Kereta berhenti pertanda sudah sampai ditujuan. Deretan cahaya lampu namun ruangan masih remang-remang. Theo menuntun Sara jalan diantara kerumunan orang yang berlalu, mata sayunya pertanda ia masih belum sadar dari kantuknya, Theo takut wanita yang tubuhnya lebih kecil darinya ini kesasar dan menghilang.
“Aku sudah bangun sepenuhnya, lepas tanganmu.” Pria tersebut mengangkat kedua tangannya.
“Baiklah, tuan putri.” Sara memutar manik matanya. Ia pikir, apa orang ini tidak letih apa gimana, seharian ia menemaninya mengitari Bologna–sambil menunggu Darius–tidak terang-terangan tentunya. Melihat Theo yang sudah santai ia hampir lupa ketegangan di kereta tadi pagi.
“Oh, luka-lukamu sudah mendingan? Lebih baik kita cek dahulu sebelum jalan jauh, jarak stasiun sampai kedubes tidak dekat. Perlengkapan obat-obatan sudah kutaruh ditas ranselmu,” Dua orang tersebut jalan minggir ke suatu tempat yang tidak banyak orang. memasuki lorong lebih sedikit dalam lagi.
“Cukup aman. Oke. Kau obati luka yang ada di tanganmu, aku pakaikan salep di punggungmu,” tanpa bilang aba-aba, Sara membuka bajunya dan Theo langsung berteriak. “Aku, hanya buka sedikit, tidak melakukan yang aneh-aneh. Kau ini apa? Gadis sekolahan?” ledek Sara. Theo pun jadi cemberut.
Tanpa ia sadari, Sara acapkali meringis tanpa bersuara melihat luka berubah menjadi ungu itu. Luka goresan di belakang lehernya sudah mengering, dan luka-luka kecil lainnya. Namun luka di punggunnya itu, lebam dan membiru. Sara menyentuh sedikit Theo merasakan sakit dan tidak nyaman ketika bergerak.
Sara membuka mulutnya, sudah dipotong Theo. “Tidak mengurangi rasa sopanku, aku tidak ingin kau merasa empati, ataupun simpati kepadaku,” tangan wanita itu berhenti. “Bukannya sombong atau apa, melihat orang bersimpati padaku, aku merasa seperti orang yang tidak berguna dan lemah. Tidak ada pria di dunia ini ingin kelihatan lemah,” lanjut Theo dengan suara penekanan di akhir kalimat.
“Tidak mengurangi rasa hormatku, aku tidak merasa empati apalagi simpati,” Sara tertawa dan memukul kepala Theo gemas tanpa bermaksud menyakiti. “Hanya sekedar mengingatkan, aku menolongmu bukan karena kasihan bodoh. Bukan itu.”
Kedua alis Theo terangkat, “O. . .ke. Lalu apa?”
Wanita itu tidak menjawab. Sara menutup obat saleb itu, memasukkan ke dalam tempat seharusnya, lalu ponselnya bergetar ia langsung mengambil dari sakunya. Raut wajah Sara datar, matanya bergerak kanan ke kiri, membaca teks tanpa bersuara. “Aku tidak tahu transportasi apa yang efektif malam begini, karena itu aku mau tanya ke orang sini, kamu tunggu saja di bawah lampu itu.”
Terlihat jelas sekali Sara menghindari mata Theo, Theo ia hanya bisa mengangguk. Sara menahan senyum karena, entahlah, melihat Theo yang menurut seperti puppy membuatnya ingin memukulnya.
Pikir apa aku ini, batin Sara.
Selagi Sara bertanya arah jalan ke salah satu orang di rumah roti seberang jalan, Theo sedang mengagumi keindahan kota Milan ini. Jika bukan misi pelarian, ia pasti sudah minta Sara menemaninya lagi jalan-jalan di kota ini. Parco Sempione, satu tempat destinasi wisata yang pernah ia lihat di situs media. Kilasan masa lalu terbesit dipikirannya.
“Manajerku tersayang, mana janjimu mengajakku main?”
Pria berusia matang yang dipanggilnya manajer, ia memasang wajah jenaka pas mendengar kata “main” keluar dari bibir Theo, “Kau–dasar anak kecil. Aku kan sudah bilang kalau target kita tercapai, menang dari turnamen ini, baru bisa liburan.”
“Aku baru saja menang 20 menit yang lalu!”
Manajer langsung diam, mengedipkan matanya lalu matanya berubah lebih besar, “Apa aku mulai pikun sekarang?!”
Theo bereaksi dengan mulut menganga lebar, “Kan sudah kubilang jangan keseringan merokok!”
“Apa hubungannya, Theo?!”
“Kau tidak tahu efek buruk dari nikotin rokok itu?! Salah satunya bikin kamu jadi pelupa! Otakmu menciut kau tahu?!”
“Kau bukan ibuku!” Lev melempar kacang kearahnya.
“Ibumu terus menelepon suruh aku buang rokok setanmu itu!” Theo menyingkirkan kacang dari wajahnya dan langsung mengambil sekotak rokok yang ada dimeja. “He–hei! это мой ребенок[1]!”
