“Theo, bagaimana kondisimu?”
“Tidak sekarat.” balas Theo dengan singkat. “Kau pasti sudah tahu aku ada dimana.”
“Ya, begitulah. Douglas yang menemukanmu duluan. Aku tidak bisa menghambatnya tanpa dicurigai,” Theo tidak menyahut. “Keadaan semakin genting. Gideon menarikku lebih dalam, ia hampir menyuruh semuanya mencarimu. Aku mencoba menggali informasi sebanyak mungkin dan, ternyata tidak banyak membantu.”
“Jangan membuat dirimu makin stress, kau melawan siapa?”
Dari jauh sana Darius tersenyum tipis. “Si botak culun.”
Theo ingin tertawa tapi serasa tidak tepat waktunya karena kondisi Sara. Dia membantu Sara jalan dan memasuki gedung yang tak berpenghuni, Theo coba menyalakan lampu tiap lantai namun semuanya tidak bekerja, hingga di atap gedung, terpaksa mengandalkan lampu dari papan iklan seberang jalan.
“Darius, aku juga ingin memberitahumu sesuatu. Aku disini, bersama seseorang. Sara namanya, ia banyak membantuku. Apa Douglas tahu keberadaannya?”
“Ia tidak bilang apa-apa, selain menemukanmu di Milan dan menyuruh yang lain menuju tempatmu. Bahkan aku baru tahu darimu langsung.” Theo bernapas lega. “Jaga dia baik-baik, Theo. Aku mulai berpikir Gideon sudah mulai membuat kontrak atas namamu,” lanjut kata Darius. Theo tarik kata lega tadi.
“Oh, shit.”
“Yeah, Shit.” Tidak dipungkiri lagi, ini hanya masalah waktu sampai Gideon bertindak, dan hanya semalam saja Gideon sudah gatal udah mencarinya.
Sara meminta tas kepada Theo dan ia mengambil kotak putih kecil. Gulungan perban dan obat merah di genggamannya. Luka sayatan di lengatannya cukup lebar, namun tidak dalam. Sara tidak terluka parah, namun jika tidak cepat diatas ia bisa mati kehabisan darah.
“Biar aku saja,” ucap Theo menutup pembicaraan telepon. Luka sayatan kurang lebih 4 mili, Theo menemukan sarung tangan sekali pakai, Theo bukan orang medis tapi setidaknya ia tahu menjahit luka, kegiatannya selama ini ketika tidak ada Darius yang menolongnya.
Beberapa menit kemudian, dari Theo yang gugup menjahit lukanya, hingga mereka berdua tertidur telentang di atap gedung tersebut. Soal mencari penginapan dengan kondisi begini, yang ada pemilik penginapan menelepon polisi dan berakhirlah sudah.
Sara memposisikan dirinya beralaskan lantai berdebu. Ia melihat lurus ke atas. Pemandangan bintang-bintang yang tersebar di langit malam, hingga berubah menjadi satu sinar yang berkilauan dari matahari terbit. Theo melakukan yang terbaik untuk tidur, walaupun hanya menutup mata sekitar dua jam.
Theo membuka mata karena mendengar suara, yang ternyata ialah Sara yang kesusahan melepas ikatan rambutnya. “Kau bisa minta tolong, Sara.” Theo melepas ikatan rambutnya dengan lembut. Botol kecilnya ia masukkan lagi ke tas. Kondisi Sara jauh lebih baik. Ia terlihat tenang, terlalu pendiam untuk orang yang terluka.
“Theo, kau tahu?” Seluruh wajah Sara terbenam cahaya merah dan oranye dari papan iklan. “Ponselmu, berikan padaku.”
Theo tidak memberikan ponselnya. “Untuk apa? Kau ‘kan punya sendiri.”
Sara mengambil secara paksa dari saku celananya. Walaupun Theo protes dan meneriakan amarahnya, Wanita itu tidak bergeming. “Aku harus menghancurkan ini. Orang-orang yang kau hajar dan melukai tanganku ini, mereka tahu dimana kau berada. Sesuatu yang kau punya dan bisa dilacak adalah ponsel pemberian Darius. Apa ini tidak ada secuilpun terlintas di pikiranmu?”
“Maksudmu Darius yang–tidak ada waktu untuk membual, Sara.”
“Lalu beritahu aku bagaimana caranya mereka tahu.”
Theo seketika mengingat suatu hal yang ia kira sudah dimusnahkan, karena ia lakukan tepat setelah keluar dari kubangan ilegal tersebut. “Aku sudah menghancurkan microchip-ku sebelumnya,” ucap Theo membuat Sara tertegun. “Microchip? Maksudmu benda asing yang ditanam di tubuh manusia, seperti itu? Kau tidak pernah menceritakan soal itu.”
