Bunyi nyaring bel pulang, membuat Renata mengerang keras. "Kenapa nggak ngasi tugas yang lain sih? Kenapa harus resume!" Ia mendengus kesal. "Dan kenapa cuma gue..... Kalian kok nggak ikutan remidi, sih?"
Seketika Avi dan Stefani terkikik. "Sori, Ren. Gue tadi kayaknya dapat ilham aja, nulis kata-kata belibet secara acak dan untungnya jawaban gue bener." Ia menjelaskan.
"Ma'af banget, Ren! Tadi Pak Indra ngeliatin gue terus, jadi gue nggak bisa nengok ke elo." Kali ini Stefani yang berkata sambil menatap penuh rasa bersalah ke arah Renata.
Renata menatap dua sahabatnya yang menatap prihatin ke arahnya, lalu berseru. "Ya, udahlah! Bukan masalah besar juga." Ia melambaikan tangan dan segera merapikan semua barangnya. "Gue mau rapat di kantor ekskul dulu, ya!"
"Oke. Ma'af gue nggak bisa bantuin lo. Ada keluarga besar dari ayah gue yang mau dateng siang ini." Stefani berkata sambil mengikuti Renata yang berjalan menuju pintu.
"Udah, nggak apa-apa. Gue bisa ngerjain sendiri. Bener deh." Renata meyakinkan.
"Beneran?" Avi bertanya seolah sedang mengetesnya.
"Bener! Kalian dulu, gih! Gue mau susul Shasya dulu." Renata berhenti di depan kelas mereka.
Setelah berpamitan, mereka berjalan ke arah yang berlawanan. Renata ke arah timur, menuju kelas Shasya yang berjarak 2 kelas dari ruangannya. Ketika melintas di depan salah satu kelas, matanya kembali bersitatap dengan mata cowok yang beberapa jam lalu sempat menyita pikirannya.
cowok itu....
Renata berjalan pelan, sambil terus memperhatikan cowok itu yang sedang berbicara serius dengan ketiga temannya. Mereka baru saja keliar dari salah satu kelas dan sedang melintasi koridor di belakang Renata.
"HEI....." Sebuah tepukan keras membuatnya segera berpaling. "Liat apa sih? Sampai bengong gitu?" Ia mendapati Shasya sudah menatap curiga terhadapnya.
"Enggak. Gue nggak lihat apa-apa, kok." Renata berusaha memusnahkan dugaan Shasya. "Ada rapat internal sama pertemuan anggota baru di kantor. Ke sana sekarang, yuk!"
"Ke kantin sebentar, ya! Mau beli minum bentar gue."
Akhirnya sebelum menuju ke kantor ekskul, mereka berdua menuju kantin yang telah terlihat masih ramai. Bel baru beberapa menit lalu berbunyi, dan rupanya banyak anak yang ingin sekedar menandaskan dahaga atau mengisi energi kembali untuk mengikuti kegiatan ekstra. Seperti yang ia dan shasya lakukan sekarang. Semenntara shasya sedang memilih minuman di kulkas, ia sudah mengambil beberapa roti untuk mengganjal perutnya. Sore ini ia benar-benar harus bekerja keras.
Tugas resume materi 1 karena remidi ulangan harian Biologi yang diberikan Pak Indra tadi, benar-benar harus ia kerjakan mulai sekarang. Ia merasa tidak memiliki cukup waktu untuk menulis resume di 8 halaman kertas folio. Belum lagi, ia harus mencari 4 buku Biologi lain sebagai syaratnya. Benar-benar hukuman yang membuatnya kapok.
Sebenarnya ia sudah cukup tahu dari desas desus kakak kelas dan teman-temannya kalau Pak Indra, guru ganteng tapi ngeselin ini sangat suka memberika ulangan dadakan ketika moodnya sedang sangat baik. Bahkan saking bagusnya, kakak kelas pernah berkata guru berumur 30 puluhan ini pernah membuat soal simulasi ulangan semester agar murid-muridnya benar-benar siap menghadapi ujian semester sesungguhnya. Renata hanya bisa menggeleng bingung dan sebisa mungkin mengikuti cara belajarnya di kelas dua ini.
"Lo beli banyak banget? Yakin abis?" Shasya mendekatinya ketika selesai membayar minumannya.
Renata mengangguk. "Gue mau lemburan, nih. Gue kena remidi pak Indra."