Pintu terbuka pelan oleh seorang wanita, tak lain adalah kekasih manajernya dan melihat kedua pria yang bertingkah sangat jantan sekali, bergulat di atas matrai lantai berwarna ungu di ujung ruangan, “Kenapa kalian berteriak–apa lagi kali ini?”
“Bocah tengik ini mau membuang rokokku, sayang!” tatapan Theo menjadi sengit dan ia benar-benar melempar rokok itu ke tong sampah yang berada dekat pintu dan Lev berlari memeluk Nikita. Wanita itu memutar manik matanya, “Kenapa aku bisa punya kekasih macam dia, Tuhan.”
“Kenapa aku bisa punya manajer sekaligus pelatih seperti dia, Tuhan.”
“Kamu diam saja, Theo.”
Lev yang tadinya mencibir tersenyum mengejek di dalam pelukan Nikita. Theo melihatnya seolah Lev ini orangnya tidak normal. Theo pun berkata sambil merengek, “Aku kan melakukan yang benar, kenapa aku yang diomelin, sih?”
“Karena aku kesal melihat kalian terus saja berantem,” Lev mengadahkan kepalnya menatap wajah cantik Nikita yang tidak akan pernah ia lupakan. Bergantian Lev yang memeluk Nikita dengan sayang. Tentunya wanita tersebut tidak menolak dan memeluk balik.
Lev sangat gemas dengannya dan berpaling–malasnya–kearah Theo yang memasang muka datar melihat kedua sejoli lagi pelukan disofa, di depannya, serasa ruangan kekurangan oksigen. Mereka bertatapan lumayan lama, dan akhirnya Lev menggerutu karena pemuda itu tidak mengerti situasi.
“Heh bocah, keluar sana. Aku ingin berdua dengan ratuku,” lagi, Theo memasang wajah tak percaya.
“Kau mengusirku?!”
“Sst!” sahut kedua pasangan itu bersamaan, Theo kalah telak malam itu. “Terus bagaimana pembicaraan kita soal liburan? Aku mau ke Manchester.. Milan...,” pria muda ini tetap berusaha.
“Astaga, besok kita pesan tiket, oke?” sahut Lev, dan juga kekasihnya menoleh ke samping berbicara, “Nah sekarang pulang dan siapkan baju untuk jalan. dan adik kecilku sayang, sebelum pergi tutup pintu dulu, oke?” Pintu Nikira. Theo mengangguk dan berjalan kecil keluar dari ruangan itu. Ia menutup pintu tersebut.
Diantara pintu-pintu dan berdiri di lorong panjang gedung tersebut, ia bernapas panjang.
Sara bingung bercampur heran ketika Theo yang tertunduk namun tertawa, di dalam bus yang sepi ini, “Aku bilang perhentian Segesta dan kau tertawa?” Theo melambaikan tangannya. “Maaf bukan itu. Aku hanya teringat sesuatu.” Dia mengatur kembali wajahnya dan bertanya, “setelah sampai di Segesta kita kemana lagi?”
Ia melihat catatan yang diberikan orang yang menolongnya tadi, “Kita jalan kaki saja, tidak jauh dan berkisar dua menit saja,” Sara menghirup napas dan mengeluarkannya lalu berkata lagi, “Aku sudah mengirim teks ke temanku, ia sudah menunggu kita.”
Mereka berjalan tanpa bersuara. Waktu berlalu begitu cepat. Malam semakin gelap, namun tak membuat Theo buta akan siluet Sarah yang, anehnya, sangat menarik untuk dipandang. Aslinya ia tidak pernah bertemu wanita asal sini. Berjuta-juta penggemarnya dulu datang ke tempatnya namun tidak ada semenarik diri wanita ini. Theo ingin bertanya apa maksud Sara bilang tadi, namun melihat ekspresi Sara yang aneh begitu, ia berusaha menahan rasa penasaran dalam hati.
Lain kali saja, batinnya.
“Berhenti disitu,” suara milik seseorang mengejutkan baik Sara dan Theo. Refleks, pria itu memunggungi Sara. Sara tidak mengatakan apapun, hanya menggenggam lengan Theo. Seorang pria tua berjalan ke arah mereka.
Theo membiarkan dirinya merasa tegang bercampur panik dalam satu, apakah ia sudah ketahuan secepat ini?
.........................
Douglas berlari melewati ruangan ke ruangan berikutnya. Napasnya tidak beraturan–faktor usia mungkin–namun ekspresinya seperti mendapat lotre. Ekspresinya tersebut tertular pada Gideon. “Kau sudah menemukannya?”
Asistennya mengiyakan dan mengerahkan tablet menampilkan peta. Terdapat segitiga merah terbalik. Senyuman Gideon melebar. “Tidak jauh dari sini? Apa-apaan dia? Meremehkan kita? Terlalu gampang menemukannya.”
“Alatmu berguna juga. Bagus,” ucap Gideon, menepuk bahunya kemudian pergi ke ruangan lain. Ia menyalakan rokok, menikmatinya sejenak. Senyumannya berangsur menjadi seringaian, begitu keji menantikan kepulangannya.
“Sebentar lagi aku menjemputmu. Tunggu saja.”
[1] that’s my baby!