“Karena kupikir tidak perlu, maksudku setelah aku yakin sudah menghancurkannya.” Theo menunjuk bekas luka yang masih baru di pergelangan kirinya, tempat dulu benda itu ada.”Kalau begitu langsung geledah ponsel jadulmu itu.”
Theo melakukan sesuai yang dibilang Sara. Isinya nihil. Theo bernapas lega karena Darius tidak seperti yang Sara kira. Theo menatap Sara yang penuh penyesalan bercampur tidak kepuasan. “Darius bilang sampaikan permintaan maafnya, karena kau bisa terluka begini. Begitu juga aku.”
“Tidak apa.”
“. . .Harusnya kau kembali ke rumah saja. Kedepannya akan semakin bahaya.”
“Sudah setengah perjalanan, tanggung.”
Sara mengajaknya beli makan di pinggir jalan. Ketika penjual memberikan burger, mereka berdua masih saja berdebat. “Kau bisa pulang lagi naik kereta.”
Sara tetap mengabaikan tentang pulang. “Makan ini dan diamlah.”
Suara siaran dari TV dari toko di belakang Theo menyita perhatian mereka. “. . .polisi sedang menyelidiki kejadian penembakan yang melukai belasan orang di Giardini di Villa Reale. Berdasarkan saksi yang mendengar suara seperti ledakan kecil, kejadian diperkirakan terjadi sekitar pukul 2 dini hari.”
Kemudian sorot kamera mengarah kepada ambulans, sebuah tangan menjulur keluar Seketika Sara badannya kaku. Ia mencengkram baju Theo dengan erat. “Aku tidak salah lihat ‘kan? Aku ingat simbol di tangan itu.”
Mereka berhenti tepat di taman yang disebutkan reporter. Keramaian manusia terletak di sana, Theo tiba-tiba menghalang Sara untuk mendekat. Semua para korban sudah dimasukkan ke mobil ambulans. Reporter yang berbeda mengatakan tidak ada yang selamat kecuali satu korban yang dibawa dengan mobil ambulans yang lain.
“What the hell is going on here. . .”
Theo tahu, its totally fucked up. Beserta kata umpatan itu, menjelaskan semua ini. Jiwanya semakin tidak tenang melihat Sara hanya diam tak bergeming di depan tempat kejadian tersebut. Mendadak perutnya ikut berputar, ia tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya. Theo memanggil namanya namun tidak terdengar oleh Sara. “Kita harus pergi dari sini,” Theo menarik lengan wanita itu yang seperti setengah sadar.
Apa sih yang dia pikirkan? Theo tidak pernah mengira Gideon akan bertindak hingga mengundang perhatian publik. Jika begini bukankah keberadaannya bisa terkuak juga?
........................
“Aku bisa merasakan darah mengalir ke tangan dan turun sampai menetes di jari-jariku, Kau lihat itu?” Ia mendekati tangannya ke bibir pucat membirunya, namun diurung oleh pria berjas putih itu. “Oh, aku harusnya terlentang. Hey, kenapa aku merasa lelah, and yet I’m still standing on. . wait where am I?”
Darius hanya menatapnya datar, dan kesal yang tertahankan.
“Hoho, Darius! Sedang apa kau disini?” Hal pertama yang Darius lihat ketika membuka pintu ialah Gideon yang memegang suntikan berdiri di seberang gadis yang sebentar lagi dijemput maut. “Tidak heran aku selalu menemukanmu di lab seharian. Ini seru sekali! Aku memadukan ramuanmu dan dang! I have to call the dealers. Like really right now.”
“Sejak kapan kau jadi ahli kimia?”
Gideon mengangkat bahunya, “Dua malam lalu.” Sombong.
“Darius, panggil orang yang diluar. Suruh bersihkan ini.”
Entahlah. Mungkin efek kurang tidur, mentalnya melembut begini. Alisnya turun ketika memandangi gadis muda itu, yang tidak tahu apa yang telah ia konsumsi. Gadis itu bahkan tidak sadar beberapa orang menggotongnya ke pembuangan. Dianggap boneka manekin yang bisa di bakar kapan saja.
Sebelum si wanita malang itu keluar dari ruangan, tangannya berusaha menggapai Darius. “Help me. . or not. . but–no, my hand please.” Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada ini. Darius menyesal karena dengan lalainya, tanpa sengaja menatap kedua mata wanita itu. Ia benci ketika hatinya lemah.
Her life is nothing. Drug take over. Gideon take over. The end of the day might be soon.