sejak mereka berpisah dan Abi pulang ke rumahnya, pikirannya tidak bisa lepas tentang keputusan yang baru saja ia buat untuk mencalonkan diri menjadi ketua OSIS. setelah menutup pintu kamarnya, ia terpaku di depan cermin besar di sebelah kamar mandi. ia memandangi dirinya yang masih tetap sama dengan 17 tahun lalu. bedanya, sekarang dia di Indonesia. kampung halaman ayahnya. yang kata orang negeri yang ramah. Ia berharap seperti itu. Abi mengembuskan napas berat ketika ia mengingat masa lalu kelam dirinya di Korea.
pengalaman di kucilkan dan bullying karena warna kulit dan rambut yang berbeda, membuatnya mengubah diri agar ia selalu diterima di lingkungannya. tapi hal itu malah menimbulkan masalah. ia semakin sering diejek dan lecehkan agar ia bisa berteman dengan siapapun. saat batas kesabarannya sudah habis, tanpa sadar ia memukul anak-anak yang pernah mengejek dan melecehkannya. namun hal itu tidak membuat jera mereka semua. Abi semakin terasing dan dikucilkan.
Sejak saat itu, ia tidak percaya lagi dengan seorang teman. Teman bisa menjadi seseorang yang paling mencintai dan yang paling menyakiti. Bagi Abi, ia sudah lelah disakiti. Semua keramahan dan keterbukaan yang ia hadirkan untuk teman-temannya, tidak pernah terbalas dengan baik. Selalu berujung dengan tertawaan dan ejekan.
Hingga akhirnya ia bosan dengan semua topengnya. Melakukan sesuatu sesuai isi hatinya, membuatnya lebih nyaman dan tenang. Meskipun itu membuat seseorang terluka, itu lebih baik daripada harus menyembunyikan kebenaran dari dirinya sendiri. Kebohongan yang paling mengerikan adalah kebohongan terhadap diri sendiri. Berusaha menjadi baik terhadap orang disekitarnya hanya akan membuatnya terluka. Kini ia bukan lagi dirinya yang dulu. Ia mulai membangun benteng untuk dirinya sendiri.
Abi memejamkan matanya erat-erat.
memori ketika ia melihat rona bahagia teman-temannya karena ia meng-iya-kan tawaran konyol Aldo siang itu, terus terngiang di kepalanya. sampai memori ketika saat istirahat, Ia bertanya secara serius pada Aldo tentang alasan ia mengusulkannya menjadi ketua OSIS.
"karena lo yang paling pantes buat jadi ketua OSIS." Kata Aldo dengan mantap. Membuat Abi seketika berpikir keras.
"gue anak baru, gue nggak tau apa-apa soal sekolahan ini." Kata Abi penuh keraguan.
"nggak masalah soal itu. kita semua siap bantu lo." Jawab Aldo lebih tegas lagi
"tapi...siapa yang mau milih anak baru kayak gue?" lanjutnya dengan seringai tak percaya.
"Bi, kita disini, ada gue, samuel, Riko, sama temen sekelas yang siap dukung lo." Aldo menepuk punggung Abi lembut, mencoba meyakinkan Abi lagi. "kita semua bakal dukung lo secara penuh. Lo cerdas, tegas, dan yang lebih penting, lo tu idealis."
"Sok tau lo" Katanya tak peduli
Aldo tersenyum simpul. "inget waktu lo dihukum Bu Rika gara-gara Lo nggak sependapat sama dia? waktu pelajaran bahasa indonesi itu, lo berusaha pertahanin pendapat lo meski pendapat lo berlawanan sama Bu Rika, sampek-sampek Bu Rika gregetan sama lo, akhirnya lo dihukum karena dianggap bikin pelajaran kacau. Waktu itu kita semua kagum sama lo yang rela dihukum cuma buat pertahanin pendapat lo. sebelum lo, nggak ada yang berani ngebantah Bu Rika yang kadang-kadang jawabannya ngawur kayak gitu. cuma lo yang pertama."
