Read More >>"> simbiosis Mutualisme seri 2 (Setengah Nafas) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - simbiosis Mutualisme seri 2
MENU
About Us  

Pagi ini gue masih di dalam kamar. Nggak seperti biasanya hari ini gue merasa badan gue berat bangun dari kasur, bahkan sejak abis pulang dari masjid subuh tadi tiba-tiba aja badan gue nggak enak. Bahkan tadi setelah sholat subuh gue nggak membaca Quran seperti bisanya, tapi langsung berbaring lagi di kasur. Masya Allah..., mata gue kok jadi ikut-ikutan berat gini sih! Dan gue kok merasa kalo badan gue agak merinding ya? Apa jangan-jangan sekarang gue udah peka sama makhluk nggak tampak alias makhluk halus? Sejenak gue pegang kening gue sama tangan kanan. Ternyata lebih hangat dari biasanya, trus tangan gue mendekap dada kiri, merasakan detak jantung gue yang pelan banget. Mendadak juga kedua mata gue semakin berat, hingga akhirnya gue ketiduran.

“Deni, badan kamu kok anget.” Suara Nyokap agak keras.

Hingga gue tersentak kaget sambil membuka kedua mata, melihat Nyokap duduk di samping kasur. Setelah itu mendadak gue lemas duduk di kasur, trus mengucek kedua mata dan menguap. Dengan lemas juga gue tanya Nyokap “Ibu, kapan pulang? Atau Deni lagi ngimpi ya?”

Eh malah Nyokap cuma tersenyum, nggak membalas. Sepertinya gue setengah sadar nih, bahkan kedua mata gue sedikit terpejam dan bilang “Tapi...kalo ngimpikan seseorang kan sama yang dikangenin..., tapi...Deni kan nggak kangen sama Ibu, kenapa mimpi Ibu ya?”

Setelah itu terdengar hembusan nafas yang berat, trus Nyokap bilang “Nanti kamu pasti bakal kangen sama Ibu.”

Kedua mata gue cepat terbuka, melihat wajah Nyokap dengan teliti. Trus kening gue merapat dan hati gue berbisik “Gue pikir gue lagi mimpi, eh ternyata Nyokap beneran udah pulang. Hmm itu artinya si Vita juga udah pulang dong, kok cepet pulang sih? Kan liburannya masih seminggu lagi.

“Tadi Ibu panggil-panggil kamu, tapi kamu nggak jawab. Jadinya Ibu masuk ke kamarmu, eh kamu sedang tidur. Tadi Ibu juga pegang kening kamu, agak anget. Kamu sakit?”

Gue nggak tahu kenapa hari ini mata gue sepertinya berat banget, nggak kayak biasanya, astaghfirullah haladziim. Dengan lemas gue menguap lagi, trus tanpa menjawab gue menggelengkan kepala.

“Deni, kamu sakit?” Nyokap mengulang sambil memegang kening gue lagi. Trus Nyokap bilang lagi “Kok badan kamu anget? Pasti kamu kecapean, nggak teratur tidur dan nggak teratur makan.”

Menadak gue kembali menguap, trus lemas gue bilang “Deni ngantuk banget Bu, Deni tidur lagi ya?”

“Ini udah asyar kamu pasti belum sholat, sekarang sholat dulu.”

“Asyar? Astaghfirullah haladziim...Deni juga belum sholat dhuhur.” Gue kaget.

Sejenak Nyokap menatap lebih tegas pada gue. Sambil nyengir gue bilang “Ketiduran...”

Setelah itu gue cepat pergi ke kamar mandi dan berwudhu, trus gue menjamak sholat dhuhur di waktu asyar, abis itu baru gue sholat asyar. Supaya nggak tambah lemas dan males gue cepat mandi, tapi ternyata selesai mandi kedua mata gue masih nggak mau terbuka lebih lebar. Gue mencoba tersenyum dan membuka kedua mata lebar-lebar, tapi setelah itu wajah gue kembali lemas.

Lemas gue menghela nafas, trus bilang pelan “Kayaknya lebih baik kalo gue tidur lagi.”

Setelah itu gue berjalan lemas ke kasur dan menjatuhkan tubuh gue di kasur. Nggak lama kemudian kedua mata gue pun terpejam.

Sambil menggoyangkan badan Nyokap bilang agak tegas “Deni, ayo bangun. Ini udah mau maghrib, nggak boleh tidur maghrib-maghrib. Ayo ke masjid sama Bapak, sama Mang Encep biar setannya pergi.” Kata Nyokap agak tegas sambil menggoyangkan badan gue.

Di ujung perkataan Nyokap gue kaget dan cepat bangkit duduk di kasur, trus tanya “Jadi dari tadi Deni lemes dan males itu di ganggu setan Bu?”

Sejenak Nyokap tertegun sambil menatap gue, trus bilang “Mmm bisa jadi.”

“Kalo gitu Deni harus ke masjid, biar setannya pergi jauh-jauh dari Deni.” Di ujung perkataan gue melangkah pergi ke kamar mandi dan berwudhu.

Azan maghrib pun berkumandang saat Bokap, gue dan Mang Encep pergi ke masjid. Di waktu petang ini kita bertiga jalan kayak kereta api. Bokap sebagai lokomotif tenang berjalan di depan sambil senyum-senyum mendengarkan azan, trus diikuti gue berjalan agak jauhan di belakang Bokap soalnya badan gue masih terasa lemas dan akhirnya tertinggal terus dari langkah Bokap, sedangkan Mang Encep yang sebenarnya bisa lebih cepat berjalan daripada gue nggak mau menyalip gue, jadi tetap berjalan di belakang gue.

“Kak Deni, yang niat dong kalo mau ke masjid! Masak lemes kayak gitu.” Suara seseorang keras dari samping kanan.

Pelan gue menoleh, ternyata si Vita berjalan di sebelah Nila, mau ke masjid juga. Setelah itu mereka berjalan lebih dulu. Tumben si Vita ke masjid, biasanya sholat di rumah. Sedikit kaget gue menoleh, mencari Dokter Meyda tapi ternyata Dokter Meyda nggak ada.

