Selesai mandi gue cepat mengganti baju, seperti biasa memakai kaos oblong, tapi kali ini gue memakai celana panjang. Bahkan udah dua minggu ini gue selalu memakai celana panjang. Abis itu gue berkaca di cermin besar yang nempel di tembok, menyisir rambut yang cuma seuprit. Di depan cermin kening gue mendadak merapat, sementara kedua sorot mata gue seolah nggak melihat diri gue di depan cermin, soalnya ada yang sedang gue pikirkan. Pelan gue manggut-manggut, tanda kalo gue sedang berdialog sama alam pikiran gue, dan gue setuju. Setelah itu gue geleng-geleng kepala, tanda kalo gue sedang berdialog juga sama alam pikiran gue, dan gue nggak setuju, juga kecewa banget.
Selama dua minggu ini gue memang selalu mengikut kegiatannya Kak Fifi sama ketiga temannya. Gue manggut-manggut karena setuju kegiatan mereka bagus banget untuk membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu yang serba terbatas untuk menjadi lebih pintar di sekolah. Hmm kegiatan yang harus mendapat perhatian dari banyak orang, supaya semua anak di Indonesia jadi orang pintar ehmm anak pintar walaupun dari keluarga serba susah. Seperti kata Kak Hon, kalau mereka jadi anak-anak yang pintar berarti memiliki peluang besar memberi harapan pada orang tua dan keluarga mereka untuk mendapat kehidupan yang lebih baik nanti.
Dan ternyata bukan cuma gedung atau fasilitas sekolah yang harus baru, bukan cuma seragam sekolah, tas, buku-buku dan sepatu, tapi otak anak-anak juga harus diperbarui. Hmm sejenak gue tersenyum membaca tulisan “Diperbarui” di otak gue, udah kayak perangkat lunak atau program-program di komputer aja harus diperbarui alias diservis.
Bagi gue itu sesuatu yang baru, soalnya gue nggak menyangka dan nggak kepikiran gitu, ternyata otak anak-anak yang dalam masa pertumbuhan juga bisa melambat, jadi nggak cerdas. Dan sebabnya banyak banget kata Kak Hon sama Kak Imeh, yang ternyata gue baru tahu kalo mereka itu S2 Psikolog di UBI singkatan dari Universitas Bangsa Indonesia, Universitas nomor satu di Indonesia..., kereeen. Hmm mungkin karena selama ini gue ngasih les ke anak-anak kompleks teman-temannya si Vita dan udah pasti mereka bukan dari keluarga kurang mampu, tapi dari keluaga menengah ke atas. Orang tua mereka juga pasti berpendidikan dan lebih tahu apa-apa yang baik untuk perkembangan otak anak mereka.
Dan selama dua minggu ini juga gue punya masalah baru. Ehmm lebih tepatnya masalah lama yang muncul kembali, kumat lagi kayak penyakit. Dan masalahnya itu gue jadi nggak fokus sama naskah novel yang sedang gue tulis, karena jatah menulis naskah novel jadi berkurang. Kan tahu sendiri, kalo gue nggak bisa terlalu capek dan kalo udah capek banget terpaksa gue mengabaikan kerjaan yang masih tertunda. Akhirnya semua jadi berantakan, karena target meleset dan gue belum berburu Penerbit untuk mengirim naskah novel gue nanti. Belum lagi waktu untuk nge-print naskah yang bagi gue nggak bisa kilat, soalnya gue suka nggak teliti dan akhirnya jadi menghabiskan kertas sama tinta print. Kalo kayak gini terus bisa-bisa gue gagal jadi Penulis dan menerbitkan buku, eh ehmm maksud gue belajar menulis, baru menerbitkan buku, trus jadi Penulis novel. Dan itu yang membuat gue geleng-geleng kepala saat ini, tentunya dengan wajah lemas dan kening berkerut.
Perlahan sorot mata gue kembali fokus melihat diri gue di kaca, tapi wajah gue semakin kelihatan serius dan kening gue tambah tebel kerutannya. Gue bilang tegas “Mungkin ini ujian buat gue. Gue harus bisa bantu Kak Fifi sama temen-temennya dan gue juga harus bisa nyelesaiin naskah novel gue. Gue pasti bisa!”
