Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hug Me Once
MENU
About Us  

Jakarta, 2013

 

Memasuki ruang kedatangan internasional, senyum Marsha melebar kagum begitu mengamati bangunan di sekitarnya. Ia tidak pernah tahu negaranya memiliki bandara internasional yang desainnya nyaris semewah bandara Heathrow.

Nyaris. Bandara di negaranya tidak akan pernah sama seperti bandara Heathrow.

Ia mendorong kopernya keluar dari ruang kedatangan sambil menikmati suasana bandara. Ia suka melihat orang-orang dengan raut wajah santai atau sibuk berjalan hilir mudik kesana-kemari sambil membawa barang-barang mereka yang super banyak, sekelompok orang yang tengah membicarakan sesuatu dalam berbagai bahasa yang sedikit ia mengerti, suara yang memberitahukan keberangkatan dan kedatangan pesawat, atau pertikaian seseorang dengan salah satu tugas bandara.

Ia terkekeh, kemudian memesan tiket bus agar ia bisa pulang ke rumahnya.

Saat sudah di dalam bus, ia duduk dengan seorang perempuan yang sepertinya lebih muda darinya. Murid sekolah, pikir Marsha. Anak itu tertidur dengan earphone pada telinga dan kepalanya bersandar di jendela.

Sepanjang perjalanan, Marsha hanya membaca novel barunya. Ia bahkan tidak menggubris anak perempuan yang sudah terbangun di sampingnya.

Ia sampai di rumah pada malam hari. Well, sebenarnya itu adalah apartemen yang baru saja ia beli minggu lalu. Ketika ia menyelesaikan program pertukaran mahasiswanya tahun lalu, ia memiliki cukup banyak uang berkat hasil menabung dari beasiswanya, dan kerja paruh waktu yang ia lakukan di negara itu. Meski begitu, ia pindah dari indekos lamanya dan menetap sementara di indekos kecil yang baru agar ia terbebas dari Leo, ataupun Victoria dan Jesica. Ia pulang ketika semester tujuh baru dimulai, dan dari situ ia hidup seperti buronan. Ia selalu pergi tiap kali melihat tiga orang yang dikenalnya itu dalam radius lima meter, dan tentu saja mengambil kelas yang berbeda. Tahun akhir kuliah memang tahun yang benar-benar sibuk, sisi yang membuat Marsha diuntungkan karena sepertinya mereka tidak terlalu menaruh perhatian padanya, bahkan Leo.

Ia meletakkan koper di sudut, mempar dirinya ke tempat tidur, memejamkan mata. Meskipun awalnya ia berhasil menghindar, Victoria dan Jesica akhirnya bisa menemukan kesempatan untuk mencerca Marsha, dan itu adalah saat setelah sidang skripsi. Marsha yang merasa sudah lega ketika sidang itu berakhir, harus ditarik paksa ke indekos Jesica hanya untuk dimarahi dan diomeli. Sejak itu, keduanya tidak pernah melepaskan Marsha.

Marsha sendiri tidak masalah, asalkan itu bukan Leo.

Mengamati Leo dari kejauhan membuat Marsha sedikit merasa berbeda, mengingat laki-laki itu selalu menempel padanya. Memperhatikan Leo yang sedang berkumpul bersama teman-temannya membuatnya merasa agak iri. Leo selalu mempunyai waktu untuk dirinya, sesibuk apapun laki-laki itu dengan perlombaan caturnya, atau seheboh apapun ia bersama teman-temannya membicarakan mahasiswi baru yang cantik. Ia tidak pernah tahu menghindari Leo akan sesakit ini.

Tapi kemudian ia berpikir.

Kenapa pula ia harus menghindari Leo?

***

Ada persoalan lain yang juga mengganjal pikiran Marsha. Setelah berbulan-bulan menyiapkan diri, akhirnya ia berani berbicara mengenai apa yang terjadi mengenai kedua orangtuanya. Rasanya sakit saat itu, tapi harus ia akui, ia merasa sangat lega. Apa Dennis sudah mendengarnya? Apa Leo dan Kirana juga sudah tahu?

Ia tidak tahu, karena perasaan setelahnya yang menghampiri dirinya adalah takut. Penyiksaan keji Dennis pada dirinya membuatnya ingin berada sebisa mungkin jauh dari laki-laki itu. Percuma jika Dennis adalah abangnya tetapi laki-laki itu juga yang membuatnya ketakutan seumur hidup.

