaris merah ini masuk dan berhenti di tempat parkir dari taman yang khusus disewakan untuk acara pernikahan atau acara-acara tertentu. Nyokap, Bokap dan Vita keluar lebih dulu tapi sejenak mereka memandang tempat ini yang ternyata udah banyak undangan yang datang. Setelah itu menyusul gue turun dari mobil dengan lemas, bukan karena kaos kaki gue yang salah panjang pendeknya, tapi karena tiba-tiba aja jantung gue jadi deg-degan, hingga keringat dingin keluar dari kening gue.
Akhirnya Nyokap, Bokap dan Vita masuk ke dalam taman yang dijadikan sebagai acara resepsi, gue juga ikut berjalan di belakang mereka. Ternyata udah banyak orang yang di taman ini, sebagian duduk sambil menikmati hidangan dan sebagian lagi masih antri memberi ucapan selamat pada pengantin. Sejenak gue melihat Dokter Meyda yang selalu tersenyum saat menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang menghampirinya, begitu juga dengan laki-laki di sampingnya yang menjadi suami Dokter Meyda. Masya Allah...pantes aja Dokter Meyda lebih memilih laki-laki itu daripada gue, soalnya laki-laki itu banyak lebihnya daripada gue, lebih ganteng, lebih rapi, lebih dewasa, lebih imut dan kayaknya lebih pintar. Hmm membuat hati gue sedih banget melihat mereka bersanding. Dan mendadak hati gue bertambah kelabu saat yakin bahwa semua ini mungkin jawaban dari “Feeling” terakhir dari Bokapnya Dokter Meyda buat gue, kalo lamaran gue bakal ditolak tapi naskah novel gue bakal terbit di Penerbit Mayor.
Sejenak gue alihkan kedua mata gue, melihat keramaian di acara resepsi pernikahan Dokter Meyda. Tiba-tiba gue merasa ada yang menarik-narik lengan jas gue dari samping kanan. Gue cepat menoleh dan melihat seorang anak laki-laki yang memakai kacamata, kira-kira setahun di bawah umur si Vita.
“Kakak benar Kak Deni Sumantri?” Tanyanya sambil tersenyum.
Gue nggak segera menjawab, tapi lagi berpikir kenapa dia tahu nama gue, lengkap lagi pakai “Sumantri.” Hmm perasaan gue nggak enak nih.
“Nama Kakak Deni Sumantri kan?” Tanya anak itu mengulang sambil tersenyum.
“Mmm...hmhm...” Di ujung perkataan gue pura-pura batuk, trus sejenak menghela nafas dan mencoba tersenyum.
“Mmm iya, benar.” Jawab gue singkat sambil sejenak tersenyum.
Nggak lama kemudian anak laki-laki itu mengeluarkan sebuah buku dari saku jaketnya, trus menyodorkan pada gue. Sambil tersenyum dia bilang “Kak Deni minta tanda tangannya dong sama fotonya.”
Setelah sempat nggak fokus, akhirnya gue tersadar dan menerima buku dari si anak yang ternyata adalah novel pertama gue yang diterima Penerbit dan lolos seleksi di Penerbit Mayor. Nggak lama kemudian kedua mata gue berkaca-kaca melihat lekat-lekat novel karya gue yang berudul “Simbiosis Mutualisme.”
Sigap anak itu menoleh ke kanan dan ke kiri, trus berlari ke sana ke sini. Sementara gue masih terharu banget karena untuk pertama kalinya gue melihat novel gue udah terbit dan dibeli sama anak laki-laki yang terlihat cupu itu, sama ingusannya kayak gue masih SMP dulu.
Beberapa waktu kemudian anak laki-laki berkacamata itu kembali dan cepat menyodorkan bulpoin. Dengan sedih karena terharu gue melihat bulpoin dan anak laki-laki cupu di hadapan gue. Hati gue pun menyahut ikut ngomong “Subhanallah...bahkan cuma mau minta tanda tangan aja sampai lari-lari ke sana ke sini, menemui setiap orang di acara ini cuma untuk pinjam bulpoin. Memang pejuang banget nih anak.”
