Sebelumnya di pagi hari. . .
“Uhm, Darius?”
“Yes, Douglas?” tanya Darius tanpa mengalihkan fokus dari kerjaannya. Tangan kanannya yang sedang mengetik di laptop, sesekali tangan yang lainnya menelusuri berkas yang berada di pangkuannya.
“Kamu sedang apa di lantai?” Tanya Douglas terheran-heran, sang dokter yang tak lain Darius sibuk memilah dokumen atau kertas tipis. Mereka sedang mencari petunjuk keberadaan Theo semalam suntuk.
“Ada meja tepat di sampingmu. Kau membuat lantai berantakan.”
Darius menempelkan telunjuk ke bibir, menyuruhnya berhenti bicara. Lalu ia menaruh dokumen yang lain ke pangkuannya. Douglas memandangnya aneh.
“Hey Douglas, aku sudah memeriksa microchip itu, dan tidak ada yang mencurigakan, tidak ada kerusakan yang berarti. Jadi bukan benda ini yang jadi masalahnya.”
“I named ”it” Charon for the reason.”
“Douglas. That's a person's name.”
“Yeah, so?” ucap Douglas balik. Darius menatapnya tidak percaya.
“But it's a weird name!”
“And i like it, I don’t have to ask your opinion tho..”
“Astaga.” Ia tidak percaya bisa adu argumen dengan topik yang konyol seperti ini, dengan orang ini.
“Aku juga sudah mengecek di ruangan kesehatan, seperti jejak darah atau chip itu sendiri, tapi tidak ada petunjuk dia mengeluarkannya. Bahkan di ruang selnya tidak ada apapun, tidak ada baju Kosong melompong, seolah Theo meninggalkan kamar hotel dan pergi tidak pernah kembali,” ucap Douglas meliriknya, “Kau tidak terlibat dengan ini ‘kan?”
“Sekali lagi ada yang tanya itu kepadaku, mulutnya aku bakar sampai tidak berbentuk.”
“Apa salahku? Hanya kau yang sudi mengobrol dengannya.”
“Mengobrol apanya?” sewot Darius.
Pembicaraan mereka sempat terhenti karena dering telepon Douglas. Pria itu menjawab telepon. Douglas tersenyum nyengir. Pria itu seperti mendapat kabar bagus.
“Aku menemukan bocah itu.”
..............................
“Ayo Theo kita pergi saja. Temanku sudah menunggu, mereka hanya orang iseng.”
“Uhm, Sara, sepertinya kita memiliki definisi iseng yang berbeda.”
Sungguh betapa pengecutnya pria tua itu. Licik sekali ia memanggil teman-temannya. Mana lagi jalanan sudah sepi, gelap pula. Cahaya bulan tidak membantu. Sungguh lokasi kriminal yang sangat sempurna. “Aku tidak peduli, tapi kita harus pergi sekarang juga. Ayo.”
“Hey kalian!” Keduanya berjengit kaget, “Jangan berpikir kalian bisa lepas dariku!!”
“Oke, Tuan dengarkan aku. Kita tidak punya harta yang berarti dan kita tidak ingin mencari masalah, bisakah kalian biarkan kami lewat dan lupakan saja?”
“Aku butuh pekerjaan untuk bertahan hidup, juga kawan-kawanku ini, tidak mungkin aku melepasmu,” cengiran pria itu terlihat menjijikkan untuk Sara, “. . .Dan pura-pura tidak melihat kecantikan temanmu. Hey bella. Vieni qui!”
Sara keluar dari perlindungan Theo, siap menghajar muka orang itu. Seketika Theo baru menyadari sesuatu, bentuk tato di leher pria tua itu Terima kasih kepada lampu-lampu yang menerangi mereka, Tidak salah lagi. Ia mengenali tato itu. Dadanya merasakan amarah yang membuncah. Theo menarik Sara kembali ke belakangnya.
“Hey, Theo?” Pria itu sudah tidak berpikir jernih. Sara merasakan perubahan dari diri Theo. Aroma whiskey murahan tercium dari tubuh pria asing tidak menghalangi Theo mencengkramnya. “Idiot.” ucap Sara pelan.
Tidak ada yang bisa mengelak. Tiba-tiba tangan Theo sudah ada di leher pria itu saja. Ia meronta-ronta karena cengkeraman Theo yang membuatnya susah bernapas. “Hey lepaskan aku! Kau ingin mati hah?!”
“Theo lepaskan!”
Dengan sekuat tenaga dan mental Sara mendekati mereka berdua, begitu juga anak buah pria tua itu, Tidak ada lagi keheningan, bergantikan kericuhan. Belasan tinju dan tendangan ia berusaha untuk menghindar. Theo hanya memiliki dua fokus, menghajar pria tidak beretika ini dan melindungi Sara dari tangan kotor mereka.