Lalu bagaimana dengan Kirana dan Leo? Apa reaksi mereka setelah tahu kebenaran yang sudah ia ungkapkan? Dan mengenai dirinya yang mengikuti program pertukaran mahasiswa dibawah hidung Leo? Apa laki-laki itu marah padanya? Marsha selalu merasa berhasil menghindari Leo, karena mereka hampir jarang bertemu dan kalaupun berpapasan, ia akan pura-pura membaca buku atau mengobrol dengan orang lain.

Gadis itu mengusap-usap rambutnya. Untuk apa juga ia perlu memikirkan reaksi mereka semua? Tidak ada lagi Marsha yang cengeng dan ingin dikasihani. Marsha yang sekarang tidak lagi berurusan dengan tiga orang itu.

Jadi Marsha duduk di tempat tidurnya, kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia keluar lima belas menit kemudian dengan hanya memakai kaos hitam bertuliskan ‘Don’t touch me, Muggles!’ dan celana pendek selutut berwarna biru terang. Ia baru saja menyalakan laptop dan mulai membuka e-mail untuk mengetahui pekerjaan apa yang harus ia lakukan besok, tapi kemudian ponselnya berbunyi.

Marsha tersenyum mengamati layarnya, mengangkat panggilan itu. Orang di seberang sana sudah bertanya sebelum ia sempat bicara.

“Gimana, Mar? Suka sama apartemennya?”

“Banget!” seru Marsha dengan senyum melebar. “Dan lo keren banget bisa dapet harga semurah itu untuk apartemen semewah ini!”

Well, in case you didn’t know, the property was belong to my uncle before.

“Eh alah, pantesan..” gerutu Marsha. “Tapi tetep aja harganya nggak wajar, Jes.”

“Emang sengaja dijual segitu, Mar.” Jesica mulai menjelaskan. “Mereka emang udah tinggal di sana sejak nikah sampai anak mereka udah masuk SMP. Gue kadang suka kesana buat nemenin kakek gue, atau main sama sepupu gue itu, jadi gue udah tahu kondisinya kayak apa sampe berani nyaranin ke elo. Akhir-akhir ini, kakek gue merasa kesepian gitu, dan dia mau semua keluarganya tinggal di rumahnya. Kakek gue emang cuma punya dua anak, bokap gue dan om gue. Dan yah, akhirnya mereka emang ngejual apartemen itu murah banget supaya langsung ada yang beli. Orang dari bank aja sampe nggak percaya kalau apartemennya mau dijual semurah itu. Mereka bahkan nggak mikir untuk nutupin harga asli pas mereka beli apartemen itu pertama kali, atau mempertimbangkan harga tempat tinggal zaman sekarang.”

Marsha mendengus. Orang sekaya Jesica dan keluarga seharusnya tidak perlu memikirkan uang yang mereka keluarkan untuk apapun yang mereka beli. Kakek Jesica adalah pengusaha terkenal di Indonesia dan menjual apartemen setengah harga tanpa bunga dan bisa dicicil tidak akan membuat mereka jatuh miskin. Ia seharusnya tidak terkejut.

“Bilang makasih ke om, tante, sama kakek lo.” akhirnya Marsha berucap.

“Lo udah bilang makasih berkali-kali ke ketiganya sejak lo ketemu mereka ngebahas apartemen itu, ngambil dokumen-dokumen yang banyak banget itu, dan akhirnya lo yang menjadi pemilik apartemen. Mereka juga senang karena mereka nggak perlu nyewa agen properti. Mereka cuma perlu gue yang punya temen yang mau beli apartemen.”

“Ya, yeokshi uri Jesica!”

“Sejak kapan lo demen Korea?”

“Yaelah, ngomong yeokshi uri aja nggak boleh gue?”

“Aneh aja dengerin bahasa Korea lo lebih fasih dari gue, padahal lo cuma bilang dua kata.”

Well, in case you didn’t know, I have a Korean friend since I was in UK.” jawab Marsha dengan nada yang sama dengan Jesica sebelumnya.

Jesica menghela napas. “Cukup, Mar. Capek gue dengerin lo pamerin temen-temen luar lo yang ganteng-ganteng.”

Marsha tertawa. “Gantengan juga Leo kali.”

Marsha diam, kemudian merutuki dirinya sendiri setelah mengatakan kalimat barusan secara gambling.

Sementara itu, Jesica di ujung sana sudah heboh sendiri. “BARUSAN LO BILANG APA, MAR?!” serunya retoris.

Bagaikan terkena mantra petrificus totalus, Marsha tidak bisa bergerak ataupun bicara.

“SAYANG BANGET NGGAK GUE REKAM!”

