Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hug Me Once
MENU
About Us  

Marsha tidak pernah tahu, bahwa hari itu adalah hari terburuk dalam hidupnya.

Ia pasti bermimpi. Tapi, ia terbangun karena alarm, mandi, merapikan kamar, dan sarapan dengan sadar. Ia bahkan ditegur oleh tetangga di depannya tadi pagi, dan itu tampak sangat nyata. Lagipula, ia tidak pernah mempimpikan orang asing. Resepsionis apartemen juga setiap pagi menegurnya. Ia juga masih mengingat pengendara motor bodoh yang nyaris bus TransJakarta yang dia tumpangi karena pengendara itu ingin masuk ke jalur TransJakarta. Ia bahkan mengomel sendiri saat ia sudah turun di haltenya.

Bukannya duduk di meja kerjanya seperti biasa, ia dipanggil ke ruangan atasannya.

“Ada apa, Pak Adi?” Marsha berdiri di belakang dua kursi yang menghadap meja. Di balik meja itu, atasannya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Pria terambut lurus tebal itu menyerahkan sebuah map berwarna merah.

“Kamu dipecat, Mar.”

Marsha merasa seakan oksigen di ruangan itu lenyap begitu saja. Ia kesulitan bernapas. Telinga nya berdenging. Matanya mengerjap beberapa kali dan mulutnya sedikit terbuka.

“Ap—apa?” tanya Marsha syok.

“Saya sebenarnya tidak mengerti apa yang terjadi.” Adi menghela napas. Ia juga tampak terpukul dengan adanya kabar ini. “Semua dokumen disini mengatakan bahwa kamu memang yang bertanggung jawab penuh tentang bijih plastik yang digunakan untuk produksi sepeda customer Surabaya.”

“Tapi.. tapi..” Marsha terbata-bata. “Saya hanya bertanggung jawab mengenai pengolahan produksi bijih itu. Saya.. saya sama sekali tidak bertanggung jawab soal transaksi bijih besi. Saya hanya ditugaskan oleh Pak Bobby untuk menghubungi pemasok. Saya.. saya tidak tahu apa-apa..”

“Saya tahu.” Adi mengangguk lemah. “Tapi dokumen ini tidak membenarkan semua ucapan kamu.”

Marsha duduk di salah satu dari dua kursi kosong, membaca dengan teliti dokumen itu. Selesai membaca, ia mendengus sinis.

Adi terlihat ingin tahu dengan ekspresi itu. “Kamu tahu sesuatu?”

“Semua dokumen ini menjelaskan bahwa saya yang mencari penjual bijih, menghubunginya, melakukan negosiasi, sampai pengiriman. Padahal saya hanya tahu apa yang terjadi dengan semua bijih itu ketika masuk ruang produksi.” senyum Marsha terlihat mengerikan.

“Jadi maksud kamu, kamu dijebak?”

“Saya tidak ingin membahasnya.” tukas Marsha. “Lagipula jika Bapak ingin melakukan penyelidikan soal ini, saya mungkin sudah berada di perusahaan lain. Jadi, apakah saya harus mengepak barang-barang saya dan langsung pergi dari sini secepatnya, atau menunggu sampai jam pulang kantor?”

***

Malam harinya, Marsha duduk sendirian di ruang makan apartemennya dengan semangkuk mi instan.

Ia ternyata lebih menyukai opsi kedua. Begitu mendekati jam pulang kantor, ia membereskan barang-barangnya, berpamitan tanpa perasaan ke semua orang di divisinya. Mereka terkejut luar biasa, bahkan ada yang mengomel tidak terima begitu Marsha menjelaskan mengapa ia dipecat. Ia hanya bisa tersenyum menghargai, setelah itu ia pulang dari kantor sambil menenteng-nenteng kardus berisi barang-barangnya, mengingat ia pulang menaiki kendaraan umum.

Anehnya, ia tidak sedikitpun merasa sedih. Ia lebih merasa kecewa dan tidak terima. Mungkin karena ia tahu ia dituduh dan ia tidak punya kekuasaan untuk membuktikan bahwa tuduhan yang dilayangkan padanya tidak benar.