Nggak lama kemudian senyum pun mengembang di wajah gue. Sejenak gue menghela nafas, trus balik badan mengambil jaket dan handphone. Setelah itu gue cepat turun ke lantai satu dan langsung ke ruang makan. Setelah menaruh jaket di punggung kursi, gue mengambil kunci scoopy di dekat kulkas trus langsung ke garasi. Scoopy gue tuntun keluar garasi, trus gue parkir di depan pagar yang masih digembok. Sigap gue mengambil kanobi plas chamois di bawah jok scoopy, trus gue menghidupkan scoopy dan sejenak gue panaskan mesinnya. Selesai memanaskan mesin gue mengelap body scoopy sampai kinclong. Sejenak gue manggut-manggut melihat body scoopy yang makin hitam, tapi tetap manis di hati gue. Bekas goresan di body scoopy juga udah hilang nggak berbekas alias mulus lagi.
Setelah melipat kanobi dan memasukannya ke wadahnya gue simpan lagi di bawah jok, trus gue balik badan dan melangkah ke teras rumah. Mendadak gue kaget sama benda yang jatuh ke kepala gue, lumayan keras dan sakit sih. Gue cepat menoleh dan mencari siapa yang nimpuk kepala gue nih, eh ternyata si Mas koran sedang nyengir di depan pagar rumah. Huu uu pakai lempar-lempar segala, nggak sopan! Gue cepat mengambil gulungan koran di lantai trus mendatangi si Mas koran di depan pagar.
“Mas! Kenapa pakai lempar-lempar segala? Biasanya kan enggak.” Tanya gue agak keras.
“Maaf Mas Deni, saya koreksi dulu. Dari kemarin-kemarin saya memang selalu lempar koran ke teras, karena pintu pagar rumah Mas Deni kalau jam segini pasti masih digembok. Tapi lemparan saya selalu pas di teras rumah Mas Deni, cuma hari ini aja meleset ke kepala Mas Deni soalnya yang melempar koran bukan saya, tapi anak saya nih si Yono.” Kata Mas koran panjang lebar, yang nggak gue hapal namanya, tapi yang pasti dia dari Jawa Tengah.
“Waduh, masih kecil udah lempar-lempar, maen nimpuk aja, nimpuk kepala gue lagi.” Ucap gue pelan dan sedikit kaget melihat anak kecil kira-kira usia 6 tahun di belakang Mas koran.
“Sekali lagi maaf Mas, nyuwon sempurane1, saya ndak sengaja. Kalau gitu saya pamit dulu Mas, mau kirim koran lagi.”
“Iya-iya, tapi anaknya jangan disuruh lempar-lempar lagi ya? Bahaya itu masih kecil udah lempar-lempar, nimpuk pake koran.”
“Iya Mas, saya koreksi lagi Mas. Tadi itu Yono ambil koran sendiri di kantung belakang tanpa setahu saya, trus di lempar ke rumah Mas Deni. Jadi bukan saya yang nyuruh Mas.”
“Ooo...kalo gitu jagain korannya, nanti sebelum diantar ke pelanggan koran-koran Mas malah udah habis dilempar-lemparin sama anaknya.” Di awal perkataan gue manggut-manggut, selanjutnya suara gue jadi kebawa Jawa nih kayak si Mas koran.
“Iya Mas, saya korek...”
“Mas mau nganter koran kan? Nanti keburu siang dan panas, kasihan anaknya.” Gue cepat memotong daripada mendengar koreksian si Mas koran lagi dan malah jadi nggak ada ujungnya.
“Oh iya Mas. Kalau gitu saya pamit dulu, monggo2 Mas, permisi.” Kata mas koran sopan sambil tersenyum, trus mengayuh sepedah ontel.
Sejenak gue menghembuskan nafas sambil geleng-geleng kepala melihat si Mas koran sama anaknya yang menjauh naik sepedah ontel dan melempar-lempar koran ke teras rumah langganannya. Merasakan sakit di kepala, gue pun nyengir sambil mengusap-usap kepala.
“Sakit juga nih kepala. Ada bakat terpendam tuh anak kayaknya.” Ucap gue pelan.
Setelah itu gue masuk ke dalam rumah dan langsung duduk di depan meja makan. Sejenak gue celingukan menanti Bokap yang nggak keluar-keluar dari dalam kamar, trus gue melihat jam dinding di samping kiri meja makan.
