Darius tersenyum kepada ibu penjual buah, sehabis membayar buah apel dan melenggang pergi. Ia layaknya poin terselubung yang berharga. Douglas sudah berkata dunia atas tidak akan tahu keberadaanya. Dan karena itu ia bisa berjalan dengan santai di kota. Sinkronasi wajahnya juga tidak terlalu gampang dikenal.
Seorang anak kecil, gadis kecil lebih tepatnya, memanggil ibunya dari jauh. Menyita perhatian Darius sampai ia bengong di tengah jalan. Ia teringat sesuatu. Bedanya gadis kecil itu berambut coklat karamel dan berkulit sedikit coklat. Panggilan gadis kecil itu membuatnya tersenyum kembali.
“Hey little girl.” Anak itu tersentak dan memeluk bingkisan permennya. Imut.
“Is that your mom?”Anak itu tidak menjawabnya Darius tetap tersenyum manis. Anak ini pintar. Ia tidak mau bicara dengan orang asing. Darius mengangkat kedua tangannya. “Can you speak english, madam?”
Suara anak itu sungguh polos dan semanis permen yang ia pegang. “How do you. . . know?” Lalu ia menutup mulutnya sendiri dan menjauh, membuat Darius bingung dan salah tingkah. “I’m not gonna hurt you, sweetie.”
“Don’t call me sweetie.” Darius kagum akan ketegasan sekaligus kewaspadaan anak ini. Namun melihat genggaman tangannya yang gemetaran, Ia tidak tahan melihat anak yang ketakutan begini.
Darius semakin merendahkan tubuhnya, lalu menunjuk arah kerumunan orang. “Siapa nama ibumu?”
“Mengapa kamu ingin tahu paman?” Tapi dia terlalu hati-hati. Darius menggaruk-garuk kepalanya. “Agar aku bisa memanggil ibumu, dan menghampirimu disini.” Anak itu terdiam cukup lama. Kemudian dengan kedua tangan yang terangkat, ia meminta dengan muka sengaja dibuat galak.
“Gendong aku.”
Darius terkejap matanya berulang kali. Namun ia menurut saja.
“Itu ibuku.” Si gadis kecil itu menunjuk salah satu wanita yang memakai cardigan merah dan berambut sama sepertinya. “Antarkan aku kepadanya. Jika kau ingin macam-macam aku akan berteriak kencang kalau kau ini paman cabul.”
“Mon dieu. . Alright madam, your wish is my command.”
Bagaimana ia sudah tahu arti paman cabul itu apa, pikirnya. Tapi tak apa. Sebenarnya, ia sudah lama tidak menggendong anak, hal sekecil itu saja bisa membuatnya senang. Bau shampo dari rambut si kecil ini membuatnya semakin rindu. Anak ini begitu kecil dan benar-benar seperti boneka, saking gemas untuk dipeluk.
Sang gadis kecil menepuk pundak wanita itu.
“Ya tuhan, June! Aku mencarimu dari tadi!” Gadis kecil yang namanya June ini berpindah tangan ke Ibunya, Entah mengapa Darius merasa sedikit kecewa. Wanita itu menatapnya intens. Darius paham tatapan tersebut.
“Maaf, tapi dia terus memanggilmu dan ia minta aku menggendongnya jadi. . . ya begitu.”
Ia sedikit rileks setelah mendengar Darius, lalu menatap anaknya cemas dan gemas. “Anakku gemar sekali membuat ibunya khawatir,” Mata June mulai berair, lalu menutup wajahnya dibalik leher ibunya, berucap minta maaf.
“Dasar anak cengeng,” ucap Ibunya tertawa gemas dan menepuk-nepuk punggung June. Darius sedikit membungkukkan badannya, menyerahkan permen ke pemiliknya. “Kau sudah bertemu ibumu, jangan menangis madam.”
“Terimakasih.” ucap ibunya sambil membungkuk kepadanya, lalu wanita itu pergi.
June perlahan mengangkat wajahnya, lalu memberikan momen manis pertama bagi Darius.
“Sampai jumpa, paman.” ucapnya dari jauh sambil melambaikan tangannya lengkap permen. Pria itu tersenyum hangat saat kembali ke tempatnya, berjalan namun masih malu menatap matahari terbenam di hadapannya.
“Sampai jumpa, Elena.”
.................................
Mendengar seribu pernyataan yang tidak ingin ia tahu, tertunduk menunggu yang hasilnya tidak pasti. Mengharapkan pintu itu terbuka, namun enggan keluar dari ruangan yang mendekapnya. Bagaimana jika pergi duluan, malah tidak bertemu? Tidak berani menerima fakta setelah membuka pintu tersebut, hanya kekosongan yang menjumpai. Bukan begitu?
Siratan mata Theo yang memerah. “Hei Ryland, apa risiko jika aku meneleponnya?” Ryland jadi cemas melihatnya. “Cukup bahaya, karena mereka bisa tahu letak posisimu. Dan aku takut Sara tidak akan kembali. Dan aku akan kehilangan kalian berdua. Tapi jika temanmu sangat terpercaya, dan kau sangat yakin patut dicoba. Namun menurutku itu jadi cara yang terakhir.”
“Darius banyak menolongku, juga sama-sama ingin bebas. Apa lagi yang kurang?”
Mulut pria itu terkatup. Dirinya sulit untuk percaya pemikiran tersebut. Theo mendesah lelah, tiba-tiba ia mengambil foto kertas daftar yang dipegang Ryland. “Sudahlah, suruh teman-temanmu pulang saja. Aku akan melakukannya sendiri.”
Ryland berkacak pinggang sendiri. “Hei!”
