"Ah.... Sorry, sorry. Ma'af nggak sengaja!" Kata Renata sambil mengusap-usap kepalanya. Ia terpaku sejenak menatap cowok tinggi di depannya. sedetik kemudian, ia terkejut dan hendak mundur beberapa langkah sampai sesuatu menahannya.
cowok itu mengusap dagunya yang tadi berbenturan dengan dahi renata. pastilah, dahi Renata yang terasa lebih sakit. Alis cowok itu bertautan sambil menatap Renata.
"Ma'af, gue nggak sengaja tadi. tiba-tiba aja, waktu gue balik elo...." Renata mencari kalimat yang cocok untuk menggambarkan posisi mereka. ini memang salahnya karena selalu tidak berhati-hati, tetapi siapa sangka ia akan menabrak seseorang di sekitar taman yang sepi begini. Ia jadi menduga-duga, bahwa cowok itu yang sebenarnya bersalah.
"Lain kali hati-hati!" Katanya sambil menyerahkan kotak kecil di tangan Renata. Renata kembali terpaku. Ia kembali merasakan sensasi aneh waktu telapak cowok tiu memegang tangannya dan meletakkan sesuatu yang menjadi penyebabnya mengalami semua bencana ini. yah... Renata memang dekat dengan segala bencana. begitu pikirnya selalu.
"paku kecil ini... gimana bisa ada di dia? jadi dia yang tadi munguitn ini? jadi dia ke sini buat ngasi ini doang?" sejenak kemudian ia mengerang pada dirinya sendiri. "Muka gue mau di taruh mana! Pasti dia kasihan sama gue!" meski Renata sadar ia sudah terlanjur di cap sebagai cewek pembawa sial di sekolahhnya, ia tetap tidak mau anak baru itu juga memberikan julukan yang sama baginya. Ia masih ingin mempertahankan reputasinya meski nyatanya tidak dapat tertolong lagi.
"Ah, Bodo! gue tempel dulu lah ini." Renata berusaha mengusir semua pikiran negatifnya dan hanya fokus dengan tugasnya. lututnya sedikit nyeri karena benturan yang ia dapat beberapa menit lalu. dan ia berpikir untuk memeriksanya sebentar setelah tugasnya selesai. Ia harus menempel beberapa pengumuman untuk anggota baru ekskul Jurnaistik agar berkumpul sepulang sekolah. di kertas itu tertera 'tugas perdana' untuk anggota baru. sementara anggota lama, ada rapat internal yang harus diikuti. Renata memasang lima pengumuman di seluruh gedung sekolah. dua di lantai dua, dua lagi di lantai bawah, dan satu di mading besar di depan pintu gerbang. tempat ia pertama kali bertemu cowok yang barusan tadi ia tabrak.
"Kok gue jadi sering nabrak dia sih, sekarang!" Katanya sambil menancapkan paku kecil kuat-kuat ke dinding mading. "gila! mukanya bener-bener mirip ama Adhi." ia teringat pertemuan pertamanya dengan Adhi ketika cowok ala-ala artis korea itu memperkenalkan dirinya di depan kelas. suaranya riang dan terdengar ceria. berbeda dengan suara yang baru saja memberikan peringatan kepadanya tadi. suara yang dalam dan tenang. tapi entah kenapa, Renata merasa cowok itu tadi sedang marah padanya.
"Emang bener kata Avi. mereka beda." Ia menarik kesimpulan. Renata jadi teringat dengan perkataan Avi seminggu ketika Adhi duduk di kelas mereka. "Gue udah lihat sendiri, dan semua cewek juga bilang, kalo mereka beda bangettt!" Kata sahabatnya waktu itu. Renata yang menjadi pendengar setia hanya bisa mengangguk-angguk seakan percaya dan peduli dengan perkataan Avi, namun nyatanya semua itu hanya angin lalu bagi telinganya.
"nah, sekarang gue resmi jadi si pembawa sial di sekolahan ini. bahkan anak baru yang sebulan lalu nggak tahu, jadi tahu." Ia mendesah. "Mana masih sakit lagi!" ia mengusap lututnya yang sedikit lecet karena terjatuh kemarin.
setelah tugasnya selesai, ia kembali ke kantor ekskul jurnalis di sayap krii bangunan untuk mengembalikan kotak kecil berisi paku. di dalam ruangan, hanya ada seorang cowok yang sedang berdrii menatap serius ke layar komputer di belakangnya. ketika Renata akan kembali ke kelasnya, Rahma datang.