Setelah itu gue mengeluarkan bulpoin dari balik saku jas dan menandatangi novel “Simbiosis Mutualisme.” Walaupun si anak kaget karena ternyata gue membawa bulpoin, tapi dia tetap tersenyum dan seneng banget. Terakhir gue sama anak laki-laki berkacamata fotor-foto berdua, yang ternyata anak itu bernama sama kayak gue “Deni”, cuma nama belakangnya aja yang beda. Subhannallah...kebetulan banget, apa takdir Tuhan ya?
Selesai foto-foto si Deni kecil itu berlari ke Bokap sama Nyokapnya, terlihat kegirangan dan banyak omong sambil sesekali menunjuk-nunjuk pada gue. Sejenak gue tersenyum seraya menganggukan kepala pada Bokap dan Nyokap si Deni kecil yang cupu, setelah itu gue kembali melihat Dokter Meyda dan...tulisan di papan dengan rangkaian bunga di dekat kolam, Jusuf? Oooh ternyata nama laki-laki yang berhasil mengambil hati Dokter Meyda itu Jusuf, pantesan...subhanallah...
Haaa ternyata gue emang udah nggak jodoh dari segi nama, soalnya lebih bagus, cocok dan berjodoh nama Meyda itu bersanding dengan nama Jusuf, bukan Deni. Secara Dokter Meyda itu cantik banget kayak putri dan Bang Jusuf ternyata lebih ganteng dan imut daripada gue, seperti pangeran imut, masya Allah.
“Itu Deni Sumantri...” Teriak seorang cewek keras sambil menunjuk gue.
Nggak lama kemudian cewek itu berlari menghampiri gue, diikuti teman-teman ceweknya. Membuat gue panik mendadak dan bingung melihat banyak remaja cewek berlarian ke arah gue. Sebelum kabur gue sempat berpikir dan heran kenapa di acara undangan pernikahan Dokter Meyda banyak remaja cewek, harusnya kan yang ada di sini itu orang-orang dewasa yang udah punya pacar atau udah kawin dan punya anak. Eh, tapi gue juga belum punya pacar, apalagi kawin. Ya pokoknya itulah, di acara kawinan nggak boleh ada anak kecil yang masih ingusan. Mendadak gue tersadar dan tersentak kaget saat teringat dengan Nilam dan Vita ada di acara resepsi pernikahan Dokter Meyda dan Bang Jusuf ini. Waduh, mungkin si Nilam juga ngundang teman-temannya nih.
“Waduh! Kayaknya gue harus cepet kabur nih.” Ucap gue panik.
Sigap gue berlari mencari tempat sembunyi di antara kerumunan tamu undangan di taman yang luas ini. Hingga akhirnya gue menemukan tempat yang bagus untuk bersembunyi di paling belakang dari taman ini, di belakang pasangan suami istri yang mempunya satu anak balita. Ternyata remaja cewek temen-temennya si Nilam sama Vita masih mencari gue. Membuat gue yang semakin panik sigap membelakangi pasangan suami istri di belakang gue.
Gue kembali tersentak kaget saat ada yang menepuk pundak gue dari belakang, tapi nggak bersuara. Perlahan gue menoleh, melihat seseorang di belakang gue yang ternyata pasangan suami istri yang punya satu anak eh balita cewek tersenyum. Sejenak gue nyengir, soalnya gue nggak mengenal mereka.
“Mas Deni ya?” Tanya laki-laki berkulit coklat dengan kumis tipis dan tanpa jenggot.
“Ssstt.” Gue memberi kode untuk memelankan suara. Sejenak laki-laki dan istrinya mengangguk-angguk pelan sambil sesekali melirik sana dan sini.
“Mas Deni masih inget saya Mas?” Tanya laki-laki itu pelan tapi terdengar.