“Mana sih Bokap, biasanya udah siap di depan meja makan. Ini kopinya udah siap, tapi Bokap masih belum keluar kamar.” Di ujung perkataan mata gue pergi celingukan ke kamar Bokap.
Nggak lama kemudian Bokap keluar kamar, tapi sejenak berhenti melangkah di depan pintu kamar yang belum tertutup. Saat itulah Bokap menguap, lalu meregangkan kedua tangannya ke atas, ke samping kanan dan kiri, setelah itu baru menutup pintu kamar dan berjalan ke meja makan. Lemas gue menghela nafas, melihat pakaian Bokap hari ini. Pasti Bokap lupa lagi, kalo hari ini Bokap harus ke kantor. Gue nggak bisa nunggu-nunggu Bokap kayak dulu nih, jadi kayaknya gue harus mengingatkan Bokap.
“Pak...”
“Ayo kita berdoa dulu.” Bokap memotong.
Haaa gue nggak jadi ngomong deh, tapi berdoa dulu sama Bokap. Selesai memimpin doa Bokap mengusapkan kedua tangan pada wajah, trus nyeruput kopi yang udah hangat. Gue juga ikut mengusapkan kedua tangan ke wajah gue, trus minum susu putih.
Setelah itu gue mulai tanya “Pak, kenapa nggak mandi dulu, trus ganti baju, sisir rambut dan bawa tas waktu keluar kamar? Kan hari ini Bapak harus ke kantor. Jangan bilang Bapak lupa lagi, Deni udah siap nih Pak. Udah mandi, ganti baju, udah sisir rambut, pakai parfum, tinggal sarapan, trus berangkat.”
Dengan wajah santai Bokap nggak menjawab, tapi sejenak menyeruput kopi hangat. Setelah itu Bokap menatap gue, dan balik bertanya “Kamu tahu sekarang hari apa?”
“Hari Rabu.”
“Trus tanggal berapa?”
“1 Mei.”
“Ya udah.” Suara Bokap datar. Setelah itu Bokap mengambil bubur di mangkuk, trus dikasih sedikit kecap dan sambal, trus ditaburi suir ayam, kacang dan daun seledri.
Sejenak Bokap meniup bubur di sendok, kemudian Bokap melahapnya. Sementara gue mengerutkan dahi dan masih memikirkan pertanyaan Bokap. Selesai menelan satu sendok bubur, santai Bokap bertanya “Hari ini kamu mau ke mana? Tumben udah rapi.”
Dengan berat gue menghela nafas, trus menjawab “Bukan tumben Pak, tiap hari kan Deni selalu rapi. Bapak aja yang hari ini males ke kantor, jadi belum mandi dan masih pake seragam resmi sarapan pagi.”
Lagi-lagi dengan santai Bokap nggak segera membalas, tapi kembali melahap sesendok bubur, trus melahap kerupuk. Setelah menelannya Bokap bilang “Maksud Bapak, tumben hari libur tapi kamu udah rapi. Memangnya mau ke mana?”
Sedikit terkejut gue menatap Bokap. Dalam hati gue mengulang “Libur?”
“He Deni, kenapa bengong?” Suara Bokap tegas.
Sejenak Bokap menghela nafas, trus bilang “Ya udah nanti kalau keluar rumah hati-hati di jalan. Ingat, jangan pulang malam-malam, trus nanti kalau ada demo jangan ikut-ikutan!”
“Demo?” Gue mengulang dengan kening berkerut. Setelah melahap bubur terakhir di mangkuk dan meminum air putih di gelas, Bokap pergi ke teras sambil membawa koran.
Saat itulah otak gue bergerak mencari ingatan tentang tanggal 1 Mei. Hmm gue tahu sekarang, gue pun manggut-manggut setelah gue menemukannya, kalo tanggal 1 Mei kan...hari buruh dan tanggal merah. Ooo jadi karena itu Bokap nggak masuk kantor. Waduh, kayaknya kali ini gue yang salah nih.
