Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hug Me Once
MENU
About Us  

Jakarta, 2008

 

Ingatan Marsha tentang kejadian ketika ia babak belur masih terasa segar, seolah itu baru saja terjadi kemarin. Air muka Dennis yang tampak tidak terima melihat dirinya berakhir mengenaskan seperti itu masih membuatnya terenyuh. Terlebih ketika ia tahu gadis berbando ungu yang dulu menyerangnya adalah pacar Dennis.

Keesokan harinya di sekolah Dennis saat itu, Dennis langsung mencegat si bando ungu di kelasnya. Ya, Dennis marah besar, Made dan Niko sampai takut mendekatinya. Bahkan si gadis itu meminta maaf dan betul-betul memohon ampunan dari Dennis, tapi kakaknya sama sekali tidak mempedulikan gadis itu. Gadis itu menangis, tapi Dennis seperti sudah merasa jijik pada gadis itu sejak Marsha diserang. Dan hubungan mereka berakhir.

“Bang..” panggil Marsha di akhir pekan setelah kejadian itu. Dennis sedang bermain game sambil berbaring di kasur kamarnya. Dennis hanya meliriknya dari atas PSP, lalu bermain lagi. Marsha duduk di tepi kasur.

“Itu Kak Sophie di luar, nyariin Abang.” Marsha menepuk kaki abangnya.

“Ngapain dia?” tanya Dennis tanpa mengalihkan pandangan.

“Mau minta maaf.”

Dennis langsung menurunkan PSP nya, menatap Marsha dalam diam. Ia meletakkan benda itu di kasur, berdiri, dan mengajak Marsha keluar dari kamar bersamanya. Mereka menuju ruang tamu. Ada seorang gadis berbando ungu duduk dengan wajah tertunduk, duduk di sofa berkapasitas satu orang. Ia mendongkak ketika melihat kakak beradik pemilik rumah ini.

Sophie langsung menegur begitu Dennis dan Marsha duduk berdampingan di sofa berkapasitas tiga orang yang letaknya di seberang tempat Sophie duduk. “Den..”

Pemuda itu hanya memiringkan kepalanya, sudah cukup untuk membuat Sophie bungkam.

“Hebat ya kamu.” sindir Dennis langsung. “Sudah bikin adikku babak belur, sekarang kamu berani ke rumahku.”

Kepala Sophie tertunduk lagi. “Aku minta maaf..”

“Sudah minta maaf ke Marsha?”

Sophie kembali mengangkat wajah. Matanya beradu pandang dengan mata hitam Marsha yang di luar dugaannya.. tampak merendahkan.

Dennis tersenyum sinis. “Kamu bahkan belum minta maaf ke adikku. Jadi, kamu mau apa ke sini? Bujuk aku biar kita balikan?”

Spohie terdiam sebentar, mengangguk kikuk. “Aku.. suka kamu, Den..”

“Aku juga.” balas Dennis tak berlama-lama. “Tapi dulu. Sebelum kamu datang ke sekolah Marsha sama adikmu. Sebelum kamu marahin Marsha karena dia menang cerdas cermat. Sebelum kamu nggak terima Marsha menang dan itu membuat adikmu jelek di mata keluarga dan tetangga. Sebelum kamu bikin Marsha babak belur karena kamu nggak terima omongan Marsha yang harus kamu akuin dia benar.”

Mulut Sophie terbuka sedikit. Ia tahu Dennis berkata jujur, tapi justru hal itu membuatnya merasa sangat sakit hati.

“Aku nggak bermaksud—”

“Maksud kamu sudah sangat jelas waktu kamu ke sekolah Marsha setelah adikmu bilang dia dikalahin adikku.” potong Dennis. “Aku nggak bodoh, Soph.”

“Aku nggak tahu kalau Marsha adik kamu!” teriak Sophie terdengar frustasi. Matanya sudah berkaca-kaca.

“Marsha adikku atau bukan, itu nggak membuat kamu mengurungkan niat untuk menghajarnya. Kamu cuma tunjukkin ke orang-orang kalau kamu itu bodoh dan pengecut.”

Wajah Sophie seakan baru saja diberitahu bahwa salah satu anggota keluarganya meninggal.