“Biasanya kalo ada Nilam pasti ada Dokter Meyda, eh kebalik kalo ada Dokter Meyda ada Nilam. Mana ya Dokter Meyda?” Di ujung pertanyaan gue menoleh ke belakang dan memandang lama jalan di belakang gue, tapi ternyata gue nggak menemukan Dokter Meyda. Mungkin hari ini Dokter Meyda lagi berhalangan ke masjid. Dengan berat gue menghela nafas, trus balik badan dan kembali jalan ke masjid dengan lemas.

Sejurus waktu sholat berjamaah maghrib di masjid kompleks selesai. Menyusul kemudian semua jamaah berhamburan keluar masjid dan bertebaran di jalan-jalan. Dan ternyata malam ini Dokter Meyda nggak sholat ke masjid, gue jadi sedih dan tambah lemas berjalan di belakang Bokap. Sedangkan si Vita sama Nilam ternyata lebih males dari gue, soalnya mereka berjalan lebih pelan dari gue sambil ngobrol.

Akhirnya gue melihat rumah gue eh rumah Bokap, tapi gue berhenti melangkah di depan pintu pagar, sementara pandangan gue yang lemas memandang jalan di depan gue. Tiba-tiba gue kaget dan hampir jatuh ke depan saat si Vita menabrak gue.

“Aduuuh Kak Deni ngapain sih di tengah jalan, badan Vita kan jadi sakit nabrak Kak Deni.” Suara si Vita keras sambil sedikit melotot.

“Eeeeh yang nabrak siapa....yang ditabrak siapa....huu uu.” Di ujung perkataan gue kesel sambil menepuk-nepuk lengan gue yang ditabrak si Vita.

“Pokoknya Kak Deni yang salah!” Kata Vita keras.

Gue nggak membalas, tapi mengalihkan pandangan gue. Soalnya lama-lama gue bisa kebawa emosi nih kayak si Vita, huu uu nggak mau ngalah eh enggak mau mengaku salah padalah udah tahu dia yang salah. Pandangan gue pun berhenti pada Nilam yang ternyata masih berdiri di dekat gue. Nilam yang masih tersenyum bilang “Vita, Kak Deni. Nilam pulang dulu ya.”

“Oke Nilam, besok kita ke masjid lagi ya?”

“Yup, besok kujemput lagi ya...dadaaa asalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Jawab Vita sama gue serentak, tapi Vita langsung menyahut lagi “Dadaaa Nilaaam.”

Setelah itu Vita masuk ke dalam rumah dengan riang, nggak kayak biasanya. Hmm jangan-jangan...ada udang di balik batu nih. Sejenak gue menghembuskan nafas dan sejenak juga gue menoleh ke kanan, melihat Nilam yang udah belok di tikungan.

“Cepet banget Nilam jalannya, nggak jadi deh gue tanya Nilam soal Dokter Meyda.” Ucap gue pelan.

“Deni! Cepat masuk, kenapa sih diam di situ! Merusak acara aja, ayo cepat.” Suara Bokap keras dari depan pintu rumah.

“Oh, iya-iya Pak.” Gue cepat masuk ke dalam rumah. Kemudian sedikit terengah-engah gue duduk di depan meja makan, tapi pandangan Bokap, Nyokap sama Vita malah masih lengket di gue. Membuat kening gue merapat, tanda gue heran kenapa semua melihat gue.

“Kenapa sih lihat Deni terus? Kan Deni udah duduk, udah siap ikut makan malam, tinggal Bapak aja yang mimpin doa.”

Dengan wajah datar Bokap, Nyokap sama Vita nggak menjawab. Sejenak Bokap melihat jam tangan, terus bilang tegas “Bapak kasih waktu 1 menit untuk ganti baju, dari sekarang.”

Gue kaget banget, gue lupa belum ganti baju, astaghfirullah haladziim. Sigap gue bangkit, trus naik tangga ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar gue cepat melepas sarung dan baju koko, terkahir gue pakai celana pendek selutut dan kaos oblong. Sebelum keluar kamar gue sempetkan ngaca sebentar, merapikan rambut yang masih seuprit.

“5, 4...” Suara Bokap keras dari lantai satu.

Gue cepat turun ke lantai satu dengan setengah nafas. Akhirnya gue duduk di depan meja makan tepat pada hitungan ke 1. Masya Allah...tiba-tiba gue merasakan sakit di dada sebelah kiri. Dengan nafas tersengal dan sedikit nyengir gue memegang dada kiri, sementara nafas gue masih tersengal.

“Deni, kenapa?” Tanya Nyokap dan Bokap agak keras. Menyusul si Vita “Kak Deni, jangan pingsan dulu.”

“Deni, maafkan Bapak. Sekarang kita ke rumah sakit.” Kata Bokap sambil memegang bahu gue dari sebelah kiri.

“Ibu setuju, Deni kamu harus cepat ke rumah sakit.” Suara Ibu panik sembari memegang tangan gue dari sebelah kanan.

Pelan gue mencoba menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-paru gue yang agak kosong sama udara segar. Setelah itu gue menghembuskan nafas perlahan, trus pelan gue bilang “Deni, udah nggak sakit kok Bu, Pak. Tadi capek aja lari-lari.”

Kening Bokap cepat merapat, trus melihat gue dari dekat, bahkan sangat dekat. Setelah itu Bokap membuka kelopak mata gue lebar-lebar, memeriksa bola mata gue, membuka mulut gue, terakhir meraba-raba wajah gue dan memegang denyut nadi di tangan gue.

Akhirnya Bokap membuang nafas yang sempat tertahan, trus mengangguk-angguk pelan sambil menatap gue dan bilang “Syukurlah, Bapak yakin sekarang kamu sehat.”

“Pak apa nggak sebaiknya kita ke Dokter dulu, biar diperiksa Pak.” Kata Ibu cepat.