"Ren, jangan lupa nanti kita kumpul juga, ya! ada sesuatu yang perlu kita bahas." Rahma memberu tahu.
"Buletin kita ada masalah, Kak?" Tanyanya menduga.
"Enggak, bukan itu. Buletin kita sejauh ini jalan sesuai dengan rencana. cuma aku mau ngomngin soal besok lusa." Rahma duduk di meja di tengah ruangan yang besarnya seperempat dari ruangan kelas itu.
"Lusa?" Renata ikuti duduk di depan Rahma. "Lusa memang ada apa?" Renata mengernyit
"Sekolah kita 'kan jadi tuan rumah pertandingan final sepak bola antar SMA. jadi, perintah Andika, kalo bisa semua ekskul buka stand buat pameran kecil atau jual makanan atau cemilan kecil gitu."
Renata mengangguk-angguk mengerti.
"Tapi rencana kita, kita nggak cuma jual minuman atau cemilan nanti. aku punya rencana mau jual beberapa pernak-pernik sepak bola." sahut cowok yang sedari tadi menatap komputer. ternyata itu Adhi.
"iya. aku juga mau jual beberapa bulpoin aku yang nggak pernah aku pake" Tambah Rahma.
Renata berpikir lama, kemudian mengangguk lagi. "Oh... gitu."
"Kamu sekelas sama aku 'kan?" Adhi bertanya menatap Renata.
Bener kata Avi. mereka emang beda. mata mereka juga beda.
"Hallo..." Adhi melambaikan tangannya di depan Renata ketika cewek itu terpaku menatapnya.
"Eh iya." Ia tersadar dan segera mengalihkan tatapannya dari Adhi dan malah melihat tatapan kesal Rahma kepadanya. "Iya, iya. kita sekelas kok."
"Ya udah, kita nanti barengan aja ke sininya."
mata Renata membulat dan melirik ke arah Rahma yang sudah mengernyit kesal. "Eh, nggak usah." tangan Renata melambai kuat-kuat. "aku mau jemput Shasya dulu. takutnya dia nggak tahu kalo kita kumpul sepulang sekolah." sekali lagi, ia melirik Rahma dan tatapannya seketika melunak. Oh god.....hampir aja gue kena masalah lagi.
kini giliran Adhi yang mengangguk-angguk. "Oke."
Renata baru saja akan berdiri, tapi Adhi kembali memanggilnya. "Eh, siapa nama kamu? kok aku lupa?"
"Eh... aku....Renata." Katanya canggung sambil sesekali melirik Rahma yang sudah membaca kertas-kertas di dalam map.
setelah Adhi mengangguk lagi, Ia dengan cepat melipir keluar ruangan dan menarik napas lega. hampir aja.
"Mereka itu pacaran?" Tanya Renata lirih pada dirinya sendiri. "kayaknya Kak Rahma nggak suka banget Adhi ngobrol sama gue. Apa gue perlu tanya Avi soal gosipnya Adhi sekarang ya?"
dama perjalanannya menuju kelas, bel berbunyi dan Renata cepat-cepat berjalan menuju kelas sebelum gelombang besar siswa-siswa mendorongnya ke sana kemari.
"Dari mana? kok gue cariin ke kantin nggak ada?" Stefani memberondong Renata dengan pertanyaan sesampainya dia di tempat duduknya.
"Dari kantor ekskul. ada tugas mendadak."
"Oh..." stefani mengangguk. "Ada Adhi juga di sana?" Tanyanya lagi.
"Iyalah." Jawabnya cepat. Renata tidak tahu sejak kapan cowok itu bergabung dengan ekskul jurnalis, setelah beberapa waktu, tiba-tiba cowok itu selalu hadir di rapat-rapat ekskul. dan seperti sudah terbiasa, cowok itu selalu bersikap ramah dan ceria pada siapapun.
"Denger-denger, Adhi juga ya yang bakal jadi ketua ekskul jurnalis selanjutnya." Avi menyahut.
"Ketua?" Renata memekik tak percaya. dan saat itu juga, orang yang mereka bicarakan berjalan bak model di depan kelas.
