Keduanya menyusuri jalanan yang ternyata masih sepi. Dennis dan Marsha sepertinya berangkat sekolah sebelum jam normal. Hanya beberapa penduduk yang bisa mereka lihat. Mereka tersenyum saat seorang wanita membawa nampan berisi sesajen, yang berjalan menuju pura di sisi jalan yang lain. Mereka melewati pura yang agak penuh. Mereka dapat mendengar gumam-gumam syukur yang diucapkan dalam bahasa Sansekerta.
“Jadi, Abang masih nggak mau bilang kenapa kita berangkat sepagi ini?” Marsha membuka mulut. Mereka memang terbiasa ke sekolah dengan berjalan kaki, karena memang sekolah Marsha berjarak tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah itu, Dennis biasanya akan naik angkot yang langsung menuju sekolahnya.
“Aku cuma mau tahu aja, Nana ada di sekolah yang sama kayak aku atau nggak.” Dennis tersenyum lebar. “Kemarin aku nggak ketemu dia waktu tes masuk SMA.”
Marsha mencibir. “Aku beneran lupa Abang masih suka dia.”
“Kamu nggak cerita ke Bapak dan Ibu kan?”
Marsha menggeleng. “Buat apa juga aku cerita.”
“Buat ngancem aku biar aku nggak ganggu kamu?” tanya Dennis retoris.
“Ngapain aku ngancem Abang kayak gitu? Mending aku minta dibeliin makan.”
Dennis tertawa, menepuk-nepuk kepala Marsha dengan sayang. Meski keduanya teramat sering bertengkar, hal itu justru merupakan pemersatu mereka agar semakin dekat satu sama lain. Ada banyak sekali hal yang keduanya ketahui satu sama lain, tapi tidak diketahui kedua orangtuanya. Marsha memang lima tahun lebih muda darinya, tapi entah mengapa ia lebih suka menceritakan kehidupan asramanya kepada gadis ini. Mendengar celetukan polos Marsha yang tidak ia duga akan keluar dari mulut gadis itu membuatnya merasa nyaman.
“Tapi, kak Kiki tahu soal ini, kan, Bang?”
“Nggak.” Dennis menggeleng. “Emang kenapa?”
Marsha mengerutkan kening. “Kenapa Abang nggak cerita? Kak Kiki aja apa-apa ceritanya ke Abang mulu.”
“Aku masih malu aja bilang soal ini ke Kiki, pasti diketawain sama dia.”
Marsha tersenyum lebar, mengangguk paham. Kiki adalah teman Dennis yang tinggal persis di depan rumah mereka. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan selalu berada di sekolah yang sama sampai sekarang. Dan karena sudah selama itu mereka berteman, Marsha juga ikut mengenal Kiki. Saat tadi pagi mereka keluar rumah, memang tidak ada tanda apapun di rumah Kiki karena Dennis yakin Kiki pasti masih tidur.
“Tapi..” Marsha bergumam. Mereka sudah sampai di tepi jalan raya. “Aku yakin Kak Kiki juga bakal cerita kalau dia lagi suka sama orang ke Abang.”
“Iya sih..” Dennis menghela napas. “Tapi tetap aja, Mar..”
Marsha tertawa. “Abang lucu kalau lagi suka sama orang.”
Dennis menoyor kepala Marsha dengan Tangannya, yang membuat tawa gadis itu makin kencang. Ia tidak pernah keberatan dengan apapun yang sang kakak lakukan, karena yang ia tahu, sang kakak tidak pernah berniat untuk menyakiti dirinya.
Gerbang sekolah Marsha sudah mulai terlihat. Seperti yang ia duga, masih sepi. Karena Dennis, Marsha jadi sepagi ini datang ke sekolah. Tapi, meskipun tadi pagi gadis itu menggerutu masih mengantuk, sepertinya ia tidak keberatan.
“Sebentar.” Dennis berhenti dekat halte. Ia merogoh saku celana seragamnya, mengeluarkan sesuatu. Sebuah kalung perak. Ia menjuntaikan benda itu di depan Marsha.
“Apaan itu?” Marsha berkata polos.
“Kalung. Masa kamu nggak tahu?”
Marsha mengerutkan wajahnya. “Buat siapa?”
“Buat kamu.”
“Hah?”
Marsha melongo, tidak percaya. Itu kalung perak yang bagus sekali. Sekali lihat saja Marsha sudah tahu. Ada bunga matahari kecil yang menjadi mata kalungnya. Benda itu tertimpa sinar matahari pagi yang membuatnya terlihat semakin bagus.