Ia menyuapi satu sendok mi itu ke mulut, mengunyah, dan menelannya dengan tatapan kosong ke luar jendela apartemen.

Ia menghela napas keras. Jadi, ia pengangguran sekarang. Apa ia harus merayakannya?

Ia menyuapi mi nya lagi. Ada banyak sisi positif yang bisa ia ambil dari kejadian ini. Ia tidak perlu bangun pagi, berlari mengejar TransJakarta dan berdesakan di dalamnya, sok-sok bersikap manis kepada atasan dan beberapa orang kantor yang ia suka..

Ia juga bisa menonton film yang belum pernah ditontonnya, membaca novel yang sudah dibeli tapi belum sempat dibaca, berjalan-jalan keliling kota, menghabiskan waktu berjam-jam di toko buku..

Dan masih banyak lagi. Ia sekarang jadi punya lebih banyak waktu luang.

Marsha menghabiskan sisa mi nya, mencuci piring, meminum air, dan pergi tidur dengan pikiran akan rencana-rencana yang akan ia lakukan keesokan harinya.

***

Hari pertama sebagai pengangguran Marsha mulai dengan menonton semua DVD yang dimilikinya.

Ia menyalakan televisi, memasukkan DVD ke DVD ROM yang diletakkan di rak di bawah televisi, lalu menuju pintu depan karena ia mendengar bel apartemennya berbunyi. Ia tersenyum lebar kepada kurir pengantar pesanannya, memberikan sejumlah uang, mengucapkan terima kasih, dan duduk di sofa dengan semua makanan yang baru saja dibeli.

Marsha benar-benar menonton semua film dari DVD koleksinya. Ia otomatis mengganti DVD begitu film berakhir, dan tahu-tahu, hari sudah malam.

Ia mematikan televisi, menyusun tumpukan DVD ke rak di dekat televisi dan mandi. Ia merasa lapar, tapi karena ia sudah sangat mengantuk, ia pergi tidur.

Hari kedua, ia membaca semua novel yang dulu tidak sempat dia baca. Ia menuju dapur, membuat segelas susu cokelat untuk mengganjal perut. Kemudian, ia menuju ruang tengah setelah mengambil beberapa novel tebal dari rak buku, menaruh tumpukan buku itu di meja, berbaring di sepanjang sofa, dan mengambil buku di tumpukan paling atas. Ia mulai membaca.

Hari menjelang siang ketika ia menyelesaikan buku The Mortal Instrument: City of Glass. Ia menuju dapur, membuat telur dadar, dan memakannya dengan nasi. Setelah membersihkan piring, ia lanjut membaca seri selanjutnya, The Mortal Instrument: City of Fallen Angels.

Dan begitu sekali lagi malam tiba, ia selesai membaca The Mortal Instrument: City of Lost Souls.

Ia membuat telur dadar lagi untuk makan malamnya, menghabiskan makanan itu, membiarkan piring kotor dan gelas ditaruh di kitchen sink, memutuskan untuk membersihkannya besok pagi, mandi, dan tidur.

Hari ketiga, ia menghabiskan waktu dengan jalan-jalan keliling kota menggunakan TransJakarta. Ia sampai di apartemennya saat hari sudah larut. Tanpa mengganti baju, ia langsung tertidur.

Hari keempat, ia memuaskan hasratnya sebagai seorang wanita dengan berbelanja baju dan kosmetik.

Hari kelima, pada malam harinya, ia pulang dengan membawa dua kantung besar berisi buku dan DVD baru.

Sampai hari ke delapan, ia menonton semua DVD baru dan membaca habis seluruh novel barunya.

Hari kesembilan, ia terbangun pukul sepuluh pagi. Benar-benar sebuah kenikmatan baginya karena ia bisa tidur sepuasnya tanpa harus terbangun karena alarm. Ia menggeliat sebentar di kasur sebelum bangun dan menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Setelahnya, ia menuju dapur, memanggang roti, dan membuat telur mata sapi untuk sarapan. Begitu semua masakannya selesai, ia melangkah menuju ruang tengah. Ia menyalakan televisi sebelum duduk, menonton berita pagi seraya menikmati sarapan sederhananya.