Shasya tertawa. "Ya ampun! Lo remidi di ulangan pertana semester ini?" Tawa Shasya terdengar lebih keras.
"Ulangan dadakan tahu!" Renata mulai berjalan keluar kantin. "Kalo tahu mau ulangan pasti gue belajar lah!"
Dan tawa shasya kembali terdengar setelah ia meneguk minumannya.
Kantor sudah ramai ketika mereka sampai di tempat itu. Anggota baru yang berjumlah 6 anak sedang berkumpul dengan Adhi sebagai pembicaranya.
"Kalian jangan ke mana-mana, ya! Habis ini kita rapat." Kata Rahma singkat, lalu menghilang dari ruangan.
Selain anggota baru, ada juga teman seangkatan Renata yang lain. Dua orang sedang sibuk di depan komputer, tiga anak ikut mendengarkan arahan Adhi, dan ada seorang yang sedang mencari sesuatu di lemari di sudut ruangan.
"Sya, gue ke perpustakaan dulu, ya? Gue perlu cari sesuatu dulu. Bentar kok, nanti gue balik." Belum sempat Shasya menjawabnya, Renata telah melesat keluar.
Koridor sedang sepi karena aktifitas ekstra berpusat di lapangan. Ada pencak silat dan beberapa siswa basket yang sedang berlatih di tengah terik matahari.
Renata segera memasuki perpustakaan yang terlihat sepi. Setelah memberi salam pada petugas yang sudah ia kenal sejak kelas satu, ia berjalan cepat ke rak buku yang berada di barisan paling belakang. Ia hampir hafal posisi buku-buku yang ada di perpustakaan ini. Ini semua adalah akibat karena sejak kelas satu, Renata suka sekali mencari novel yang tak pernah ia temukan di perpustakaan ini. Dalam perjalanannya menuju rak yang ia maksud, ia kembali menangkap sosok cowok yang tidak asing di matanya.
cowok itu lagi....
Batinnya ketika ia melirik cowok yang sedang mengamati deretan buku di bagian tengah. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu. Namun Renata mengabaikannya. Ia bergegas ke bagian belakang ruangan.
Di sana, ia mulai mencari dengan teliti buku biologi lain yang bisa jadikan rujukan. Sambil terus menggerutu pada Pak Indra, ia mengobrak-abrik rak berisi buku-buku sains itu. Namun sayangnya, Renata hanya bisa menemukan dua buku.
ini jelas kurang banget. Padahal Pak Indra minta 5 buku buat rujukan.
Tubuhnya lemas, kemudian berjalan cepat menuju petugas perpus yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Pak! Buku Biologi kelas dua cuma ini?" Renata mengangkat kedua buku ke depan wajah bulat si penjaga perpus.
"Coba cari di rak sana!" Ia menunjuk sebuah arah.
"Udah, pak! Saya udah cari. Tapi cuma nemu ini. Barangkali ada buku baru yang datang dan belum sempat di masukin rak?"
Petugas itu menggeleng dan kembali menatap ponselnya.
Renata hampir mengumpat karena sikap petugas perpus yang tak acuh padanya. Sikap petugas itu tidak pernah berubah sejak dulu. Renata baru saja akan pergi ketika petugas itu kembali memanggilnya.
"Ada apa, Pak?"
"Coba kamu bantu anak baru yang di sana itu. Saya lupa dia tadi mau cari buku apa. Tapi sepertinya dia kesulitan. Tolong kamu bantu, ya!" Katanya datar
Renata memandang cowok itu sebentar, lalu berjalan menghampirinya.
"Mau gue bantu?" Kata Renata pelan pada cowok di sebelahnya.
Ia terkejut menatap Renata dan terpaku sesaat. "Kamu? Kenapa di sini?" Ia balas bertanya
ya ini 'kan juga sekolah gue. Gue bebas dong mau ke mana aja. batinnya
Renata menahan tawa, lalu mengangkat kedua bukunya. "Mau pinjam ini."
Cowok itu mengangguk sambil bergumam mengerti.
"Lo lagi cari sesuatu? Barangkali gue bisa bantu?" Renata berkata ragu-ragu.
Dahi cowok itu mengernyit hebat sambil terus menatap deretan buku di depannya, membuat Renata semakin kesulitan melihat wajahnya yang sejengkal lebih tinggi dari Renata.