***
Hmm perjalanan yang nggak asyik dan agak macet, walaupun nggak sampai berhenti total. Ternyata benar kata Bokap di hari buruh Nasional ini sebagian jalan-jalan di Jakarta dipenuhi sama buruh-buruh dari berbagai pabrik di Indonesia yang ikut demo, yang kalo pakai bahasa mereka demo itu sama dengan menyampaikan aspirasi mereka pada pemerintah dan...pokoknya gitulah heboh banget dan membuat yang melihat naik darah. Jadi istilah demo di Indonesia itu sangat familiar untuk menyampaikan aspirasi pada pemerintah, daripada menyampaikan aspirasi dengan baik-baik atau nggak mengumpulkan orang banyak, misalnya dengan kirim surat terbuka pada pemerintah atau apalah yang penting nggak mengganggu aktivitas dan kenyamanan orang. Atau dengan cara yang lebih bagus seperti yang dicontohkan Rasulullah pada masa beliau dulu, yang juga dijelaskan Allah dalam Alquran tentang cara menyampaikan pendapat atau aspirasi yaitu musyawarah.
Dan sekarang gue mengerti, kenapa semalem Bokap serius membahas masalah musyawarah untuk menyampaikan pendapat, bukan dengan cara-cara yang lebih dekat pada kemudaratannya seperti mengumpulkan orang banyak trus berorasi dengan teriak-teriak penuh amarah alias demo. Kata Bokap, nggak perlu demo kalo pingin menyampaikan aspirasi atau menyampaikan teguran untuk pemerintah. Karena Islam nggak pernah mengajarkan untuk berdemo, dan demo itu lebih dekat sama kemudaratan daripada kemaslahatannya atau kemanfaatan.
Kata Bokap juga, Allah udah menjelaskan cara menyampaikan pendapat atau aspirasi dalam Al-Quran dalam surah Al-Imran ayat 159 yang bunyinya“Maka disebabkan atas rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Bokap yang udah kayak Nyokap kalo ngomong atau berpesan sama gue bilang, kalo pemerintah itu adalah pemimpin dalam konteks di luar agama atau dalam konteks negara. Jadi sebagai muslim yang taat dan cinta Rasul, kita harus taat juga pada pemerintah. Seperti itu juga sabda Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari, yang bunyinya kayak gini “Siapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah taat kepadaku dan sesiapa yang mendurhakai pemimpin maka dia telah durhaka kepadaku.”3
Pentingnya menghormati dan taat pada pemimpin juga disampaikan oleh Rassulullah dalam sebuah hadist riwayat Bhukari yang lain “Barang siapa yang melihat pada pemimpinnya suatu perkara (yang dia benci), maka hendaknya dia bersabar, karena sesungguhnya barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal saja kemudian dia mati, maka dia mati dalam keadaan jahiliyya.”
Bokap melanjutkan bahwa sebenarnya aksi demo pertama kali dilakukan oleh kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan khalifah yang sah, yaitu khalifah Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallohu anhu. Dan yang menjadi penggagas atau dalang utama aksi demo pertama dalam Islam saat itu adalah seorang Yahudi yang licik yang udah lama menebar virus kebencian di kalangan umat muslim, jadi bisa dibilang dia seorang munafik.4
Jadi sebagai muslim yang taat dan cinta Rasul seharusnya kita nggak membudayakan demo di Indonesia dan kalau ternyata demo masih jadi budaya, nggak perlulah kita ikut-ikutan demo seperti yang dilakukan si Yahudi licik. Aneh rasanya kalo orang-orang Islam di Indonesia memberantas segala tingkah laku atau kebiasaan orang Yahudi atau orang non muslim lain, mulai dari melarang tiup terompet di tahun baru, menyalakan kembang api, atau kebiasaan lainnya, sementara kegiatan demo yang udah pasti juga dipelopori sama orang Yahudi licik tetap dilakukan orang Islam.
Haaa...kalo gue menulis orang Islam nggak konsekuen sama ucapannya, ada yang mendemo gue nggak ya? Memang sih nggak semua orang Islam, cuma sebagian besar aja yang kayak gitu dan cuma mereka yang merasa paling benar aja atau mereka yang pura-pura nggak merasa dan nggak tahu.
Sejenak gue manggut-manggut, trus tersenyum kecil. Mungkin juga karena orang Indonesia itu suka sama yang rame-rame dan teguh menggunakan slogan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” yang dimaknai berbeda alias SALAH, sama mereka. Jadi kalo banyak orang mereka berani, tapi kalo sendirian nggak punya nyali. Soalnya yang gue nggak setuju itu dari oknum-oknum yang ikut demo suka kebablasan, nggak ikut aturan dan merugikan semua pihak.