Menggunakan remote untuk mengganti saluran televisi, Marsha berpikir. Ia tidak punya rencana apapun untuk hari ini, dengan kata lain, ia tidak tahu apa yang ingin ia lakukan hari ini. Ia tidak mungkin mengunjungi teman-temannya karena mereka pasti sedang bekerja. Tidak seperti dirinya yang pengangguran.

Pengangguran.

Kata itu berputar-putar di otaknya seperti lalat yang mengerubungi tumpukan sampah. Dua hari ini ia bahkan tidak berpikir untuk mencari pekerjaan. Di samping itu, rasanya aneh pada jam sebelas pagi di hari biasa, ia duduk di ruang tengah apartemennya, bukan kursi berlengan empuk dan tengah memandangi komputer.

Haruskah ia mencari pekerjaan?

Ia menuju kamar, menuju lemari pakaian. Ia mengangkat tumpukan baju di rak paling tengah, mengambil sebuah buku tabungan. Uangnya masih ada, tapi jika ia tidak kunjung mendapat pekerjaan, uang itu akan habis dalam kurun waktu dua minggu. Ia tidak lupa, beberapa hari sebelumnya, ia nyaris menghabiskan seluruh uangnya untuk baju, kosmetik, makan di luar, buku, dan DVD.

Ia akhirnya mengambil laptop di meja, membukanya, mulai mencari lowongan pekerjaan.

***

Marsha langsung menyetujui usulan Jesica untuk menginap di rumah Victoria pada Jumat malam ketika mereka bertemu.

Marsha dan Jesica tiba agak larut begitu Victoria membukakan gerbang rumahnya. Ketiganya berjalan melintasi halaman sambil bercerita seru soal perjalanan. Rumah Victoria hampir sama besarnya dengan rumah-rumah yang ada di sinetron televisi-televisi swasta.

Mereka mengobrol dengan ibu Victoria, Hana Kusuma, di ruang tamu. Ayah Victoria sedang dinas di luar kota dan baru akan pulang Selasa. Setelah menyapa Alex, adik Victoria yang masih SMA, ketiganya pergi tidur.

Keesokan harinya, tiga wanita itu terbangun pada pukul sebelas. Hana mengomeli mereka selama lima belas menit. Wejangan itu diakhiri dengan perintah Hana kepada ketiganya untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelahnya, mereka membantu wanita paruh-baya-tapi-enerjik itu membersihkan rumah.

Mereka selesai membersihkan rumah sekitar pukul dua. ketiganya berbaring di lantai di ruang keluarga, sementara Alex berbaring di sepanjag sofa. Hana menuju ruang keluarga dengan membawa empat gelas jus manga dingin.

“Makasih banyak, Tante.” Marsha duduk dan menerima gelas itu untuk diletakkan di meja. “Maaf ya aku sama Jesi ngerepotin.”

Hana tersenyum. “Tante sebel aja melihat anak perawan bangun siang. Gimana mau ada cowok yang naksir?” katanya yang mengundang tawa dari Alex. “Kalau mau makan, ambil aja ya di dapur. Tante masak opor ayam dan cah kangkung. Tante mau tidur.”

“Makasih, Tante Hana.” Jesica membeo. “Udah kayak lebaran aja bikin opor.”

Wanita itu tertawa.

“Ma,” panggil Victoria mencegah ibunya pergi. “Tori, Jesi, sama Marsha sore nanti pergi, ya.”

“Iya.” Hana langsung menyetujui. “Pulangnya jangan malam-malam. Kalau bisa bawa pulang calon suami.”

“Buset, Ma.” seru Victoria tak menyangka. “Ya kali Tori papasan sama cowok ganteng di mall terus Tori seret ke rumah buat dikenalin ke Mama.”

“Siapa tahu?” Hana mengangkat bahu acuh. “Mama capek ditanyain nenekmu. Kayak nikah itu solusi semua masalah aja.” Wanita itu melenggang menuju kamar tidurnya.

“Edan nyokap lu, Tor.” komentar Jesica mengaduk-aduk jusnya. “Kita baru lulus dua tahun lalu, dapat pekerjaan tahun lalu, dan lo udah ditagih calon suami?”

“Jangankan gue. Alex yang masih SMA aja udah disuruh nyari cewek.”

