Memangnya siapa yang mau diganggu di pagi bulan Juli yang dingin? Jawabannya, tidak ada. Tapi, beda cerita kalau urusan ini sudah jadi kebiasaan. Mungkin memang jadi orang penting itu nggak salah. Tapi bukan hal benar juga sih, kalau harus melibatkan banyak orang bahkan mengganggu urusan pribadi, tidur di pagi hari. Oh ya, tidur di pagi hari sebenarnya bukan hal baik sih. Memangnya peduli? Sepertinya nggak juga. Toh suara-suara teriakan dari dapur yang membangunkannya pada akhirnya teredam oleh tebalnya bantal atau lelap yang memeluk lagi.
“Hoaaammmph . . . siapa sih nih, gangguin orang tidur aja,” sungutnya. Sosok itu menggeliat pelan di atas ranjang dengan sprei warna biru yang memiliki gambar penguin. Nuansanya lembut, sejuk dan hangat sekaligus, membuat siapapun enggan beranjak dari atasnya.
Suara berisik dari samping ranjang membuat sosok itu menyodorkan tangannya, meraba-raba mencari sumber suara. Belum dengan mata yang terbuka sempurna saat ia mengenali benda berlayar itu menunjukkan angka nol, enam dan entah dua angka di belakangnya tidak sempat dilihatnya. “Baru juga jam enam,” sembari di gesernya kunci layar.
Ada simbol pesan berkedip di sana. Sengaja dibiarkan saja kedipan itu tanpa memencet tombol selanjutnya untuk melihat isinya. Si pemilik memilih kembali menenggelamkan kepalanya di balik lembutnya bantal, takluk oleh rasa kantuk yang menyerangnya lantaran tidur hampir jam tiga pagi, hanya oleh alasan tidak cukup penting—nonton drama korea yang tayang di TV lewat tengah malam—.Siapapun pasti tergoda untuk tidur lagi.
Dan ini semua lantaran laptop yang biasa menemaninya bergadang sedang harus menginap di tempat perbaikan lantaran nyaris seminggu lamanya tidak dimatikan. Masih oleh alasan sama sekali tidak penting, mengunduh serial drama Korea kejar tayang dan menontonnnya secara marathon.
Hanya berselang satu jam kemudian, suara berisik kembali terdengar. Ponsel itu seakan tidak mau tahu kalau pemiliknya masih enggan menyentuhnya. Padahal biasanya sama sekali tidak diletakkan barang sejenak, hingga sekujur tubuh ponsel itu berubah hangat hingga panas.
Dering yang tadinya menunjukkan ada pesan masuk berganti menjadi dering yang menunjukkan adanya panggilan. Dan si pemilik mau tidak mau harus memastikan agar benda itu tidak cerewet lebih lama lagi, dengan mengangkatnya.
“Halo?“ ucapnya masih setengah sadar.
“Hei! Jangan bilang kamu belum bangun!” hardik sebuah suara diseberang sana.
“Hmmmph . . . “
“Anak cewek, kok males banget?”
“Ini siapa?” jawabnya dengan suara serak terseret, khas bangun tidur yang dipaksakan.
“Ini Mas Damar, bangun donk. Cuci muka buruan!” ucapnya lagi.
Sebuah nama yang baru saja diucapkan membuat sang gadis tersentak bangun dari tidur-tidur ayamnya. ”Hehe sory, Mas. Kan libur, jadi masih males bangun gitu,” masih dengan cengar-cengir ia beranjak bangun dan menuju lemari besar di sisi lain kamarnya. Merapikan rambut yang masih acak-acakan sambil memandangi wajahnya sendiri yang tidak kalah kucel. ”Lagian Mas Damar juga, telepon pagi-pagi. Ada apa sih? Tumben telepon segala. Lagi banyak pulsa ya?” tebaknya asal.
“Gimana nggak telepon, sms nggak dibales juga. Kamu balik kapan?” ucapnya tanpa basa basi.
“Masih lumayan lama mungkin. Kan jadwal registrasi awal Agustus, tanggal 5 kan?” lebih pada diri sendiri. “Mungkin sekitar dua minggu lagi. Kenapa, tumben tanya kapan aku balik?”
“Lama banget sih, ngapain aja di rumah. Emang belum puas udah liburan dua minggu di rumah?”
“Ye . . . enak aja, banyak donk yang dikerjain. Ngeributin rumah, berisik sama adek, ketemu temen-temen, jalan-jalan, refreshing lah. Emang kamu, Mas. Dari kecil mpe gede, ngendon di rumah terus. Kapan majunya?” ucapnya tidak mau kalah.
“Termasuk bangun siang kayak gini? Cewe koq bangun jam tujuh pagi. Itu namanya kerjaan hari libur?”
“Hehe . . . “
“There was something wrong.”
“Apaan?” tanya Bintang enteng.
“Udah nggak usah banyak tanya. Kalau diceritakan bakalan panjang dech. Pulsa limit nih. Ok, besok aku tunggu di lobby lantai satu, tempat biasa, jam 9 pagi, nggak pake telat. Nanti kita bahas,” sambil menutup telepon.
“Hei tunggu! Jangan ditutup dulu, seenaknya banget ngatur orang,” tapi terlambat. Dan akhirnya Bintang hanya memaki-maki dirinya sendiri, kenapa selalu tidak bisa menolak permintaan ketua departmen sekaligus partner kerjanya ini.