“Nggak perlu Bu, Bapak yakin Deni nggak apa-apa.” Kata Bokap, trus duduk di kursi. Sejenak Nyokap memandang gue dengan mata berkaca-kaca, trus mengusap bahu gue. Membuat gue terharu dan sedih, ternyata keluarga gue khawatir banget sama gue, termasuk si Vita yang selalu resek.

Setelah Nyokap kembali duduk, Bokap memimpin doa sebelum makan. Setelah itu seperti biasa Nyokap selalu mengambilkan nasi, trus diguyur sayur soto, irisan daging dan irisan kentang goreng untuk Bokap. Sejenak gue melirik si Vita sebelum mengambil cukil nasi, kali aja dia mau nyerobot lagi, jadi biar gue mengalah duluan aja. Ternyata si Vita juga melirik gue dan nggak buru-buru mengambil cukil nasi. Hmm kalo dilihat dari isyarat sorot matanya, sepertinya si Vita memberi kode juga supaya gue mengambil nasi duluan.

Terdengar hembusan nafas Nyokap yang berat, trus bilang “Kalian...”

“Tenang Bu, Vita ambil nasinya sekarang.” Vita memotong sambil mengambil cukil nasi, trus mengambil nasi.

Sejenak Vita memandang gue, trus mengambil piring di depan gue dan meletakkan piring dengan nasi putih di depan gue. Membuat gue heran nih sama sikap si Vita, atau...jangan-jangan si Vita udah berubah dikit jadi agak baik sama Kakaknya.

“Terima kasih, Adik Kakak yang hari ini baiiik banget.” Ucap gue sambil tersenyum. Nyokap dan Bokap pun ikut tersenyum, tapi si Vita masih aja menunjukkan wajah juteknya.

Akhirnya malam ini menjadi malam kesekian kalinya kami berempat makan malam. Walaupun wajah Adik gue kelihatan jutek, tapi gue yakin hatinya nggak jutek. Bokap sama Nyokap juga walaupun kelihatan tegas dan suka cerewet, tapi ternyata mereka itu tegas dan cerewet karena peduli sama gue. Buktinya tiap tahu gue kesakitan, Bokap sama Nyokap selalu khawatir dan bilang “Kita ke rumah sakit”, walaupun gue cuma sakit perut atau sakit pinggang sama...pokoknya sakit yang ringanlah.

Hmm kayaknya...malam ini kesempatan yang baik kalo gue bilang ke Bokap, Nyokap sama Vita kalo gue suka sama Dokter Meyda dan gue pingin melamar Dokter Meyda. Mmm walaupun gue belum jadi Penulis dan naskah novel gue belum terbit, tapi gue udah mengajar les anak SMP walaupun cuma beberapa anak, jadi gue udah punya pekerjaan sekarang.

Sebelum bicara pelan gue menghembuskan nafas, trus minum air dulu. Abis itu gue memperbaiki sikap duduk gue dan memandang Bokap sama Nyokap.

“Mmm...Deni ehmm...” Gue nggak melanjutkan, soalnya mendadak gue jadi gugup nih seperti mau ujian sekolah aja, padahal gue cuma mau bilang kalo gue suka Dokter Meyda dan mau melamar Dokter Meyda.

“Apa Deni? Kamu sakit lagi? Trus mau ke rumah sakit?” Tanya Nyokap.

“Ehmm...Deni nggak sakit Bu.”

“Trus mau bilang apa?”

“Deni...Martabak Pelangi Una? “Di ujung perkataan gue membaca tulisan Martabak Pelangi Una “teloR speciaL” di kardus di meja makan.

“Kamu mau martabak telor? Tadi Bapakmu bawa waktu pulang kantor.”  Kata Nyokap. Gue nggak membalas, tapi jadi tambah deg-degan. Sementara Bokap cuma tersenyum sambil manggut-manggut dan mengunyah makanan.

“Pasti Kak Deni mau tanya martabak kejunya ke mana?” Sahut Vita sambil melirik gue.

Setelah menelan makanan Bokap bilang “Tadi belinya ngantri, lama. Jadi Bapak cuma sempat beli martabak telor.”

“Ya udah nanti Bapak beli lagi martabak keju sama kacang abis sholat isya, ya kan Pak?” Di ujung perkataan Nyokap menoleh pada Bokap.

Lemas gue menghela nafas, hati gue langsung sewot “Kenapa jadi malah ngomongin martabak sih? Haaa gue kan yang mau ngomong dan bukan ngomongin martabak.”

“Bapak kan capek Bu. Ehmm ah Deni aja yang beli martabak nanti, kan Deni nggak jadi sakit, alhamdulillah nggak jadi sakit, itu maksudnya.” Di ujung perkataan Bokap tersenyum pada Nyokap.

Waduh kok jadi beli martabak nih topiknya, gue harus cepet ngomong nih! Ganti topik sebelum keburu azan isya dan akhirnya nggak sempat lagi mengutarakan niat baik gue.

“Pak, Bu. Deni mau ngomong.” Suara gue tegas sembari memandang Bokap sama Nyokap. Serentak Nyokap dan Bokap berhenti melahap makanan dan memandang gue dengan seksama. Tapi saat itu juga mendadak gue bengong, bingung harus mulai ngomong dari mana.

“Deni...” Suara Bokap agak tegas.

“Deni suka Dokter Meyda Pak, Bu dan Deni mau melamar Dokter Meyda.” Gue tegas memotong perkataan Bokap. Abis itu gue rasakan jantung ini semakin cepat berdetak dan kayaknya keringat di kening gue mulai berjatuhan. Rasanya gugup banget, padahal cuma bilang tentang masa depan gue.

Sejenak Bokap menghela nafas, trus menenggak air di gelas dan melanjutkan melahap makanan. Nyokap juga ikut-ikutan menghela nafas, trus minum air dan melahap makanan lagi. Sedangkan Vita langsung merapatkan kening sembari tegas memandang gue. Setelah itu barulah si Vita ikut melanjutkan makan malam. Hingga suasana di ruang makan ini kembali hening saat semua orang di meja makan ini kembali makan dengan santai, cuma gue yang masih heran dan mendadak bengong melihat sikap Nyokap, Bokap sama Vita. Gue kan tadi ngomong serius! Kenapa nggak ditanggapi serius juga, seperti tadi ngomongin martabak. Huu uu...jadi kesel.