Jesica sontak menoleh ke laki-laki itu. Alex adalah tiruan sempurna Victoria tanpa rambut panjang lurus, tentu saja. Rambut Alex agak panjang untuk ukuran laki-laki, bahkan poninya menutupi setengah dahi. “Demi apa, Lex?”

“Aku sampai minder ikut acara keluarga karena semua sepupuku udah punya pacar, Kak.” jawab Alex. Ia mengganti-ganti saluran televisi, dan berhenti di saluran yang menayangkan video klip Panic! At The Disco.

Jesica tertawa. “Tapi sekarang kamu udah punya pacar?”

Alex menggeleng. “Cewek-cewek di sekolahku pada norak, Kak. Masa mereka nembak aku terus seminggu setelahnya aku yang diputusin?”

“Dih, bisa gitu.” Jesica geleng-geleng kepala. “Kenapa deh?”

“Yah..” Victoria mendesah pelan. “Nyokap gue kan anak terakhir dari tujuh bersaudara, dan jarak umurnya lumayan jauh sama Om gue yang anak keenam. Sepupu-sepupu gue udah pada nikah, malah anak Tante gue yang anak pertama udah TK. Jadi.. mereka tinggal nunggu gue sama Alex doang.”

Marsha hanya menikmati jusnya tanpa berkomentar. Ia terlalu asik memperhatikan interaksi keluarga Victoria sampai lupa menyampaikan pendapatnya soal masalah itu. Ia sudah mengenal Hana sejak mengenal Victoria, dan ketiganya lumayan sering menginap di rumah ini sehingga Marsha harus mengakui Hana terkadang melakukan peran yang baik sebagai seorang ibu baginya. Ia sudah sangat lama kehilangan sosok ibu sampai lupa bahwa Hana adalah ibu temannya. Tapi, bahkan Hana sendiri memperlakukan dirinya dan Jesica seperti Victoria dan Alex. Ia merasa senang dan sedih dengan kadar yang sama.

Lalu, sosok Alex yang tampak cuek tapi begitu akrab dengan dirinya dan Jesica sedikit banyak membuat Marsha melihat dirinya sendiri pada laki-laki itu. Ia tentu saja memiliki teman di sekolah, tapi teman-teman Dennis cukup mengenalnya dan begitu akrab dengannya. Ia dan Jesica juga menyayangi Alex, sering membelikannya makanan, menanyakan harinya di sekolah, atau memberikan saran apabila Alex mencurahkan isi hatinya pada tiga wanita ini. Hal yang persis dialaminya ketika hubungannya dengan Dennis masih sangat baik.

Sekarang, ia hanya bisa merasakan sosok ibu dari Hana, dan tidak pernah merasakan perlindungan seorang kakak. Alex sangat beruntung karena memiliki tiga orang yang sangat peduli padanya.

“Mar, lo nggak makan?”

Marsha mengerjap, mengamati Victoria dan Jesica yang sedang menaruh lauk ke piring mereka yang sudah terisi nasi. Alex memberikannya piring kosong, mempersilahkan Marsha mengambil nasi terlebih dahulu. Begitu piring mereka terisi lauk pauk, mereka makan dengan lahap dan tenang, diiringi musik di televisi.

Setelah makan, empat orang itu malah tertidur di ruang tengah, dan terbangun ketika hari menjelang malam.

Ibu Victoria duduk di sofa dengan setoples nastar di pelukannya dengan senyum jahil. Ia mengganti saluran televisi ke acara kuis malam yang biasa ia tonton. “Kalian udah pulang? Capek banget langsung tidur.”

***

“Tolol banget gue!” Victoria mengumpat kesal. “Kenapa kita bertiga, bahkan Alex, ketiduran?!”

Begitu bangun tidur dan tampak panik, tiga wanita itu segera masuk ke kamar Victoria. Ketiganya sudah selesai mandi dan memakai baju tidur, terlalu kesal untuk mengganti baju bepergian. “Kan gue jadi ketinggalan diskon sepatunya! Ah, goblok!”

“Ya udah sih, Tor.” ujar Jesica menenangkan. Ia sedang mengeringkan rambut di depan cermin. “Kita ngobrol-ngobrol aja, sambil makan apa gitu. Lagian setengah hari ini kita tidur mulu. Mau pizza nggak?”