***
Perjalanan hampir tujuh jam ternyata cukup membuat badan pegal-pegal semua. Apalagi kalau sampai di terminal sebelum waktu subuh. Dingin udara pagi membuat Bintang merapatkan jaket lagi, padahal dalam bus sudah lumayan kedinginan oleh AC. Ringan dilangkahkan kakinya menuju mushala di ujung terminal. Melewati ruang tunggu di sebelah kiri yang lumayan sepi. Hanya ada dua orang laki-laki di deretan paling kiri memeluk tas masing-masing dan tampak tertidur di atas tasnya. Dan seorang wanita, yang melihat penampilannya sudah setengah baya tengah asyik memainkan telepon selulernya sambil tersenyum sendiri.
Sampai di bagian mushala yang cukup tersembunyi, Bintang meletakkan tas ranselnya. Mencari posisi paling enak untuk sejenak memejamkan mata. Tapi belum sampai setengah jam ia terlelap, rupa-rupanya adzan shubuh menguapkan mimpi yang baru saja dimulai. Digosok-gosoknya mata yang merah itu. Menguap dan meregangkan badan yang cukup pegal. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, ia sudah asyik dalam kekusyu’-an shubuh.
“Setengah enam,” gumamnya sembari beranjak keluar dari gerbang terminal. Di luar dicarinya tukang ojek yang biasa mangkal di depan terminal. Cuma ojek, kendaraan yang bisa diandalkan di pagi hari dari terminal sebelum kendaraan umum lain mulai mengepulkan asapnya.
Jarak yang lumayan jauh itu dicapai tidak sampai sepuluh menit. Rupanya-rupanya kelengangan pagi menguntungkan untuk tidak perlu terlalu sering menggunakan rem, kecuali saat di lampu merah. Diserahkannya tiga lembar limaribuan pada si tukang ojek yang tidak kalah kedinginan juga.
* * *
“Dasar lelet!” sungutnya.
Sesosok makhluk berjilbab di hadapnnya itu merengut disambut oleh ucapan yang sama sekali tidak lebih baik disebut sebagai kata “penyambutan”. “Enak aja! Nyebelin banget sich. Udah telepon pagi-pagi, maksa pula!” timpalnya tanpa ampun.
“Mana oleh-olehnya?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Hhhh!“ ucapnya semakin kesal sambil membanting tasnya di atas meja panjang yang ada di lobby gedung itu.
“Gitu aja marah,“ ucapnya mulai sadar kalau ungkapan sambutannya tadi membuat gadis di depannya semakin marah. “Ntar cepet tua lho,“ godanya lagi.
“Kamu tu rese banget ya Mas!“ ungkapnya lagi sambil duduk di kursi panjang di samping meja. Mencoba mengendalikan kemarahannya yang sudah hampir meledak.
“Eh, marah beneran nih?” Damar pasang tampang serius. “Sory dech, sory . . . kan Cuma becanda. Gitu aja marah beneran.”
Bintang diam. Membiarkan kemarahannya menguap dan membuat orang disampingnya ini blingsatan merasa bersalah. Puas dalam diamnya, sudut bibir Bintang mulai bergerak membentuk seulas . . . “Makannya, kalau apa-apa tuh nggak pake berlebihan. Kemarin Ibuku tanya, kenapa aku tiba-tiba harus balik. Padahal libur masih lama. Kan repot tuh jawabnya. Emang ada apaan sih? Bikin heboh aja. “
Dengan senyum yang terkembang lega, “Iya, iya . . . kalau untuk yang satu itu, sorry banget deh. Ya soalnya stafku yang masih bisa diajak kompromi jadwal kan cuma kamu sama Reza. Yang lain kan payah,” ucapnya kemudian.
“Terus, mana Reza?”
“Tadi aku suruh ke BEM, rapat koordinasi sama temen-temen BEM dan dari jurusan lain. “
“Emang ada apa, pake ada nama BEM segala?”
“Apa yach? Enaknya apa?” melihat tampang Bintang yang kembali tidak enak dilihat alias merengut, Damar melanjutkan kalimatnya. “Gini, minggu depan kan udah registrasi ulang mahasiswa baru. Nah, berarti sebentar lagi ada orientasi mahasiswa baru. Kalau yang tingkat universitas kan diurusi BEM Univ, fakultas ya BEM Fakultas. Terus Osmaru jurusan kan belum ada yang ngurusi tuh, jadi yang ngurusi ya temen-temen perwakilan prodi. Lebih tepatnya mahasiswa jurusan P. MIPA secara umum. Gitu ceritanya.”
“Jadi ini tentang Osmaru?!” Bintang setengah berteriak tak percaya.
“Huum.“
“Lha terus aku ngapaian?”
“Nunggu hasil rapatnya Reza,” jawab Damar singkat.
“Padahal aku udah datang telat . . . , Mas Damar!!!“
Damar hanya tertawa dan tidak menanggapi lagi kemarahan Bintang. Sebuah rasa puas tergambar lewat tawa yang semakin berderai lepas karena bisa mengerjai adik tingkat sekaligus stafnya satu ini.
* * *
Ini kisahku, meski sebenarnya nggak terlalu manis juga sih. Mungkin di luar sana, banyak juga orang yang memiliki kisah seperti ini, bahkan lebih menarik untuk disimak. Tapi, bukan hal salah kan kalau aku membagi kisah ini? Ah, kalau kalian sudah keburu bosan sebelum melanjutkan tulisan ini, baiklah, aku tidak akan memaksa. Tapi, mungkin mas Damar atau yang lain akan bisa membuat kalian bertahan.
Aku nggak bosan kok baca cerita ini. Hehe.
Comment on chapter Part 1