Abi seketika terpaku mendengar jawaban Aldo dan ia sekali lagi memandanginya dirinya sendiri. menyelidiki apakah ada aspek yang berubah dalam dirinya. tapi semua itu tidak berguna. ia akhirnya merebahkan dirinya di kasur, memandangi langit-langit kamar. Pikirannya tertuju pada gadis itu. gadis yang menabraknya tanpa sengaja hingga merepa bertatapan cukup lama.
"Ck, mikir apa sih!" Ia beranjak dan segera menuju kamar mandi.
-0-
"Kita pergi sekarang?" seru Aldo setelah bel dua kali pertanda istirahat berdering ke seluruh penjuru sekolah. koridor lantai dua, segera diramaikan oleh siswa-siswi yang ingin secepatnya menuju kantin.
"Ke mana?" Riko mengernyit menatap Aldo yang sedang menunggu jawaban Abi
"Ke kantor OSIS." Jawab Aldo kesal. "Lo harus ambil sendiri formulir pendaftarannya, Bi. Kak Andika tadi pesen ke gue juga supaya lo ke sana waktu istirahat?"
"Kak Andika nyuruh gue ke sana?" giliran Abi yang mengernyit, yang dibalas Aldo dengan anggukan mantap. Ia lalu menurunkan Buku Matematika-nya dan menutupnya seketika. semangatnya untuk mempelajari materi terakhir tadi sudah menguap.
"Ya udah, kita ke sana bareng-bareng aja. ada kita di sini, Bi. Lo jangan khawatir." Samuel menyentuh bahu Abi.
Abi beranjak sambil mendesah lirih. "thank's buat dukungan kalian. tapi gue lebih btuuh persiapan buat diri gue sendiri." Katanya sambil berjalan keluar dari bangkunya. ketiga temannya mengekor berjalan di belakang ABi yang sudah menyusuri koridor yang mulai lengang.
10 menit setelah bel berbunyi, gedung sekolah terasa sunyi. semua penghuni kelas telah bertransmigrasi ke kantin untuk membebaskan rasa lapar mereka. mungkin saat ini di kantin sedang ada badai anak kelaparan yang ingin selalu didahulukan pesanannya. sementara Abi, selalu kehilangan minat jika harus berbaur dengan banyak anak yang lebih suka memperhatikan dirinya dari pada memperhatikan makanannya. sebelum ia memsan makanan atau benar-benar makan, pasti selalu saja ada anak yang menanyainya. lalu ia akan kenyang dengan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang tidak pernah berhenti sampai si penanya benar-benar puas. masalahnya, ia tidak terlalu suka degan gadis yang banyak bicara.
tok tok
Abi mengetuk pintu yang sudah setengah terbuka.
"Oh, ya! masukl!" sebuah suara berseru dari dalam. Abi segera mendorong pintu hingga terbuka sempurna. menampakkan seorang anak laki-laki bertubuh tegap dan sama tinggi dengannya, menatapnya dengan sumringah. di sampingnya, ada tiga anak laki-laki lain dan seorang gadis sedang berada di bagian dalam ruangan. mereka terihat membicarakan sesuatu yang serius dengan sebuah kertas.
"Abi. Akhirnya lo datang." Katanya pada Abi. setelah membisikkan sesuatu pada keempat temannya, laki-laki bertubuh tegap itu berjalan ke arah meja di samping pintu. "Duduk!" Ia mempersilahkan Abi.
"Gue udah ngira kalo lo bakal ke sini." katanya sambil membuka sebuah map merah di depannya.
"Ke sini? Maksud kakak?" Tanya abi bingung.
"maksud gue, lo bakal nyalonin diri buat jadi ketua OSIS." Andika terkekeh.
Abi mengangguk. ketiga temannya yang berdiri di belakangnya hanya berkasak-kusuk mendengar kalimat jujur Andika.
"Lo beneran mau nyalonin diri 'kan?" Andika menghentikan gerakan tangannya yang sedag mengambil selembar kertas. Matanya menatap Abi seolah menunggu jawabannya.
