Apa yang harus kulakukan sekarang. Saat Pak Jaka memberitahu bahwa aku tidak lulus ujian fisika, aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Memang Pak Jaka memberikanku satu kesempatan lagi untuk mengulangi ujian dua minggu kemudian. Tapi, yang sekarang kupikirkan adalah bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan nilai diatas tujuh puluh untuk syaratku lulus ujian. Selama aku sekolah, aku belum pernah mendapatkan nilai tujuh puluh untuk ujian fisika. Aku benar-benar lemah dalam pelajaran itu. Kalau pun aku belajar, aku tidak akan bisa berkonsentrasi dengan penuh. Lalu, aku harus apa?
Tunggu. Kalau aku tidak bisa belajar sendiri, itu berarti, aku harus mencari seseorang untuk mengajariku. Ya, itu bisa dilakukan. Ah, kau pintar sekali Lala! Sekarang yang harus kupikirkan adalah mencari seseorang yang bisa mengajariku sampai aku benar-benar menguasai pelajaran fisika. Namun kalau begitu, siapa kira-kira yang jago fisika? Pak Jaka? Iya kali aku minta tolong sama Pak Jaka untuk mengajariku. Apa aku minta tolong sama Papa? Ah, itu tidak mungkin. Aku tidak mungkin berani bilang ke Papa kalau aku gagal ujian. Yang ada aku malah akan dihukum nanti kalau ketahuan. Levin? Tapi, Levin kan sama seperti aku. Dia juga lemah kalau menyangkut soal hitung-menghitung. Terus, aku harus minta bantuan ke siapa dong? Duh! Aku pusing nih!
"La?" panggil Clavin.
Aku tidak menggubris panggilan Clavin. Aku terlalu malas untuk berbicara sekarang. Kepalaku sangat pusing. Yang aku butuhkan sekarang adalah seseorang yang bisa membantuku mengatasi masalahku itu.
"Lo sakit ya, La? Dari tadi diem aja."
"Atau lo lagi berantem sama Levin?"
"Bi Mirna nagih utang gue lagi ke lo?"
"Lo punya saingan baru?"
"Si Meong, kucing kesayangan lo mati?
"Atau, lo lagi pms?
"Atau.."
"Stop!" teriakku kencang, membuat Clavin yang mulutnya menganga ingin berbicara akhirnya mengatupkan kembali mulutnya itu.
"Lo bisa diem gak sih? Berisik banget lo! Lo bikin gue tambah pusing tau gak denger suara lo yang kayak tikus kejepit! Lagian, lo kepo banget sih! Denger ya! Gue gak sakit. Gue juga gak lagi berantem sama Levin. Kepopuleran gue masih stabil. Dan, kucing gue gak mati. Sialan! Lo ngarepin kucing gue cepet mati, ya?! Gue juga lagi gak pms. Kalau gue lagi pms, gue jamin lo gak akan bisa menikmati hari esok lagi! Puas?!"
Ya Tuhan! Kenapa engkau harus menghadirkan seorang teman cowok yang cerewet dan sangat menyebalkan seperti dia kepadaku?! Kepalaku yang memang sudah pusing sedari tadi mendadak terasa mau pecah karena mendengar cicitan dari Clavin.
"Duh! Ngeri!" cibir Clavin. "Lagian, lo dari tadi diem aja. Enggak biasanya lo diem kayak gini. Biasanya lo nyerocos terus kayak bemo. Pas latihan, gue lihat lo juga lesu banget. Enggak ada semangat-semangatnya. Kalau lo ada masalah, bisa kali lo cerita ke gue."
"Gue gak kenapa-kenapa, Vin," jawabku malas.
"Bohong," seru Clavin tak terima.
Astaga! Nih cowok kepo banget sih! Kalau begini kan gue enggak bisa bohong. Lagian, tahu aja sih si Clavin kalau gue ada masalah.
"Keras kepala banget ya nih anak." Clavin menjitak kepalaku. Aku pun mengelus-elus kepalaku yang dijitak olehnya. Ya, meskipun tidak terlalu keras tapi aku tetap pura-pura kesakitan. Biar mendramatisir aja sih.
"Udah deh lo cerita aja ke gue kenapa sih. Gue janji enggak akan cerita ke siapa-siapa soal masalah lo. Lagian, lo itu kan tetap partner gue. Gue enggak bisa tinggal diem lihat teman gue kesusahan. Gue juga gak mau karena masalah lo itu jadi mempengaruhi performa lo di band. Dan akhirnya lo gak bisa fokus kayak latihan tadi."