“Mau.” Marsha menyahut lebih dulu, sebelum disusul Victoria dengan ogah-ogahan.

“Pesen, Mar. sekalian buat Tante Hana dan Alex juga.”

Marsha menurut, memesan tiga kotak pizza dengan rasa berbeda. Sembari menunggu, ketiganya bermasker ria sambil tertawa riang. Victoria sudah melupakan diskon sepatunya, dan Marsha tidak larut lagi dengan kesedihan. Kemudian, ketiganya berkumpul untuk menghitung biaya yang harus mereka bayar.

Marsha menahan napas begitu melihat isi dompetnya. Dengan tidak enak, ia menatap kedua temannya sambil berkata. “Lo berdua talangin bagian gue dulu, ya?”

Tanpa berpikir keduanya menyetujui. Jesica berbaring di ranjang Victoria saat Alex membuka pintu kamar. “Kakak mesen pizza, ya?”

Victoria yang menyambut sang adik. Ia memberikan sejumlah uang kepada laki-laki itu. “Kamu tolong bayarin, ya? Dan ini, ambil satu kotak buat kamu sama Mama.”

Alex tersenyum girang, menatap pizza dengan mata berbinar. “Coba aja Kak Tori bukan kakak aku. Udah aku kenalin ke Nenek sebagai calon istri.”

Marsha dan Jesica tertawa. Victoria duduk di lantai bersama Marsha, membuka kotak pizza dan membuka saus. Ketiganya mengambil masing-masing satu potong, lalu makan bersama. Sebelumnya, Victoria sudah membawa sebotol besar jus jeruk dan tiga buah gelas.

“Eh.” Marsha memanggil ketiganya. “Duit lo berdua.. kapan-kapan, ya.”

“Gapapa elah, Mar.” Jesica menaruh dua iris timun di matanya, menyentuh masker pelan-pelan. “Kayak baru kenal aja.”

Tetapi rupanya, Victoria yang tampak lebih kritis. “Emang lo nggak punya duit sama sekali?”

Marsha mengiyakan. “Cuma cukup untuk ongkos gue pulang besok.”

Dan kalimat itu adalah awal Marsha menceritakan apa yang terjadi kepada kedua temannya. Ia merasa lega, terutama mendengar pekikan Victoria yang meskipun berakibat fatal untuk telinganya, sekaligus menjadi penghiburan untuknya.

“LO DIPECAT?! SUMPAH?!”

Jesica langsung duduk, membuat ketimun di matanya jatuh. Bandana yang ia gunakan untuk menahan rambut agar tak terkena masker nyaris lepas, tapi ia mengabaikan hal itu dan membelalak tak percaya. “Demi apa?!”

“Ya udah lah ya.” Marsha mengayunkan tangan, tersentuh dengan simpati dua orang ini. “Gue juga nggak bisa ngapa-ngapain.”

“Lo nggak sedih?” Victoria bertanya khawatir. “Nangis-nangis gitu abis dipecat?”

Marsha terkekeh pendek. “Sedih sih, tapi gue nggak nangis. Marah aja, karena gue dipecat dengan alasan yang kelihatan dibuat-buat.”

“Lo nggak punya niatan buat ngelapor? Karena menurut gue, itu korupsi.”

“Gue juga mikirin itu, Tor.” Marsha mengangkat bahu, mengambil sepotong pizza varian deluxe cheese, menggigit dan menelannya sebelum membalas. “Tapi gue nggak punya bukti yang kuat untuk membuktikan kalau gue nggak salah.”

“Dan itu, kenapa lo nolak bantuan atasan lo? Kedengarannya dia nggak sudi lo dipecat.”

“Emang.” Marsha tergelak. “Semua orang di kantor tahu dia naksir gue tapi gue nggak. Jadi, dia niat nolongin gue itu cuma karena nggak pengen gue pergi dari kantor. Nggak ada yang bisa dia liatin kalau dia lagi capek. Ada hal yang patut gue syukuri karena gue dipecat. Gue nggak perlu malu pas dia confess di depan orang-orang kantor dan nemenin dia nonton.”

“Eh, anjir!” umpat Victoria keceplosan. “Gue kira dia serius mau bantuin lo.”