"Uhm... iya, Kak." Jawab Abi akhrinya.
ketiga teman di belakangnya saling berpandangan. sementara Andika menghembuskan napas lega. "Gini 'kan gue jadi sedikit lega." Gumamnya pada diri sendiri.
"kakak bilang sesuatu?" tanya Abi cepat
"Eh, enggak. lega aja kalo lo jadi nyalonin diri." seketika Abi menatap tajam Andika. "setidaknya kita masih bisa berharap sama elo." Andika mengakhiri pembicaraan yang sepertinya tidak diinginkan Abi dan berdiri. "Ini, formulirnya." Andika menyerahkan selembar kertas pada Abi. cowok itu tidak segera menerimanya. Ia menatap kertas itu penuh kecemasan. satu hal lagi yang harus menjadi tanggung jawabnya jika ia terpilih.
Abi juga baru saja beranjak ketika dia teringat sesuatu. "Jadi kakak manggil saya ke sini cuma buat ini?" Ia mengangkat kertas yang baru saja ia terima.
Andika terpaku sejenak mendengar perkataan Abi, kemudian berseru. "Oh...." Ia kembali ke meja lebar di tengah ruangan. "Gue butuh bantuan kalian buat sesuatu!" Katanya dengan semangat.
"Kalian sudah tahu kan, kalau besok ada pertandingan final?" Katanya sambil mengambil sebuah dokumen lain dari meja.
Abi dan kawan-kawannya mengagguk.
"gue butuh bantuan kalian untuk menyambut tamu-tamu kita nanti." Kata Andika dengan mantap. seketika mereka berempat saling berpandangan.
"Tamu?" Aldo berseru
"Kita?!" Kata Riko dengan nada tidak yakin.
"Iya, kalian. kalian berempat gue tugasin sebagai penerima tamu untuk peserta lomba. nanti kalian akan dibantu Riya dan temannya." cewek di samping Andika melambai. "besok, pasti akan banyak siswa cowok yang hadir, meski mungkin ada juga siswa cewek. jadi gue butuh kalian. khususnya elo..." Andika menunjuk Abi. "elo gue tugasin menerima dan mengawal peserta pertandingan sampai ke ruang ganti. elo juga nanti yang ngurus semua keprluan mereka. nanti gue tugasin anak kelas 2 lain buat bantu elo." katanya menutup penjelasan.
mereka mengangguk-angguk.
"Ada yang kalian bingungin?" Andika bertanya seolah memastikan mereka berempat paham dengan penjelasannya.
mereka menggeleng.
"Oke, Sip. besok lupa berangkat pagi-pagi dan jagan lupa, pakai jas kalian!"
"Siap, Kak!" Kata Aldo mantap, kemudian diikuti oleh temannya yang lain.
"Thank's. kalian boleh pergi."
mereka berempat keluar dari ruangan OSIS dan segera bersentuhan dengan udara sejuk di koridor. Abi masih memandang ragu pada kertas di tangannya.
"gue lapar tingkat dewa nih, ke kantin yuk!" Riko merengek.
Samuel dan Aldo mengangguk, menyetujui rencananya.
"Bi! lo nggak ngantin?" Samuel enyadarkkan Abi dari lamunannya.
"Enggak. kalian aja." Jawabnya singkat.
mereka kemudian berpisah di ujung bangunan yang memisahkan seluruh ruangan di SMA itu dengan kantin. ABi tidak tahu akan berjalan ke mana, yang jelas, ia hanya ingin menyendiri. Ia ingin bertanya kembali pada dirinya, apakah yang dilakukannya ini benar? apakah niatnya ini tidak akan melukai seseorang? di tengah keraguannya pada diri sendiri, Abi dikagetan oleh sebuah suara di depannya.
"HEY! YANG BENER DONG, KALO JALAN!" seorang cowok yang sedang menggandeng tangan pacarnya berteriak pada seorang cewek lain di depan mereka.
"Ma'af, Kak! Ma'af" cewek itu menunduk menunjukkan permintaan ma'afnya.