Belum gue menjawab laki-laki itu bilang “Saya yang pernah malak Mas Deni buat nganter istri saya yang mau melahirkan.”
“Malak? Melahirkan? Ehmm...” Gue nggak ingat kapan gue pernah dipalak, dan persaaan gue nggak pernah dipalak deh.
Sementara gue masih berpikir tentang hubungan malak dan melahirkan, laki-laki berbadan besar di hadapan gue melanjutkan cerita dengan suara yang lebih keras “Aduh Mas, pasti Mas Deni lupa, tapi nggak apa-apa. Yang penting terima kasih...sekali, Mas Deni udah mau nganter istri saya ke rumah sakit dari pos ronda pakai scoopy, sementara saya nggak bisa berbuat banyak dengan sepedah gowes punya saya.”
“Ahmm...” Gue bingung mau ngomong apa sembari mata gue waspada sama kejaran cewek-cewek remaja teman si Vita sama Nilam.
Tanpa gue duga laki-laki di depan gue memegang pundak gue dengan tangan kanan, trus badan gue dipelintir membelakanginya. Sigap tangan kiri laki-laki itu keras menepuk punggung gue. Hingga membuat gue kaget banget dan kesakitan sambil mengaduh dan nyengir. Sat itulah mendadak gue cepat naik darah nih, apa masuknya menganiaya gue kayak gitu! Gue cepat balik badan dan tegas menatap laki-laki yang badannya lebih besar dan lebih tinggi dari gue, trus bilang tegas “Mas, jang...”
“Maaf Mas, saya terlalu keras ya? Saya cuma nyopot ini dari punggung Mas Deni, dan saya harus cepat sebelum Mas Deni jadi bahan ketawaan undangan di sini.” Katanya seraya menunjukkan kertas bertulis nama gue “Deni Sumantri.”
“Huu uu pasti nih kerjaannya si Vita!” Gue marah dalam hati.
“Mas bisa gendong anak saya sebentar? Saya mau anak saya foto sama Mas Deni, biar jodoh.”
Gue nggak menjawab, tapi gue masih marah dan menggerutu sama Vita yang tanpa gue tahu menempelkan kertas bertulis nama gue “Deni Sumantri.” Pantesan aja si Deni kecil tadi tahu nama gue, lengkap lagi, gue kira dia punya feeling bagus seperti Pak Roy dan Pak Anwar, Bokapnya Dokter Meyda.
“Mas Mas tolong gendong anak saya sebentar, mau saya foto buat kenang-kenang.” Kata laki-laki tadi sambil memberikan balita cewek pada dekapan tangan gue. Tanpa sadar gue langsung menggendong dan mendekap erat si balita cewek
Setelah itu laki-laki itu dan istrinya agak menjauh dari gue, lalu mengarahkan moncong kameranya pada gue sama si balita yang belum gue tahu namanya. Kening gue merapat melihat laki-laki itu bersama istrinya senyum-senyum sambil memoto gue dan anaknya yang masih balita ini, memikirkan perkataan laki-laki tadi “Yang pernah malak? Melahirkan?”
Ah! Nggak salah lagi! Gue ingat sekarang, kejadian yang membuat gue panik banget dan hampir gue dianiaya tanpa sadar sama perempuan hamil. Hmm saat itu sepulang mengantar naskah novel dari Penerbit gue pernah dipalak sama laki-laki berbadan besar yang berkumis dan berjenggot tebal, untuk mengantar istrinya yang udah mau melahirkan pakai scoopy hitam manis. Laki-laki itu badannya sama kayak laki-laki yang gue lihat ini dan kulitnya juga, tapi...brewoknya ke mana ya? trus.....kumisnya jadi tipis lagi. Ehmm...istrinya yang dulu gendut, kok sekarang jadi kurus ya? Dan...balita yang gue gendong ini...pasti bayi yang dulu senyum-senyum sama gue...setelah beberapa jam baru lahir.