 

                                                                                            ***

Akhirnya sepulang sholat isya Nyokap beneran memberi gue tugas. Dengan lemas gue menerima perintah dari Nyokap, membeli martabak keju sama kacang. Dengan lemas juga gue turun tangga sambil memakai jaket, trus mengambil kunci scoopy di samping kulkas. Setelah itu gue balik badan bersamaan Nyokap berjalan ke arah kulkas. Langkah gue terhenti saat Nyokap bilang “Deni, kenapa nggak ganti baju? Ini kan kaos tadi sore. Lagian tadi waktu makan malam kaos kamu bukan yang ini deh.”

Sejenak gue melihat kaos oblong yang gue pakai, trus kening gue merapat dan bilang pelan “Iya ya, kenapa Deni pakai lagi kaos ini?”

“Udah cepat ganti dulu, masak mau beli martabak pakai kaos bau. Nanti nggak dapat martabak, tapi dapat omelan.”  Kata Nyokap tegas.

Sejenak gue tertegun, trus bilang “Iya Bu, Deni ganti sama kaos baru dan pakai parfum biar wangi.” Setelah itu gue tergesa naik tangga.

“Deni pakai kemeja aja...jangan kaos lagi, nanti kemejanya jamuran soalnya nggak pernah kamu pakai.” Suara Ibu keras.

Mendadak gue berhenti melangkah di depan tangga di lantai dua, kening gue merapat lagi dan bilang “Waduh, jamuran? Apa iya baju bisa jamuran? Kayak roti aja.”

“Deni cepat...nanti keburu malam, dan angin semakin dingin.” Kata Nyokap keras.

Setelah mengganti baju dengan kemeja dan celana panjang gue turun ke lantai satu. Sebelum keluar rumah seperti biasa Nyokap selalu mengingatkan untuk memakai jaket, helem dan membawa handphone. Akhirnya scoopy hitam manis yang malam ini kelihatan lebih hitam dan manis melaju pelan meninggalkan rumah Bokap gue, trus melaju di jalanan kompleks. Mendadak gue jadi kepikiran Dokter Meyda, soalnya udah beberapa hari ini gue nggak ketemu sama Dokter Meyda. Akhirnya mendadak scoopy ini berhenti sebelum belokan ke arah pintu gerbang kompleks.

“Apa...gue balik lagi aja, trus gue lewat rumah 11 K.”

Akhirnya scoopy melaju lagi pelan dan mau putar balik, tapi nggak jadi karena sedan hitam mendadak berhenti di samping kanan gue. Nggak lama abis itu kaca samping bagian depan terbuka, ternyata Nilam di dalam mobil.

“Kak Deni mau ke mana?”

“Ehhmm...mau...”

Setelah itu Nilam lebih agak melongok keluar jendela, trus bilang pelan “Kak Deni, cepat ke rumah Dokter Meyda! Malam ini Dokter Meyda mau dilamar.”

Mendadak gue kaget banget mendengar “Dokter Meyda mau dilamar malam ini”, hingga kedua mata gue terbuka dan gue syok banget. Aduh harus gimana nih!

“Trus Kak Deni harus gimana?” Tanya gue cepat dengan wajah tegang.

“Kalo Kak Deni beneran suka sama Dokter Meyda sekarang cepat ke rumah Dokter Meyda sebelum keduluan sama yang lain.”

“Sekarang?”

“Iya...” Jawab Nilam geregetan.

“Nilam udah selesai? Kita pergi sekarang, nanti toko bunganya keburu tutup.” Kata perempuan berkerudung di depan kemudi. Kemudian Nilam menoleh pada perempuan di sampingnya di depan kemudi, yang sepertinya gue pernah lihat nih.

“Oh iya Kak Indah.”

“Kak Deni, Nilam pergi dulu mau beli bunga.”

Setelah itu sedan hitam melaju keluar dari...ternyata gue ada di dekat pos jaga di gerbang kompleks. Masya Allah...gue harus cepat pergi nih sebelum si Beki menggonggong dan mengejar gue lagi. Sigap tangan kanan gue memutar gas, tapi tiba-tiba tangan kiri gue menarik rem tangan. Mendadak gue bingung, gue harus ke mana nih! Beli martabak atau ke rumah Dokter Meyda eh pulang ke rumah dulu, trus memaksa Nyokap sama Bokap ikut melamar ke rumah Dokter Meyda.

Mendadak gue tambah kaget saat mendengar gonggongan si Beki, hingga membuat gue reflek memutar gas, melaju keluar gerbang kompleks. 

Astaghfirullah haladziim...kenapa gue ke sini sih? Harusnya gue pulang, trus bilang Nyokap sama Bokap dan maksa mereka ikut ke rumah Dokter Meyda buat melamar.” Gue lemas dan di ujung perkataan mata gue mulai berair, soalnya gue takut telat lagi kayak dulu.

Mau nggak mau nih, gue harus tetap berjalan eh memacu scoopy di jalan ini. Hingga membuat kedua mata gue semakin tegas melihat jalan di depan gue. Tegas gue bilang “Kalo gitu gue harus cepat menjalankan perintah Nyokap beli martabak, biar Allah ridho sama perjuangan gue mau melamar Dokter Meyda malam ini.”

Scoopy hitam pun semakin liar di jalan raya, tapi tetap nggak seliar motor-motor dan mobil yang bertebaran di jalan ini. Akhirnya scoopy hitam belok dan berhenti mendadak di tempat parkir kios Martabak, trus gue cepat mengunci scoopy dan turun tergesa. Gue mempercepat langkah menuju pintu masuk kios Martabak Pelangi Una, sampai-sampai hampir aja gue menubruk seorang cewek berkerudung yang juga mau masuk ke dalam kios.