Jesica tertawa, menunjuk salah satu kotak pizza. “Tor, mau yang black pepper dong.”

Victoria menuruti permintaan temannya itu, kemudian kembali memperhatikan Marsha. “Jadi, sekarang gimana?”

“Gue ngirim lamaran ke banyak perusahaan tapi sampai sekarang belum ada respon.”

“Dari kapan?”

“Dua minggu lalu.”

Mata Victoria melebar. “Heran gue, orang sepinter lo malah susah nyari kerja.”

Marsha hanya bisa tersenyum. Ia akhirnya mematahkan doktrin yang mengatakan bahwa orang jenius dan pintar mudah mencari kerja. Dirinya adalah bukti nyata doktrin itu.

“Email lo udah dicek hari ini?” Victoria masih berusaha berbicara, ia tampak kewalahan menanggapi hal ini.

Marsha mengangguk.

“Dan nggak ada apa-apa?”

Marsha mengangguk lagi.

Victoria menghela napas, tidak punya ide lagi untuk berkomentar. Jesica makan pizza dengan gaduh di belakangnya. Ia mengerang. “Berisik banget dah lo, Jes.”

“Apa?” sahut Jesica dengan wajah polos. Mulutnya penuh pizza. Ikatan rambutnya mulai mengendur.

“Temen lo jadi pengangguran dan lo malah enak-enakan maskeran sambil makan.” gerutu gadis berambut lurus panjang itu. “Kasih saran, kek! Gue mulu yang ngomong!”

“Iya, ah, bawel.” ejek Jesica menelan makanan itu. “Lo udah nyoba lamar di perusahaan tempat Tori, Mar?”

“Udah, tapi nggak ada lowongan di kantor Tori.” Marsha menyandarkan tubuhnya di sisi tempat tidur.

Ketiganya terdiam, sampai tiba-tiba Jesica memekik senang.

“Apa?” Victoria menyahut malas, tapi Jesica tidak peduli. Ia menatap Marsha. “Gue tahu ini melukai ego lu sebagai seorang Sarjana Teknik, tapi.. lo mau nggak kerja part-time?”

***

Marsha menarik napas dalam saat ia mengalihkan pandangan dari ponsel ke bangunan yang ada di depannya.

Bangunan itu adalah restoran yang cukup terkenal di Jakarta. Jesica yang memberikan alamatnya. Gadis itu berkata bahwa restoran ini masih baru tetapi sudah lumayan ramai, dan mereka kekurangan pekerja. Ketika Jesica berkata bahwa menjadi pramusaji melukai egonya sebagai seorang Sarjana Teknik, ia membantah keras hal itu, karena dulu saat di Gianyar, ia sering sekali membantu ibunya berkeliling kompleks untuk berjualan kue. Ia sudah kebal akan bully yang ia terima dulu. Keluarganya memang pernah berada dalam keadaan ekonomi yang sulit, dan itu sebelum ia bisa menempuh SMA di Jakarta. Hal itu juga yang mendorong Dennis menjadi publik figur, agar orangtuanya bisa bersantai sementara pria itu menghasilkan uang banyak.

Bahkan setelah banyak hal yang Dennis lakukan padanya, ia tidak bisa membenci orang itu.

Ia menghembuskan napas dengan berisik, masuk ke dalam restoran. Seorang pramusaji menyambutnya, dan ia menyampaikan maksud kedatangannya kepada pramusaji itu. Ia duduk di salah satu kursi, menunggu. Beberapa menit kemudian, seorang pemuda jangkung dengan rambut hitam yang agak berantakan menghampirinya. Mereka berjabat tangan, kemudian duduk saling berhadapan.

“Saya Fardhan, pemilik dan koki utama restoran ini.” ucap pemuda itu memperkenalkan diri.

Marsha menyebutkan namanya.

“Kamu.. yakin ingin bekerja di sini?” Fardhan terlihat agak ragu ketika memandangi Marsha.

Marsha mengangguk tegas. “Saya sangat yakin ingin menjadi pramusaji di sini.”

“Kenapa?” tanya Fardhan menyelidiki.