Nggak terasa gue ngomong sendiri sampai keringetan, apalagi scoopy hitam manis gue jadi kelihatan nggak kinclong karena terlalu lama di jalan raya, kena asap sana sini dari motor dan mobil yang jalan merayap. Dan akhirnya setelah berjuang di jalan raya yang panas dan agak macet sama orang-orang yang demo, scoopy hitam manis ini pun berhenti di sebuah rumah di pemukiman padat penduduk di Jakarta Utara. Sejenak kedua mata gue celingukan di atas scoopy, mencari keberadaan Kak Fifi dan teman-temennya. Trus tangan kanan gue merogoh saku jaket dan mulai menghubungi nomor Kak Fifi, tapi ternyata nomornya nggak aktif.
“Duh, di mana ya kumpulnya? Kak Fifi lagi pake nggak aktif segala nomernya.” Ucap gue pelan sambil celingukan.
“Tadi sebelum berangkat sih Kak Fifi cuma bilang, di gang III di rumah warga nomor 42 eh 24 yang cat abu. Emm 42 apa 24 ya? Kok gue jadi lupa ya. Kalo yang di depan gue ini 42 catnya abu juga, trus...kata Kak Fifi pintunya kebuka juga dan banyak orang di dalam. Hmm nggak salah lagi nih, pasti ini rumahnya cat abu, nomor 42. Pintu terbuka dan banyak orang.” Di ujung perkataan gue tersenyum sambil manggut-manggut.
Setelah mengunci scoopy gue melangkah ke rumah sederhana itu yang terbuka pintu depannya dan terlihat banyak orang di dalamnya, jadi gue pikir Kak Fifi dan yang lain rapat dulu sebelum beraksi seperti biasa. Dan seperti biasa juga Kak Fifi, Kak Zein, Kak Imeh dan Kak Hon sama sebagian temen kuliahnya selalu datang duluan, soalnya mobil dan motor mereka terparkir di depan jalan yang agak lebar di daerah pemukiman ini, tapi ada beberapa motor yang diparkir di depan rumah warga, termasuk scoopy gue.
Mendadak langkah gue terhenti sebelum pintu saat seorang Ibu agak muda yang kira-kira umurnya 40 tahun dan kelihatan rapi, tanya “Kakak pasti namanya Kak Deni ya?”
“Ahmm waaah benar Bu, tapi kok tahu?” Jawab gue, trus gue balik tanya sambil senyum.
“Ya udah Kak ayo ke sana, sudah ditunggu di sana.” Kata si Ibu sambil menarik lengan gue.
Sejenak gue menoleh ke rumah yang gue tuju, tapi si Ibu yang nggak gue tahu namanya erat banget menarik tangan gue ke gang sebelah. Jadinya gue ikut ajalah, lagian gue pikir pasti rapatnya kayak kemarin-kemarin menyamakan persepsi cara mengajar anak-anak. Setelah cukup lama berjalan dan belo-belok ke jalan yang agak lebar akhirnya gue masuk ke dalam ruangan yang sepertinya kantor... eh bukan kantor, tapi kayak gedung badminton yang sederhana deh. Trus di samping gedung ada kantor RW. Hati gue ikut ngomong “Hmm berarti bener nih, di sini tempatnya.”
Setelah masuk ke dalam gedung yang nggak terlalu besar ini, ternyata di depan gue udah berkumpul anak-anak sama Ibunya yang duduk di atas karpet di lantai. Sigap kening gue berkerut saat gue nggak melihat Kak Fifi, Kak Zein, Kak Imeh dan Kak Hon eh Kak Han atau teman-teman yang lain.
“Astaghfirullah haladziim, gue lupa mereka kan masih di rumah yang tadi, masih rapat. Hmm kayaknya gue harus balik deh, nyusul mereka dulu.” Ucap gue pelan. Gue mau bilang sama Ibu di samping gue kalo gue harus menjemput teman-teman dulu di rumah nomor 42 tadi, tapi saat menoleh tiba-tiba si Ibu nggak ada di samping gue.