“Dari awal kamu salah.” Dennis berkata lagi dengan lebih tenang. “Cuma karena orangtua kamu yang berantem dan adikmu yang dibilang bodoh karena kalah, kamu langsung nyalahin Marsha karena itu? Kenapa kamu nggak ngeliat kalau kesalahannya ada di adikmu dan tetangga sekitarmu? Adikmu yang nggak mau belajar makanya dia bisa kalah? Tetanggamu yang punya pikiran sebodoh itu? Marsha korban disini. Bukan kamu, ataupun adikmu.”

Marsha tercenung. Kakaknya betul-betul luar biasa. Padahal Marsha mengira dengan kedatangan mantan pacar Dennis, kakaknya akan marah besar dengan meneriaki dan langsung mengusir gadis ini. Tapi ia salah. Dan seharusnya ia sudah tahu, meskipun Dennis meledak dalam amarah dan hanya ditunjukkan dengan cara sehalus ini, itu berarti Dennis sangat murka dengan siapapun yang berani membuat Marsha babak belur.

“Kamu bahkan nggak minta maaf ke Marsha.” ulang Dennis. “Padahal dia yang lebih berhak marah daripada aku. Ya, aku tetap punya hak untuk marah karena aku abangnya. Aku nggak suka ngeliat adikku babak belur begitu, apalagi kalau dia nggak salah. Dan dengan kamu nggak minta maaf, secara nggak langsung kamu nunjukkin kalau kamu nggak salah dengan ngebuat dia babak belur.”

Kini Sophie memandang gadis yang sedari tadi hanya diam di samping Dennis. “Marsha—”

“Telat, nggak perlu.” sela Dennis menukas. “Kamu minta maaf ke Marsha nggak bikin lebam-lebam dia sembuh. Itu juga nggak ngebuat aku mau jadi pacar kamu lagi.”

“Tapi, Den..”

“Kamu boleh pulang, Soph.” Dennis menunjuk pintu utama. “Kalau kamu kenal aku, kamu harusnya tahu aku paling nggak suka kalau ada yang nyiksa adikku. Dan kamu tahu akibatnya kalau ada orang-orang yang berani bikin siku adikku lecet sedikit aja.”

“Dennis, please.”

Dennis menggeleng. “Aku kecewa sama kamu. Aku nggak nyangka orang yang aku suka malah suka menyiksa orang yang lebih rendah darinya.”

“Aku sayang kamu, Den..”

“Tapi kamu nggak sayang Marsha.” Dennis menjawab lugas. “Aku nggak bakal terima siapapun di dunia ini yang sayang aku, tapi nggak sayang Marsha.”

Dan Sophie pun menyerah. Ia berdiri. Pipinya sudah basah dengan air mata, tapi Dennis tampak tidak peduli. Ia hanya memandang punggung Sophie yang menuju pintu rumah, menutupnya, dan pergi.

Marsha, yang seperti baru bangun dari tidur panjang, mengerjap. Ia menatap Dennis. “Nggak apa-apa, Bang?”

Dennis membalas tatapan itu. “Apanya?”

“Abang kan.. suka sama kak Sophie dari lama..” ungkap Marsha dengan suara pelan. “Terus Abang putus sama dia..”

Dennis menyipitkan mata.

“Aku maafin dia, kok..”

“Aku juga maafin dia, Mar, tapi aku nggak mau balikan sama dia.” Dennis menghela napas. “Dengan dia yang bikin kamu babak belur, aku tahu kalau dia gadis kasar yang tidak bisa mencerna omongan baik-baik. Dia nggak cocok sama aku.”

 

Marsha menopang dagu di buku tebal yang ia pegang dengan posisi berdiri. Ia memandang keluar jendela, menikmati desir angin yang berhembus pelan menampar wajahnya. Kamar indekos temannya kecil, tapi memiliki posisi yang paling bagus dibandingkan dengan kamar indekos yang lain. Letak kamar itu di lantai tiga, dengan jendela yang berhadapan dengan jalanan. Kamar itu hanya berisi ranjang, meja belajar, dan tumpukan tiga kardus yang berisi barang-barang temannya yang tidak muat diletakkan di kamar.