“JANGAN NGACO!” Marsha akhirnya menemukan suaranya. Ia memutuskan untuk mengutarakan pembelaan. “But I tell the truth. Leo is more handsome than all my foreigner friends.

“Nggak, nggak.” sanggah Jesica. “Nada bicara lo nggak bermaksud gitu. Itu nada yang dipake kalau seorang cewek lagi ngomongin cowok ganteng, dan dia merasa perlu mengklarifikasi kalau cowok yang dia sayang lebih baik dari cowok-cowok yang diomongin cewek itu.”

“Cakep bener argumen lo.” ejek Marsha. “Dan sayangnya gue sama Leo bukan sayang yang suka lo sama Tori gembar-gemborin.”

“Sayang apaan? Sejak lo pulang dari Inggris, lo dan Leo bahkan sama-sama saling menghindar kalau ketemu di kampus dulu.”

Marsha tercenung sebentar. “Lo tahu?”

“Dikata gue sama Tori nggak tahu apa yang lo lakuin selama semester tujuh sampe sidang skripsi apa?”

Seketika Marsha merasa seseorang merusak kotak suaranya.

“Gue sama Tori emang heboh banget waktu tahu lo udah pulang, sampai bikin Leo kesel karena kami terus nyerbu dia soal itu. Leo bahkan nggak mau denger siapapun yang ngomong nama lo depan dia. Dari situ kami paham, Leo nggak tahu apa-apa soal program lo, sama kayak kami. Dan dia kayaknya marah banget sama lo.”

Marsha duduk termenung. Ia menurunkan tangan, meletakkan ponsel di meja, dan mengubahnya menjadi mode loudspeaker. Apakah ia sesibuk itu sampai ia tidak menyadari kebodohan yang ia lakukan? Ia mengikuti program di luar negeri, bagaimana mungkin ia tidak menjadi buah bibir di jurusannya? Dan kembalinya ia seharusnya menjadi puncak kehebohan semua itu. Dan ia sama sekali tidak menyadarinya?

Seharusnya ia tahu ia tidak akan bisa menghindar dari semua orang yang ingin ia hindari.

“Gue juga kalau jadi Leo bakal kecewa sama lo, Mar.” suara Jesica kembali terdengar. “Lo sama dia udah temenan lama banget. Buat apa coba lo menghindar dari dia?”

Marsha langsung memutuskan sambungan telepon. Ia mengusap-usp wajahnya, tampak berpikir. Ada satu perasaan yang mengganjal dalam dirinya sejak ia mendapat kesempatan untuk menjadi peserta program yang dulu itu. Hanya saja, ia kurang paham apa itu. Ia bingung, ditambah lagi dulu ia secara tak sengaja berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi Marsha yang berbeda jika ia sudah pulang dari Inggris. Membuatnya ingin menghindari siapapun yang mengenalnya dengan baik, sampai-sampai ia pindah dari indekos lama, dan langsung pergi ketika acara wisuda berakhir karena khawatir akan bertemu Kiki mengingat Leo juga wisuda.

Tapi, bisakah ia?

***

Pagi hari itu, Marsha disambut omelan menyebalkan supervisornya.

Ia sedang mengamati komputernya dengan serius saat seorang pria berkacamata dan berwajah keras menghampirinya sambil berkicau tak menyenangkan dan melempar setumpuk kertas di mejanya dengan kasar. Ia seketika mendongkak. “Ada apa, Pak?”

Pria itu menunjuk kertas yang tadi ia lempar. “Hasil meeting tadi pagi. Catatan untuk divisi kita.”

Marsha mengamati cepat catatan itu. “Material pada bagian rangka sepeda tidak sesuai dengan standar?” bacanya dengan heran. “Saya sudah memastikan bahwa logam yang digunakan adalah aluminium dan bukan besi. Saya tahu pabrik kita tidak memproduksi sepeda Hi Ten.”

“Kamu bisa pergi ke pabrik dan mengeceknya sendiri.” jawab atasannya itu. “Sekaligus mengecek sendiri berapa banyak sepeda yang gagal produksi.”

Marsha mengganti flat shoes yang ia kenakan dengan safety shoes agar ia bisa masuk ke pabrik bagian produksi, lalu bangkit berdiri. Kau memang harus menggunakan sepatu itu agar bisa memasuki dengan leluasa bagian pabrik. Ia melangkah keluar, menuju pabrik yang letaknya bersebrangan dengan kantornya.

“Nah, ini dia penanggung jawab material kita.”

Kalimat itu diucapkan oleh salah satu pekerja pabrik yang sudah ia kenal, Jimmy namanya. Marsha berjalan ke arahnya.