“Aku?”
“Iya, kamu.” Dennis mengangguk. Ia langsung memakaikan kalung itu. “Aku udah lihat kalung ini di toko perhiasan dekat SMP aku. Aku emang mau beli itu buat kado ulang tahun kamu, tapi karena aku takut kalung itu kebeli, pas uang aku cukup, langsung aku beli kemarin.”
Marsha mengerjap. “Tapi.. tapi..”
“Iya, ulang tahun kamu masih Oktober, aku tahu.” Dennis tersenyum, kini merapikan kembali rambut adiknya. “Nggak apa-apa, takutnya uang yang aku punya buat beli kalung itu malah kupakai.”
Gadis itu masih syok luar biasa. Keluarga mereka memang termasuk keluarga mampu, bukan kaya, itulah yang membuat Dennis dan Marsha hidup dalam kesederhanaan selama bertahun-tahun. Marsha hampir tidak pernah dibelikan barang mewah, karena semua barang-barang itu tidak sesuai dengan seleranya. Benda mewah yang ia punya hanya sebuah gelang tali hitam dengan hiasan bergambar burung hantu kecil. Hadiah sang nenek dari pihak ibu sebelum meninggal lima tahun lalu.
Gelang yang sama yang juga dipakai Dennis di tangan kanannya.
Tapi sekarang, benda mewah milik Marsha menjadi dua.
“Tabungan Abang pasti langsung habis..” gumam Marsha menunduk. Ia sedang mengagumi mata kalung yang ia letakkan di tangannya.
“Aku beli kan buat kamu, bukan buat orang lain.” Dennis berkata.
“Bapak sama Ibu tahu?”
Dennis mengangguk. “Ibu bahkan suka banget sama kalung itu.”
Entah kenapa, mata Marsha seketika memanas. Sesuatu mendesak untuk keluar. Ia justru tidak berusaha untuk menahannya. Ia membiarkan setitik air matanya jatuh, mengerjap, lalu menangkat kepala untuk beradu pandang dengan sang kakak.
“Makasih banyak, Bang Dennis..” ucapnya terharu.
“Makasih doang?”
Marsha tertawa, terlebih ketika Dennis sudah merentangkan tangan dan berkata dengan nada menggoda. “Ohh, sini Marmar akuuu..”
Gadis itu memeluk sang kakak dengan erat, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
“Udah ah, udah mulai ramai.” Dennis melepas pelukan itu, menyeka air mata adiknya. Benar saja, beberapa orangtua murid sudah mengantar anak mereka masuk ke sekolah, begitu juga angkutan umum yang sudah berhenti di depan sekolah Marsha untuk menurunkan para penumpangnya.
Marsha hanya terkekeh, merasa malu dengan dirinya sendiri.
“Kalungnya dipakai, ya.” Dennis memegang kedua bahu gadis itu, mengguncangnya. “Jangan dilepas.”
Marsha hanya mengangguk.
“Belajarnya yang rajin.” sambung laki-laki itu. “Aku bangga kalau ada orang-orang yang memuji Marsha Anabel Wibowo, apalagi kalau mereka tahu kalau anak itu adikku.”
“Makasih.” Marsha tampak salah tingkah. “Abang juga belajar yang rajin. Katanya mau jadi penulis lagu.”
“Itu pasti.” Senyum Dennis semakin lebar. “Aku berangkat, ya.”
Marsha tersenyum seraya melambaikan Tangan. Dennis membalasnya saat sudah naik di angkot dan duduk di bangku paling belakang yang jendelanya terbuka. Begitu penumpang sudah penuh, angkot pun melaju di jalanan.
Marsha masuk ke sekolah dengan perasaan luar biasa bahagia. Ia menyembunyikan kalung pemberian Dennis dengan menutupinya menggunakan kaos yang ia kenakan di bawah seragam sekolahnya. Ia hanya tidak mau terlalu menjadi pusat perhatian karena kalung itu.
“Marmar!”
Gadis itu berbalik, mendengus sebal. Seorang gadis berambut sepinggang yang dikuncir kuda sedang berlari ke arahnya. Itu Rina, teman sekelasnya. Mereka pun berjalan beriringan.
“Jangan panggil aku kek gitu, ah.” keluh Marsha. “Nggak enak didengar, tahu!”
“Abang kamu manggil kamu kayak gitu.” kata Rina sengit.
“Abangku beda cerita. Dia manggil orang terserah sesuka dia, dia nggak peduli orang itu suka atau nggak. Abangku nggak pernah manggil teman-temannya dengan nama yang benar, jadi kamu jangan ketularan.”