"Saya mau cari buku selfhelp. Kamu tau dimana letaknya?" Katanya sambil kembali menatap lekat Renata.
"Oh itu.... Ikut gue!" Seperti yang Renata duga, ternyata benar cowok itu sedang mencari sesuatu. Dan buku yang cowok itu maksud berada di balik rak yang ia datangi tadi.
Mereka berjalan bersisian dengan keheningan mencekam. Renata merasa canggung, lalu ia mendongak hati-hati ke wajah cowok itu. Matanya sedang menyapu buku-buku yang ada di sekitar mereka.
"Nah, Ini dia!" Renata berseru sambil menunjuk rak di depannya.
Abi menatap rak itu dengan seksama. Tangannya mulai terulur untuk melihat sebuah buku dengan sampul hijau.
"Emang nggak banyak, sih. Jadi lo harus milih lebih teliti kalo tetep mau cari buku gituan di sini." Renata memberi instruksi. Ia masih mendongak menatap Abi yang sedang serius mengamati deretan buku di depannya.
rambutnya bener-bener pirang, ya.
"Terimakasih." Kata Abi sambil berpaling dan mendapati Renata sedang menatapnya. Bibir cewek itu membentuk segaris senyum tipis yang membuat satu lesung pipinya terlihat.
"Ehm..." Abi berdehem karena Renata masih terpaku menatapnya. "Ada lagi?" Tanyanya ketika tatapan Renata telah berpaling darinya.
"Oh itu...." Renata mencoba mengingat sesuatu. "Hmm... Soal yang tadi, makasih, ya....." Renata ingat ia belum tau nama cowok di depannya. Beberapa kali ia bertemu, tapi ia belum mengetahui nama cowok itu
Seakan mengetahui isi kepala Renata, cowok itu mengangkat telapaknya ke depan mereka berdua. "Abi." Katanya sambil menatap Renata.
Renata menatap tangan putih Abi. "Renata." Ia menyambut uluran tangan Abi yang sudah mendekapnya dengan lembut dan hangat. Tangan besar Abi menggenggamnya erat-erat seolah melindunginya dari apapun yang bisa melukainya.
Mata Renata beralih menatap Abi yang tengah menatapnya dengan serius. Seolah disadarkan kembali, Abi mengajukan pertanyaan pada Renata. "Soal tadi?" Cowok itu bertanya tak mengerti.
"Iya. Paku-paku kecil itu. Dan.... sorry" katanya dengan suara lebih pelan. "Gue nggak sengaja nabrak elo, kemarin. Tadi juga." Renata kini tertunduk dan merasa bersalah.
"Tidak masalah. Maaf juga, harusnya saya tidak mengagetkanmu."
Keduanya tersenyum tipis, setelah Renata kembali mendongak, Abi sudah kembali menatap deretan buku.
Menyadari kehadirannya tidak dibutuhkan lagi, Renata berpamitan secara singkat. "Kalo gitu, gue pergi dulu, ya!" Katanya sambil berbalik.
Di belakangnya, di luar dugaan, ternyata Abi sedang memandanginya. Bahkan cowok itu tadi berniat menjawab kalimat Renata. Namun, kata-katanya terhenti karena Renata sudah menjauh dan memghilang di balik rak-rak berisi deretan buku.
Tanpa alasan, terbit senyum tipis diantara wajah Abi yang terlihat muram sejak tadi. Entah karena apa, ia hanya bahagia memandangi punggung kecil dihiasi rambut sebahu berwarna hitam pekat yang baru saja ia lihat.
Abi menarik napas dalam-dalam seolah pemandangan yang ia lihat tadi merupakan sebuah obat dari segala kegelisahannya.
Hanya untuk mengatasi kebingungannya dengan semua ide teman-temannya yang terlampau mustahil, Abi hanya ingin berhadapan dengan buku kesukaannya saat ini. Dan ia hanya ingin melakukan itu seorang diri di ruangan sunyi ini.
Memang benar yang dikatakan Renata, Abi perlu waktu lama untuk memilih buku yang benar-benar bisa ia baca. Selain terlampau lama, buku-buku selfhelp di perpustakaan sekolah itu juga terbatas.
Setelah memilih buku yang tepat, Abi duduk di meja terdalam di ruangan itu. Lembar demi lembar ia balik. Menit-menit mulai berganti dengan jam yang berugulir semakin cepat, hingga ia mendengar hentakan sepatu dari luar ruangan.