Setelah minta maaf tanpa memperhatikan wajahnya, gue langsung pergi ke meja pesanan. Gue juga langsung bilang kalo gue mau beli martabak klasik max alias martabak manis toping kacang sama keju, tapi ternyata martabak klasik sudah habis diborong sama orang-orang sejak tadi sore. Akhirnya gue memasan martabak modern fruit tipe mid+ daripada pulang nggak bawa martabak dan kalo gue mencari tukang martabak lain, gue takut nggak keburu ke rumah Dokter Meyda.

Di depan meja pesanan gue menunggu dengan gelisah, tegang dan... pokoknya campur aduk isi hati sama kepala gue, soalnya gue memikirkan Dokter Meyda yang mau dilamar malam ini seperti kata Nilam. Hingga tanpa sadar jari-jari gue bergerak di atas meja, sementara kedua mata gue nggak lepas dari martabak yang sedang diolah sama Kokinya, yang ternyata...Kokinya cewek berkerudung. Wah keren banget kayaknya, cewek membuat martabak dan rasanya juga enak banget.

Nggak lama kemudian sang Koki cewek yang membuat martabak tadi membawa martabak yang sudah matang ke hadapan gue. Sebelum membungkus martabak dia tanya “Mas, martabaknya mau dipotong-potong atau mau utuh seperti ini?”

“Oh ehmm terserah aja deh, pokoknya yang paling cepet dan rapi.” Jawab gue panik.

“Kalo gitu martabak buah ini biar dibungkus utuh aja, biar rapi dan cepat dibawa pulang.” Kata cewek berkerudung sambil tersenyum.

Tanpa menjawab gue manggut-manggut tegas dengan kening merapat. Sementara Koki cewek di hadapan gue langsung meletakkan martabak modern fruit tipe mid+ di atas kardus besar, tapi nggak tinggi. Tiba-tiba si Mas yang gue hapal wajahnya, tapi nggak gue tahu namanya mendatangi Koki cewek, trus sambil tersenyum bilang “Mbak Una, biar saya saja yang bungkus. Masak Bos martabak jadi Koki sampai bungkus martabak.”

“Nggak apa-apa Ben, Bos martabak kan sama juga sama tukang martabak. Lagian saya udah biasa kok.” Kata cewek berkerudung yang ternyata pemilik Martabak Pelangi Una.

“Mbak apa bisa lebih cepat? Saya harus pergi melamar seseorang malam ini.” Kata gue cepat.

Mendadak sang Koki cewek dan Mas Manajer menatap gue. Serentak mereka bilang “Jadi Mas....”

“Deni.” Gue memotong tegas.

“Eh iya, jadi Mas Deni mau melamar pakai martabak buah ini?” Tanya Mbak Una kaget.

“Ehmm...”

“Wah keren Mas, baru kali ini ada orang mau melamar pacarnya pakai Martabak Pelangi Una.” Sahut Mas Manager yang dipangill Ben, sambil tersenyum lebar. Gue nggak membalas, tapi merogoh handphone dan melihat jam di layar handhphone. Waduh kayaknya gue udah terlalu lama di sini.

“Cepet Mbak dibungkus, nanti saya telat.” Ucap gue agak keras.

“Baik Mas.” Kata cewek berkerudung sambil tangannya bergerak membungkus martabak, trus dia bilang lagi sama Managernya “Ben, kita sponsori aja lamaran Mas Deni ini. Martabak gratis, trus kamu antar pakai mobil ke tempat acara melamar.”

“Baik Mbak Una.” Kata Mas Manajer tegas.

“Eh, nggak usah Mbak. Saya bawa scoopy, yang penting martabaknya rapi dan cepat.”

“Ben, kita tetap sponsori dan kamu ikut Mas Deni bawakan martabaknya biar tetap rapi.”

“Siap Bu.”

Nggak lama kemudian Mbak Una menyerahkan martabak pada si Mas Manajer, trus si Mas Manajer bergerak keluar kios ini lebih cepat dari gue. Sementara gue malah mendadak bengong, soalnya tiba-tiba aja gue bingung nih harus ngapain.

“Mas cepat berangkat.” Kata Mbak Una.

“Oh ehmm...”

“Martabaknya gratis, spesial buat acara lamaran Mas Deni.” Potong Mbak Una.

“Ayo Mas Deni nanti keburu telat.” Suara Mas Manager keras dari depan pintu.

“Oh iya.” Gue cepat keluar kios ini dan langsung menuju parkiran.

Setelah menghidupkan scoopy, gue cepat putar balik dan si Mas Manager langsung sigap duduk di belakang gue sambil hati-hati membawa martabak. Setelah itu sigap gue memutar gas scoopy, hingga melaju di jalan raya yang semakin ramai sama kerlipan lampu.

Akhirnya gue melihat pintu gerbang kompleks gue, scoopy hitam ini pun semakin cepat gue pacu. Hingga hampir menabrak si Beki yang lagi jaga, tapi untungnya kali ini Pak Satpam sigap menarik tali si Beki. Sedikit menoleh gue bilang dengan keras “Maaf Pak, lagi darurat...:

Terlihat Pak Satpam cuma mengelus dada mungkin karena masih kaget, cuma si Beki yang membalas dengan gonggongan yang bertambah keras. Sementara gue masih melaju dengan scoopy hitam dan pastinya Mas Manager Martabak Pelangi Una. Akhirnya gue belok ke blok K, sesaat kemudian scoopy hitam ini berhenti tepat di depan rumah 11 K. Nggak lama kemudian dua mobil dari arah berlawanan ikut berhenti di depan dan di belakang gue. Dengan nafas terengah sejenak gue merapatkan tangan kiri ke dada kiri, merasakan jantung gue yang masih keras berdetak dan nggak beraturan. Sementara si Mas Manajer ternyata udah turun walaupun gue belum bilang rumahnya yang mana, tapi...kayaknya Mas Manajer punya feeling yang bagus nih.

“Ayo Mas cepat turun, pasti rumahnya yang ini kan nomor 11 K.” Kata Mas Manajer yang belum melepas helem.