Mendengar penuturan Clavin, aku jadi merasa bersalah. Benarkah aku tidak fokus latihan tadi? Memang selama latihan pikiranku terbagi dua. Aku terus saja teringat dengan ucapan Pak Jaka saat di kantor siang tadi. Karena itu, konsentrasiku menjadi agak sedikit buyar. Aku bahkan tidak bisa menghapal lirik lagu dengan benar. Suaraku pun sempat sumbang dibeberapa bagian saat bernyanyi tadi.
"Sorry," kataku meminta maaf. "Tapi, gue beneran enggak kenapa-kenapa."
Clavin mendengus. "Seriusan, La. Ada apa?" tanya Clavin sekali lagi. Kali ini nada bicaranya penuh penekanan dan terkesan memaksa, tentu saja.
Melihat Clavin yang terus mendesakku, mau tidak mau membuatku mengatakan yang sejujurnya. Lagi, aku juga tidak ingin berbohong. "Gue butuh guru private secepatnya."
Kedua alis Clavin bertautan, pertanda bahwa dia tidak mengerti dengan ucapanku. "Untuk apa lo butuh guru private?" tanya Clavin.
"Gue gagal ujian fisika."
"Gagal ujian? Kok bisa?"
Dan akhirnya aku pun mulai bercerita. "Lo kan tahu kalau gue enggak jago fisika." Clavin pun mengangguk. "Dan lebih bodohnya lagi, gue salah belajar. Gue kira hari ini ujian bahasa Inggris. Jadilah gue semaleman belajar bahasa Inggris, bukannya fisika. Pas sampai di kelas, Gladys kasih tau gue kalau hari ini ujian fisika. Ya udah deh gue kayak orang hilang, enggak tahu mau ngapain pas ujian."
Aku menatap Clavin dan menemukan bahwa cowok itu tengah mati-matian berusaha untuk menahan tawanya. Tuh kan! Nggak setia kawan banget sih Clavin! Tega-teganya dia menertawakan temannya sendiri. Huh!
Clavin berdeham dan berusaha menormalkan kembali wajahnya. "Maaf. Hmm... terus?"
Aku memang sedikit kesal dengan Clavin yang bisa-bisanya dia menertawaiku yang sedang kesusahan seperti ini. Tapi, aku memang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan masalahku. Aku pun kembali melanjutkan ucapanku. "Pak Jaka kasih kesempatan buat gue memperbaiki nilai. Gue dikasih waktu selama dua minggu buat belajar. Tapi.. seandainya gue gagal lagi, ada kemungkinan hal itu bisa mempengaruhi nilai akhir gue. Gue bisa enggak dilulusin dalam mata pelajaran fisika Vin."
Mengingat hal itu lagi membuatku semakin sedih. "Huaaaaa!!! Gue harus gimana, Vin?! Hiks.. hiks..!! Gue enggak mau enggak lulus sekolah!! Hiks.. hiks..!! Kalau gue enggak lulus, hiks.. hiks.. gue nanti enggak bisa nikah sama Levin dong!! Huaaaaaa!!!"
Clavin pun panik sendiri saat melihatku yang tiba-tiba menangis. "Cup! Cup! Cup! La udah dong jangan nangis. Nanti anak-anak pada salah paham sama gue. Gue dikira udah ngapa-ngapain lo lagi. Udah ya, cup. Cup. Nang ning, ning nang, ning nung. Nang ning, ning nang, ning nung."
Clavin menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri serta melambai-lambaikan tangannya. Aku yang masih sesengukan menatap Clavin yang sedang mencoba menghiburku. Tapi, bukannya membuatku tenang dia malah membuatku semakin kesal dengannya. Apa-apaan Clavin menghiburku seperti itu. Memangnya aku anak bayi dihibur kayak gitu. Ish! Seharusnya aku enggak usah curhat sekalian deh sama nih anak!
"Clavin lo apaan sih! Lo kira gue bayi apa digituin! Clavin jahat! Huaaaa!!!"
Aku pun semakin keras menangis. Sementara Clavin semakin gelagapan karena tangisanku. Kulihat dia mengacak rambutnya frustasi. Lalu, Pak Keane, Nail dan Raffi pun menghampiri kami. Mereka sepertinya terkejut melihatku yang tengah menangis di depan Clavin. Mereka bertiga menatap curiga Clavin. Aku pikir mereka salah mengira kalau Clavin yang telah membuatku menangis. Sebenarnya aku tidak tega dengan Clavin kalau sampai dimarahi oleh mereka. Secara Clavin memang tidak salah apa-apa. Clavin yang mendapat tatapan tajam dari mereka pun mencoba menjelaskannya.