Ia selalu berada di sini bila jarak antara mata kuliah pertama dan kedua menyentuh tiga jam. Temannya juga tidak keberatan meninggalkan Marsha sendirian di kamarnya, toh Marsha sangat dipercaya temannya itu.

Ia menghela napas panjang. Mengingat semua kebaikan dan kasih sayang Dennis hanya akan membuat luka yang sudah ia dapatkan terbuka kembali, dan itu tidak akan membuatnya sembuh.

Ketika jam kecil di meja menunjuk pukul dua, ia berdiri, merain ransel toska yang ia letakkan di kasur, dan keluar kamar. Ia menaruh kunci di kusen di atas pintu, lalu menuruni tangga.

Jarak tempat indekos temannya itu hanya sekitar lima ratus meter dari pintu kecil yang langsung terhubung dengan wilayah kampus tempat fakultasnya berada. Ia berjalan lesu, masuk ke wilayah kampus dengan malas.

Tidak, ia tidak malas mengikuti kuliah sesiang ini. Ia hanya tidak suka dengan pikiran mengenai Dennis yang sontak saja langsung membuat hari baiknya menjadi begitu mengenaskan, padahal kakaknya itu tidak melakukan apapun.

Ya, Dennis memang tidak melakukan apapun hari ini, karena memang keduanya tidak bertemu, ataupun saling menelpon hanya untuk bertukar kabar. Marsha bakan sudah tidak ingat kapan terakhir kali Dennis mengirimkan SMS padanya hanya untuk menanyakan keadaan dirinya. Karena Dennis yang sangat menyayangi Marsha sudah tidak ada.

Sejak dua tahun lalu, Marsha hanya mengenal Dennis yang begitu membenci dirinya.

***

Marsha sampai di gedung jurusannya dua puluh menit kemudian. Sebuah kejutan, karena ia biasanya menempuh tempat itu sekitar sepuluh menit, lima menit bila ia tidak mandi dan baru ingat ia punya praktikum hari itu. Ia hanya mengenakan kemeja kotak-kotak kecil merah hitam yang tidak dikancingkan, kaos hitam polos lengan pendek yang dimasukkan ke celana jeans hitamnya. Rambutnya diikat asal-asalan. Poni sepanjang tulang pipi sedikit menutupi mata.

Lingkungan sekitar fakultas tempat Marsha menempuh pendidikan perguruan tingginya tampak terlihat biasa. Beberapa mahasiswa sedang berkumpul di kursi panjang, mengobrol sambil melihat kesana kemari, atau sedang mendiskusikan mata kuliah yang baru saja mereka lewati, atau mendengar gerombolan mahasiswa tingkat pertama cekikikan ketika melihat beberapa mahasiswa tingkat akhir yang tampan.

Tentu saja Marsha agak jengah dengan semua itu, meski ia baru memasuki semester ketiga perkuliahannya, dan dengan semua kesibukan yang ia punya. Ia menjalani kuliah dengan agak berbeda dari kebanyakan mahasiswa semester tiga umumnya.

Ia memperbaiki posisi kacamatanya ketika seseorang meneriaki namanya.

“Kak Marsha!”

Marsha berbalik. Anak itu berhenti sambil terengah-engah di depannya.

“Ada apa, Ka?” Marsha balik bertanya. Anak itu belum genap satu semester berada di sini, tapi anak itu sudah cukup akrab dengannya, selain sejurusan, mereka juga berada di unit kegiatan mahasiswa yang sama: jurnalistik.

“Aku disuruh sama Kak Tobi buat nyari kakak. Dia mau tahu nanti kakak bisa jadi Master of Ceremony buat seminar nanti sore atau nggak.”

Dahi Marsha mengernyit. “Bukannya si Novi yang jadi MC?”

“Novi sakit, Kak.” Eka berkata dengan sedih. “Baru kemarin dia masuk rumah sakit karena tifus.”

“Oh, aku ikut sedih.” Marsha berucap tulus. “Tapi aku nggak bisa janji bisa atau nggak sore ini. Aku punya lima praktikum besok, belum lagi aku harus masuk di kelas Bu Qori.”