"udahlah! dia udah biasa kayak gitu. mending kita, yang jauh-jauh dari dia supaya nggak ketiban sial." bisik pacar cowok itu yang masih bisa didengar Abi. setelah cowok itu mendengus keras, mereka pergi sambil terkikik melirik cewek yang mereka tinggalkan.
dia....
dan ternyata cewek itu adalah cewek yang sama yang bertabrakan dengannya di depan mading utama. cewek itu, dengan wajah kesal dan masam memandangi pasangan yang tadi tidak sengaja ditabraknya. cewek yang belum ia ketahui namanya, namun sudah mencuri perhatiannya sejak beberapa minggu yang lalu karena puisi yang ditulisnya. Renata. cewek itu menggumam lirih, kemudian kembali berjalan sambil memaandang kertas yang ada di tangan kanannya.
"Gue tadi kan belum nabrak apapun! lagaknya kayak gue udah rusakin mainan berhaganya aja!" Rnata mendengus sebal. Ia kembali memandang lembaran kertas yang ia bawa. "Ini pengumuman apa sih! Kak Rahma main ngasi aja, nggak mau ngasi tau ini pengumuman apa." mulutnya berkomat-kamit membaca dengan cermat informasi yang tertulis di kertas itu.
"Oh, ini-"
Brukkkk
belum selesai ia menyimpulkan isi berita itu, ia kembali di kagetkan oleh sesuatu. tubuhnya terpelanting tengkurap ke lantai koridor diringi tawa nyaring dari arah sekitarnya. Renata tahu, pati ia dikerjai lagi oleh kakak tingkat yang suka menggodanya. tidak. lebih tepatnya, mempermalukannya di depan umum. Renata menatap kertas-kertas berserakan dan paku kecil tercecer di depannya. Ia hampir menangis, tapi ia tak akan melakukannya. Dia harus kuat jIka tidak ingin diganggu dan dipermalukan lagi oleh senior-senior jahil di sekolahnya. renata cepat-cepat berdiri dan merapikan pakaian serta rambutnya. Ketika ia berjongkok untuk memunguti kertas yang berserakan, ada tangan lain yang memunguti paku kecil dan memasukkan kembali ke dalam kotaknya.
"Putri pembawa sial, nggak apa-apa tuh lututnya? sini kakak obatin kalo sakit!" perkataan cowok itu seketika memancing tawa menggelegar kembali di sekitarnya yang tadi sempat hening. dengan rasa kesal, Renata berjalan cepat sambil menggenggam erat-erat kertasnya.
mereka pikir mereka siapa sih! apa karena gue adik kelas mereka, jadi mereka bisa seenaknya ngejek gue! Renata mengusap Pipinya yang mendadak basah. gue nggak boleh nangis! Gue nggak boleh cengeng. GUE HARUS KUAT!
"Emang mereka pikir mereka siapa!" Maki renata ketika ia sampai di taman yang sepi. langkahnya terhenti dan hanya berdiri kaku di sebuah sudut. "Jangan karena gue cuma junior, lalu mereka bisa seenaknya mempermalukan gue!" Renata mengatur napasnya yang tersengal karena kekesalannya. Ia kemudian duduk di tenpat duduk terdekat dan sekali lagi menenangkan dirinya yang masih terlihat kesal. Ia ingin menuntaskan semua kekesalannya di sini. jika tidak, ia akan menjalani hari buruk sepanjang siang. Ia menarik napas panjang beberapa kali lalu memandang kertas di depannya.
"jadi, pertemuan sama anggota baru diadakan nanti siang di ruang ekskul. semua anggota wajib hadir." renata membaca baik-baik. "berarti pasti ada hal lain selain penugasan perdana sama nggota baru. Apa ya?" Renata memikirkan sesuatu. "Apa rancangan buletin kita ada kendala lagi?" ia menggeleng. "Enggak, enggak. Kalo bener ada kendala, pasti Kak Rahma bilang dulu sama kita. Mendingan gue tempel dulu deh pengumumannya." Ia beranjak dari kursi. setelah beberapa langkah, ia teringat sesuatu dan berbalik cepat.
Brukkk