Sedikit nyengir karena merasakan badan gue yang capek banget, gue turun dari scoopy trus mengeluarkan besi di kolong scoopy. Setelah itu gue tegas memandang rumah Dokter Meyda. Sejenak gue menoleh pada si Mas Manajer, ternyata si Mas Manajer juga menatap gue, seolah memberi tanda kalo gue harus masuk sekarang.

“Mas, helemnya jangan lupa dilepas.” Kata Mas Manajer pelan.

“Oh, iya gue lupa.” Ucap gue sambil melepas helem dan memberikan pada Mas Manajer, trus si Mas Manajer memberikan kardus martabak modern fruit ke gue.

Setelah itu gue sama Mas Manajer melangkah, tapi kita berdua berhenti di depan pagar besi rumah 11 K, soalnya ternyata langkah kita berdua bersamaan dengan empat laki-laki yang turun dari dua mobil tadi. Sejenak gue menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat laki-laki yang juga mau masuk rumah 11 K.

“Pak, saya ngantarnya sampai sini ya, tapi saya tunggu Bapak di sini. Kalau masuk semua sepertinya nggak cukup.” Kata seorang laki-laki agak tua pada laki-laki di sampingnya.

“Bos, saya juga ngantar sampai sini aja, kelihatannya Bos nggak sendiri.” Bisik laki-laki di sebelah kiri pada laki-laki di sampingnya.

Tanpa disadari si Mas Manajer sama kedua laki-laki di samping Bos dan Juragannya serentak melangkah mundur, jadi tinggal gue sama dua laki-laki yang sepertinya nih mau melamar Dokter Meyda. Waduh, kalo dilihat dari baju sama wajah kayaknya gue kalah rapi dan ganteng. Mmm tapi...gue yakin nggak kalah...ehmm imut.

“Assalammualaikum...” Ucap kami bertiga serentak keras. Setelah itu sejenak kita bertiga saling menoleh dengan wajah kesal dan kayaknya yang kesal bukan cuma kita bertiga, tapi juga para tetangga rumah 11 K yang mendadak keluar rumah dan melihat kami bertiga eh berenam di depan rumah Dokter Meyda.

“Waalaikumsalam...” Jawab seorang laki-laki agak tua sambil tergesa berjalan dan membuka pintu pagar.

Sejenak laki-laki yang memakai peci hitam melihat kami, trus tanya “Pasti Bapak-Bapak sama Adek ini mau...”

“Melamar Dokter Meyda.” Ucap kita bertiga serentak, trus kita bertiga kaget kok bisa kompakan.

“Pak Dul, kalau ada tamu suruh masuh saja.” Suara laki-laki dari dalam rumah.

“Oh iya Pak Andi.” Kata Pak Dul sambil sedikit menoleh.

Setelah itu akhirnya kita bertiga masuk ke halaman rumah, trus membuka sepatu dan sandal sebelum naik ke teras rumah. Tiba-tiba aja gue grogi banget sampai-sampai keringat dingin keluar dari dahi gue. Sementara dua laki-laki yang bersama gue terlihat senyum-senyum sambil melirik gue, kayaknya sih mereka melihat kegugupan gue. Tapi gue heran deh kenapa mereka berdua nggak segugup gue malam ini.

“Silahkan masuk.” Kata laki-laki berpeci hitam tadi.

Setelah itu laki-laki pertama di sebelah kiri gue masuk lebih dulu. Gue mau mengikuti tapi diserobot duluan sama laki-laki di sebelah kanan gue. Mendadak gue sedikit manyun dan agak kesal, tapi cepat tersenyum lagi soalnya gue nggak mau wajah gue jadi berubah mendadak, karena menahan kesal. Setelah mereka berdua masuk ke dalam rumah gue malah membatu, trus memandang martabak modern fruit yang terbungkus dalam kardus di kedua tangan gue. Saat itulah gue baru sadar dan ingat tugas dari Nyokap.

Astaghfirullah haladziim...gue baru inget, tadi kan gue disuruh Nyokap beli martabak. Harusnya gue pulang dulu nganterin martabaknya. Haduh...gimana nih?” Ucap gue pelan, trus gue lemas.

Tiba-tiba hati gue berbisik tegas “Tadi kan Nyokap pesen martabak keju sama kacang, tapi yang ada martabak buah. Jadi nanti tinggal bilang aja martabak keju sama kacangnya abis, kan elo jadi nggak bohong dan...lagian martabak buah ini gratis.”

Membuat wajah gue langsung tersenyum sesaat setelah mendengar kata hati gue, trus tegas dan pelan gue bilang “Bener juga. Ya udah bismillah ajalah.”

Setelah itu gue masuk ke dalam rumah, trus gue duduk di sofa panjang, tepat di tengah-tengah dua laki-laki yang tadi mendahului masuk. Sejenak kedua mata gue melirik kanan dan kiri, memperhatikan dua laki-laki yang mau melamar Dokter Meyda. Hati gue bertanya “Kok mereka nggak bawa apa-apa ya?”

Nggak lama kemudian seorang laki-laki lebih tua dari kita bertiga dan seorang Ibu yang juga lebih tua keluar dari dalam rumah. Mereka langsung duduk di sofa di hadapan kita bertiga.

Sambil tersenyum laki-laki yang memakai kemeja putih lengan pendek bertanya “Perkenalkan kami berdua orang tua dari Meyda, saya Anwar dan ini istri saya Nun. Mohon maaf sebelumnya, jadi maksud kedatangan anda semua ini untuk melamar Putri saya?”

“Benar Pak.” Jawab kedua laki-laki di samping kanan dan kiri serentak dan tegas.

Karena telat, gue langsung menyusul menjawab dengan sopan, tersenyum dan menganggukkan kepala sejenak “Iya bener Pak, Bu. Saya Deni, mau melamar Dokter Meyda.”

Dua laki-laki di samping kanan dan kiri gue langsung menoleh. Sejenak gue nyengir sambil melirik kanan dan kiri, kayaknya gue membuat mereka kesel deh.