“Meida lihat Papa sini....sekarang senyum...” Kata laki-laki itu pada balita yang gue gendong. Mendadak kaget gue membatu tiba-tiba tanpa tersenyum. Ternyata nama balita ini sama dengan orang yang gue cinta eh pernah gue cinta, Dokter Meyda eh Meyda aja nggak pakai Dokter.
“Meida senyum dong, lihat Papa sayang...” Sahut istrinya.
Ternyata si balita cewek yang dipanggil Meida ini tetap nggak mau senyum, malah menangis keras. Spontan gue yang panik sigap mengarahkan wajah Meida kecil pada wajah gue, trus gue mencoba tersenyum dan bilang “Cup cup cup...Meida cantik jangan nangis ya...ini Om Deni...”
Eh! Tanpa diduga Meida kecil berhenti menangis, trus malah tersenyum pada gue. Membuat guet kaget, bingung dan seneng karena ternyata gue berbakat juga menghibur balita supaya nggak menangis, atau...apa mungkin....
“Mas Deni, Meida lihat sini.” Kata laki-laki tadi, trus menjepretkan kameranya pada kita berdua, berkali-kali.
“Waaah bagus Mas fotonya, Meida juga senyum-senyum terus semenjak tahu digendong Mas Deni. Jangan-jangan jodoh Mas Deni” Ucap istrinya.
“Iya Mas, jodoh ini...” Sahut laki-laki di samping istrinya sambil tersenyum melihat foto. Sementara gue cuma nyengir sambil sesekali menatap si Meida kecil di gendongan gue.
Setelah itu laki-laki bernama Sanji dan istrinya Maryati cerita kalo mereka memberi nama anak pertama dengan “Meida.” Itu karena mereka kagum sama sosok Dokter Meyda yang menjadi Dokter langganan kalau mereka sakit. Karena seringnya berobat sama Dokter Meyda sampai-sampai Dokter Meyda hapal dan akhirnya kenal baik dengan mereka. Hingga akhirnya mereka mendapat undangan pernikahan Dokter Meyda.
Hmm mungkin Allah ingin menunjukkan pada gue kalo gue harus sembunyi dari kejaran teman-teman si Vita dan Nilam dengan cara menyamar menjadi Bapak-Bapak sambil menggendong si Meida kecil. Herannya si Meida kecil malah nggak menangis, padahalkan anak kecil itu paling rewel dan nggak nyaman kalo digendong sama orang yang baru dilihat. Masya Allah...semoga aja Meida kecil bukan jodoh gue seperti kata Mas Sanji dan Mbak Maryati. Bisa lumutan gue kalo berjodoh sama si Meida kecil, astaghfirullah haladziim. Nggak lama kemudian malah berdatangan Ibu-Ibu ke dekat gue sama Meida kecil. Selisik punya selisik alias setelah gue cari tahu ternyata mereka gemes sama Meida kecil yang gue gendong, dan mereka mengira gue Bokapnya Meida kecil.
Hari ini ternyata gue baru mengerti Simbiosis Mutualisme yang gue tulis udah banyak menyihir orang-orang, jadinya mereka sibuk mencari dan mengejar gue. Dan kebaikan yang gue lakukan saat mengantar seorang Ibu yang mau melahirkan ternyata membawa pertolongan juga bagi gue. Hati gue semakin yakin kalo Allah selalu ada di antara orang yang selalu berbuat baik, baik terpaksa atau enggak, ikhlas atau enggak. Itu semua menunjukkan kalo Allah benar-benar Maha Pemberi Balasan yang paling Baik pada hamba-Nya, dan sesungguhnya hisab Allah sangat cepat.
Karena itu Allah menjamin perbuatan-perbuatan yang saling menguntungkan dalam kehidupan hamba-Nya dengan balasan kebaikan alias hubungan yang saling memberi manfaat untuk sesama. Subhanallah...sepertinya yang harus terus diperjuangkan dan dijaga di kehidupan ini adalah masih Simbiosis Mutualisme deh, supaya kita selalu mendapat keberkahan dari Allah, amiiin.
TAMAT