“Saya..” Marsha terlihat agak menimbang apa yang harus ia katakan. “Saya baru saja dipecat dari pekerjaan saya karena hal yang tidak saya lakukan, dan sejak saya menaruh CV saya di internet dua minggu lalu, belum ada perusahaan yang tertarik untuk mempertimbangkannya.”

Fardhan kembali mengamati Marsha dengan pandangan menilai. “Kamu.. tidak terlihat seperti pengangguran..” gumamnya.

Marsha tidak merasa perlu untuk menanggapi.

“Apa pendidikan terakhir kamu?”

Marsha menyebutkan jurusannya dan tempat ia berkuliah.

Fardhan tampak terkejut, tapi dengan cepat menyamarkannya menjadi tatapan datar. “Kamu.. bisa mengajar?”

Marsha melongo. Ini sungguh diluar konteks pembicaraan. “Apa?” katanya untuk memastikan ia tidak salah dengar.

Pemuda itu tersenyum hangat. “Saya punya alternatif lain untuk kamu selain menjadi pramusaji untuk saya.”

***

“Teman Ibu saya mengajar di sebuah tempat bimbingan belajar untuk murid SMP dan SMA. Beliau divonis oleh dokter memiliki sel kanker di payudaranya. Memang belum bisa dikategorikan dalam stadium, tetapi beliau harus menjalani perawatan yang sangat banyak dan mengikuti beberapa prosedur operasi yang akan datang untuk mecegah sel kankernya menyebar di seluruh tubuhnya. Saat ini, tempat kursus itu sedang mencari guru fisika untuk menggantikan teman Ibu saya. Beliau memang masih mengajar, tapi jam ajarnya tidak sebanyak guru kursus pada umumnya. Mengingat kamu lulusan Teknik Metalurgi, sepertinya mengajar fisika tidak terlalu sulit untukmu.” jelas Fardhan panjang lebar.

Fardhan mengajak Marsha menuju sebuah tempat yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari tempat restorannya. Sepanjang pembicaraan, Marsha lebih banyak diam daripada menanggapi.

“Kamu keberatan?” Fardhan mengakhiri penjelasannya.

“Tidak, tentu saja.” Marsha menanggapi. “Saya..” ucapnya, tapi tidak melanjutkannya, melainkan berkata. “Terima kasih..”

Mereka tiba di depan sebuah gedung bertingkat tiga dan memiliki banyak jendela. Dari luar, mereka bisa memperhatikan para murid yang tengah mendengarkan penjelasan guru mereka.

Ketika Fardhan membuka pintu, seorang wanita berambut pendek keriting nan manis menyambutnya dengan senyuman. “Halo, Nak!”

Fardhan membalas senyuman itu. “Apa kabar, Bu Nita?”

“Baik, Nak.” Nita berkata hangat. Ia langsung menangkap sosok Marsha yang tampak ingin melenyapkan diri. “Sudah ketemu pengganti Bu Julia, ya?”

“Tahu aja, si Ibu.” Fardhan terkekeh. Ia memperkenalkan Marsha yang tampak kikuk di sampingnya. “Ini Marsha, lulusan Teknik Metalurgi. Dan saya yakin Ibu nggak akan kecewa sama dirinya.”

Nita menatap Marsha dengan teliti. “Kamu fresh graduate?”

“Saya pernah bekerja selama setahun di sebuah perusahaan pembuatan sepeda.”

Nita mengangguk-angguk. “Mau langsung uji coba mengajar hari ini?”

Mata Marsha membulat sempurna. “Apa?!”

“Ada kelas fisika beberapa menit lagi. Bu Julia akan mengisi kelas itu, tapi saya akan meminta kamu mengisi kelasnya nanti untuk uji coba. Kamu mau?”

Marsha mengangguk-angguk setuju.

Nita mengantarkan Marsha menuju lantai dua, tempat kelas yang dimaksud. Sementara itu, Fardhan menunggu di meja Nita, mengamati sekeliling. Karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia mengambil map biru berisi berkas-berkas milik Marsha. Ia membukanya, dan langsung berhadapan dengan data pribadi gadis itu, seperti nama, tempat tanggal lahir, golongan darah, dan sebagainya. Halaman selanjutnya, ia menemukan riwayat pendidikan Marsha dan prestasi-prestasinya. Fardhan mengangguk-angguk, merasa tersanjung dengan semua itu. Setelahnya, ia melihat data mengenai keluarga dan kerabat.