“Separah itu, Jim?” tanya Marsha penasaran. Ia mengamati para pekerja yang tengah mencetak beberapa bagian sepeda, sementara orang-orang yang berada di dekat Jimmy mulai menaruh perhatian padanya.

Jimmy menunjuk pintu besar pabrik yang langsung menghadap sisi luar tempat itu. “Lo liat tuh. Hampir semua sepeda yang udah jadi nggak jadi dikirim ke Surabaya.”

Marsha menoleh, matanya membulat sempurna memandang kontainer-kontainer kayu yang ditumpuk di sana. “Aneh. Lo kemarin ngikut gue ‘kan pas kita lihat sendiri campuran logam yang dipakai? Kok tiba-tiba berubah?”

“Gue lihat sendiri kalau jenis logam yang mereka lelehkan itu aluminium, tapi gue heran tiba-tiba orang-orang bagian perakitan ngeluh aluminiumnya kurang cepat meleleh. Malah kayak besi biasa.”

“Ya berarti bukan salah gue dong?” ucap Marsha jelas membela diri.

“Tetap salah lo, lah.” sahut Jimmy. “Kan lo yang ngasih laporan material ke bagian produksi. Di kertas tulisannya aluminium, lah malah jadi besi. Gimana ceritanya?”

Marsha berbalik, menghampiri tumpukan bijih besi yang terus bergerak otomatis ke bawah, menunggu untuk diolah. Seorang pekerja yang sedang mengatur suhu pemanas menyapanya dengan formal, dibalas sopan oleh Marsha. Seorang pekerja yang sedang menuangkan sekarung bijih besi ke kontainer berukuran sedang seketika berhenti. Ia meletakkan karung kosong dan berdiri di depan Marsha.

Marsha mengambil segenggam bijih besi, mengamatinya dengan saksama, lalu mengembalikan ke tempatnya. “Ini benar aluminium. Lantas kenapa semua sepeda itu dikembalikan jika kalian memang mengelola bahan dengan benar?”

“Kami melakukan kesalahan kemarin, Bu.” ucap orang itu menunduk. “Kami baru menyadari bahwa bijih besi yang kami olah untuk sepeda milik customer di Surabaya adalah bijih besi biasa saat semua sepeda itu sudah masuk tahap pengemasan. Salah satu perakit menyadari bahwa bijih besi itu memiliki kandungan aluminium hanya sekitar lima persen, dan itu hanya di permukaannya. Itulah mengapa sepeda-sepeda itu terasa lebih berat ketika dikemas.”

Marsha mendesah kasar. “Apa ada sesuatu yang kalian lakukan tanpa sepengetahuan saya?”

“Tidak, Bu.” Orang itu menggeleng. “Kami mengikuti semua prosedur yang Bu Marsha jelaskan pada kami.”

Marsha meninggalkan pabrik, menuju gudang tempat semua bahan-bahan pembuat sepeda disimpan. Para pekerja yang sedang mengoperasikan forklift (kendaraan yang digunakan untuk mengangkut barang, biasanya ada di gudang-gudang pabrik besar), melirik ke arahnya sebelum mengangkut barang yang sudah disiapkan temannya. Gadis itu menghampiri seorang bapak-bapak yang rambutnya hampir rontok seluruhnya, sedang memberi instruksi kepada pekerja lain.

“Pak Seno.” tegur Marsha tanpa intro. Pekerja yang sedang diajak bicara oleh pak Seno tersenyum dan pamit. Perhatian pak Seno akhirnya terfokus pada Marsha. “Ada apa?”

“Bijih besi yang dibuat untuk sepeda customer Surabaya ternyata sembilan puluh lima persennya adalah bijih besi, aluminium hanya terdapat bagian permukaannya. Saya bukan menganggap remeh divisi Bapak, atau bahkan kinerja Bapak sendiri, tapi bagaimana bisa hal itu terjadi sementara saya melakukan pengecekan berulang kali?” jelas Marsha panjang lebar. Pria ini jauh lebih tua darinya, tapi tetap saja, ini bukan situasi untuk beramah-tamah.

Pak Seno menunjukkan papan jepit yang sedari tadi ia pegang, membuka lembaran-lembaran kertas yang dijepit di sana, lalu menunjukkan sebuah halaman pada Marsha. “Ibu bisa pastikan sendiri bahwa saya juga menerima laporan yang sama dengan Anda.”

Marsha membaca cepat laporan itu, semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia berkata dengan nada lelah. “Apakah Bapak mengawasi proses pengiriman karung-karung bijih besi itu ke sini?”

“Ya, saya mengawasi.”