Rina tertawa. “Aku suka aja ngeliat abang kamu. Udah baik, ganteng, jago main alat musik lagi! Beruntung banget kamu punya abang kayak gitu!”
Marsha tersenyum, tidak membantah. Hampir semua teman-teman kelasnya yang pernah mengunjungi rumahnya pasti sangat mengagumi sosok Dennis Luigi Wibowo, baik laki-laki maupun perempuan. Teman-teman laki-laki Marsha sangat iri dengan kakaknya karena begitu berbakat di bidang olahraga dan musik. Sedangkan teman-teman perempuannya selalu memuji betapa tampan dan baik hati seorang Dennis. Saudaranya itu memang sudah menunjukkan ketertarikan luar biasa pada olahraga dan musik, sehingga sejak SMP ia sudah bergabung di ekskul basket dan musik. Dennis pandai memainkan beberapa alat musik, dan sepertinya semua benda itu juga sangat cocok pada dirinya.
Marsha ingat Dennis sudah mengikuti pentas seni saat masih SD, yang pada saat itu dirinya baru bisa membaca. Dennis juga pernah menjuarai lomba basket se-Gianyar bersama tim sekolahnya. Ia selalu merasa tersanjung saat semua orang memuji betapa mengangumkannya orang itu, terlebih oleh orang-orang yang iri bahwa Marsha adalah adiknya.
Ia memang beruntung karena memiliki Dennis sebagai kakak. Terlepas dari betapa seringnya mereka bertengkar, beradu argumen, saling meneriaki, saling diam, saling mengejek, ia tahu bahwa hal yang paling membuat dirinya beruntung—ah tidak, bersyukur lebih pas—adalah fakta bahwa Dennis sangat amat menyayanginya.
Kalung di leher yang ia kenakan saat ini adalah bukti fisik semua kasih sayang itu. Namun menurut Marsha, hal itu tidak lebih berharga dari cara Dennis yang selalu membanggakan adiknya di depan keluarga dan teman-temannya, dan cara Dennis melindunginya saat ia merasa terancam.
Pikirannya mulai berkelana. Ia ingat dulu saat ia memenangkan cerdas cermat se-Gianyar. Orangtuanya begitu senang sehingga mereka menangis ketika Marsha memberitahu kabar ini. Tapi reaksi Dennis yang membuatnya merasa menjadi manusia paling bahagia sedunia. Saat itu, Dennis tidak bisa bicara. Hanya diam memandanginya dengan tatapan kosong, dan sejurus kemudian Dennis sudah memeluknya erat sekali.
Tapi itu bukan poin yang membuat Marsha menaruh segala hormat pada sang kakak.
Saat itu seminggu setelah final cerdas cermat. Marsha pulang dari sekolahnya sendirian seperti biasa, karena tentu Dennis masih di sekolah. Dia memang selalu pulang agak telat dari sekolah karena menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan para guru, sehingga ia hanya tinggal mengulang materi untuk pelajaran besok jika ia sudah sampai di rumah, dan biasanya ia sekalian menunggu Dennis.
Hari itu, ia memang pulang bersamaan dengan beberapa siswa seumuran sang kakak. Hanya saja ia lupa bahwa tiap hari Rabu, Dennis pasti berlatih basket dulu. Dan laki-laki itu biasanya akan pulang hampir malam.
Ketika ia keluar gerbang, ia dihadang oleh empat anak perempuan yang tubuhnya lebih besar darinya, mengenakan seragam putih biru. Ada seorang anak perempuan berseragam putih merah berada di bayang-bayang mereka. Mereka membuatnya melangkah mundur sampai masuk lagi ke wilayah sekolah.
Langkah Marsha terhenti. “Ada apa, Kak?”
“Nggak usah sok sopan kamu!” seru anak perempuan yang memakai bando berwarna ungu. “Kamu Marsha, kan?”
Marsha mengangguk.
“Oh, jadi kamu yang nggak ngebuat Dela menang cerdas cermat!” sahut anak perempuan lain yang memakai gelang banyak sekali di Tangan kirinya.
Dan saat itu Marsha melihat dengan jelas si anak perempuan yang warna seragamnya seperti dirinya. Ia mengenali anak itu sebagai saingannya dari sekolah lain di final cerdas cermat dulu.
“Kok.. aku?” Marsha heran sendiri.
“Iya, kamu!” si anak SD tadi yang bicara. Dela menunjuk hidungnya. “Di pertanyaan terakhir! Aku udah nekan bel, tapi tiba-tiba kamu yang jawab!”