“Matt!” teriak salah satu komplotan tersebut, memberikan senjata kepada pria tua itu. Oh ternyata nama pria sialan ini Matt. Kini Matt memegang sebilah pisau di kedua tangannya. Matt tersenyum seolah menjadi pemenang dalam battle ini. “Theo, turuti perkataanku. Kau ikut denganku sekarang juga, dan temanmu akan selamat. Hanya menemui Gi–”
“Matt, tutup mulutmu,” ucap Theo yang tidak gentar sama sekali. Ia dengan tenang mengambil kain panjang lalu menggulung kepalan tangannya. Dan dengan sekuat tenaga, ia berlari ke arah mereka dan menghajar komplotan tersebut satu-persatu.
Satu tendangan ia dapatkan, maka dibalas hajaran bertubi-tubi. Sara berdiri canggung menyaksikan itu dari ujung jalan. Tidak terpikirkan apapun bahkan saat salah satu komplotan ia menghampirinya, ia baru sadar ketika tangannya sudah ditarik. “Hey!”
Ekspresi orang itu aneh. Sara bisa merasakan tangannya yang bergetar hebat. Mengapa ia yang ketakutan. “Miss, ple-please just come with me, help me through this.”
Sara menarik napas dalam-dalam. Tidak. Ia tidak akan melewati batasnya. Ia tidak akan melakukan itu. Ya tuhan, lihatlah orang ini, masih muda! Seharusnya ia di rumah saja menunggu malam berganti pagi dan sekolah saja. Apa yang dilakukan pria tua itu sampai menyeret anak muda ini? “Then you should go home. Here, here. take this, go to shelter and go home.”
“I can’t, miss. Why you make it so hard to me?!.” Sara terhentak. Anak muda itu terlihat frustasi. Lalu ia melirik Theo yang masih berkelahi. Tidak ada cara lain lagi, pikirnya. Dalam saku celananya ia keluarkan sebilah pisau. Sara tidak bisa mengelak karena tangannya masih dicengkram. Ia benci situasi ini. Berapa lama lagi ia harus berada ditempat ini. Ia tidak bisa mengontrol emosinya.
Theo menarik kerah anak muda itu. Kemudian dia membuatnya bungkam. Sara hampir menjerit ketika jari-jarinya melayang ke wajahnya. Tangannya tersentak, dan mundur. Teriakan Matt membuatnya menarik diri. Sara, bersandar lemah, terdiam seperti orang dungu menunggu Theo selesai melampiaskan kemarahannya.
Sekelompok orang jahat itu seiring waktu tumbang. Noda darah menempel di baju Theo, Theo sama sekali tidak masalah.
“Kau bodoh Theo.”
“Keparat kau, Theo.”
Bisikan dan keluhan para korban yang kalah telak hanya bisa melawan dengan ucapan tak berarti. Sara mulai berani mendekat. Dan sekali Theo berbisik pada Matt, pria tua itu seperti membeku dan Theo memukul wajahnya sekali dan dia terjatuh pingsan. Sara tidak tahu apa yang ia katakan, ia menghampiri pria itu. Sara merasakan tubuh Theo yang masih tegang. Karena itu ia berusaha menenangkan dan mengusap punggung. Theo berangsur-angsur mulai teratur nafasnya dan Sara mengajaknya pergi dari situ.
“Sudah tenang, Theo?” Tanya Sara. Pria itu hanya merespon dengan sekali anggukan. Tanpa suara mereka berdua meninggalkan tempat kejadian.
Gedung bangunan yang rata-rata berusia 600 tahunan, dan di jalanan sepi itu hanya mereka berdua saja yang masih bertahan di cuaca yang dingin. Semenjak kejadian barusan tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Hingga di tempat tujuan tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut masing-masing. “Sepi sekali.” ucap Theo singkat, menyadarkan Sara dari lamunannya. pintu gerbang sudah digembok dan hanya dua lampu kecil yang menyala tiap sisi. Ada dua penjaga namun tidak ada tanda kehadiran temannya. Mereka terlambat. “Baiklah, Aku melihat ada tempat penginapan murah tadi. Kita butuh istirahat,” ucap Sara.
“Hei.” Wanita itu mendongak.
“Aku minta maaf.” pertemuan antara mata biru langit dan hijau terjadi.
“Melihatku kesetanan seperti tadi pasti membuatmu ketakutan.” Sara menggeleng tidak apa. Matanya menatap lurus ke mata Sara. Lalu arah matanya menuju ke bawah, dan Theo membelalakkan matanya ketakutan. “Astaga, apa yang terjadi padamu, Sara. .”
Sara memang merasakan lelah yang sangat. Tapi ia tidak menyadari bahwa ia terluka, darah telah mengalir keluar dari lengannya.