.................................
“Tidak, bos, sebentar lagi dia kembali, ya, ya, oke.” ucapnya sambil mengangguk. pria yang lain mengambil ponsel darinya lalu ia mendekati Sara. Wanita itu terkejut dan mencoba mundur, tapi sulit ketika kursinya saja tidak mau bergerak. Pria itu menyeringai.
“Apa kau tidak kepanasan nona?” Ia mencengkram kerah mantel Sara, “mau aku lepas, hm? Aku melihatmu ikutan kepanasan.”
Sara menggeram. “Enyahlah. Berdiri saja di pojok sana.”
“Ow menyeramkan sekali, aku takut.” Beberapa manusia dibelakangnya tertawa dan Sara tidak menyukai itu.
Tahan Sara, jangan ikut terpancing, pikirnya. Ingat lagi apa yang sudah diajarkan Ryland selama ini, jangan berbuat gegabah dan kontrol emosi. Sara terus mengulang kata-kata itu di kepalanya, mencoba keras tidak terlarut akan ocehan ngawur orang-orang yang tidak berpendidikan di depannya.
Ikatan di tangannya semakin menyakitkan.“Ugh sialan bangsat,” umpat Sara. Pria itu berhenti tepat berjarak dua jangkal di depannya, berkacak pinggang merasa tertantang. “Kau berani juga nona. Apa kau tidak tahu risiko membentakku?”
Sara mendecih. “Membentak dan mengumpat itu beda jauh, idiot. Kau mengerti tata bahasa tidak? Kepalamu saja pelontos, pasti tidak ada isinya.” Penonton belakang terkejap. Orang di depannya sudah memerah mukanya, tangannya terkepal begitu keras. “Kau–beraninya bicara seperti itu–apa kau siap mati?! Kau tidak tahu aku, hah?!”
“Bos kita juga ma–“
“Diam kalian!” Pria tua, yang sekaligus tak berambut itu memukul anak buahnya dengan geram. Wanita ini tidak ada rasa takutnya. Tapi itu yang membuat dirinya sedikit gentar. Dia merasa familiar dengan suasana ini.
“Kau harusnya berterimakasih. Aku masih punya rasa sabar untuk tidak membunuhmu sekarang juga.” ucapnya dan menjambak rambut Sara.
Ia terkejut begitu Sara memajukan wajahnya. Merah, membara, yang terlihat cukup menyilaukan. Padahal sudah berjam-jam ia habis dipukuli demi mendapat jawaban yang diingkinkan.
“Kau yang harusnya bersyukur selagi aku masih tahan mendengar ocehanmu.” Pria itu tersentak mundur. Begitu ia merenggangkan cengkramannya, detak jantungnya langsung berhenti saat suara dan aura dingin yang masuk untuk kedua kalinya.
Siluet hitam muncul dari pintu. “Dia milikku. Sedang apa kau disana?”
“Aku bukan milikmu.” ucap Sara menatap yang baru datang itu dengan bengis. Darius terus tersenyum hingga ia mendongakkan dagunya namun ditepis oleh Sara. “Waktumu habis. Beritahu aku dimana Theo sekarang jika tidak, Aku tidak tanggung jawab nasibmu di dalam mesin penggiling itu.”
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
Beberapa orang dekat pintu mulai memukul palu ke lantai. Sara tersentak. Perasaan aneh menggeluti tubuh Sara dan ia bersikeras menahan itu. Ketahanan emosionalnya dipermainkan. Menyuruh mereka diam sama saja memberitahu kelemahan dirinya.
“Setiap korbanku selalu bilang begitu. Pintar sedikitlah kalau bohong.”
“Siapa dia? Anakmu? Ayahmu? Pacarmu?” Baju Sara ditarik tiba-tiba sampai ia terjatuh, bahkan salah satu kaki kursi patah, serpihan kayu menusuk kaki kecil Sara. Tetesan darah mengotori lantai gedung kosong itu.
“Sebenarnya apa yang kau mau?!” Tidak sampai situ, dengan gerakan terbatas Sara menendang kaki kursi dan mengenai bahu Darius.
“Argh, menyusahkan,” ucap Darius yang kemudian mengangkat tubuh Sara dengan satu tangan kemudian menamparnya keras. Sara merintih, merasakan pusing yang luar biasa. Sepersekian detik penglihatannya kabur.
Darius membalikkan badannya dan mengusir mereka dengan satu tangan. “Kalian mengganggu, pergi sana.”
Kini hanya ada mereka berdua. Muncul suara dengungan yang hanya didengar Sara, sepertinya akibat tamparan tadi. Kursi tidak lagi menjadi kursi. Ia terpaksa bertahan dengan kondisi berlutut, Sara tahu pelipisnya terluka dan membiarkan darahnya menetes di lantai. Aura dingin Darius tidak menghilang juga. Sara mendengar langkah kaki yang menjauh, dan desahan melelahkan.
“Wanita yang keras kepala.”
Dia menangkap lengan Sara sebelum ia menghindar. Sara menarik lengannya paksa dan walaupun sedikit lemah, Darius mengeratkan pegangannya. Sara berhasil membuka matanya dan mendapati tatapan Darius yang mengarah ikatannya.
“Biarkan aku melihat lukamu. Makanya diam,” ucapnya dengan rendah. Sara mengernyitkan dahinya dan menyatukan kedua alisnya. What the fuck is he saying?
Namun pada akhirnya Sara menyerah. Lagipula ia tidak punya kekuatan lagi, ditambah makanan juga tidak ia sentuh seharian ini. Ia bahkan sudah tidak peduli mau dibawa kemana oleh Darius.