Bukannya merasa takut karena keberadaan anak SMP itu, Marsha mendapati situasi ini sangat konyol. Ia tertawa. “Kamu nggak ingat? Kamu emang udah nekan bel, tapi kamu ragu sama jawaban kamu. Jadinya aku yang jawab pertanyaan itu setelah juri bilang waktu kamu habis. Aku menang dengan jujur.”
“Nggak!” tukas Dela marah. “Aku udah mau jawab, terus kamu tekan bel! Harusnya kemarin aku yang menang!”
Marsha mengerutkan kening. “Lah, kan aku yang jelas-jelas menang!” balasnya mulai terdengar tak suka. “Emang kenapa jadi juara dua? Kamu dapat uang juga kan? Dapat piala dan dipuji kepala sekolah kamu kan? Kok kamu nggak terima?”
“Kamu tahu nggak,” kini si bando ungu mencengkeram Tangannya dengan kencang. “Gara-gara kamu, orangtua aku berantem karena Dela nggak menang! Tetangga pada ngomongin kalo Dela itu bodoh!”
“Ya, itu mah urusan kakak, bukan urusan aku.” balas Marsha terdengar menantang. Itu konyol sekali. Bertengkar hanya karena anak mereka kalah dalam lomba? Syukurlah orangtua Marsha tidak seperti itu. Dikatai bodoh hanya karena kalah cerdas cermat? Untung saja para tetangganya tidak akan begitu.
“Lagian kolot banget pemikiran, masa kalah cerdas cermat aja sampai berantem? Dikatain bodoh? Kakak hidup di lingkungan kayak apa sih sampai-sampai orang-orang di sekitar kakak pada ngomong kayak gitu?”
“Berani banget kamu, ngomong kayak gitu!”
Si bando ungu menampar keras pipi Marsha.
Dan Marsha baru menyadari bahwa ucapannya sangat kurang ajar. Tapi meski begitu, ia bisa ditegur baik-baik tanpa disertai tamparan. Orangtuanya tidak pernah menamparnya, tapi kenapa orang asing ini—yang ternyata kakak peserta lomba cerdas cermat yang kalah darinya—berani sekali menampar dirinya.
Marsha baru ingin bicara, tapi ia sudah dikeroyok habis-habisan. Kepalanya dipukul, muka dan perutnya ditinju, dan punggungnya ditendang sehingga ia menabrak dinding gerbang sekolah. Setelah melihatnya terjatuh dan meringkuk kesakitan di tanah, lima orang itu pergi meninggalkannya.
Marsha terduduk di tanah, bersandar ke dinding. Sekarang ia mengerti kenapa orang-orang tadi mendesaknya masuk ke sekolah, agar mereka tidak melihat pengeroyokan ini. Kepala dan badannya sakit semua, dan seragamnya kotor sekali. Ia tidak mungkin pulang ke rumah dengan kondisi seperti ini.
Ia berdiri, membersihkan debu-debu di seragamnya. Ia tahu ia akan dimarahi jika ia pulang seperti ini. Jadi, ia memutuskan menunggu angkot di depan sekolahnya, dan menuju sekolah Dennis.
Ia sengaja turun agak jauh dari gerbang sekolah agar Dennis tidak langsung panik melihatnya, meski ia tahu hal itu akan terjadi. Ia mengintip dari samping gerbang sekolah. Hanya ada tiga orang masih bermain basket di sana.
Ia mengenali Dennis yang mengenakan kaos hijau terang, sedang memasukkan bola basket ke keranjang. Terdengar sorakan gembira, dan pujian dilayangkan kepada orang itu.
Ia bersandar pada sisi gerbang. Apakah tindakannya benar dengan menemui Dennis dengan kondisi seperti ini? Ia jadi sedikit ragu.. Ia tidak mau terlihat cengeng di depan teman-teman Dennis. Tapi, pulang ke rumah dengan kondisi seperti ini sama saja dengan menyiram minyak ke api.
Marsha mengintip lagi, dan pada saat itu matanya beradu pandang dengan salah satu teman Dennis. Panik, ia segera menyembunyikan diri.
“Marsha?” ia bisa mendengar orang itu bergumam.
“Marsha?” ulang suara Dennis. “Marsha adikku? Kenapa sama dia?”
Marsha tidak mendengar apa-apa lagi setelahnya, karena teman Dennis yang tadi ia lihat sudah berdiri di depannya.