Ketika membaca satu nama, ia sontak membeku.

Ia berani bersumpah atas nama restorannya, bahwa ia baru saja membaca nama Dennis Luigi Wibowo sebagai saudara laki-laki gadis itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • DijiDeswitty

    Ahhhi gemeeees Uda kepooo

    Comment on chapter 6 - Sakit
Similar Tags
No, not love but because of love
3514      775     2     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
Yang ( Tak ) Di Impikan
563      422     4     
Short Story
Bagaimana rasanya jika hal yang kita tidak suka harus dijalani dengan terpaksa ? Apalagi itu adalah permintaan orangtua, sama seperti yang dilakukan oleh Allysia. Aku melihat Mama dengan maksud “ Ini apa ma, pa ?” tapi papa langsung berkata “ Cepat naik, namamu dipanggil, nanti papa akan jelaskan.” ...
Raha & Sia
3380      1280     0     
Romance
"Nama saya Sia Tadirana. Umur 17 tahun, siswi kelas 3 SMA. Hobi makan, minum, dan ngemil. Sia nggak punya pacar. Karena bagi Sia, pacaran itu buang-buang waktu." *** "Perkenalkan, nama saya Rahardi. Usia saya 23 tahun, seorang chef di sebuah restoran ternama. Hobi saya memasak, dan kebetulan saya punya pacar yang doyan makan. Namanya Sia Tadirana." Ketik mereka berd...
Blue Diamond
2864      941     3     
Mystery
Permainan berakhir ketika pemenang sudah menunjukkan jati diri sebenarnya
The Sunset is Beautiful Isn't It?
2259      693     11     
Romance
Anindya: Jangan menyukai bunga yang sudah layu. Dia tidak akan tumbuh saat kamu rawat dan bawa pulang. Angkasa: Sayangnya saya suka bunga layu, meski bunga itu kering saya akan menjaganya. —//— Tau google maps? Dia menunjukkan banyak jalan alternatif untuk sampai ke tujuan. Kadang kita diarahkan pada jalan kecil tak ramai penduduk karena itu lebih cepat...
Memorabillia: Setsu Naku Naru
7171      1893     5     
Romance
Seorang laki-laki yang kehilangan dirinya sendiri dan seorang perempuan yang tengah berjuang melawan depresi, mereka menapaki kembali kenangan di masa lalu yang penuh penyesalan untuk menyembuhkan diri masing-masing.
Aku dan Dunia
365      278     2     
Short Story
Apakah kamu tau benda semacam roller coaster? jika kamu bisa mendefinisikan perasaan macam apa yang aku alami. Mungkin roller coaster perumpamaan yang tepat. Aku bisa menebak bahwa didepan sana ketinggian menungguku untuk ku lintasi, aku bahkan sangat mudah menebak bahwa didepan sana juga aku akan melawan arus angin. Tetapi daripada semua itu, aku tidak bisa menebak bagaimana seharusnya sikapku m...
Under The Darkness
55      52     2     
Fantasy
Zivera Camellia Sapphire, mendapat sebuah pesan dari nenek moyangnya melalui sebuah mimpi. Mimpi tersebut menjelaskan sebuah kawasan gelap penuh api dan bercak darah, dan suara menjerit yang menggema di mana-mana. Mimpi tersebut selalu menggenangi pikirannya. Kadangkala, saat ia berada di tempat kuno maupun hutan, pasti selalu terlintas sebuah rekaman tentang dirinya dan seorang pria yang bah...
Why Joe
1283      660     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
The Flower And The Bees
3738      1600     9     
Romance
Cerita ini hanya berkisah soal seorang gadis muda keturunan Wagner yang bersekolah di sekolah milik keluarganya. Lilian Wagner, seorang gadis yang beruntung dapat lahir dan tumbuh besar dilingkungan keluarga yang menduduki puncak hierarki perekonomian negara ini. Lika-liku kehidupannya mulai dari berteman, dipasangkan dengan putra tunggal keluarga Xavian hingga berujung jatuh cinta pada Chiv,...