"Guys dengerin gue dulu. Sumpah! Gue gak ngapa-ngapain Lala!" seru Clavin cepat-cepat. Jarinya membentuk huruf V untuk meyakinkan mereka kalau dia tidak berbohong.
Aku berusaha meredakan tangisanku. Dengan masih sesengukan, aku mencoba bersuara. "Enggak ada.."
"Begini loh, pak. Lala lagi butuh guru private untuk ngajarin dia pelajaran fisika." potong Clavin sebelum aku sempat berbicara apapun.
"Oh. Kamu lagi cari guru private buat persiapan ujian nasional?" tanya Pak Keane.
"Bukan, pak," sanggahku.
"Terus untuk apa kamu mencari guru private?" tanya Pak Keane lagi.
"Lala gagal ujian fisika, pak. Kalau sekali lagi Lala gagal, dia bisa gak lulus." Lagi, Calvin menggantikanku berbicara. Apaan sih ni anak?! Emangnya dia juru bicara aku apa sampai setiap apa yang mau aku omongin harus lewat dia.
"Kok kamu bisa gagal ujian? Kamu gak belajar?" tanya Pak Keane.
"Saya belajar kok, pak," seruku kemudian. Tapi..." aku tidak melanjutkan ucapanku. Aku ragu ingin memberitahu mereka. Kalau aku bilang, aku pasti akan ditertawakan sama mereka karena tingkah bodohku itu. Tapi, kalau aku tidak beritahu, mereka pasti akan terus menanyaiku seperti Clavin. Ya, mungkin, Nail dan Raffi akan menertawaiku. Tapi, Kalau Pak Keane pasti bisa bersikap lebih bijaksana. Dia tidak mungkin kan menertawaiku. Kalau begitu, sebaiknya aku katakan saja yang sebenarnya.
"Tapi.. saya lupa kalau hari ini ada ujian fisika. Erm— sebenarnya saya ingat hari ini ada ujian. Saya cuma salah mengira ujiannya pelajaran bahasa Inggris. Yah, Pak Keane pasti tahu kelanjutannya, kan?" lanjutku malu-malu. Selama seperkian detik, suasana di ruang studio hening. Satu menit kemudian, terdengar suara membahana yang menggetarkan seisi ruangan.
"HAHAHAHA!!!"
Kami berempat bersamaan menolehkan kepala ke satu-satunya laki-laki yang usianya lebih tua dari kami. Siapa lagi kalau bukan Pak Keane. Pak Keane terus tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. Kami semua tercengang. Tidak menyangka bahwa guru yang selama ini bersikap berwibawa dan terkesan cool, ternyata bisa bertingkah konyol seperti itu. Tertawa terpingkal-pingkal di depan muridnya? Ah! Sungguh berwibawa sekali!
Pak Keane yang merasa diperhatikan oleh kami pun merasa malu sendiri. Dia pun berusaha menormalkan kembali wajahnya meskipun masih ada sisa-sisa bulir air mata di kedua sudut matanya karena tertawa tadi.
"Ekhmm. Maaf, maaf." Pak Keane berdeham. "Bagaimana kalau saya aja yang mengajari kamu?"
"Hah?" kami berempat berseru bersamaan.
"I..iya. Jadi, selama dua minggu ke depan, saya akan jadi guru private kamu."
Pak Keane jadi guru privateku? "Eh?"
"Wah! Boleh tuh! Terima aja lah, La. Mumpung ada yang nawarin dan.. gratis," celetuk Clavin.
"Tapi, Pak Keane kan guru disini. Apa enggak apa-apa kalau jadi guru private saya juga?"
"Saya kan cuma mengajari kamu, bukan berarti saya akan memberikan kamu contekan. Itu yang dilarang. Lagi, saya tidak tahu menahu soal seperti apa yang akan diujikan oleh Pak Jaka, kan?"
"Ayolah, La. Bilang iya aja sih. Susah amat!" aku memelotot ke arah Clavin yang sejak tadi mengomporiku terus-menerus. Clavin hanya mengangkat bahu, nampak tak peduli.
"Tunggu. Pak Keane kan guru musik. Memangnya Pak Keane mengerti soal fisika? Mak..maksud saya, bukan bermaksud meremehkan bapak. Tapi... Aduh! Pak Keane tahu kan maksud saya itu apa? Maafkan saya, Pak," kataku menyesal.
Pak Keane terkekeh. "Iya. Saya paham maksud kamu, La." kata Pak Keane. Aku menghembuskan napas lega. Syukurlah Pak Keane gak marah! Untung Pak Keane itu guru yang baik hati dan tidak sombong. Tampan lagi! Ok, abaikan kata yang terakhir.