"nggak heran, sih. Adhi 'kan emang care banget sama jurnalis." Kata Stefani sambil menatap Adhi hingga duduk di tempatnya, dua bangku dari depan di barisan paling ujung.
"Stef!" Avi memekik lirih sambil menyenggol kengan Stefani yang sepertinya sudah tersihir oleh pesona Adhi. memang sekilah cowok itu mirip seperti model korea yang digandrungi anak-anak SMA. kulit cerah, wajah manis, bibir merah muda, dan rambut hitam yang menambah pesonanya.
"Sttt..." Avi menepuk lengan Stefani lebih keras, membuat cewek berambut panjang itu seketika menatapnya.
"Uhm... Sorry." Ia menunduk salah tingkah.
"Eh, balik ke pertanyaan gue." Renata kembali berbisik. "Adhi yang bakal gantiin Kak Rahma?"
"Denger-denger gitu." Avi menjawab. "Kalo gue denger dari cerita temen-temen ceweknya Adhi, terus dari instastorynya di Ig, trus feed-feed-nya juga, dia kayaknya udah satu hati banget sama jurnalis. dia pernah update status di IG kalo dia seneng banget bisa habisin waktu lama buat ngruusin buletin kalian." Avi menjelaskan lagi.
Renata dan Stefani mengangguk mengerti.
"Tapi 'kan kita harus tetep rapat internal. gue nggak setuju kalo tiba-tiba Adhi ngambil alih atau meresmikan diri sendirinya gitu." renata mengerucutkan bibrinya.
kedua sahabatnya terdiam.
"Eh terus..." Ia menyapu pandang ke arah kursi guru yang masih kosong, memastikan kalau Pak Indra, guru Biologi itu terlambat memasuki kelasnya. "Gue mau tanya." renata semakin memelankan suaranya. "Adhi itu pacaran nggak sih sama Kak Rahma?" Renata menatap sahabatnya satu persatu. dan saat itu, ia mendapati wajah Stefani yang seketika pucat. binar di matanya stelah menatap Adhi tadi, mendadak hilang. sementara, Avi sepertinya sedang menyusun kalimat yang akan ia katakan pada Renata.
"Sebenarnya..." Kata Avi sambil menatap tak tega pada Stefani. "Sori ya, Stef." Katanya lirih yang dibalas dengan anggukan beserta ssenyuman hambar. "Mereka itu nggak pacaran. gue udah tanya ke temen gue yang tanya soal itu ke sahabatnya Kak Rahma. meraka emang deket banget, kemana-mana nempel kayak hansaplas sama kulit gitu. tapi, Adhi nggak pernah bilang kalo dia suka sama kak Rahma. malah Kak Rahma yang selalu ngasi sinyal kalo dia itu suka sama Adhi dan nggak mau jauh-jauh dari dia. harapannya sih supaya Adhi cepet-cepet nembak, tapi nyatanya nihil. hal itu nggak pernah terjadi." Jelas Avi menutup sesi klarifikasinya.
ketiganya diam. Renata sedikit mengerti situasi ini. Ia mungkin tahu kenapa Rahma bersikap seperti itu. sementara Stefani, hatinya sedikit lega karena akhirnya tahu bahwa Adhi belum memilih siapapun untuk menjadi pacarnya.
"Eh, kok lo tumben nanya itu ke gue? biasanya lo nggak pernah peduli soal gosip gituan." Avi kembali bersuara.
Renata menarik napas panjang dan mengubah posisi duduknya. "Gue tadi sedikit ngobrol sama Adhi. dia juga ngajak gue bareng ke kantor sepulang sekolah nanti, tapi kayaknya kak Rahma nggak suka Adhi ngobrol sama gue."
Avi mendesis. "jelaslah.... pasti dia jeles, karena Adhi keliatan perhatian sama elo."
"Gue?!" Renata menunjuk dirinya sambil memekik nyaring. kemudian ia geleng-geleng tak mengerti dengan tingkah Rahma yang bisa-bisanya bersikap seperti itu. dirinya bahkan bukan apa-apa dibanding Rahma.
sedetik kemudian, Pak Indra masuk dengan membawa satu plastik kertas.
Mampus gue. pasti ini ulangan dadakan.