Eka tampak terkejut. “Kakak jadi asisten dosen Bu Qori? Sumpah?”

Marsha hanya tersenyum canggung.

Eka menatapnya dengan pandangan penuh kagum dan penghormatan. “Kakak keren banget.”

“Makasih.” hanya itu yang Marsha katakan. “Aku masuk kelas dulu, ya.”

Marsha pun meninggalkan gadis berambut ombak itu, yang masih memandang takjub pada dirinya. Ia segera masuk ke kelas, mengikuti mata kuliah Kinematika Metalurgi yang akan dimulai sepuluh menit lagi.

***

Padahal Marsha sudah begitu bersemangat saat mendengar penjelasan dosennya mengenai materi yang harus ia ajar. Ia juga sudah membuat ancang-ancang di otaknya untuk menyusun jadwalnya hari ini. Setelah mengikuti seminar, ia akan langsung menuju indekos temannya untuk mengerjakan tugas yang baru saja diberi. Setelah itu, ia bisa belajar untuk praktikum setelahnya.

Tapi semua rencana itu harus ia kubur dalam-dalam karena baru saja ia selesai memasukkan semua barang-barangnya ke dalam ransel, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali si pengirim pesan melakukannya. Marsha memutuskan untuk duduk dulu di tempat duduk.

 

Bang Dennis

Tante Maya datang dari Bali hari ini dan dia mau aku sama kamu jemput dia di bandara. Aku jemput kamu di kampus nanti.

Kamu pulang jam berapa?

 

Marsha mendengus. Ia tahu Dennis mengirim pesan singkat seramah dan semanis itu agar ia bisa mengirimkan bukti percakapannya kepada kakak ibunya itu. Tentu saja Dennis tidak mau orang lain tahu bahwa ia tidak pernah lagi memandang adiknya seperti dulu, walaupun seluruh anggota keluarganya sudah tahu.

 

Aku nggak bisa. Ada acara kampus.

 

Marsha sengaja membalas seperti itu karena ia memang tidak ingin berada di satu mobil bersama Dennis. Sang kakak langsung mengirim balasannya cepat sekali.

 

Bang Dennis

Kalau bukan karena Tante Maya, aku juga nggak mau satu mobil sama kamu!

Ini Tante Maya yang minta!

 

Marsha memejamkan mata dengan jengah. Ia tahu ia tidak bisa menghindar.

 

Oke, aku ikut. Aku udah nggak ada kelas lagi.

 

Setelah itu, Marsha langsung menelepon seseorang.

“Halo, Mar!” sapa orang di ujung telepon dengan riang. “Gimana? Lo mau jadi MC?”

“Maaf, Kak Tobi, aku nggak bisa.” Marsha berdiri dari tempat duduknya, mulai meninggalkan kelas. “Aku.. ada urusan mendadak.” jawabnya agak ragu.

“Apa?”

“Aku harus jemput tanteku di bandara. Kakak tahu kan.. er.. nggak ada yang bisa jemput dia selain aku..”

“Oh, ya, ya, nggak apa-apa. Lain kali kalau ada seminar lagi, gue nggak mau tahu, lo harus jadi MC!”

 “Oke, Kak.”

Sambungan telepon langsung diputuskan oleh Marsha. Ia melangkah meninggalkan gedung dengan lesu. Ketika ia sampai di halaman gedung fakultasnya, ia melihat mobil Lexus hitam keluar dari tempat parkir. Tanpa si pengemudi menurunkan kaca, Marsha sudah tahu.

Ia masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang depan. Mobil pun melaju.

“Mobil siapa lagi ini?” Marsha bertanya, agak sinis.

“Nggak perlu tahu.” tanpa menoleh, Dennis membalas dengan dingin.

“Segitunya sampai-sampai Abang nggak mau dikenal.” gumam Marsha memandang jalanan. “Untung aku memang tidak tertarik di dunia hiburan. Nggak gampang ya jadi artis yang katanya anak tunggal.”

“Kamu ngomong lagi, aku tampar kamu.” Dennis menukas dengan marah.

“Silahkan.” Marsha menantang. “Kayak baru kali ini aja Abang mau nampar aku.”