Marsha mengusap kepalanya dengan wajah frustrasi. Tekanan tidak kunjung hilang dari mukanya terlebih ketika Jimmy, salah satu pekerja di bagian produksi, berlari menghampirinya.

“Mar, lo dicariin pak Charlie, kepala bagian produksi!”

***

Marsha memasukkan kartu busway ke dalam ransel, kemudian mengenakannya lagi di punggungnya. Ia berjalan pelan sepanjang jembatan penyebrangan sampai ia sudah berada di tepi jalan. Ia masih saja menghela napas beberapa kali, berusaha menyingkirkan apa yang terjadi tadi di perusahaan tempat ia bekerja dari otaknya.

Ia menggeleng-geleng. Ia tidak mau mengingatnya lagi. Intinya, dia terancam dipecat jika sampai kejadian yang sama terulang.

Ia tidak mengerti. Bagaimana bisa semua orang di perusahaan itu salah mengira bijih besi biasa menjadi bijih aluminium? Parahnya lagi, dengan pernyataan aluminium melapisi bijih itu. Astaga. Luas permukaan bijin besi bahkan tidak lebih besar dari batu kerikil. Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi?

Marsha sudah memasuki wilayah apartemennya, dan semenit kemudian sudah menginjakan kaki di lobi menara. Ia tersenyum singkat kepada resepsionis, lalu masuk ke lift.

Ia sangat tidak bisa percaya hal seperti ini menimpa dirinya. Ia ingin sekali tahu apa yang terjadi, bahkan mengusutnya bersama dengan kepolisian. Tapi, ia ingat ia belum melunasi apartemen tempat tinggalnya sekarang, dan ia tidak mau kehilangan pekerjaan. Gajinya lumayan di perusahaan itu.

Ia masuk ke lift, menekan tombol angka lantai apartemennya, membiarkan pintu menutup dengan sendirinya, kemudian menyandarkan punggung ke dinding lift. Ia sendirian di sana, jadi yang bisa ia lakukan hanya melihat pantulan dirinya di pintu lift. Beberapa detik kemudian, pintu membuka, dan Marsha melangkah keluar dari sana.

Hal yang akan ia lakukan sebelum tidur adalah membereskan pekerjaan, mengontak penjual bijih besi dan mengutarakan apa yang terjadi, dan setelah itu, pekerjaannya akan selesai dan kehidupannya menjadi senormal biasanya.

Tapi ketika keesokan hari ia keluar dari apartemen, ia tahu bahwa hidupnya memang tidak akan pernah berjalan sesuai ekspektasinya.

Teguran hangat sang tetangga depan apartemen tidak akan pernah membuatnya tenang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • DijiDeswitty

    Ahhhi gemeeees Uda kepooo

    Comment on chapter 6 - Sakit
Similar Tags
Can You Hear My Heart?
455      270     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
TEA ADDICT
312      207     5     
Romance
"Kamu akan menarik selimut lagi? Tidak jadi bangun?" "Ya." "Kenapa? Kan sudah siang." "Dingin." "Dasar pemalas!" - Ellisa Rumi Swarandina "Hmm. Anggap saja saya nggak dengar." -Bumi Altarez Wiratmaja Ketika dua manusia keras kepala disatukan dengan sengaja oleh Semesta dalam birai rumah tangga. Ketika takdir berusaha mempermaink...
Stuck In Memories
15726      3218     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
617      437     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.
Army of Angels: The Dark Side
34722      5993     25     
Fantasy
Genre : Adventure, Romance, Fantasy, War, kingdom, action, magic. ~Sinopsis ~ Takdir. Sebuah kata yang menyiratkan sesuatu yang sudah ditentukan. Namun, apa yang sebenarnya kata ''Takdir'' itu inginkan denganku? Karir militer yang telah susah payah ku rajut sepotong demi sepotong hancur karena sebuah takdir bernama "kematian" Dikehidupan keduaku pun takdir kembali mempermai...
Purple Ink My Story
5939      1300     1     
Mystery
Berawal dari kado misterius dan diary yang dia temukan, dia berkeinginan untuk mencari tahu siapa pemiliknya dan mengungkap misteri yang terurai dalam buku tersebut. Namun terjadi suatu kecelakaan yang membuat Lusy mengalami koma. Rohnya masih bisa berkeliaran dengan bebas, dia menginginkan hidup kembali dan tidak sengaja berjanji tidak akan bangun dari koma jika belum berhasil menemukan jawaban ...
Horses For Courses
11728      2333     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1905      906     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Temu Yang Di Tunggu (up)
19336      4022     12     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Dream Of Youth
752      490     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...