“Marsha?” katanya heran. “Ngapain kam—LAH?!” ia terpekik begitu melihat keadaan gadis itu.
Gadis itu hanya tersenyum canggung. “Eh, Bli Niko.”
Tak lama kemudian, Niko sudah menarik tangan gadis itu, masuk ke wilayah sekolah. Mereka langsung menuju Dennis. Niko melepas tangan Marsha.
Roman panik segera menghiasi wajah Dennis. “KAMU KENAPA? KAMU BERANTEM?”
“Tahan, Den.” Niko lantas berdiri di antara Marsha dan Dennis. “Dan yang di depan kamu ini Marsha loh. Adikmu. Dia berantem? Kita apa kalo dia badung?”
Dennis agak tertegun. “Iya juga sih.” gumamnya membawa Marsha duduk di bangku tepi lapangan. “UKS masih buka nggak?”
Dua temannya menggeleng. “Tapi kayaknya Pak Ketut punya kunci UKS deh.” sahut teman Dennis yang memakai kaus hitam. “Aku mintain, ya.”
“Tolong dong, De.”
Made mengangguk. Ia berlari menuju gedung belakang kelas, tempat rumah penjaga sekolah berada.
“Aku nggak berantem, Bang..” Marsha berkata. Dennis mengibaskan debu di seragam dan rambut gadis itu.
“Terus kenapa bisa jadi kayak gini?” Dennis berdiri di depan adiknya yang duduk dan babak belur. Made kembali dengan membawa kotak obat. Dengan cekatan, Dennis mengeluarkan pembersih luka, hidrogen peroksida, dan kapas. Ia menuangkan sedikit pembersih luka ke kapas, berlutut, tapi Niko mencegahnya.
“Pakai air dulu, Den.” ucap Niko memberikan botol air kepada Dennis. “Debu sama tanahnya masih banyak banget itu.”
Dennis segera menerima botol air itu, menanggalkan kapas yang sudah dibasahi pembersih luka. “Makasih, No.”
Made yang tadi hanya memperhatikan, kini ikut berlutut di samping Dennis. “Kamu kok bisa sampai kayak gini, Mar? Niko benar, murid sepintar kamu nggak mungkin babak belur gini karena berantem.”
Marsha mulai menceritakan apa yang terjadi, sementara Dennis membersihkan luka-lukanya. Sesekali ia meringis perih, yang akan membuat Dennis meniupi luka-luka itu. Begitu cerita berakhir, ketiganya tampak terkejut setengah mati.
“Tolol.” umpat Niko sebal. “Ya masa nyalahin Marsha cuma karena dia kalah? Dia pasti iri sama kamu, Mar, makanya bilang kayak gitu.”
Tetapi Made bereaksi tidak sesuai dengan perkiraan Marsha dan yang lain, karena ia berkata. “Kamu kok nggak nangis?”
Tiga laki-laki itu sontak menatapnya tepat di mata.
“Emangnya nggak sakit dipukul sampai kayak gini?”
Marsha hanya tersenyum. Menjadi adik Dennis membuat dirinya tumbuh menjadi pribadi yang tangguh.
“Keren kamu.” puji Niko tanpa sadar.
Dennis mengusap hidrogen peroksida di kaki adiknya. Marsha terlihat sesekali memejamkan mata menahan perih.
“Kamu liat nametag anak SMP itu nggak?” Made bertanya lebih lanjut.
“Nggak keburu.” sesal Marsha. Seharusnya itu yang ia lakukan ketika pertama kali melihat gerombolan anak SMP itu. Dennis sudah duduk di sampingnya, tengah membersihkan debu dan tanah di lengan kiri Marsha. Ia terlalu marah sampai tidak bisa bicara apapun. Ia hanya telaten membersihkan dan mengobati luka adiknya, membiarkan dua temannya yang bicara. “Tapi.. satu dari mereka pakai seragam olahraga kayak sekolah ini..”
Made membelalak. “Serius? Bodoh banget sih anak itu, nyari masalah sama Dennis.” gumamnya. Kemudian ia memandang Marsha lagi. “Kamu ingat mukanya?”
Lagi-lagi, Marsha menggeleng penuh penyesalan. “Aku cuma ingat dia pakai bando ungu, mukanya agak lonjong gitu. Itu saja. Aku nggak ingat lagi. Udah babak belur soalnya.”
Pada saat itu, tangan Dennis yang tengah mengusap hidrogen terhenti. Seiring dengan pandangan terkejut Dennis dan Niko.
Ahhhi gemeeees Uda kepooo
Comment on chapter 6 - Sakit