Nggak lama kemudian seorang Ibu yang wajahnya tenang, kalem, rapi dan agak tua menghampiri gue. Setelah memperkenalkan diri ternyata si Ibu ini ketua PKK se Jakarta Utara, trus bilang juga acara lomba kecerdasan anak-anak TK udah mau dimulai. Waduh, kenapa jadi anak TK? Dan lomba segala. Kayaknya gue salah masuk nih.
“Haadduuuuh capek deeeh...dasar Deni makanya jangan main ikut aja! Pi..” Seloroh hati gue keras.
Suara handphone di saku jaket memotong perkataan hati gue, setelah melihat layar ternyata Kak Fifi telepon. Kak Fifi emang punya telepati nih, tahu aja kalo gue salah tempat. Gue cepat menjawab “Kak Fi, maaf Deni belum nyampe dan nggak ikut rapat, tapi...”
“Assalammualaikum. Deni di mana sekarang?” Kak Fifi memotong.
“Waalaikumsalam. Deni di....” Di ujung perkataan sorot mata gue bergerak, mencari tahu tempat ini, tapi ujung-ujungnya mata gue berhenti di depan si Ibu ketua PKK se Jakarta Utara.
“Kak Deni, ayo cepat lombanya udah mau mulai. Sebelum lomba dimulai saya minta Kak Deni menerangkan dulu pada Ibu-Ibu dan anak-anak cara melatih kecerdasan.” Kata si Ibu, lalu menarik tangan gue.
Dengan cepat si Ibu membawa gue ke depan anak-anak yang didampingi sama Ibunya. Setelah itu si Ibu di samping gue sejenak menyapa dan mengenalkan nama gue, tapi gue kaget saat di belakang nama gue bukan “Sumantri” yang disebut, tapi gantinya dikasih embel-embel alias kepanjangan “Juri lomba kecerdasan anak.”
“Sebelum kita mulai lombanya, kita akan mendengarkan cara melakukan penjumlahan beruntun dari angka-angka yang sederhana yang dapat melatih otak anak-anak, supaya dari usia dini anak-anak sudah kenal dan terbisa menghitung. Kak Deni, silahkan.”
“Di depan Kak Deni ini adalah anak-anak pilihan dari keluarga tidak mampu yang mempunyai bakat atau kelebihan dalam berhitung, jadi mereka ini bukan anak-anak sembarangan. Dan sesuai dengan program dari kami dan pihak yang mensponsori kegiatan ini, maka semua peserta atau anak-anak yang terpilih mengikuti lomba ini akan mendapatkan jaminan beasiswa hingga perguruan tinggi, dengan catatan selama menjalani pendidikan atau sekolah tidak memiliki catatan merah atau berkelakuan baik.” Ibu Ketua PKK melanjutkan.
Sambutan tepuk tangan langsung meramaikan ruangan yang lumayan luas ini, tapi gue masih terpaku dengan wajah datar dan sedikit kaku, dan yang pasti kaget banget mendengar penjelasan si Ibu di samping gue. Masya Allah...ternyata sekarang gue berdiri di depan anak-anak yang nggak biasa nih. Gue jadi minder dan grogi, haduh rumus ngitung cepat gimana ya? Ada cara yang lebih cepat nggak selain A+B+C+D?
“Kriiiing!!!...kring!!!...kring!!!...” Suara jam beker keras banget.
Berat banget nih mata mau gue buka dan badan gue juga lemes banget. Sejenak gue menguap dengan mata terpejam, trus perlahan gue membuka mata, melihat ke sekeliling. Lemas gue menghembuskan nafas, ternyata gue udah pulang ke rumah, gue pikir gue masih mengajar anak-anak yang lebih pinter dari gue. Sejenak gue menguap lagi dan mematikan jam beker di tepi kasur, trus gue jatuh ke kasur. Sambil terpejam dan lemas gue bilang setengah sadar “Astaghfirullah haladziim...kok nggak ketemu jawabannya sih, A+B+C+D = Salah Rumus atau Salah Tempat?”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Nyuwon sempurane = mohon maaf
2 Monggo = Permisi
3. http://muslimah.or.id/2543-wajibkah-taat-kepada-pemerintah.html
4. http://www.elhooda.net/2014/11/mengenal-sejarah-awal-demonstrasi-dalam-islam/