“Saya atas nama pribadi dan mewakili keluarga saya datang untuk melamar Dokter Meyda. Ini memang bukan lamaran resmi, nanti kalau Dokter Meyda sudah setuju saya akan membawa keluarga saya untuk melamar resmi Dokter Meyda.” Kata laki-laki di samping kanan gue dengan sopan.

“Begitu juga dengan saya. Malam ini permulaan saya melamar Dokter Meyda, kalau Dokter Meyda menerima lamaran saya malam ini, besok malam saya datang bersama keluarga saya untuk melamar secara resmi Dokter Meyda.” Kata laki-laki di samping kanan gue dengan sopan.

“Namanya siapa?” Tanya Bokapnya Dokter Meyda.

“Saya Gibran Sadewo Om, pengusaha percetakan dan bongkar muat di pelabuhan.” Kata laki-laki di samping kanan.

“Nama saya Anjar Prasmuja. Saya Dokter bedah, dan teman Meyda waktu kuliah, tapi beda satu angkatan.” Kata laki-laki di samping kiri.

Sejenak si Om alias Bokapnya Dokter Meyda alias Pak Anwar mengangguk-angguk, trus pandangannya bergeser ke gue. Sejenak gue tersentak kaget, soalnya pandangan Bokapnya Dokter Meyda mengingatkan gue pada seseorang, mmm Pak Roy. Masya Allah mirip banget sama tatapan Pak Roy waktu gue wawancara kerja. Waduh gawat nih, kalo ternyata Bokapnya Dokter Meyda juga pakai kata “Feeling” buat melihat yang cocok jadi mantunya.

“Kalau...anda?” Tanya Bokapnya Dokter Meyda.

“Ahmm...saya...tadi kan sudah kenalan Om, nama saya Deni.” Di ujung perkataan gue tersenyum, trus hati gue ikut ngomong “Waduh, ternyata bener nih! Gaya ngomong Bokapnya Dokter Meyda mirip banget sama Pak Roy, masya Allah... berat nih. Astaghfirullah haladziim, semoga aja nggak pakai feeling kali ini ya Allah...”

“Oooh iya-iya Deni, lengkapnya Deni siapa?”

“Deni Sumantri Pak. Ahmm Sumantri itu nama Bapak saya.”

Sejenak Bokapnya Dokter Meyda mengangguk-angguk, trus melihat gue lebih teliti dan gayanya persis sama Pak Roy waktu gue wawancara kerja, yang ternyata ditolak juga. Haaa alamat nih kayaknya bentar lagi Bokapnya Dokter Meyda pasti bilang “Feeling”, dan ujung-ujungnya gue pasti ditolak melamar Dokter Meyda, dengan alasan wajah gue terlalu imut.

“Hmm saya punya feeling buat Nak Deni.” Kata Bokap Dokter Meyda.

Mendengar kata “Feeling” wajah gue kaku mendadak. Sementara hati gue langsung menyahut “Tuh kan apa gue bilang, pasti bilang “ feeling”.”

“Tapi...nanti sajalah saya katakan feeling saya. Sekarang saya...”

Serentak dua laki-laki di samping kanan dan kiri gue mengeluarkan kotak, yang sepertinya kotak cincin, trus meletakkannya di meja. Serentak mereka bilang “Saya sudah siapkan cincin untuk Dokter Meyda Om.”

“Sebagai simbol lamaran saya untuk Dokter Meyda Om dan...” Sahut Gibran cepat sambil tersenyum.

“Bukti kesungguhan saya melamar Dokter Meyda malam ini. Kalau lamaran malam ini diterima besok saya datang bersama keluarga saya untuk lamaran resminya.” Anjar memotong.

“Saya juga Om, tadinya mau bilang seperti itu.” Sahut Gibran, trus di ujung perkataannya melirik Anjar.

“Waduh, kayaknya gue kalah Ya Allah, gue nggak punya cincin. Lagian mau beli pakai apa cincin, duit aja nggak punya. Haaa mungkin gue emang nggak jodoh sama Dokter Meyda.” Ucap hati gue, di ujung perkataan hati gue wajah gue lemes banget.

Dengan berat sejenak gue menghela nafas, trus bilang “Kalau...”

“Pasti martabak.” Bokapnya Dokter Meyda memotong.

Gue sedikit kaget, tapi nggak menjawab. Gue cuma manggut-manggut pelan, trus sejenak memandang martabak yang masih terbungkus dalam kardus. Sebelum gue taruh di meja hati gue bilang “Ya Allah, kalo gue ditolak gue ikhlas. Martabak ini cuma sebagai hadiah silaturahmi sama kedua orangnya Dokter Meyda.”

“Tapi kok Om tahu?” Tanya gue pelan.

“Itu feeling saya yang pertama, soalnya wanginya sampai tercium.”

“Oooh.” Ucap gue sambil manggut-manggut. Setelah itu gue menyodorkan martabak modern fruit di meja.

“Malam ini saya cuma bawa martabak buah dari Martabak Pelangi Una. Silahkan dicicipi, mumpung masih anget.” Ucap gue sambil tersenyum.

“Wah Martabak buah? Dari Martabak Pelangi Una lagi, pasti enak. Meyda sering beli martabak juga ke Martabak Pelangi Una lho, iya kan Pah? Dan martabak buah itu kesukaan Ibu sama Meyda juga. Pak Dul...” Di ujung perkataan Nyokapnya Dokter Meyda menoleh  ke kanan.

Laki-laki berpeci hitam tadi segera menghampiri Nyokap dan Bokapnya Dokter Meyda. Setelah berbisik pelan, Pak Dul tergesa masuk ke dalam. Nggak lama kemudian Pak Dul datang lagi sambil membaca pisau, beberapa piring kecil dan garpu serta tisu di atas nampan. Setelah meletakkan di meja tamu yang lebar, Pak Dul tergesa masuk ke dalam lagi. Beberapa waktu kemudian Pak Dul datang lagi membawa air nggak berwarna alias air mineral di beberapa gelas tinggi.