Terdengar helaan napas keras dari Dennis. Dari tampang wajahnya, laki-laki itu berusaha tetap mengemudi meski emosinya sudah naik ke ubun-ubun karena ucapan kurang ajar adiknya.

“Nggak tahu terima kasih ya kamu.” Dennis membalas setelah mereka masuk tol yang tidak terlalu ramai, sehingga ia bisa menambah kecepatan mobil. “Udah syukur aku mau bantu biaya kuliah kamu.”

“Bapak sama Ibu emang udah nyiapin uang kuliah khusus buat aku, dan itu cukup sampai kuliahku selesai tanpa uang dari Abang, terima kasih.”

Dennis benar-benar marah dengan ucapan itu sampai-sampai ia nyaris menabrak bus di depannya. Ia mengerem mendadak, membuat keduanya terdorong ke depan. Suara klakson nyaring terdengar di belakang mereka.

Dan keduanya tidak bicara sampai mereka tiba di tempat parkir bandara.

Sebelum Marsha sempat melepas sabuk pengamannya, ia merasa sesuatu yang keras menghantam pipinya. Sesaat kemudian, ia sudah melihat Dennis memundurkan tubuhnya dengan tangan terkepal.

“Itu untuk mulutmu yang kurang ajar itu.” katanya bengis. “Dan kamu tunggu disini. Jangan keluar. Aku nggak mau orang lain ngeliat aku, terus kenal aku, dan ngeliat kamu. Susah ngejelasin kalau aku anak tunggal terus ada kamu disini.”

Marsha membeku di tempatnya sejak Dennis melayangkan tinju itu padanya. Ia memandang nanar Dennis yang menutup pintu mobil dengan keras, lalu berjalan sambil memakai topi dan kacamata hitam. Ia menyandarkan punggungnya ke jok mobil, memejamkan mata. Ia tidak tahan lagi. Air matanya jatuh.

Kalau boleh jujur, pukulan itu tidak seberapa membuatnya sakit. Yang membuat air matanya jatuh adalah, Dennis yang melakukan itu padanya.

Dennis yang dulu menyayanginya dan selalu melindunginya.

Dennis yang tidak ingin orang lain menyakiti adiknya, tetapi membuat Marsha menderita karena dua tahun terakhir ini Dennis adalah alasan mengapa dirinya begitu tertekan dan menderita.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 2
Submit A Comment
Comments (1)
  • DijiDeswitty

    Ahhhi gemeeees Uda kepooo

    Comment on chapter 6 - Sakit
Similar Tags
Rindu
411      302     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
Ilona : My Spotted Skin
747      524     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Konspirasi Asa
2882      1003     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Kebahagiaan...
595      418     4     
Inspirational
Apa arti sesungguhnya dari bahagia? Dapat menghabiskan banyak waktu menyenangakan bersama orang yang kita sayangi dan bisa terus bersama adalah salah satu dari kebahagiaan yang tidak ternilai....
Pertualangan Titin dan Opa
3638      1376     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Iskanje
5644      1536     2     
Action
Dera adalah seorang mahasiswa pindahan dari Jakarta. Entah takdir atau kebetulan, ia beberapa kali bertemu dengan Arif, seorang Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera yang begitu mengagumi sosok lelaki yang berwibawa pada akhirnya jatuh cinta pada Arif. Ia pun menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Pada mulanya, ia masuk menwa untuk mencari sesuatu. Pencariannya menemui jalan buntu, tetapi ia...
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
Premium
From Thirty To Seventeen
29671      3602     11     
Romance
Aina Malika bernasib sial ketika mengetahui suaminya Rayyan Thoriq berselingkuh di belakangnya Parahnya lagi Rayyan langsung menceraikan Aina dan menikah dengan selingkuhannya Nasib buruk semakin menimpa Aina saat dia divonis mengidap kanker servik stadium tiga Di hari ulang tahunnya yang ke30 Aina membuat permohonan Dia ingin mengulang kehidupannya dan tidak mau jatuh cinta apalagi mengenal R...
My Teaser Devil Prince
6615      1689     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
RUANGKASA
50      46     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...