"Kamu tenang aja. Saya memang guru musik, tapi bukan berarti saya enggak bisa apa-apa selain itu. Sebagai seorang guru, saya memang harus dituntut untuk bisa menguasai seluruh bidang. Yah, meskipun ujung-ujungnya saya akan ditempatkan hanya pada satu bidang yang paling saya kuasai saja. Tapi, pada dasarnya, guru juga harus memperluas wawasannya. Guru itu juga pembelajar. Cuma kita memang diberi kesempatan untuk mencicipi ilmu pengetahuan lebih dulu. Karena itu, sekarang saaatnya giliran kita, para guru untuk membagi ilmu yang sudah didapatkan," jelas Pak Keane. Aku pun hanya ber 'oh' ria.
"Lagi, kalau saya cuma paham soal dunia musik, lebih baik saya jadi musisi sekalian. Gajinya kan lebih besar. Terus jadi terkenal juga, kan. Jadi, gimana soal tawaran saya?"
"Mmm.. saya pikir-pikir dulu ya, Pak," kataku pada akhirnya. Pak Keane pun hanya mengangguk menyetujui.
???
TING!
Ponselku berdenting sekali menandakan bahwa ada pemberitahuan yang masuk. Aku mengusap layar ponsel, lalu menemukan kotak pemberitahuan yang berasal dari line group chatku bersama dengan Gladys, Susan, dan Angel. Kami menamai line group chat kami dengan sebutan Teletubbies Ranger.
Kenapa? Karena kami sedang menggerakkan aksi 'Stop Bullying Teletubbies'. Aku heran kenapa banyak sekali meme lucu seputar Teletubbies tapi malah terkesan seperti membully acara anak-anak itu. Dan karena kebetulan, salah satu personil Teletubbies juga bernama 'Lala', membuatku merasa sedikit tersindir. Meskipun memang tidak ada hubungannya sama sekali denganku, sih.
[ Line Group Chat, Teletubbies Ranger]
dysam : La?
lalaew : Apa?
dysam : Astaga! Jutek amat sih, bu!!
lalaew : Siapa yang jutek, dysss. Yaudah gue ganti kata-katanya. Ada apa Gladysku sayanggg, my lope lope hunny bunny sweetyyyyy????? :*
dysam : Uekkkkk!!! Jijik banget sih lo!
lalaew : Wkwkwk
dysam : Gimana? Udah dapet guru privatenya?
angellac : What?! Guru private apa nih? Kok gue ketinggalan info sih?!
dysam : Guru private buat ngajarin si Lala fisika, gel. Kemana aja lo?
susan89 : Lah si Lala kenapa emang?
dysam : Kalian berdua udah ketinggalan kereta nih
angellac : Kereta jurusan apa, dys?
lalaew : Jurusan hatiku ke hatimu. Eakkkk!!
anggellac : LA, LO KENAPA?
susan89 : LA, LO KENAPA? (2)
lalaew : Buset! Capslock jebol!
susan89 : Lo kenapa butuh guru les, La?
Lala : Gue gagal ujian fisika, cuy
Susan : Lah, kok bisa?
angellac : Lah, kok bisa? (2)
lalaew : Gue salah belajar. Gue kira hari ini ujian bahasa Inggris, eh enggak tahunya malah fisika. Ck!
angellac : WKWKWKWK
susan89 : WKWKWKWK
angellac : Wkwkwk. Ternyata pelupa lo tambah parah, La. wkwkwkwk
lalaew : Terserah lo pada, deh!
dysam : Jadi, gimana?
lalaew : Gue kira lo udah ke kubur, dys. Tahunya masih hidup ternyata
dysam : -____- Gimana udah ada guru yang bakal ngajarin lo?
lalaew : Ada
dysam : Siapa?
angellac : Siapa?
susan89 : Siapa?
Aku menatap layar ponselku. Aku bimbang. Apakah aku harus memberitahu mereka kalau Pak Keane menawarkan diri menjadi guru privateku? Tapi, kalau aku beritahu, mereka pasti akan heboh sendiri dan bertanya yang macam-macam kepadaku. Atau, sebaiknya besok saja saat di sekolah aku memberitahu mereka? Lagi pula, aku juga belum menyetujui tawarannya Pak Keane. Benar. Sebaiknya begitu saja. Aku pun meletakkan kembali ponselku di atas nakas di samping ranjang. Lalu, aku memutuskan untuk tidur tanpa membalas satu pun pesan yang dikirimkan oleh ketiga sahabatku itu.