Setelah kardus martabak dibuka, aroma wangi martabak langsung berkeliaran dan hinggap di setiap hidung di ruangan ini, hmmm...benar-benar menggoda perut. Akhirnya semua mata di dalam ruangan ini tertuju pada martabak buah yang masih dipotong-potong sama Pak Dul. Hingga membuat suasana dalam ruangan ini seolah meleleh sama martabak modern fruit dari Martabak Pelangi Una.

Selesai memotong martabak modern fruit alias martabak buah dan diletakkan di atas piring kecil, Nyokapnya Dokter Meyda membagikannya sama orang-orang di ruangan ini termasuk Pak Dul, tapi ada tiga piring yang enggak dibagikan. Sambil makan martabak sesekali candaan dari Bokapnya Dokter Meyda terlontar, hingga membuat suasana semakin cair. Tetapi hati gue masih gelisah dan jantung gue semakin cepat berdetak, soalnya gue takut kejadian malam ini akan berakhir seperti gue sama Pak Roy sewaktu wawancara kerja. Di awal Pak Roy memang memuji gue dan membuat hati gue bahagia, tapi ujung-ujungnya gue ditolak juga. Ha...masya Allah...semoga nggak terulang lagi kejadian yang paling gue inget dan kesal itu.

“Jadi Nak Deni sekarang kerja di mana?” Tanya Nyokapnya Dokter Meyda. Sementara Bokapnya Dokter Meyda cuma tersenyum tanpa manggut-manggut sambil mengunyah martabak. Kalo gue lihat dari senyumnya nih persis banget kayak Pak Roy, astaghfirullah haladziim.

“Emm saya kerja di...” Gue nggak melanjutkan, tapi hati gue langsung nyerobot ngomong “Di rumah! Bilang aja ngajar les.” Trus sisi hati gue yang lain bilang tegas “Di Rumah! Bilang aja sedang menulis naskah novel, walau masih ditolak terus.”

“Di mana?” Tanya Bokapnya Dokter Meyda.

Sejenak gue nyengir, trus bilang “Ehmm di rumah Om.”

“Di rumah?” Serentak Bokap dan Nyokapnya Dokter Meyda mengulang.

“Ehmm saya ngajar les sambil nulis naskah novel Om.” Jawab gue sambil sedikit tersipu malu.

“Ooo Penulis toh? Bagus itu.” Suara Bokapnya Dokter Meyda agak tinggi.

“Iya Om, masih calon Penulis.” Jawab gue sambil nyengir.

“Penulis novel, bagus itu apalagi kalau novelnya Islami buat anak-anak muda atau orang-orang dewasa. Supaya bisa jadi semacam...pengingat ya kan Pah?” Sahut Nyokapnya Dokter Meyda.

“Iya Mah benar.”

Akhirnya malam ini juga tanpa disadari gue curhat sama Nyokap dan Bokapnya Dokter Meyda, kalau menulis memang gampang-gampang susah. Gampangnya gue bisa menulis cerita apa aja dengan bahasa dan alur dari gue, tapi susahnya nggak semua Penerbit mau menerima bahasa dan alur dari gue. Penerbit juga selalu up to date alias melihat tema novel yang kekinian dengan pembaca, jadi novel yang diterbitkan bisa laku di pasaran. Sementara Penulis nggak memikirkan itu, Penulis cuma menulis novel yang ada manfaatnya buat pembaca. Cara mengirim naskah novel ke Penerbit juga jadi masalah, karena mayoritas Penerbit menerima naskah dalam bentuk hard copy alias dalam bentuk print out yang udah dijilid rapi dan jarang banget Penerbit yang mau menerima soft copy alias dalam bentuk file yang dikirim lewat email, padahal mengirim naskah novel dalam bentuk email sangat membantu Penulis. Soalnya butuh waktu yang nggak sebentar untuk menulis naskah novel, terutama pemula, belum lagi masalah edit meng-edit naskah sebelum di kirim ke Penerbit yang juga butuh waktu yang nggak sebentar dan terakhir masalah biaya juga bisa lebih murah kalo mengirim naskah novel lewat email.

“Hmm begini saja kalau Nak Deni punya waktu lebih banyak Nak Deni kirim naskah novel lewat pos aja atau dalam bentuk print out, tetapi kalau Nak Deni tidak punya banyak waktu, baiknya Nak Deni cari Penerbit yang mau menerima naskah novel dalam bentuk soft copy.” Kata Bokapnya Dokter Meyda tegas.

“Iya coba aja cari lewat internet, pasti ada Penerbit yang menerima naskah novel lewat email.” Sahut Nyokapnya Dokter Meyda.

Dengan kening merapat pelan gue manggut-manggut, trus bilang “Baik Tante, Om saya akan cari Penerbit yang menerima naskah lewat email.”

Setelah ngobrol ke sana ke sini ternyata di ujung Bokapnya Dokter Meyda bilang kalau Dokter Meyda tadi harus pergi mendadak ke rumah sakit, karena ada temannya yang juga seorang Dokter membutuhkan bantuannya untuk menangani pasien, tapi Bokapnya Dokter Meyda akan menyampaikan perihal lamaran dari kita bertiga.

Haaa gue pikir Dokter Meyda sakit jadi ke rumah sakit dan gue pikir Dokter Meyda ada di rumah, trus langsung memutuskan malam ini. Gue pikir juga Dokter Meyda menolak lamaran dari gue, karena gue belum sukses seperti Bang Gibran dan Bang Anjar, dan yang lebih penting wajah gue masih terlalu imut. Setengah nafas gue memikirkan semua ini.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When I Was Young
8239      1654     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6668      1494     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1306      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
injured
1218      657     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Hati Yang Terpatahkan
1847      840     2     
Romance
Aku pikir, aku akan hidup selamanya di masa lalu. Sampai dia datang mengubah duniaku yang abu-abu menjadi berwarna. Bersamanya, aku terlahir kembali. Namun, saat aku merasa benar-benar mencintainya, semakin lama kutemukan dia yang berbeda. Lagi-lagi, aku dihadapkan kembali antara dua pilihan : kembali terpuruk atau memilih tegar?
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...